Friday, January 30, 2009

Gajah Sumatera, Nasibmu kini...

Keinginanku untuk kembali lagi ke lokasi penelitianku untuk tugas akhir saat itu akhirnya bisa terwujudkan. Pusat Konservasi Gajah Seblat, yang terletak di sebelah Utara Provinsi Bengkulu ini aku kunjungi pertama kali pada tahun 2004. Gilakan? setelah dua puluh tahun lebih aku lahir di Bengkulu, baru tahun 2004 aku datang kesana.

Setelah menyelesaikan penelitianku dan tahu betapa kompleksnya permasalahan dan ancaman kawasan ini terhadap perambahan, illegal loging, perburuan liar membuat hatiku terenyuh dan ada sebuah keinginan yang kuat untuk berbuat sesuatu terhadap kawasan ini. Sekecil apapun itu partisipasi dan kontribusiku, yang penting aku bisa melakukan sesuatu. Haruss!!!

Setelah aku lulus dari kampus, gejolak dan keinginan untuk balik lagi ke PKG Seblat masih sangat besar. Diskusi dan membuat rencana-rencana peluang bagaimana caranya bisa kembali lagi ke Bengkulu terus bergulir seiring berjalannya waktu. Kajian-kajian dangkal mengenai apa dan mengapa gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) ini semakin terancam kehidupannya dilakukan. Tanya sana sini, telpon sana sini. Dan berakhir dengan kata "apa yang bisa kita lakukan sesuai dengan kemampuan kita?"

Tahun 2007 tidak disangka ide kita untuk mendokumentasikan dan membuat film singkat mengenai keterancaman kelestarian habitat gajah di Bengkulu, dan mengupdate kondisi terakhirnya disetujui oleh Rufford Foundation. Karena kemampuan kita hanya dibidang audio visual, maka kita mencoba melakukan menyebarkan informasi mengenai keterancaman kawasan PKG ini dan keterancaman satwa-satwa yang ada didalamnya. Kita melihat bahwa kurang informasi mengenai kawasan ini dan bagaimana kehidupan satwa gajah membuat masyarakat Bengkulu kurang begitu peduli dan masa bodoh dengan gajah.

Pusat Konservasi Gajah Seblat

Pada tahun melalui SK Menhut No. 658/Kpts-II/1995 kawasan yang luasnya hanya 6.865 ha ini ditetapkan sebagai Hutan Poduksi dengan fungsi khusus. Khusus karena didalamnya ada habitat gajah dan kawasan ini ingin dijadikan tempat pelatihan gajah. Keputusan ini dikeluarkan karena pada tahun 1988 konflik antara manusia dan dan gajah mulai terjadi di Provinsi Bengkulu.

Di Sumatera populasi gajah pada tahun 1992 diperkirakan 2800-5000 ekor. Namun pada tahun 2007 populasi ini berkurang drastis menjadi 2400-2800 ekor (Gajah Action Plan 2007). Sementara populasi di Bengkulu saat aku tanya dengan bapak-bapak yang ada di BKSDA Bengkulu, jumlahnya pada tahun 1992 sekitar 375-390 ekor. Sedangkan sekarang jumlah populasinya sekitar 120-140 ekor.

Semakin terancamnya keberadaan satwa gajah di Asia termasuk di Indonesia pada tahun 1996 IUCN sudah memasukkan satwa gajah kedalam The IUCN Red List of Threatened Species atau kedalam daftar merah spesies terancam punah. Dan saat ini satwa gajah juga sudah masuk kedalam Apenddix I CITES.

Di Bengkulu terdapat dua kantong gajah yang tersisa, yaitu Kelompok PKG Seblat (HPT Lebong Kandis-Hutan Produksi Air Rami), dan Kelompok Air Teramang. Sebelumnya pada tahun 1992 terdapat delapan kantong habitat gajah. Jumlah gajah liar yang ada di PKG Seblat saat ini diperkirakan sekitar 60-80 ekor. Selain itu juga teradapat 21 ekor gajah binaan dan terdapat flora dan satwa lainnya seperti tapir, harimau sumatera, beberapa jenis primata dan berbagai jenis burung. Gajah bianaan ini ditangkap pada tahun 90'an saat banyaknya gajah-gajah yang masuk ke perkebunan dan pemukiman masyarakat. Setiap ekor gajah binaan dirawat dan dijaga oleh seorang pawang gajah atau mahot. Namun sekarang berdasarkan keputusan pemerintah dan kesepakatan para pemerhati gajah tidak diperkenankan lagi melakukan penangkapan gajah-gajah liar untuk dijinakan.

Luas kawasan PLG Seblat yang hanya 6.865 ha tidaklah memadai sebagai habitat kelompok gajah di PLG Seblat. lokasi ini telah dikelilingi oleh perkebunan sawit yang ikut menyebabkan pergerakan gajah menjadi semakin sempit dan hanya ada satu koridor yang menghubungkan antara PLG Seblat dengan TN Kerinci Seblat. Nasib koridor ini terakhir aku kesana sudah terputus oleh perambah dan sudah menjadi pemukiman masyarakat. Dan sekarang habitat gajah ini sudah terkurung oleh perkebunan sawit dan pemukiman masyarakat. Yaaa... kita tinggal tunggu saja human elephant conflicts yang akan terjadi di Bengkulu. Idealnya satu ekor gajah membutuhkan luas areal untuk makannya adalah 200 ha. Kebutuhan makan gajah adalah 5-10% dari berat badannya. Jika populasi gajah di PKG Seblat diperkirakan sekitar 80 ekor, maka luas areal yang dibutuhkan adalah 16.000 ha lahan berhutan.

Ancaman terhadap kelestarian satwa dan flora di kawasan hutan PKG Seblat saat ini semakin kompleks. Mulai dari pembukaan lahan hutan untuk perladangan oleh masyarakat, perambahan, illegal loging serta perburuan liar. Maraknya perburuan gading gajah, membuat kelangsungan hidup gajah-gajah jantan yang ada di PKG Seblat semakin terancam. Selain itu juga banyak gajah-gajah yang dibunuh disaat mereka memasuki areal perkebunan masyarakat.

Seandainya tidak ada gajah di dunia ini knapa?

Pertanyaan tersebut keluar disaat kita berdiskusi panjang dan berdebat bagaimana caranya menyelamatkan habitat gajah di Bengkulu. Karena sudah mentok dan kompleks permasalahan yang ada di PKG Seblat, dengan putus asa karena tidak menemukan jalan keluarnya seorang teman mengeluarkan pertanyaan itu. "Apa yang terjadi jika tidak ada gajah di dunia? tidak ada ada bencana bukan?". Semua orang langsung diam dan tidak bisa menemukan jawabannya. Karena semua bingung, akhir aku menyeletuk "ya.. setiap yang namanya makhluk Tuhan itu punya hak untuk hidup dan punya tempat tinggal". Apakah ada jawaban lain selain jawabanku??

Diskusi ini terus berlanjut, beberapa minggu yang lalu aku kembali lagi ke Bengkulu untuk berdiskusi dengan Kepala BKSDA Bengkulu beserta beberapa staffnya, NGO lokal dan beberapa temen media lokal. Mencoba mencari titik temu agar kepentingan keselamatan gajah dari kepunahan dan kebutuhan hidup masyarakat sekitar kawasan bisa terpenuhi. Namun sampai sekarang belum ada titik temunya. Belum ada win win solution yang kita dapatkan.

Peningkatan status kawasan menjadi kawasan konservasi yang lagi diupayakan oleh BKSDA Bengkulu dan beberapa NGO disana masih belum bisa direalisasikan. Kepentingan bagi masyarakat atas keberadaan kawasan konservasi diwilayah mereka belum bisa diramalkan secara baik. Sampai sekarang Kita masih mencari jawaban-jawaban apa manfaat bagi masyarakat jika status kawasan yang semula hutan produksi dengan fungsi khusus menjadi hutan konservasi?, kenapa gajah harus diselamatkan?, mengapa pemerintah daerah lebih baik memperluas areal perkebunan sawit daripada memikirkan upaya-upaya untuk penyelamatan gajah?, mengapa masih terjadi perburuan liar, mengapa masih terjadi illegal loging dan perambahan disekitar kawasan PKG Seblat? Apa yang salah dan mengapa semuanya bisa terjadi??

Kalo menurut pikiranku yang pendek ini. Semuanya perlu keseimbangan. Pembangunan dan peningkatan segi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sangat perlu untuk ditingkatkan. Tapi kelestarian sebuah ekosistem dan keseimbangan alam juga sangat perlu diperhatikan. Nah, bagaimana mempertemukan berbagai kepentingan ini, dengan latar belakang orang yang berbeda-beda?? Tidak gampang ternyata.

Yang membuat aku menjadi sedih adalah pernyataan yang keluar dari seoarang pawang gajah yang ada di PKG Seblat. "Kalo kita tidak bertindak cepat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di PKG Seblat ini, kemungkinan 5-10 tahun kedepan gajah-gajah liar yang ada di Bengkulu ini berikut gajah jinaknya sudah dipastikan tidak ada lagi di Bengkulu ini" ujarnya tegas kepadaku.

Aku ngga bisa bayangkan seandainya anak cucuku nanti bertanya padaku "Pak, katanya di Bengkulu ada Gajah ya?? Liat gajah yuk pak". Kemana aku harus mengajak anak cucuku untuk melihat gajah di Bengkulu. Gajahnya sudah tidak ada lagi. Kasihan benar anak-anak kita dan generasi penerus kita nanti, menikmati indahnya alam, flora dan fauna di Nusantara ini hanya dari sebuah buku dan cerita-cerita, yang mungkin aja nanti gajah hanya sebuah dongeng??.....