Tuesday, July 30, 2019

Persahabatan Lawalata IPB dan Mapala UI Dibangun Sejak Para Pendirinya




Kumpul Anggota Lawalata IPB berbagai angkatan pada tahun 2010 di Cijeruk, Kabupaten Bogor

Sesama pecinta alam itu bersaudara. Dimana pun ia berada. Itulah doktrin yang mungkin diterima oleh para mahasiswa pecinta alam (Mapala) ketika ia kuliah di sebuah universitas dan masuk organisasi tersebut. Sama seperti yang saya terima ketika saya masuk Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (Lawalata IPB) pada tahun 2002. Tak heran jika kita masih mahasiswa, tidak perlu bingung mau menginap dimana jika sedang melakukan sebuah perjalanan atau ekspedisi di sebuah kota yang jauh dari kampus. Cukup mencari sekretariat Mapala di universitas terdekat.

Kabar duka meninggalnya Rudy Badil beberapa waktu lalu (11/7/2019) tentunya membuat orang-orang yang mengenalnya berduka. Apalagi namanya melegenda di kalangan Mapala. Menjadi panutan para generasi muda yang mengikuti jejaknya sebagai seorang pecinta alam ketika ia masuk ke sebuah universitas.

Generasi saya tentulah sangat jauh jaraknya dengan Rudy Badil. Tahun 2005 saya baru memasuki dunia kerja, ia baru pensiun sebagai wartawan Harian Kompas. Tetapi ketika saya mahasiswa, saya masih mendapatkan cerita tentang sosok Rudy Badil ini dari para senior Lawalata IPB. Tentunya generasi yang sama yaitu tahun 70-an.

Ketika ramainya pemberitaan meninggalnya Rudy Badil, salah satu pendiri Lawalata IPB Soeryo Adiwibowo kembali menyampaikan kenangannya ketika Rudy Badil, Dono, Kasino, Nanu dan anak-anak Mapala UI diundang ke Kampus IPB Baranangsiang. Angggota Lawalata IPB yang memiliki nomor L-001 yang sering disapa Bowo dan sekarang menjadi penasehat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini menyampaikan kisahnya bagaimana persahabatannya sesama pecinta alam yang telah mereka bangun. “Tahun 1975 Badil dan teman-teman Mapala UI kami undang ke Kampus IPB Baranangsiang. Karena saya yang tahu lokasi asrama UI Pegangsaan, maka saya dan Soesetyo yang jemput mereka dengan bus IPB. Sepanjang perjalanan di dalam bus, Kasino, Dono, Nanu dan Badil selalu ngebodor. Kasino membawa ukulele dan buku tebal yang isinya lelucon-lelucon” katanya di sebuah grup percakapan sesama anggota Lawalata IPB.

Waktu itu Warkop belum terbentuk. Bowo yang baru mau mendirikan Lawalata IPB berkumpul dengan teman-teman Mapala UI di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) kampus Baranangsiang yang sekarang sudah menjadi kantor pos.

Perbedaan umur dan pengalaman diantara anggota muda Lawalata IPB dan Mapala UI cukup jauh.   Soeryo Adiwibowo, Soesetyo, Slamet Riyadi, Suwarno, Aunur Rofiq Hadi, Eddie Ruslan G, Wiwi Sulikanti Agusni dan teman-teman lainnya rata-rata masih di usia 20 tahun. Sementara mereka anggota Mapala UI yang datang sudah diatas 24 tahun. Perbedaan usia dan pengalaman diantara mereka tentunya jauh berbeda. Lawalata IPB baru mau didirikan, Mapala UI sudah sampai ke Puncak Jayawijaya.

“Waktu itu UI masih dengan sistem pendidikan 6 tahun. Jadi kami banyak yang terkagum-kagum sama mereka. Walaupun usia kami jauh berbeda, mereka ngga sombong. Rudy Badil orangnya ramah, baik dan hangat. Mereka tidak menunjukkan mereka jagoan naik gunung. Mereka malah sering guyon. Kita yang sudah tidak sabar ingin diskusi, mereka malah santai saja. Sepanjang malam di PKM lebih banyak diisi dengan nyanyi dan guyonan tanpa skenario oleh Dono, Kasino dan Badil. Apalagi ketika dalam perjalanan ke Bogor, kaca depan bus IPB bagian kiri entah bagaimana copot. Kejadian itu menjadi bahan bagi mereka untuk ngeledek kami”, kata Bowo.

Wiwi Sulikanti Agusni mengenang perjalanan bersama naik Gunung Gede Pangrango yang sepanjang perjalanan ketawa melihat ulahnya Dono dan Kasino. Bawa gitar sambil bernyanyi di lereng Gunung Gede sampai akhirnya gitarnya gelembung karena lembab dan tidak bisa lagi digunakan. “Itu perjalanan yang sangat menyenangkan, tapi jadi lupa belajar hahaha….”, menimpali apa yang telah disampaikan Bowo. Baginya, Lawalata IPB itu jika naik gunung sambil mengingat pelajaran dari dosen biologi dan botani tentang perubahan vegetasi sesuai dengan perubahan ketinggian di atas permukaan laut. Maklum anak-anak IPB mungkin terlalu serius jika kuliah dan sangat scientist.

Hasil dari pertemuan dengan para pendiri Mapala UI itulah Lawalata IPB akhirnya mencari format seperti apa organisasi pecinta alam di IPB ingin didirikan. Mapala UI dan Wanadri menjadi pedoman Bowo dan kawan-kawan mereka saat itu. Mapala UI telah melakukan ekpedisi yang pertama kali ke Pegunungan Jayawijaya tahun 70-an awal. Tentunya dengan kesulitan yang tinggi karena Freeport baru hadir dan belum menambang. Generasi selanjutnya ada Norman Edwin yang banyak melakukan ekspedisi dan wafat di Gunung Aconcagua, Argentina pada April tahun 1992.

Wanadri juga terlihat lebih terampil, tangkas dan professional sebagai penjelajah rimba dan pendaki gunung. Keanggotaannya lebih inklusif, terbuka untuk pemuda yang berasal dari berbagai kampus. Beberapa mahasiswa ITB, Unpad, Unpas, ITT dan sebagainya menjadi anggota Wanadri. Wanadri juga banyak dilatih di Batu Jajar oleh RPKAD (saat ini menjadi Kopassus).

Dengan melihat IPB adalah gudangnya ilmu pengetahuan alam, maka Lawalata IPB didirikan berbeda dengan Mapala UI dan Wanadri. Pencarian identitas dilakukan melalui berbagai diskusi karena bagi mereka saat itu Lawalata IPB harus memiliki ciri khas dan keunikan. Aunur Rofiq Hadi bahkan sampai menemui Ketua Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat itu Prof.Dr.Ir.H. TB. Bachtiar Rifai untuk meminta masukan seperti apa organisasi pecinta alam ke depan. “Saran beliau saat itu adalah Lawalata IPB menekankan pada pelestarian lingkungan karena di masa depan kita akan menghadapi krisis air, baik kualitas maupun kuantitasnya. Saat itu istilah lingkungan hidup belum ada”, kata Rofiq yang menyandang nomor keanggotaan L-005 di Lawalata IPB.

Mendengar masukan dan saran dari Prof. Bachtiar Rifai, para generasi muda yang akan mendirikan Lawalata IPB makin bingung. Karena organisasi mahasiswa pecinta alam utamanya adalah naik gunung. Apakah mau mahasiswa IPB masuk Lawalata IPB jika nanti arahnya adalah pelestarian alam?. Namun, akhirnya para pendiri Lawalata IPB itu setuju untuk mendirikan dan mengembangkan Lawalata IPB yang mengarah kepada mencipatakan kader-kader yang peduli terhadap kelestarian alam tanpa meninggalkan gaya naik gunung.

Sejak saat itulah proses perekrutan anggota Lawalata IPB terus ditekankan bahwa anggotanya harus peduli terhadap kelestarian lingkungan dan alam. Melakukan studi dan kajian-kajian mulai dari yang sederhana hingga yang serius dan mendalam terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan. Bahkan tak jarang melakukan investigasi atas kejahatan-kejahatan merusak alam seperti illegal loging, tambang illegal, perambahan kawasan hutan, destructive fishing dan perampasan wilayah masyarakat adat.

Awal tahun 90-an munculah para aktivis lingkungan dan gerakan peduli lingkungan jebolan Lawalata IPB. Mereka mendirikan berbagai organisasi-organisasi non pemerintah yang memiliki perhatian utama terhadap isu lingkungan hidup. Karena IPB berada di Bogor, maka pusatnya organisasi yang memiliki perhatian terhadap lingkungan juga berada di Bogor. Organisasi yang didirikan oleh para anggota Lawalata IPB ketika keluar dari kampus IPB antara lain Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Perkumpulan Telapak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia (FWI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rekam Nusantara Foundation dan banyak lagi. Saat itu mereka juga berpartisipasi aktif membesarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan Indonesia Hijau (YIH).

Gebrakan para alumni anggota Lawalata IPB bisa dibuktikan dengan berbagai pengharagaan yang mereka terima. Sebut saja Emmy Hafild mendapat penghargaan sebagai Heroes of The Planet Majalah Time (1999), Ambrosius Ruwindrijarto mendapat penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Emergent Leadership (2012), Een Irawan Putra mendapat penghargaan Silent Heroes 100 Persen Indonesia dari Greenpeace Indonesia (2014) dan Abdon Nababan penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Community Leadership (2017). Organisasi non pemerintah yang didirikan juga banyak membantu dan mendorong pemerintah khususnya di KLHK dalam membuat kebijakan-kebijakan yang memperhatikan kelestarian alam Indonesia.

Alumni Lawalata IPB tidak hanya berkecimpung di dunia aktivis. Banyak juga dari mereka saat ini sudah menjadi guru besar di berbagai kampus ternama dan professor riset di LIPI. Mereka diantaranya adalah Prof.Dr.Ir. Vincentius P Siregar, DEA, Prof.Dr.Ir.Iman Rahayu Hidayati Soesanto,  Prof.Dr.Ir.Wasrin Syafii, M.Agr, Prof.Dr.Ir.Sutrisno Suro Mardjan, M.Agr, Prof.Ir. Tian Belawati,M.Ed, Ph.D, Prof.Dr.Ir.Dwi Listyo Rahayu, Prof.Dr.Ir.Sam Wouthuzen dan lain sebagainya. Beberapa anggota Lawalata IPB lainnya sekarang juga menduduki berbagai jabatan strategis di beberapa kementerian dan lembaga negara.   

Sepak terjang dan talenta yang dimiliki Rudy Badil, Kasino, Dono, Nanu dan alumni mahasiswa pecinta alam di Lawalata IPB serta pertemanan yang mereka bangun disaat mahasiswa perlu menjadi catatan generasi penerusnya. Di Mapala UI karena persahabatannya dan ingin terus berkarya bersama setelah keluar dari kampus, Dono dan Kasino konsisten dengan lelucon dan jiwa menghiburnya. Hal yang sama juga ada di Lawalata IPB. Hapsoro dan Arbi Valentinus  adalah duo sahabat yang tidak ingin berpisah setelah keluar kampus dan  konsisten dengan perlawanannya terhadap para pejabat dan pengusaha yang kegemarannya merusak alam Indonesia. Walaupun mereka semua telah tiada, tapi kita akan selalu mengenal siapa mereka.

Unit kegiatan mahasiswa yang  berkegiatan di alam bebas adalah tempat yang paling ideal untuk mereka yang ingin mencari jati diri dengan berbagai idealismenya. Menumbuhkan jiwa sosial dan kepedulian terhadap sesama mahluk hidup. Peka dan kritis terhadap sebuah perubahan sosial dan perubahan lingkungan yang sedang dan yang akan terjadi. Dengan melakukan berbagai kegiatan di alam bebaslah kita bisa membangun persahabatan sejati. Jangan menganggap remeh anak muda yang memang hobby-nya naik gunung dan berkegiatan di alam bebas. Tidak semua dari mereka berjalan seperti tanpa tujuan hidup.

Semoga dengan membaca tulisan ini generasi berikutnya di Mapala UI dan Lawalata IPB serta mahasiswa pecinta alam dari universitas lainnya tetap bisa saling bersilahturahim, saling berbagi, duduk setara, tertawa dan bercanda bersama. Momen seperti ini tidak mudah untuk kita temui lagi jika sudah keluar dari kampus dan memasuki dunia kerja.

Untuk melihat video tentang sejarah Lawalata IPB bisa lihat disini

___
Een Irawan Putra
Anggota Lawalata IPB dan Direktur Eksekutif Rekam Nusantara Foundation

Saturday, May 3, 2014

Ina Craft Apakah Mampu Membantu dan Menghargai Pengrajin Sebenarnya?

Terpesona dengan beragam bentuk anyaman dan tenun. Kehalusan bahan anyaman dan ketelitian dalam mengolah bahan baku rotan, daun, serta benang. Beraneka ragam motif melalui warna-warna alami yang menyelimuti kerajinan mereka, membuat saya takjub akan sebuah budaya leluhur, kekayaan alam serta kemampuan masyarakat adat dalam membuat sebuah karya. Perjalanan saya selama lebih dari setengah bulan mengunjungi beberapa kampung di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat membuktikan kemampuan masyarakat Dayak dalam memanfaatkan alam untuk membuat sebuah karya yang indah dan menunjukkan budaya menganyam dan menenun sudah ada sejak dulu.

Di sebuah kampung di Kutai Barat, Kalimantan Timur, masyarakat Desa Tanjung Isuy mampu mengolah sebuah daun yang mirip palem-paleman (mereka menyebutnya daun doyo) menjadi sebuah kain tenun. Sebuah kain yang berbeda dengan kain tenun biasanya. Dengan ketelatenan dan ketelitian lembar demi lembar daun doyo mereka ambil serat halus di bagian atas permukaan daun untuk dipintal menjadi benang. Selembar kain tenun ukuran 60 cm x 200 cm memerlukan sekitar 750 lembar daun doyo. Kerumitan, kesabaran dan ketelitian mulai dari mengolah daun menjadi benang, mewarnai benang dengan pewarna alam dan menenun helai demi helai benang untuk menjadi sebuah kain tenun dengan motif-motif cantik membuat kain tenun ikat ini memiliki nilai yang tinggi. Tidak banyak orang di Kampung Tanjung Isuy yang mau dan mampu membuatnya.

Masih di Kutai Barat. Di Desa Eheng, Kecamatan Barong Tongkok beberapa kaum perempuan menganyam berbagai macam produk dari rotan. Salah satu produknya adalah anjat. Dengan kesabaran dan ketelitian mereka membelah sebatang rotan menjadi bagian-bagian yang tipis dan halus. Ukuran belahan rotan untuk anyaman mereka adalah 2 mm. Sangat kecil. Namun dari belahan rotan ukuran kecil inilah sebuah produk menjadi indah, penuh makna dan dibuat dengan rasa penuh cinta sang pengayam terhadap anyamannya.

Anatasya Dewi (32) sudah belajar mengayam sejak usianya 10 tahun. Dia bercerita, ketika dia belajar menganyam, banyak rotan orang tuanya yang dia tebang. Namun anyamannya tidak jadi. Ketika berhasil, anyaman tersebut belum rapi dan indah. Ketika dia belajar, tanaman rotan masih banyak di sekitar desa. Saat ini hasil anyamannya banyak yang dinanti oleh para pembeli. Dia sudah mampu membuat berbagai macam tas dengan berbagai macam motif. Untuk motif, Dewi hanya menggunakan satu warna saja, yaitu warna hitam. “Warna hitam ini saya dapatkan dengan cara memasak rotan yang sudah saya belah dengan berbagai macam kulit buah-buahan, daun dan akar,” kata Dewi. Berkurangnya bahan baku rotan di desanya akibat pembukaan hutan skala besar untuk perkebunan kelapa sawit adalah ancaman nyata yang dihadapi oleh Dewi dan beberapa teman perempuannya yang bekerja sebagai penganyam. Rotan butuh hutan untuk bernaung. Tidak ada hutan tidak akan rotan.

Di Kalimantan Tengah, sebuah desa yang terdapat di Kabupaten Kuala Kapuas, yaitu Desa Pantai, Kecamatan Kapuas Barat, Rusniah (42) mampu membuat sebuah tas dari anyaman rotan yang sangat indah. Belahan-belahan rotan yang tipis dan sangat kecil dengan sabar dia anyam untuk menjadi sebuah tas. Bersama dengan suaminya yang saat ini sudah rabun karena katarak mereka ke ladang untuk mengambil rotan, mengolah rotan dan menganyam di rumahnya yang sangat sederhana. Karena kerumitan dalam menganyam dan butuh ketelitian, setiap bulannya Rusniah hanya mampu membuat 10-15 tas anyaman. Satu buah tas yang bermotif dia jual dengan harga 50 ribu rupiah, sementara yang polos 40 ribu rupiah.

Korid dan Jarai. Itulah produk yang dihasilkan oleh masyarakat dayak di Dusun Telogah, Desa Idas, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Bentuk anyaman korid berbeda dengan anyaman masyarakat Dayak yang lainnya. Korid hanya bisa dianyam dengan menggunakan rotan yang benar-benar pilihan. Tidak terlalu muda dan tidak juga tidak tua. Jika salah dalam memilih rotan, ketika menganyam rotan, anyaman tersebut bisa patah. Marsiah Dino (55) atau yang sering disebut Ibu Dino, sangat dikenal di kampungnya sebagai pengrajin korid terbaik. Dikarenakan budaya menganyam sudah dilakukan oleh nenek moyangnya, Ibu Dino juga ingin bisa menganyam. Saat itu dia belajar menganyam dengan ibu dan neneknya kala itu masih hidup. Saat ini Ibu Dino sangat khawatir banyak generasi muda di kampungnya yang sudah tidak lagi mau belajar mengayam.

Selain mengayam rotan untuk menjadi sebuah produk. Di Kalimantan Barat juga ditemukan kemampuan masyarakat Dayak menganyam anyaman dari bambu. Dengan pewarna alami, kaum perempuan di Dusun Kelumbi, Desa Karya Jaya Bakti, Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang, mewarnai anyamannya dengan tanaman jerenang dan sejenis kantong semar yang ada di dalam hutan. Buah jerenang digunakan untuk menghasilkan warna merah. Sementara bunga kantong semar dicampur dengan arang untuk mendapatkan warna hitam.

Salah satu penganyam dari bambu di Dusun Kelumbi adalah Leta (35). Tidak semua orang mampu menganyam anyaman dari belahan-belahan bambu yang sangat tipis dan kecil ini. Produk ini dihasilkan dengan sebuah ketekunan dan ketelitian yang luar biasa. Leta yang kampungnya jauh dari peradaban kota besar mampu melahirkan sebuah karya yang indah dan menawan.

Selain menganyam, masyarakat Dayak juga memiliki budaya menenun. Jika memasuki Museum Kapuas Raya, di Kabupaten Sintang. Kita bisa melihat sejarah masyarakat dayak dalam menenun. Tenun ikat yang ada di dalam museum ini menjadi sebuah bukti kemampuan masyarakat Dayak dalam menenun. Dengan motif-motif yang sangat rumit. Pewarna alam. Dan waktu pembuatan yang tidak sebentar, sebuah kain tenun yang dihasilkan sangat mahal nilai-nilai budayanya.

Muni Apriyanti (33), warga yang tinggal di Desa Ensaid Panjang merupakan salah satu penenun yang ada di rumah betang (rumah khas dayak). Perempuan yang menikah dengan laki-laki di Desa Ensaid Panjang ini tertarik untuk menenun ketika dia melihat banyak kaum perempuan yang tinggal di rumah betang rajin menenun kain ikat. Bagi Muni, selain mempertahankan budaya menenun, aktivitas ini bisa menambah pendapatan keluarganya dimana pendapatan utamanya dari getah tanaman karet.

Minim Perhatian Pemerintah 

Ketika saya ingin mendapatkan informasi dari pemerintah daerah di mana para pengrajin ini tinggal, hampir semua dinas yang saya kunjungi tidak ada yang berani bicara. Saat itu saya mengunjungi Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Budaya serta Dinas Perindustrian dan Pedagangan yang ada di Kabupaten Kutai Barat serta Kabupaten Kuala Kapuas. Di Kabupaten Kutai Barat, tidak ada satu pihak pun dari pemerintah yang bersedia saya temui untuk melakukan wawancara. Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuala Kapuas melemparkan tanggung jawabnya dengan meminta saya menghubungi Dinas Perindustrian dan Perdagangan.

Saling lempar tanggung jawab. Inilah salah satu perilaku buruk aparat pemerintahan kita. Bisa jadi karena memang tidak pernah memperhatikan dan berbuat sesuatu untuk membantu masyarakat yang ada di daerahnya, aparat pemerintah ini tidak berkenan saya temui. Lalu pertanyaan saya adalah apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh aparat pemerintahan yang ada di daerah ini jika membiarkan masyarakatnya berjuang sendiri dalam menganyam dan menenun? Padahal mereka memiliki kemampuan menganyam dan menenun sudah sangat lama.

Yang menarik adalah, ketika saya berada di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, saya mendapatkan informasi bahwa seluruh aparat pemerintah kabupaten yang ada di Provinsi Kalimantan Barat akan mengikuti pameran INA Craft 2014. Ada 11 kabupaten yang akan ikut serta dalam event yang akan digelar pada tanggal 23-27 April 2014 di Balai Sidang Jakarta Convention Centre. Setiap kabupaten membayar biaya pendaftaran sekitar 23 juta agar bisa membuat satu stand di sana.

Sepertinya setiap pemerintah daerah yang ada di provinsi lainnya yang ada di Kalimantan juga akan ikut pameran ini. Apa tujuan pemerintah daerah ikut dalam pameran ini? Produk apa yang akan mereka pamerkan atau mereka jual? Apakah para PNS ini mau berprofesi sebagai pedagang? Mengapa pemerintah daerah ini tidak mau memikirkan dahulu bagaimana agar para pengrajin ini benar-benar terbantukan dalam membuat karya-karya indah dan juga mempertahankan budayanya. Pemerintah mendukung upaya-upaya mereka mempertahankan hutan alam mereka karena di sanalah hulu dari segalanya. Sehingga mereka tidak lagi merasa terancam akan ketersedian bahan baku. Ratusan juta dana untuk ikut pameran INA Craft bisa mereka alihkan terlebih dahulu untuk membantu para pengrajin dalam meningkatkan kualitas dan jumlah produk yang dihasilkan.

Apakah para pengelola dan pengunjung INA Craft mengetahui derita dan ancaman para pengrajin seperti yang dialami oleh Ibu Dewi, Ibu Rusniah, Ibu Dino, Ibu Leta dan kaum perempuan lainnya di kampung-kampung pengrajin ini?

Maukah pengelola INA Craft menyisihkan keuntungan dari kegiatan INA Craft kepada para pengrajin sebenarnya? Jangan sampai kegiatan pameran terbesar kerajinan nusantara ini hanya dipenuhi oleh para benalu yang menggerogoti pohon kecil. Dihadiri oleh para lintah yang menghisap binatang kurus yang sudah tidak memiliki darah.

Selama perjalanan saya melihat berbagai macam bentuk kerajinan dayak. Saya sangat bangga melihat kemampuan mereka menghasilkan sebuah karya yang tiada tandingannya. Tapi disaat yang sama, saya juga menangis karena mereka dibiarkan berjuang sendiri untuk tetap mampu membuat sebuah karya indah itu.

Banda Aceh, 23 April 2014.

Anatasya Dewi dari Desa Eheng, Kutai Barat yang sedang menganyam anjat. Foto: Aulia Nurrahman
Ibu Marena sedang mengumpulkan daun doyo di Tanjung Isuy, Kutai Barat. Foto: Aulia Nurrahman
Ibu Marena memintal benang dari daun doyo. Foto: Aulia Nurrahman
Kain tenun dari daun doyo yang sudah jadi (kiri) dan benang doyo yang akan dibuat motif (kanan). Foto Aulia Nurrahman
Rusniah dengan beberapa produk anyaman yang sudah siap dijual
Ibu Dino yang sedang menyelesaikan anyaman korid. Foto: Aulia Nurrahman
Ibu Leta dan beberapa produk anyaman dari bambu di Dusun Kelumbi, Sintang
Salah satu kain tenun ikat dengan pewarna alam yang ada di Museum Kapuas Raya, Sintang. Foto: Aulia Nurrahman

Monday, October 14, 2013

Dongeng Sungai (Citarum): 30 Tahun Lebih Dibiarkan Nelangsa Bersama Limbah

Nak, dongeng apa yang akan saya ceritakan ketika engkau lahir nanti ya?. Sekarang ayah dan ibu sangat bahagia sekaligus deg-degan engkau akan lahir dalam beberapa hari kedepan. Bahagia rumah mungil yang selama bertahun-tahun kami tempati akan ramai dengan langkahmu dan juga tangisanmu. Khawatir, tidak ada cerita ataupun dongeng yang menarik yang bisa ayah ceritakan ketika nanti engkau sudah mulai lancar berbicara dan minta diceritakan tentang isi dunia dan tentang Indonesia. Tidak ada yang cerita yang membahagiakan di hari-hari terakhir disaat kamu akan lahir. Hanya sebuah kesedihan karena situasi negara yang pejabatnya pada korup dan pandai berkelit ketika ditangkap. Sebuah kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang maha dasyat, yang itu tetap dianggap biasa-biasa saja oleh mereka yang mempunyai prilaku merusak.

Tapi ayah akan tetap bercerita. Saat ini, cerita ini adalah kenyataan. Benar-benar terjadi. Ayah tidak tahu jika kamu besar nanti, seumur ayah, apakah cerita ini akan menjadi sebuah dongeng. Atau mungkin tetap akan menjadi sebuah kenyataan.
Limbah B3 pabrik yang dibuang langsung ke Sungai Citarum di daerah Majalaya, Kabupaten Bandung
Disaat usiamu memasuki 8 bulan didalam kandungan. Ayah bersama beberapa teman dari sebuah lembaga peduli lingkungan internasional melihat dan merekam situasi terakhir sebuah sungai yang terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Sungai Citarum namanya. Panjang sungai ini sekitar 300 km. Sungai ini berhulu di lereng Gunung Wayang, di Desa Cibeureum, Kertasari, Bandung. Pada tahun 2007 lalu, sungai ini menjadi salah satu sungai dengan tingkat pencemaran tertinggi di dunia.

Kamu pasti akan bertanya, kenapa Sungai Citarum menjadi sungai paling tercemar di dunia. Saat ini dari hulu sampai hilir Sungai Citarum terdapat sekitar 1500 pabrik atau industri. Pabrik ini membuang limbahnya langsung ke Sungai Citarum. Sekitar 2800 ton limbah cair dibuang ke Sungai Citarum. Dan kamu tahu nak, pabrik-pabrik ini sudah membuang limbahnya sejak mereka berdiri di sepanjang Sungai Citarum. Yaitu sejak tahun 1979. Sudah 34 tahun. Sejak ayah belum lahir. Ayah saja baru menyadari hal itu. Ayah saja belum menikmati keindahan Sungai Citarum dan juga bersihnya air Sungai Citarum. Apalagi kamu yang baru akan lahir?

Kamu pasti akan bertanya lagi, kenapa ayah ke Sungai Citarum. Disaat kamu masih usia 8 bulan didalam kandungan ayah berangkat ke Bandung untuk melihat kondisi Sungai Citarum. Karena pada ada tanggal 5 Juni 2013, disaat peringatan hari lingkungan hidup sedunia, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menyampaikan pidatonya ke publik bahwa air Sungai Citarum bisa langsung diminum pada tahun 2018. Banyak orang yang bertanya apakah mungkin dengan kondisi air yang saat ini tercemar berat bisa diminum pada tahun 2018. Apakah Ahmad Heryawan hanya sesumbar dan hanya menebar janji saja karena baru terpilih kembali menjadi Gubernur Jawa Barat. Banyak orang yang ayah wawancarai untuk minta pendapatnya tentang pidato sang Gubernur tersebut. Semua orang yang ayah wawancarai menyatakan tidak percaya dengan pidato tersebut. Semua orang sudah bosan dengan pidato-pidato politik penjabat publik. Yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah sebuah langkah aksi nyata. Sebuah terobosan baru seorang pejabat publik dalam memecahkan masalah sosial dan lingkungan yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia.

Ayah melihat beberapa titik lokasi pembuangan limbah di Sungai Citarum. Mulai dari Majalaya, Dayeuhkolot, dan Margaasih, Kabupaten Bandung. Limbah, sampah dan sungai yang bau yang ayah temui disana. Di Majayala, persis dipinggir sawah yang para petaninya sedang panen padi yang dia tanam, mengalir dengan seenaknya limbah dari 10 pabrik yang ada disekitar sawah tersebut. Warna airnya berubah-ubah. Saat ayah tiba, airnya berwarna coklat tua. Ketika beberapa jam kemudian airnya berubah menjadi hijau tua. Ayah berjalan menelusuri aliran limbah tersebut. Ternyata berakhir di Sungai Citarum.

Pak Jumar, Warga Margaasih, Kabupaten Bandung, yang rumahnya persis berada di pinggir Sungai Ciliwung, tertawa terbahak-bahak ketika ayah sampaikan pertanyaan apakah dia percaya air Sungai Citarum bisa diminum pada tahun 2018. Dia bahkan berani pasang taruhan sama ayah klo itu bisa terjadi. Mang Enkos, Warga Majalaya, garuk-garuk kepala. “2018 air citarum bisa diminum…..? ahhh belum tentu… belum tentu… belum tentu…” jawabnya. Adapun, Abah Dayat, warga Dayeuhkolot yang sudah 61 tahun tinggal dipinggir Sungai Citarum mengatakan bahwa baru tahun inilah dia jijik melihat air Sungai Citarum. Limbah dan sampah dimana-mana.

Walaupun presiden sudah ganti beberapa kali. Sudah beberapa kali ganti menteri, gubernur, bupati dan walikota, semua seperti tidak bisa berbuat apa-apa untuk Sungai Citarum. 30 tahun lebih dibiarkan saja pabrik-pabrik itu membuang limbah seenaknya ke Sungai Citarum. Tidak peduli bahwa jutaan orang yang ada di Majalaya sampai Karawang masih tergantung terhadap keberadaan air yang ada di Sungai Citarum tersebut. Jutaan orang menggunakan air Sungai Citarum untuk irigasi persawahan. Sumber air minum dari PDAM di Bekasi dan Jakarta dari Sungai Citarum. Bahkan air Sungai Citarum juga untuk energi listrik di Jawa. Pejabat negara ini tidak peduli dengan kerusakan Sungai Citarum. Tapi marah-marah jika air PDAM di rumahnya mati. Memaki-maki jika aliran litrik di rumahnya padam. Menyalahkan orang lain jika rumahnya kebanjiran. Betapa egoisnya hidup mereka di dunia ini nak. Ayah berharap jika kamu besar nanti tidak seperti mereka!.

Belajarlah peduli sesama umat manusia dan lingkungan sekitarmu sejak kamu kecil. Saat ini, sudah terlalu banyak warga negara Indonesia yang pintar dan berpendidikan tinggi. Orang-orang pintar dan bangga menyandang banyak gelar ini menduduki berbagai posisi strategis dalam membuat sebuah kebijakan. Tapi sayang, mereka tidak punya hati nurani. Tidak punya ahklak yang baik. Tidak peduli hak orang lain. Tidak pernah diajari bagaimana merangkul dan memberikan hak orang yang lemah agar mereka punya hak hidup yang layak. Tidak mau mengotori tangannya dengan memungut sampah yang ada di depan mukanya. Hal-hal kecil saja mereka tidak mau melakukannya. Apalagi melakukan sesuatu hal yang lebih besar untuk sebuah kebaikan umat. Untuk sebuah kelestarian sungai dan lingkungan. Apalagi klo mengharapkan air Sungai Citarum bisa langsung diminum pada tahun 2018.
Limbah B3 yang dibuang langsung ke Sungai Citarum di daerah Dayeuhkolot. Agar tidak terlihat pipa limbah ini ditaroh didasar Sungai Citarum
Air Sungai Citarum yang sudah berwarna hitam pekat beserta sampah yang berada di daerah Margaasih
Pak Jumar, warga Margaasih, Kabupaten Bandung tidak percaya air Sungai Citarum bisa langsung diminum pada tahun 2018

Jika kamu sudah besar nanti dan sudah bisa akses internet, kamu bisa lihat video tentang Sungai Citarum. Silahkan lihat disini.

(Tulisan ini saya buat untuk menyambut kelahiran anak pertama saya dalam beberapa hari kedepan)

Thursday, March 14, 2013

Menafikan Hutan Kemenyan (Tombak Hamijon)

Salah satu warga Desa Pandumaan yaitu
Tohap Pandiangan di pohon kemenyan miliknya
Bulatnya matahari pagi yang memancarkan warna orange dan kekuning-kuningan yang diiringi dengan kabut tipis mengitari atap rumah dan pepohonan pinus yang ada di Desa Pandumaan-Sipituhuta masih belum membuat saya merasakan sebuah keharmonisan kehidupan pedesaan. Anak-anak sekolah pagi itu sudah bersemangat berangkat ke sekolah bersama teman-temannya. Terlihat juga satu orang anak perempuan berlari terburu-buru menuju sekolah. Mungkin dia takut terlambat datang ke sekolahnya.

Suhu pagi itu cukup dingin sehingga membuat saya betah menggunakan jaket yang saya pakai sejak tadi malam. Di tepi jalan desa di dekat pagar salah satu rumah warga yang terbuat dari bambu saya mencoba melihat dan memperhatikan semua aktivitas yang ada di desa ini. Merasakan salah satu bagian dari keharmonisan kehidupan masyarakat ini seperti ada yang hilang.

Beberapa tahun kebelakang, tepatnya tahun 2009, keharmonisan kehidupan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta mulai terusik. Sebuah desa yang berada di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasudutan ini ternyata masuk kedalam sebuah konsesi perusahaan pulp and paper milik perusahaan yang bernama PT Toba Pulp Lestari (sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama). Tanpa mereka sadari, wilayah yang mereka tempati dan kelola selama 13 generasi ini sudah diberikan izinnya oleh Kementerian Kehutanan untuk sebuah perusahaan yang rakus akan kayu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.351/Menhut-II/2004 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 Tentang Pemberian Hak Pengusahaan Tanaman Industri Kepada PT Inti Indorayon Utama seluas 269.060 hektar di Provinsi Sumatera Utara. Wilayah Desa Pandumaan-Sipituhuta seluas sekitar 6.000 hektar yang selama ini mereka tempati dan mereka kelola diklaim oleh TPL masuk kedalam konsesi TPL.

Aktivitas dan kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta mulai terganggu disaat TPL akan melakukan penebangan terhadap hutan kemenyan yang terdapat di wilayah kelola masyarakat selama ini. Aksi protes dan penolakan penebangan hutan terus dilakukan oleh masyarakat. Penolakan ini dilakukan dikarenakan masyarakat akan merasakan langsung dampaknya yaitu akan kehilangan sumber mata pencaharian utama masyarakat. Sebanyak 3.715 jiwa akan kehilangan sumber mata pencaharian dari kemenyan. Selain itu juga mereka akan menerima dampak kerusakan lingkungan, mulai dari longsor, kesulitan akses air bersih dan pencemaran lingkungan.

13 Generasi Mengelola Kemenyan

“Tanaman kemenyan ini ditanam oleh opung-opung kami dulunya. Sudah 13 keturunan kami menjaga dan mengelola pohon kemenyan ini” ungkap Teti Helmi Borutasoit ketika saya menanyakan sejak kapan mereka mengelola tanaman kemenyan yang sekarang sudah menjadi hutan yang rindang, yaitu hutan kemenyan.

Tohap Pandiangan, salah satu pemilik hutan kemenyan di Desa Pandumaan mengatakan bahwa hutan kemenyan seluas 4 hektar yang ia kelola adalah warisan dari orang tuanya. Ketika pohon kemenyan ditanam oleh Opungnya berumur sepuluh tahun, Opungnya meninggal dan pengelolaan pohon kemenyan diteruskan oleh orang tuanya. Sekarang pengelolaannya dikelola oleh Tohap Pandiangan yang menggantikan orang tuanya. “Jumlah pohon kemenyan yang ada disini sekitar 1000 batang. Pohon-pohon kemenyan yang ada disini bukan pohon liar. Ini ditanam oleh Opung saya” ucap Tohap.

Tohap memanen getah kemenyan miliknya satu tahun sekali. Dari seribu batang yang ia kelola bisa menghasilkan 100 kg per tahun. Harga per kilo kemenyan adalah Rp 130.000-140.000. Satu tahun Tohap bisa mendapatkan uang sekitar 14 juta dari penjualan kemenyan yang ada di lahannya. “Tapi enam bulan kemudian kita masih bisa mengambil getah kemenyan dari sisa panen tersebut. Per harinya saya bisa mengumpulkan 1 kg. Harganya klo dari kemenyan sisa-sisa ini 60 ribu per kilo” ungkapnya. 

Salah satu pengumpul kemenyan yang ada di Dolok Sanggul, Ibukota Humbang Hasudutan yaitu Khalil Basyah Sihite mengatakan bahwa jumlah kemenyan yang ada sekarang sudah berkurang dan juga kualitas kemenyannya menurun. Para pengumpul kemenyan di Dolok Sanggul juga sudah berkurang. “Saat ini mungkin hanya sekitar 10 orang yang menampung kemanyan. Dulu ada sekitar 20 orang pengumpul besar disini. Mereka semua beralih usaha karena kemenyan sudah tidak ada” ungkap Khalil.

Menurut Khalil pecahan dari Tapanuli Utara merupakah penyuplai terbesar untuk kemenyan. Beberapa kabupaten penyuplai kemenyan adalah Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir dan Kabupaten Humbang Hasudutan. Dolok Sanggul adalah yang terbesar dalam penyuplai kemenyan. 90 persen kemenyan milik Khalil dijual ke Jawa Tengah. Banyaknya kawasan hutan kemenyan yang sudah ditebang dan dikonversi menjadi HTI berdampak kepada jumlah pasokan kemenyan di Dolok Sanggul. “Dulu saya masih bisa mengirim kemenyan sebanyak 7 ton dalam seminggu. Sekarang untuk mengumpulkan 7 ton dalam dua bulan saja sudah sangat sulit” ungkap Khalil. Khalil sangat menyangkan sikap pemerintah yang tidak mendukung pengembangan dan pelestarian kemenyan yang sudah dari dulu dilakukan oleh para nenek moyang mereka. Seharusnya pemerintah menjaga hutan kemenyan yang sudah dilestarikan para leluhur orang batak. Dengan mendukung pelestarian hutan kemenyan sudah dipastikan akan membantu mensejahterakan kehidupan masyarakat yang ada di desa seperti Desa Pandumaan-Sipituhuta.

Tohap Pandiangan menyatakan seharusnya pemerintah bisa mengerti dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Tidak mementingkan sebuah investasi besar yang hanya mementingkan para pemilik modal. Kehadiran TPL di wilayahnya sangat mengancam kehidupan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. “Sampai kapanpun saya harus terus berjuang demi masa depan saya, anak-anak saya dan istri saya. Sampai kapanpun masyarakat Pandumaan-Sipituhuta akan tetap mempertahankan hutan kemenyan. Lebih baik kami mati daripada tanah leluhur kami diambil. Terutama pohon kemenyan ini” tegas Tohap.

Brimob yang Bringas dan Tidak Manusiawi

Tanggal 26 Februari 2013 pukul 2 dini hari adalah hari yang tidak bisa dilupakan oleh Rensus Lumban Gaol. Seorang laki-laki yang cacat ini harus merasakan bringasnya perlakukan aparat Brimob dalam menyisir Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam mencari para laki-laki yang dianggap provokator dan merusak aset perusahaan PT Toba Pulp Lestari.

Rangkaian penolakan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta terhadap penebangan hutan kemenyan mereka berbuntut penyisiran oleh aparat kepolisian untuk menangkap beberapa warga yang dianggap aktor dalam penolakan dan pengrusakan aset perusahaan. Lebih dari 300 anggota Brimob bersenjata laras panjang dan muka yang ditutupi dengan coretan-coretan loreng dan hitam memaksa masuk setiap rumah di Pandumaan-Sipituhuta. Beberapa pintu rumah hancur dan kamar-kamar berantakan karena dibongkar oleh polisi yang datang.

Rensus yang ketakutan mengajak 6 orang anaknya masuk ke dalam kamar. 30 anggota Brimob mengepung rumahnya saat itu. 10 orang masuk ke dalam ruang tamu dan mendobrak pintu kamar tempat dia bersama anak-anaknya berkumpul. Setelah pintu didobrak, para anggota Brimob ini menarik secara paksa Rensus sambil memukuli wajah, menendang dan menginjak-ijak kakinya yang cacat. Walaupun anak-anaknya berteriak dan menangis perlakuan kasar mereka tetap dilakukan. Ketika diseret ke jalan oleh beberapa aparat Brimob, Rensus mengatakan bahwa dia adalah lelaki cacat. Kaki kanannya tidak sempurna sejak lahir. Mendengar pengakuan Rensus barulah Brimob tersebut melepaskan Rensus.

Rensus yang sehari-hari memiliki warung kecil yang menjual beberapa aneka jajanan, kopi dan kue-kue mengatakan bahwa pada malam itu selain melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya, aparat Brimob tersebut juga menjarah dagangan miliknya. Beberapa bungkus rokok yang dia jual diambil oleh anggota Brimob. Beberapa masyarakat Pandumaan-Sipituhuta menyatakan rumah mereka dijarah. Ada beberapa warga yang kehilangan emas dan handphone.

Teti Helmi yang suaminya ditangkap aparat pada malam penyisiran tersebut mengatakan semua wanita dan anak-anak pada dini hari itu menangis menyaksikan brutalnya perlakuan aparat Brimob terhadap mereka. “Kami ditodongkan senjata laras panjang dan dipaksa masuk. Mereka memperlakukan kami seperti teroris ataupun penjahat” ungkap Teti. Pada saat suaminya ditangkap Teti memeluk suaminya dan menahan suaminya agar tidak dibawa oleh Brimob. Karena Teti tidak mau melepaskan pelukan terhadap suaminya, salah satu anggota Brimob memukul lengan kirinya dengan popor senjata. Sampai beberapa hari lengannya masih lembam kebiruan. Teti pada malam itu hanya menangis dan mengatakan bahwa suaminya tidak bersalah. Mereka hanya mempertahankan tanah adat yang sudah dijaga secara turun-temurun.

Baik Rensus maupun Teti sampai sekarang masih tidak bisa tidur dengan tenang. Ketika ada suara mobil pada malam hari mereka selalu terjaga khawatir Brimob akan kembali datang dan melakukan kekerasan. “Kami ingin kampung ini damai kembali, bisa mengerjakan kemenyan kami dengan tenang. Bapak-bapak bisa bekerja setiap hari. Tidak dalam ketakutan. Kami ingin damai menjalani kehidupan ini karena kami bukan pencuri, bukan pembunuh. Kami hanya membela kampung ini. Membela tanah kami. Berjuang untuk mendapatkan kembali hutan kemenyan kami” ungkap Teti yang tidak bisa menahan air matanya. Teti berharap kepada semua orang yang mencintai masyarakat Pandumaan-Sipituhuta supaya membela dan membantu mereka.

Aksi solidaritas untuk masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Kota Medan, Sumatera Utara

Wednesday, November 14, 2012

Perjalanan ke Mamuju, Sulawesi Barat


Awal bulan November saya kebetulan diminta melakukan pembuatan sebuah video dokumenter di Mamuju, Sulawesi Barat. Selama dua belas hari saya mengunjungi beberapa desa yang ada di Mamuju, Sulawesi Barat. Banyak orang yang bertanya “Mamaju itu dimana?” disaat saya bilang saya sedang berada di Mamuju. Saya sendiri pun musti mencari lokasinya di google map ketika saya diminta berangkat ke Mamuju. Karena ini juga perjalanan pertama saya ke Mamuju.

Pengalaman penerbangan pertama saya ke Mamuju juga membuat hati berdebar-debar karena pesawat yang saya tumpangi yaitu rute Makassar-Mamuju mengalami cuaca buruk. Pesawat ATR 72-500 dengan kapasitas penumpang 80 orang sudah mencoba melakukan 2 kali upaya pendaratan di Bandar Udara Tampa Padang, Mamuju tetapi upaya pendaratan selalu batal dan pesawat dipaksa naik lagi menuju angkasa dengan pemandangan yang gelap karena awan tebal. Lebih dari satu jam pesawat kami muter-muter diatas wilayah Mamuju dengan turbulence yang cukup keras mencoba menunggu cuaca membaik. Semua penumpang saat itu terdiam dan menunduk sambil berdoa. Tapi karena terbatasnya bahan bakar pesawat akhirnya pesawat kami kembali ke Makassar dan mendarat dengan selamat di Bandara Hasanuddin. Semua penumpang dinaikkan kedalam bus dan dibawa ke hotel untuk istirahat. Esok paginya kami kembali diterbangkan dengan pesawat yang sama.

Disaat mendarat di bandar udara yang ada di Provinsi Sulawesi Barat ini saya masih belum percaya klo ini adalah salah satu ibukota provinsi yang ada di Indonesia. Bangunan bandara tempat tunggu penumpang yang besarnya seperti rumah type 45 dan bagasi yang musti diambil sendiri di luar bandara. Di bandar udara ini juga belum ada radar dan belum ada petugas BMKG. Penerbangan ke provinsi ini pun hanya 1 kali satu hari dari Makassar dengan pesawat kecil.
Selama di Mamuju dan mengelilingi kota provinsi, saya melihat sepertinya inilah kota provinsi yang terkecil di Indonesia versi saya. Mamuju yang menjadi provinsi pada tahun 2004 masih dalam kondisi berantakan. Banyak galian-galian yang belum dirapihkan. Jalan-jalan kecil dan sempit, tata kota dan bangunan yang masih belum terlihat rapih. Banyak sekali pekerjaan rumah yang musti dilakukan Pemerintah Daerah Sulbar untuk membuat provinsi ini lebih enak dilihat dan bisa dinikmati oleh warganya ataupun pendatang.

Disaat siang hari saya mencoba berjalan kaki di sekitar hotel tempat saya menginap yaitu Hotel d’Maleo untuk mencari makan siang. Hotel d’Maleo adalah satu-satunya hotel yang bagus dan nyaman di Mamuju. Saya sudah mengecek beberapa hotel yang lain. Tarifnya tidak jauh berbeda tapi kualitas bangunan, luas kamar dan pelayanan memang lebih baik Hotel d’Maleo. Terik matahari yang panas dan membuat silau mata, tanpa pohon perindang, benar-benar membuat kota ini tidak bersahabat untuk para pejalan kaki. Disaat siang hari pun banyak tempat-tempat makan masih tutup. Mereka akan buka pada sore menjelang magrib sampai dengan malam hari. Satu-satunya tempat jajanan makan malam ada di pinggir pantai di sebelah pelabuhan dan TPI, tidak begitu jauh dari Hotel d’Maleo. Para pedagang mendirikan tenda-tenda beratapkan terpal secara acak di sebuah dataran yang datar di pinggi pantai dengan suara musik yang keras. Setiap tenda memutar musik dengan keras yang membuat saya bingung, kita mau dengar musik yang mana karena terlalu banyak musik dengan volume disetting sekeras-kerasnya. Membuat saya tidak nyaman menikmati makan malam. Lokasi ini juga jadinya terkesan kumuh. Padahal jika pemerintahnya mau menata dengan baik para pedagang dan lokasi tempat pengujung duduk dan makan mungkin tempat ini bisa menjadi tempat favorit para pendatang untuk menikmati ikan bakar, sate, sop konro ataupun makanan lainnya.

Di Kota Mamuju saya juga belum menemui tempat yang bisa menjadi tujuan wisata oleh para pendatang. Tidak ada pusat pembelajaan yang terpusat, tidak ada tempat hiburan, museum, ataupun taman kota. Jalanan yang sempit, bangunan yang tidak teratur antara pusat perkantoran, rumah penduduk dan ruko membuat Kota Mamuju tidak sedap untuk dipandang. Disaat tiba di Mamuju pun saya tidak tertarik untuk jalan-jalan keliling kota. Keluar hotel hanya untuk kebutuhan makan siang ataupun makan malam. Saya mencoba mencari tahu sebenarnya Provinsi ini, kota ini arah pembangunannya seperti apa. Tapi informasi ini belum saya dapatkan. Padahal di beberapa titik, Mamuju memiliki laut yang masih jerih, tenang dan masih jauh dari pusat keramaian. Saya mengunjungi beberapa nelayan yang memiliki keramba dan jaring tancap di Desa Tadui dan Ampalas. Tidak jauh dari kota juga terdapat ekosistem mangrove yang punya potensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata edukasi. Mungkin karena baru menjadi Kota Provinsi jadi masih sibuk bangun SDM dan bangun kantor baru. Semoga saja pemerintahnya punya komitmen yang tinggi untuk pembangunan daerah dan mensejahterakan rakyatnya. Punya perencanaan yang matang dan berkelanjutan dalam membangun daerah. Bukan menjadi sarana untuk perebutan kekuasaan dan jabatan.