Monday, October 14, 2013

Dongeng Sungai (Citarum): 30 Tahun Lebih Dibiarkan Nelangsa Bersama Limbah

Nak, dongeng apa yang akan saya ceritakan ketika engkau lahir nanti ya?. Sekarang ayah dan ibu sangat bahagia sekaligus deg-degan engkau akan lahir dalam beberapa hari kedepan. Bahagia rumah mungil yang selama bertahun-tahun kami tempati akan ramai dengan langkahmu dan juga tangisanmu. Khawatir, tidak ada cerita ataupun dongeng yang menarik yang bisa ayah ceritakan ketika nanti engkau sudah mulai lancar berbicara dan minta diceritakan tentang isi dunia dan tentang Indonesia. Tidak ada yang cerita yang membahagiakan di hari-hari terakhir disaat kamu akan lahir. Hanya sebuah kesedihan karena situasi negara yang pejabatnya pada korup dan pandai berkelit ketika ditangkap. Sebuah kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang maha dasyat, yang itu tetap dianggap biasa-biasa saja oleh mereka yang mempunyai prilaku merusak.

Tapi ayah akan tetap bercerita. Saat ini, cerita ini adalah kenyataan. Benar-benar terjadi. Ayah tidak tahu jika kamu besar nanti, seumur ayah, apakah cerita ini akan menjadi sebuah dongeng. Atau mungkin tetap akan menjadi sebuah kenyataan.
Limbah B3 pabrik yang dibuang langsung ke Sungai Citarum di daerah Majalaya, Kabupaten Bandung
Disaat usiamu memasuki 8 bulan didalam kandungan. Ayah bersama beberapa teman dari sebuah lembaga peduli lingkungan internasional melihat dan merekam situasi terakhir sebuah sungai yang terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Sungai Citarum namanya. Panjang sungai ini sekitar 300 km. Sungai ini berhulu di lereng Gunung Wayang, di Desa Cibeureum, Kertasari, Bandung. Pada tahun 2007 lalu, sungai ini menjadi salah satu sungai dengan tingkat pencemaran tertinggi di dunia.

Kamu pasti akan bertanya, kenapa Sungai Citarum menjadi sungai paling tercemar di dunia. Saat ini dari hulu sampai hilir Sungai Citarum terdapat sekitar 1500 pabrik atau industri. Pabrik ini membuang limbahnya langsung ke Sungai Citarum. Sekitar 2800 ton limbah cair dibuang ke Sungai Citarum. Dan kamu tahu nak, pabrik-pabrik ini sudah membuang limbahnya sejak mereka berdiri di sepanjang Sungai Citarum. Yaitu sejak tahun 1979. Sudah 34 tahun. Sejak ayah belum lahir. Ayah saja baru menyadari hal itu. Ayah saja belum menikmati keindahan Sungai Citarum dan juga bersihnya air Sungai Citarum. Apalagi kamu yang baru akan lahir?

Kamu pasti akan bertanya lagi, kenapa ayah ke Sungai Citarum. Disaat kamu masih usia 8 bulan didalam kandungan ayah berangkat ke Bandung untuk melihat kondisi Sungai Citarum. Karena pada ada tanggal 5 Juni 2013, disaat peringatan hari lingkungan hidup sedunia, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menyampaikan pidatonya ke publik bahwa air Sungai Citarum bisa langsung diminum pada tahun 2018. Banyak orang yang bertanya apakah mungkin dengan kondisi air yang saat ini tercemar berat bisa diminum pada tahun 2018. Apakah Ahmad Heryawan hanya sesumbar dan hanya menebar janji saja karena baru terpilih kembali menjadi Gubernur Jawa Barat. Banyak orang yang ayah wawancarai untuk minta pendapatnya tentang pidato sang Gubernur tersebut. Semua orang yang ayah wawancarai menyatakan tidak percaya dengan pidato tersebut. Semua orang sudah bosan dengan pidato-pidato politik penjabat publik. Yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia saat ini adalah sebuah langkah aksi nyata. Sebuah terobosan baru seorang pejabat publik dalam memecahkan masalah sosial dan lingkungan yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia.

Ayah melihat beberapa titik lokasi pembuangan limbah di Sungai Citarum. Mulai dari Majalaya, Dayeuhkolot, dan Margaasih, Kabupaten Bandung. Limbah, sampah dan sungai yang bau yang ayah temui disana. Di Majayala, persis dipinggir sawah yang para petaninya sedang panen padi yang dia tanam, mengalir dengan seenaknya limbah dari 10 pabrik yang ada disekitar sawah tersebut. Warna airnya berubah-ubah. Saat ayah tiba, airnya berwarna coklat tua. Ketika beberapa jam kemudian airnya berubah menjadi hijau tua. Ayah berjalan menelusuri aliran limbah tersebut. Ternyata berakhir di Sungai Citarum.

Pak Jumar, Warga Margaasih, Kabupaten Bandung, yang rumahnya persis berada di pinggir Sungai Ciliwung, tertawa terbahak-bahak ketika ayah sampaikan pertanyaan apakah dia percaya air Sungai Citarum bisa diminum pada tahun 2018. Dia bahkan berani pasang taruhan sama ayah klo itu bisa terjadi. Mang Enkos, Warga Majalaya, garuk-garuk kepala. “2018 air citarum bisa diminum…..? ahhh belum tentu… belum tentu… belum tentu…” jawabnya. Adapun, Abah Dayat, warga Dayeuhkolot yang sudah 61 tahun tinggal dipinggir Sungai Citarum mengatakan bahwa baru tahun inilah dia jijik melihat air Sungai Citarum. Limbah dan sampah dimana-mana.

Walaupun presiden sudah ganti beberapa kali. Sudah beberapa kali ganti menteri, gubernur, bupati dan walikota, semua seperti tidak bisa berbuat apa-apa untuk Sungai Citarum. 30 tahun lebih dibiarkan saja pabrik-pabrik itu membuang limbah seenaknya ke Sungai Citarum. Tidak peduli bahwa jutaan orang yang ada di Majalaya sampai Karawang masih tergantung terhadap keberadaan air yang ada di Sungai Citarum tersebut. Jutaan orang menggunakan air Sungai Citarum untuk irigasi persawahan. Sumber air minum dari PDAM di Bekasi dan Jakarta dari Sungai Citarum. Bahkan air Sungai Citarum juga untuk energi listrik di Jawa. Pejabat negara ini tidak peduli dengan kerusakan Sungai Citarum. Tapi marah-marah jika air PDAM di rumahnya mati. Memaki-maki jika aliran litrik di rumahnya padam. Menyalahkan orang lain jika rumahnya kebanjiran. Betapa egoisnya hidup mereka di dunia ini nak. Ayah berharap jika kamu besar nanti tidak seperti mereka!.

Belajarlah peduli sesama umat manusia dan lingkungan sekitarmu sejak kamu kecil. Saat ini, sudah terlalu banyak warga negara Indonesia yang pintar dan berpendidikan tinggi. Orang-orang pintar dan bangga menyandang banyak gelar ini menduduki berbagai posisi strategis dalam membuat sebuah kebijakan. Tapi sayang, mereka tidak punya hati nurani. Tidak punya ahklak yang baik. Tidak peduli hak orang lain. Tidak pernah diajari bagaimana merangkul dan memberikan hak orang yang lemah agar mereka punya hak hidup yang layak. Tidak mau mengotori tangannya dengan memungut sampah yang ada di depan mukanya. Hal-hal kecil saja mereka tidak mau melakukannya. Apalagi melakukan sesuatu hal yang lebih besar untuk sebuah kebaikan umat. Untuk sebuah kelestarian sungai dan lingkungan. Apalagi klo mengharapkan air Sungai Citarum bisa langsung diminum pada tahun 2018.
Limbah B3 yang dibuang langsung ke Sungai Citarum di daerah Dayeuhkolot. Agar tidak terlihat pipa limbah ini ditaroh didasar Sungai Citarum
Air Sungai Citarum yang sudah berwarna hitam pekat beserta sampah yang berada di daerah Margaasih
Pak Jumar, warga Margaasih, Kabupaten Bandung tidak percaya air Sungai Citarum bisa langsung diminum pada tahun 2018

Jika kamu sudah besar nanti dan sudah bisa akses internet, kamu bisa lihat video tentang Sungai Citarum. Silahkan lihat disini.

(Tulisan ini saya buat untuk menyambut kelahiran anak pertama saya dalam beberapa hari kedepan)

Thursday, March 14, 2013

Menafikan Hutan Kemenyan (Tombak Hamijon)

Salah satu warga Desa Pandumaan yaitu
Tohap Pandiangan di pohon kemenyan miliknya
Bulatnya matahari pagi yang memancarkan warna orange dan kekuning-kuningan yang diiringi dengan kabut tipis mengitari atap rumah dan pepohonan pinus yang ada di Desa Pandumaan-Sipituhuta masih belum membuat saya merasakan sebuah keharmonisan kehidupan pedesaan. Anak-anak sekolah pagi itu sudah bersemangat berangkat ke sekolah bersama teman-temannya. Terlihat juga satu orang anak perempuan berlari terburu-buru menuju sekolah. Mungkin dia takut terlambat datang ke sekolahnya.

Suhu pagi itu cukup dingin sehingga membuat saya betah menggunakan jaket yang saya pakai sejak tadi malam. Di tepi jalan desa di dekat pagar salah satu rumah warga yang terbuat dari bambu saya mencoba melihat dan memperhatikan semua aktivitas yang ada di desa ini. Merasakan salah satu bagian dari keharmonisan kehidupan masyarakat ini seperti ada yang hilang.

Beberapa tahun kebelakang, tepatnya tahun 2009, keharmonisan kehidupan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta mulai terusik. Sebuah desa yang berada di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasudutan ini ternyata masuk kedalam sebuah konsesi perusahaan pulp and paper milik perusahaan yang bernama PT Toba Pulp Lestari (sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama). Tanpa mereka sadari, wilayah yang mereka tempati dan kelola selama 13 generasi ini sudah diberikan izinnya oleh Kementerian Kehutanan untuk sebuah perusahaan yang rakus akan kayu. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.351/Menhut-II/2004 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 Tentang Pemberian Hak Pengusahaan Tanaman Industri Kepada PT Inti Indorayon Utama seluas 269.060 hektar di Provinsi Sumatera Utara. Wilayah Desa Pandumaan-Sipituhuta seluas sekitar 6.000 hektar yang selama ini mereka tempati dan mereka kelola diklaim oleh TPL masuk kedalam konsesi TPL.

Aktivitas dan kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta mulai terganggu disaat TPL akan melakukan penebangan terhadap hutan kemenyan yang terdapat di wilayah kelola masyarakat selama ini. Aksi protes dan penolakan penebangan hutan terus dilakukan oleh masyarakat. Penolakan ini dilakukan dikarenakan masyarakat akan merasakan langsung dampaknya yaitu akan kehilangan sumber mata pencaharian utama masyarakat. Sebanyak 3.715 jiwa akan kehilangan sumber mata pencaharian dari kemenyan. Selain itu juga mereka akan menerima dampak kerusakan lingkungan, mulai dari longsor, kesulitan akses air bersih dan pencemaran lingkungan.

13 Generasi Mengelola Kemenyan

“Tanaman kemenyan ini ditanam oleh opung-opung kami dulunya. Sudah 13 keturunan kami menjaga dan mengelola pohon kemenyan ini” ungkap Teti Helmi Borutasoit ketika saya menanyakan sejak kapan mereka mengelola tanaman kemenyan yang sekarang sudah menjadi hutan yang rindang, yaitu hutan kemenyan.

Tohap Pandiangan, salah satu pemilik hutan kemenyan di Desa Pandumaan mengatakan bahwa hutan kemenyan seluas 4 hektar yang ia kelola adalah warisan dari orang tuanya. Ketika pohon kemenyan ditanam oleh Opungnya berumur sepuluh tahun, Opungnya meninggal dan pengelolaan pohon kemenyan diteruskan oleh orang tuanya. Sekarang pengelolaannya dikelola oleh Tohap Pandiangan yang menggantikan orang tuanya. “Jumlah pohon kemenyan yang ada disini sekitar 1000 batang. Pohon-pohon kemenyan yang ada disini bukan pohon liar. Ini ditanam oleh Opung saya” ucap Tohap.

Tohap memanen getah kemenyan miliknya satu tahun sekali. Dari seribu batang yang ia kelola bisa menghasilkan 100 kg per tahun. Harga per kilo kemenyan adalah Rp 130.000-140.000. Satu tahun Tohap bisa mendapatkan uang sekitar 14 juta dari penjualan kemenyan yang ada di lahannya. “Tapi enam bulan kemudian kita masih bisa mengambil getah kemenyan dari sisa panen tersebut. Per harinya saya bisa mengumpulkan 1 kg. Harganya klo dari kemenyan sisa-sisa ini 60 ribu per kilo” ungkapnya. 

Salah satu pengumpul kemenyan yang ada di Dolok Sanggul, Ibukota Humbang Hasudutan yaitu Khalil Basyah Sihite mengatakan bahwa jumlah kemenyan yang ada sekarang sudah berkurang dan juga kualitas kemenyannya menurun. Para pengumpul kemenyan di Dolok Sanggul juga sudah berkurang. “Saat ini mungkin hanya sekitar 10 orang yang menampung kemanyan. Dulu ada sekitar 20 orang pengumpul besar disini. Mereka semua beralih usaha karena kemenyan sudah tidak ada” ungkap Khalil.

Menurut Khalil pecahan dari Tapanuli Utara merupakah penyuplai terbesar untuk kemenyan. Beberapa kabupaten penyuplai kemenyan adalah Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir dan Kabupaten Humbang Hasudutan. Dolok Sanggul adalah yang terbesar dalam penyuplai kemenyan. 90 persen kemenyan milik Khalil dijual ke Jawa Tengah. Banyaknya kawasan hutan kemenyan yang sudah ditebang dan dikonversi menjadi HTI berdampak kepada jumlah pasokan kemenyan di Dolok Sanggul. “Dulu saya masih bisa mengirim kemenyan sebanyak 7 ton dalam seminggu. Sekarang untuk mengumpulkan 7 ton dalam dua bulan saja sudah sangat sulit” ungkap Khalil. Khalil sangat menyangkan sikap pemerintah yang tidak mendukung pengembangan dan pelestarian kemenyan yang sudah dari dulu dilakukan oleh para nenek moyang mereka. Seharusnya pemerintah menjaga hutan kemenyan yang sudah dilestarikan para leluhur orang batak. Dengan mendukung pelestarian hutan kemenyan sudah dipastikan akan membantu mensejahterakan kehidupan masyarakat yang ada di desa seperti Desa Pandumaan-Sipituhuta.

Tohap Pandiangan menyatakan seharusnya pemerintah bisa mengerti dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Tidak mementingkan sebuah investasi besar yang hanya mementingkan para pemilik modal. Kehadiran TPL di wilayahnya sangat mengancam kehidupan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. “Sampai kapanpun saya harus terus berjuang demi masa depan saya, anak-anak saya dan istri saya. Sampai kapanpun masyarakat Pandumaan-Sipituhuta akan tetap mempertahankan hutan kemenyan. Lebih baik kami mati daripada tanah leluhur kami diambil. Terutama pohon kemenyan ini” tegas Tohap.

Brimob yang Bringas dan Tidak Manusiawi

Tanggal 26 Februari 2013 pukul 2 dini hari adalah hari yang tidak bisa dilupakan oleh Rensus Lumban Gaol. Seorang laki-laki yang cacat ini harus merasakan bringasnya perlakukan aparat Brimob dalam menyisir Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam mencari para laki-laki yang dianggap provokator dan merusak aset perusahaan PT Toba Pulp Lestari.

Rangkaian penolakan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta terhadap penebangan hutan kemenyan mereka berbuntut penyisiran oleh aparat kepolisian untuk menangkap beberapa warga yang dianggap aktor dalam penolakan dan pengrusakan aset perusahaan. Lebih dari 300 anggota Brimob bersenjata laras panjang dan muka yang ditutupi dengan coretan-coretan loreng dan hitam memaksa masuk setiap rumah di Pandumaan-Sipituhuta. Beberapa pintu rumah hancur dan kamar-kamar berantakan karena dibongkar oleh polisi yang datang.

Rensus yang ketakutan mengajak 6 orang anaknya masuk ke dalam kamar. 30 anggota Brimob mengepung rumahnya saat itu. 10 orang masuk ke dalam ruang tamu dan mendobrak pintu kamar tempat dia bersama anak-anaknya berkumpul. Setelah pintu didobrak, para anggota Brimob ini menarik secara paksa Rensus sambil memukuli wajah, menendang dan menginjak-ijak kakinya yang cacat. Walaupun anak-anaknya berteriak dan menangis perlakuan kasar mereka tetap dilakukan. Ketika diseret ke jalan oleh beberapa aparat Brimob, Rensus mengatakan bahwa dia adalah lelaki cacat. Kaki kanannya tidak sempurna sejak lahir. Mendengar pengakuan Rensus barulah Brimob tersebut melepaskan Rensus.

Rensus yang sehari-hari memiliki warung kecil yang menjual beberapa aneka jajanan, kopi dan kue-kue mengatakan bahwa pada malam itu selain melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya, aparat Brimob tersebut juga menjarah dagangan miliknya. Beberapa bungkus rokok yang dia jual diambil oleh anggota Brimob. Beberapa masyarakat Pandumaan-Sipituhuta menyatakan rumah mereka dijarah. Ada beberapa warga yang kehilangan emas dan handphone.

Teti Helmi yang suaminya ditangkap aparat pada malam penyisiran tersebut mengatakan semua wanita dan anak-anak pada dini hari itu menangis menyaksikan brutalnya perlakuan aparat Brimob terhadap mereka. “Kami ditodongkan senjata laras panjang dan dipaksa masuk. Mereka memperlakukan kami seperti teroris ataupun penjahat” ungkap Teti. Pada saat suaminya ditangkap Teti memeluk suaminya dan menahan suaminya agar tidak dibawa oleh Brimob. Karena Teti tidak mau melepaskan pelukan terhadap suaminya, salah satu anggota Brimob memukul lengan kirinya dengan popor senjata. Sampai beberapa hari lengannya masih lembam kebiruan. Teti pada malam itu hanya menangis dan mengatakan bahwa suaminya tidak bersalah. Mereka hanya mempertahankan tanah adat yang sudah dijaga secara turun-temurun.

Baik Rensus maupun Teti sampai sekarang masih tidak bisa tidur dengan tenang. Ketika ada suara mobil pada malam hari mereka selalu terjaga khawatir Brimob akan kembali datang dan melakukan kekerasan. “Kami ingin kampung ini damai kembali, bisa mengerjakan kemenyan kami dengan tenang. Bapak-bapak bisa bekerja setiap hari. Tidak dalam ketakutan. Kami ingin damai menjalani kehidupan ini karena kami bukan pencuri, bukan pembunuh. Kami hanya membela kampung ini. Membela tanah kami. Berjuang untuk mendapatkan kembali hutan kemenyan kami” ungkap Teti yang tidak bisa menahan air matanya. Teti berharap kepada semua orang yang mencintai masyarakat Pandumaan-Sipituhuta supaya membela dan membantu mereka.

Aksi solidaritas untuk masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Kota Medan, Sumatera Utara