Wednesday, November 14, 2012

Perjalanan ke Mamuju, Sulawesi Barat


Awal bulan November saya kebetulan diminta melakukan pembuatan sebuah video dokumenter di Mamuju, Sulawesi Barat. Selama dua belas hari saya mengunjungi beberapa desa yang ada di Mamuju, Sulawesi Barat. Banyak orang yang bertanya “Mamaju itu dimana?” disaat saya bilang saya sedang berada di Mamuju. Saya sendiri pun musti mencari lokasinya di google map ketika saya diminta berangkat ke Mamuju. Karena ini juga perjalanan pertama saya ke Mamuju.

Pengalaman penerbangan pertama saya ke Mamuju juga membuat hati berdebar-debar karena pesawat yang saya tumpangi yaitu rute Makassar-Mamuju mengalami cuaca buruk. Pesawat ATR 72-500 dengan kapasitas penumpang 80 orang sudah mencoba melakukan 2 kali upaya pendaratan di Bandar Udara Tampa Padang, Mamuju tetapi upaya pendaratan selalu batal dan pesawat dipaksa naik lagi menuju angkasa dengan pemandangan yang gelap karena awan tebal. Lebih dari satu jam pesawat kami muter-muter diatas wilayah Mamuju dengan turbulence yang cukup keras mencoba menunggu cuaca membaik. Semua penumpang saat itu terdiam dan menunduk sambil berdoa. Tapi karena terbatasnya bahan bakar pesawat akhirnya pesawat kami kembali ke Makassar dan mendarat dengan selamat di Bandara Hasanuddin. Semua penumpang dinaikkan kedalam bus dan dibawa ke hotel untuk istirahat. Esok paginya kami kembali diterbangkan dengan pesawat yang sama.

Disaat mendarat di bandar udara yang ada di Provinsi Sulawesi Barat ini saya masih belum percaya klo ini adalah salah satu ibukota provinsi yang ada di Indonesia. Bangunan bandara tempat tunggu penumpang yang besarnya seperti rumah type 45 dan bagasi yang musti diambil sendiri di luar bandara. Di bandar udara ini juga belum ada radar dan belum ada petugas BMKG. Penerbangan ke provinsi ini pun hanya 1 kali satu hari dari Makassar dengan pesawat kecil.
Selama di Mamuju dan mengelilingi kota provinsi, saya melihat sepertinya inilah kota provinsi yang terkecil di Indonesia versi saya. Mamuju yang menjadi provinsi pada tahun 2004 masih dalam kondisi berantakan. Banyak galian-galian yang belum dirapihkan. Jalan-jalan kecil dan sempit, tata kota dan bangunan yang masih belum terlihat rapih. Banyak sekali pekerjaan rumah yang musti dilakukan Pemerintah Daerah Sulbar untuk membuat provinsi ini lebih enak dilihat dan bisa dinikmati oleh warganya ataupun pendatang.

Disaat siang hari saya mencoba berjalan kaki di sekitar hotel tempat saya menginap yaitu Hotel d’Maleo untuk mencari makan siang. Hotel d’Maleo adalah satu-satunya hotel yang bagus dan nyaman di Mamuju. Saya sudah mengecek beberapa hotel yang lain. Tarifnya tidak jauh berbeda tapi kualitas bangunan, luas kamar dan pelayanan memang lebih baik Hotel d’Maleo. Terik matahari yang panas dan membuat silau mata, tanpa pohon perindang, benar-benar membuat kota ini tidak bersahabat untuk para pejalan kaki. Disaat siang hari pun banyak tempat-tempat makan masih tutup. Mereka akan buka pada sore menjelang magrib sampai dengan malam hari. Satu-satunya tempat jajanan makan malam ada di pinggir pantai di sebelah pelabuhan dan TPI, tidak begitu jauh dari Hotel d’Maleo. Para pedagang mendirikan tenda-tenda beratapkan terpal secara acak di sebuah dataran yang datar di pinggi pantai dengan suara musik yang keras. Setiap tenda memutar musik dengan keras yang membuat saya bingung, kita mau dengar musik yang mana karena terlalu banyak musik dengan volume disetting sekeras-kerasnya. Membuat saya tidak nyaman menikmati makan malam. Lokasi ini juga jadinya terkesan kumuh. Padahal jika pemerintahnya mau menata dengan baik para pedagang dan lokasi tempat pengujung duduk dan makan mungkin tempat ini bisa menjadi tempat favorit para pendatang untuk menikmati ikan bakar, sate, sop konro ataupun makanan lainnya.

Di Kota Mamuju saya juga belum menemui tempat yang bisa menjadi tujuan wisata oleh para pendatang. Tidak ada pusat pembelajaan yang terpusat, tidak ada tempat hiburan, museum, ataupun taman kota. Jalanan yang sempit, bangunan yang tidak teratur antara pusat perkantoran, rumah penduduk dan ruko membuat Kota Mamuju tidak sedap untuk dipandang. Disaat tiba di Mamuju pun saya tidak tertarik untuk jalan-jalan keliling kota. Keluar hotel hanya untuk kebutuhan makan siang ataupun makan malam. Saya mencoba mencari tahu sebenarnya Provinsi ini, kota ini arah pembangunannya seperti apa. Tapi informasi ini belum saya dapatkan. Padahal di beberapa titik, Mamuju memiliki laut yang masih jerih, tenang dan masih jauh dari pusat keramaian. Saya mengunjungi beberapa nelayan yang memiliki keramba dan jaring tancap di Desa Tadui dan Ampalas. Tidak jauh dari kota juga terdapat ekosistem mangrove yang punya potensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata edukasi. Mungkin karena baru menjadi Kota Provinsi jadi masih sibuk bangun SDM dan bangun kantor baru. Semoga saja pemerintahnya punya komitmen yang tinggi untuk pembangunan daerah dan mensejahterakan rakyatnya. Punya perencanaan yang matang dan berkelanjutan dalam membangun daerah. Bukan menjadi sarana untuk perebutan kekuasaan dan jabatan.

Tuesday, November 13, 2012

Ubikayu: Pangan alternatif yang selalu di anggap murahan


Mungkin tidak sedikit orang yang menganggap ubikayu adalah makanan yang murahan, kuno dan dikonotasikan makanan untuk orang kampung dan orang miskin. Pola pikir seperti inilah yang sedang dilawan oleh Kelompok Tani Wonosari di Desa Bunde, Kecamatan Sampaga, Kabupaten Mamuju.

Pardio (57 tahun) adalah ketua Kelompok Tani Wonosari dan memiliki 28 orang anggota. Pardio yang biasa dipanggil Pakde ini bersama dengan istrinya Suwarti (53 tahun) sudah membuktikan bahwa ubikayu bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Bahkan banyak tamu yang tidak tahu bahwa berbagai menu makanan dan kue-kue yang disajikan di rumahnya ataupun di berbagai acara resmi pemerintahan seratus persen bahan bakunya dari ubikayu. Kue-kue yang disajikan banyak macam, rasa yang enak dan rasa ubikayunya seperti sudah tidak ada.

Sebelumnya Pardio dan warga Desa Bunde hanya tahu klo ubikayu hanya bisa dimasak dengan cara di goreng ataupun direbus. Kadang, mereka pun malu menyajikan ubikayu yang direbus dan digoreng tersebut sebagai sajian untuk tamu.

Melihat berlimpahnya tanaman ubikayu di Desa Bunde dan di desa sekitarnya, salah satu perusahaan minyak dan gas lepas pantai yaitu Statoil Indonesia Karama yang sedang melakukan survey dan eksplorasi seismik melakukan program community development (CSR) dengan memberikan berbagai pelatihan, pendampingan dan peralatan untuk mengolah ubikayu. Harapannya kedepan masyarakat bisa mengolah sumberdaya lokal menjadi efektif, berguna dan bisa menambah pendapatan rumah tangga.
Suwarti (53) istri Pardio yang sedang menyajikan berbagai jenis makanan dari ubikayu dan tepung dari ubikayu
Sejak pelatihan yang dilakukan pada bulan Agustus 2012, Pardio dan anggota kelompok taninya sudah bisa membuat berbagai macam jenis makanan dari ubikayu. Mulai dari kue tradisional seperti; jepa, tiwul, nasi ubi. Kue basah; brownies, bolu, donat, bakpau serta berbagai jenis kue kering atau jajanan yang dibuat dari tepung ubikayu. Hasil olahan Kelompok Tani Wonosari sekarang sudah sering mendapat pesanan berbagai acara resmi pemerintah daerah.


Pardio yang juga mantan Kepala Desa Bunde selama 22 tahun ini menyampaikan bahwa keinginannya saat ini adalah mengajarkan kepada warga sekitar rumahnya untuk bisa mengolah ubikayu menjadi tepung, sehingga bisa mengolah tepung tersebut menjadi berbagai macam jenis makanan. Akhirnya warga sudah tidak perlu lagi ketergantungan tepung terigu impor. “Selama inikan kita tidak pernah diajarkan dan didorong mandiri mengolah sumberdaya lokal yang ada di desa. Selalu dipengaruhi oleh produk luar dan cenderung tidak bergizi. Sekarang warga disini sudah tahu bagaimana mengolah ubikayu menjadi berbagai jenis kue-kue. Bahkan bisa menjadi pengganti beras. Ubikayu sudah tidak dianggap kuno lagi” ujarnya.

Makanan-makanan olahan dari ubikayu Kelompok Tani Wonosari juga sudah ikut dalam berbagai pameran. Terakhir ini makanan olahan dari ubikayu mereka ikut dalam pameran Hari Ulang Tahun Sulawesi Barat yang dilaksanakan di halaman kantor Gubernur Sulawesi Barat dan pameran Hari Pangan Sedunia yang dilangsungkan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. “Harapan saya, upaya yang kami lakukan bisa diikuti oleh kemauan politik Pemerintah Daerah untuk mendukung pengembangan pangan alternatif selain beras dan pemanfaatan sumberdaya lokal. Saya ingin anak-anak kita terbiasa mengkonsumsi ubikayu. Tidak lagi gengsi mengkonsumsi ubikayu dan jajanan yang tidak sehat dan tidak bergizi bisa dikurangi” ucap Pardio.

Pangan Alternatif dan Kedaulatan Pangan

Apa yang sudah dilakukan Pardio bersama kelompok taninya merupakan upaya sederhana dari masyarakat yang berada di desa untuk mengembangkan pangan alternatif dan mengembangkan sumberdaya lokal. Kedaulatan pangan bisa dimulai dari cara sederhana dan dimulai dari level desa.

Kendala-kendala dalam mengembangkan tanaman padi di suatu daerah untuk sumber pangan karena pengaruh perubahan iklim, topografi, sumber air dan mahalnya biaya perawatan tanaman padi bisa diganti dengan sumber pangan alternatif seperti ubikayu. Tanaman ubikayu cenderung lebih mudah tumbuh dan tidak rentan terhadap hama seperti yang sering terjadi pada tanaman padi. Ubikayu yang digolongkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat dalam setiap per 100 gram mengandung energi 154 kalori, karbohidrat 36,80 gram, protein 1 gram dan lemak 0,30 gram. Ubikayu juga mempunyai keunggulan berdasarkan aspek ketersediaan dan nutrisi. Keunggulan ini sangat memungkinkan untuk menjadi faktor pendorong program diversifikasi pangan dengan ubikayu sebagai kalori alternatif utama.

Indonesia memiliki berbagai macam jenis pangan alternatif selain beras yang bisa dikembangkan. Ubikayu, ubijalar, jagung, sagu, kedelai, sorgum, pisang dan talas. Sayang semua sumber pangan lokal ini belum ada yang dikembangkan secara maksimal. Pemerintah masih belum berani menutup kran impor dan memberdayakan masyarakat lokal untuk sebuah kedaulatan pangan dan pengembangan pangan alternatif.

Kue Bolu yang bahan bakunya dari ubikayu
Kue kering dari ubikayu
Kue lapis dari ubikayu
Rengginang dari ubikayu
Tepung buatan Kelompok Tani Wonosari, bahan baku untuk membuat berbagai macam makanan

Monday, February 13, 2012

Membangun kepercayaan dengan obat-obatan tradisional

Ida Ayu Rusmarini

Tidak ada yang meragukan Indonesia adalah sebuah negara kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Salah satu manfaat keanekaragaman hayati ini adalah menyediakan berbagai macam jenis tanaman yang bisa dijadikan tanaman obat. Namun karena keterbatasan pemahaman dan keinginan masyarakat sekitar untuk mengenalnya, potensi keanekaragaman hayati ini terabaikan serta tidak dimanfaatkan secara optimal.

Banyaknya tanaman-tanaman liar dan tanaman yang ada disekitar yang bisa dijadikan tanaman obat dan merasa prihatin dengan kemiskinan yang melanda warga di sekitar kampungnya, serta banyak anak-anak yang putus sekolah membuat Ida Ayu Rusmarini (52 tahun) kembali ke kampung halaman dan berbuat sesuatu untuk mereka. Berbekal dengan pengetahuan tentang pertanian dan tanaman-tanaman obat Ida Ayu Rusmarini mengajak mereka yang tinggal di Banjar Tunom, Desa Singakerta, Kecamatan Ubut, Kabupaten Gianyar-Bali mengenali tanaman sekitar dan mengenali khasiatnya.

Lulusan Magister Pertanian Universitas Udayana yang sering dipanggil Ibu Dayu ini sudah lebih dari lima belas tahun mendampingi dan mengajari warga sekitar untuk mengenal tanaman-tanaman langka dan tanaman obat. Ibu Dayu juga mengajarkan cara pijat kesehatan dan massage kepada para ibu-ibu yang kurang mampu dan bebeberapa perempuan yang ditinggal suami. Saat ini hampir semua dampingan Ibu Dayu sudah punya usaha sendiri yaitu spa dan massage, salon, penjualan bibit-bibit tanaman obat dan tanaman langka serta usaha memasak makanan khas bali. "Saya ingin ibu-ibu disini bangkit dari keterpurukannya. Menunjukkan kemampuan mereka untuk menjalani kehidupan dan tidak bergantung kepada orang lain. Sekarang mereka semua sudah mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah" ungkap Ibu Dayu ketika saya berkunjung ke rumahnya.

Sekarang masyarakat sudah mulai  mengenal jenis tanaman yang bermanfaat untuk obat. Mereka sudah menanam  tanaman obat, tanaman langka, tanaman upakara dan tanaman lainnya di pekarangan rumah dan di sekolah-sekolah.

Tidak sekedar mengarahkan dan memberi teori, Ibu Dayu membuktikan apa yang sudah diucapkannya. Lahan disekitar rumahnya yang memiliki luas sekitar 1,5 ha sudah ia tanami 384 jenis tanaman langka, tanaman obat dan tanaman upakara. Berbagai jenis tanaman obat seperti kluwek, majegau, buah base-base, daun prasman, bakung putih, kumis kucing dan lain-lain tumbuh liar disamping rumahnya. Ia mengungkap bahwa tanaman-tanaman obat ini tidak perlu diberikan perlakukan khusus. Tanaman obat ini harus tumbuh liar setelah ditanam agar khasiatnya maksimal. Jika dirawat dan diberikan pupuk khasiat tanaman  tersebut akan berkurang.

Ibu Dayu sudah membentuk kelompok yang bernama Putri Toga Lurus Limbung Puri Damai yang anggotanya terdiri dari 45 KK. Selain menanam berbagai tanaman obat, Ibu Dayu juga mengajarkan kelompoknya membuat minyak penyubur rambut, membuat lulur, cara massage, memasak, mengajar tari untuk anak-anak dan lain-lain. Hasilnya, sudah banyak ibu-ibu dampingannya yang membuka usaha sendiri. Halaman rumah penduduk sekitar sudah penuh dengan tanaman-tanaman obat-obatan. Anak-anak disekitarnya pun sudah bisa menari tarian bali. Tanaman obat yang ditanam warga akan ia beli jika dia membutuhkan tanaman-tanaman obat tersebut untuk pengobatan di kiniknya. Ada beberapa warga yang sudah rutin menjual dedaunan yang sudah dipotong-potong ke klinik. Saat ini hampir seluruh Bali sudah ia kunjungi untuk memberikan penyuluhan dan penjelasan mengenai tanaman-tanaman obat tradisional Bali. Bukan hanya menyadarkan warga sekitar Bali, Ibu Dayu juga sudah mengajak sekitar 30 rumah makan dan hotel terkenal di Ubut dan Denpasar untuk menerapkan bio watertreatment dalam mengelola limbah cairnya. Membuat bak-bak penampungan sementara dan ditanami tenaman-tanaman penyerap B3 sebelum disalurkan ke sungai ataupun ke sawah-sawah penduduk.

Nyoman Wendri warga Banjar Tunom mengungkapkan bahwa Ibu Dayu adalah orang yang sangat perhatian kepada ibu-ibu sekitar dan kepada anak-anak. Memberikan pendampingan dan pembelajaran kepada warga sekitar secara sukarela. Ibu Dayu juga melatih anak-anak agar pandai menari tarian-tarian Bali. "Dia ingin mengangkat martabat dan derajat perempuan. Tidak pernah pilih-pilih dalam bergaul dan mengajari orang. Kami semua datang dan belajar karena dia berikan ilmunya secara gratis" katanya.

Mendampingi dan mengajari ibu-ibu agar bisa massage dan pijat kesehatan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan dan diterima oleh para suami. Dimata para suami pekerjaan sebagai ahli massage dan pijat adalah pekerjaan yang cenderung dipandang negatif. Cukup lama Ibu Dayu mencoba menjelaskan kepada para suami dari ibu-ibu yang diampinginya bahwa pekerjaan ini adalah murni perkerjaan yang membutuhkan kemampuan dan pekerjaan profesional. "Rumah saya pernah didatangi oleh salah seorang suami dari ibu-ibu yang saya dampingi. Dia marah-marah karena istrinya dikira akan dijadikan PSK karena diajarin pijat. Saya coba jelaskan dan beri pengertian bahwa kemampuan yang dimiliki sang istri nantinya bisa membantu ekonomi keluarga dan bisa membantu menyekolahkan anak-anak mereka. Itu terbukti sekarang. Sekarang sang suami sangat baik kepada kami. Dia bahkan ikut bantu kerjaan-kerjaan suami saya. Anak-anaknya membantu saya di rumah sepulang sekolah. Saya tidak mau mereka bekerja disini tapi tidak sekolah" ungkapnya. Dia juga menambahkan bahwa ada salah satu suami dari perempuan yang dia dampingi kembali lagi setelah sang perempuan tersebut sukses membuka usaha spa dan massage. Sebelumnya sang suami pergi ke Kalimantan dan meninggalkan sang istri.

Ibu Dayu mengungkapkan bahwa dengan peduli dan memperhatikan lingkungan manusia bisa hidup sehat. Jika manusia itu sehat dia akan menjadi cerdas. Penyakit datang dikarenakan lingkungan yang tidak bagus. Lingkungan terkecil sekalipun yaitu lingkungan di rumah tangga harus bagus. Di Bali, budaya menanam memang harus diterapkan. Apalagi di Bali banyak sekali upakara-upakara yang membutuhkan berbagai jenis tanaman. Tanaman yang dijadikan bahan-bahan upakara adalah tanaman-tanaman yang bisa dijadikan tanaman obat-obatan.

Walaupun lahir dari keluarga dokter dan banyak saudara-saudaranya yang menjadi dokter, Ibu Dayu tetap memperkenalkan khasiat obat-obatan tradisional yang berasal dari tanaman-tanaman sekitar dan tanaman langka. Ketika memulai obat-obatan tradisional masih banyak pasiennya yang meraba-raba dan coba-coba khasiat obat-obatan tradisional. Setelah mencoba banyak yang merasakan khasiat dari obat-obatan tradisional tersebut. Dia mengatakan bahwa reaksi obat-obatan tradisional memang lambat karena butuh waktu untuk diserap oleh tubuh. Berbeda dengan obat-obatan kimia yang reaksinya cepat. Tetapi saat ini banyak orang yang resisten dengan obat kimia dan banyak penemuan-penemuan penyakit yang tidak bisa terobati oleh medis. Oleh karena itu mereka cenderung kembali ke alam.

Sekarang sudah banyak yang datang ke klinik Ibu Dayu untuk berobat dengan obat-obatan tradisional atau obat herbal. 40% pasien yang datang ke Ibu Dayu adalah orang-orang asing atau mancanegara. Rata-rata pasien yang datang adalah pasien yang menderita penyakit degeneratif atau penyakit yang mengiringi proses penuaan, seperti penyakit kanker, jantung, diabetes, stroke dan osteoporosis. 78% pasien yang datang adalah penderita kanker. Ibu Dayu tidak pernah mematok harga bagi warga sekitar ketika datang berobat. “Saya adalah seorang dokter alam yang dibayar dengan pisang, ubi dan sayur-sayuran. Karena mereka yang datang berobat adalah orang yang tidak mampu membayar dengan uang. Itu tidak masalah bagi saya. Saya senang bisa membantu mereka. Tapi klo orang-orang luar negeri memang ada harga khusus” ungkapnya.

Ida Ayu Rusmarini yang disaat masih muda sebagai seorang penari Bali ini sudah banyak memprakarsai kegiatan-kegiatan yang membantu kelestarian lingkungan, khususnya tanaman obat dan pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan dan anak-anak. Perempuan yang selalu semangat dan selalu tampil ramah ini telah melestarikan kembali terapi dan pengobatan tradisional Bali. Saat ini Ida Ayu Rusmarini menjadi salah satu nominator Kehati Award 2011. (EN)

Ibu Dayu sedang memberikan pelatihan pijat kesehatan kepada anggota kelompoknya
Ibu Dayu sedang mengajarkan tarian bali kepada anak-anak di sekitar rumahnya
bu Dayu menjelaskan beberapa tanaman yang ditanam untuk menyarap limbah B3 di bak-bak penampungan limbah di salah satu restoran di Ubut
Salah satu perempuan dampinngan Ibu Dayu telah sukses mendirikan usaha pembibitan


Wednesday, February 8, 2012

Di Pulau Adonara Menyelamatkan Sumber Pangan Lokal


Banyak yang mengenal Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebuah propinsi yang terkenal dengan tingginya angka kelaparan dan gizi buruk. Berita-berita tentang kasus ini sering kita dengar di berbagai media nasional. NTT juga dikenal sebuah kawasan yang kering dan memiliki curah hujan yang rendah.

Cerita berbeda akan kita dapatkan di sebuah pulau kecil di Flores Timur. Disaat pangan lokal mulai hilang. Di Pulau Adonara, seorang perempuan dayak kenayan bernama Maria Lorreta (43 tahun) yang tinggal di Dusun Waiotan, Desa Pajiniang mencoba menyelamatkan sumber-sumber pangan lokal. Berbagai jenis bibit sorgum lokal, padi hitam, jewawut, jelai, padi merah, jagung merah, jagung ungu, jagung pulut, wijen hitam, wijen coklat,dll ditanam di kebunnya. Semua tanaman lokal ini memiliki kandungan nutrisi dan bernilai ekonomi cukup tinggi, dimana produksinya semakin berkurang di indonesia, termasuk di NTT yang merupakan salah satu daerah penghasil utama pangan tersebut.

Dengan luas areal sekitar 30 hektar peninggalan keluarga suami yang tanamannya didominasi oleh tanaman kelapa dan kacang mete, Maria Lorreta bersama suami Jeremias D Letor (42 tahun) mencoba menyelamatkan sumber-sumber pangan lokal. Mulai tinggal di Flores Timur pada tahun 1999 dan memutuskan fokus bertani pada tahun 2005. Mereka menebang tanaman kelapa dan mete untuk digantikan dengan tanaman-tanaman sumber pangan lokal. Pada saat itu para keluarga suami dan warga sekitar tidak percaya mereka menebang kelapa dan kacang mete yang merupakan tanaman primadona bagi masyarakat Flores Timur.

Memulai dengan tanaman padi merah dan pepaya, sekarang kurang lebih seluas 3 hektar kebunnya sudah ditanami tanaman pangan lokal. Tanaman-tanaman ini ditanam bukan untuk dikomersialkan atau dijual disaat sudah panen, tetapi hanya untuk pembibitan dan sisanya dikonsumsi sendiri. Langkanya untuk memperoleh berbagai jenis bibit tanaman ini membuat Maria Lorreta ingin menyelamatkan berbagai jenis tanaman pangan khas Flores. “Saya jatuh cinta dengan sorgum atau watablolong gara-gara saya pernah disuguhi sepiring sorgum kukus ditaburi kelapa parut. Saya mencobanya dan ternyata enak sekali”. Saat itulah saya menanyakan bagaimana caranya bisa mendapatkan bibit sorgum. Ternyata bibit sorgum di Flores sudah langka dan sulit untuk didapatkan.

Maria Lorreta yang tinggal dirumah yang sangat sederhana ini mengajak masyarakat sekitar untuk ikut menanam sorgum. Lulusan fakultas hukum ini memberikan bibit gratis hasil kebunnya kepada petani agar ikut menanam tanaman-tanaman lokal. “Latar belakang saya membangun kebun bibit ini karena saya melihat akses petani untuk mendapatkan bibit susah, akses petani untuk ke pasar susah, dan keprihatinan saya terhadap benih-benih lokal yang semakin hilang. Daratan Flores 70% adalah lahan kering, tidak bisa mengandalkan beras daerah Flores” ungkap Maria Lorreta.

Tidak hanya mengembangkan tanaman pangan lokal sendiri di kebunnya. Maria Lorreta membentuk kelompok tani yang bernama Cinta Alam Pertanian juga mengajak petani-petani yang tersebar di Flores untuk kembali menanam tanaman pangan lokal. Kini Maria Lorreta sudah mendampingi 7 kelompok petani yang terdapat di Bab. Flores Timur, Ende, Manggarai Barat dan Nagekeo. Total luas lahan petani yang didampingi Maria Lorreta sudah mencapai kuarang lebih 11 ha. Penyadaran secara umum mengenai pelestarian pangan lokal alternatif terus dilakukan oleh Maria Lorreta.

Gabriel Demon (57 tahun) Ketua Gabungan Kelompok Tani Madabaipito yang tinggal di Desa Watowiti Kecamatan Ile Mandiri menyatakan bahwa petani di Flores Timur dulunya tanaman pangan lokal tetap berkesenambungan sejak dari zaman nenek moyang. Saat itu mereka tidak pernah merasakan kelaparan atau kekurangan sumber makanan seperti yang sering diberitakan. Tapi mulai tahun 70 an disaat masuknya tanaman-tanaman padi dan jagung yang penuh rekayasa genetika yang mempersingkat umur tanam disaat panen mudah diserang hama bubuk. “Klo dulu tanaman pangan lokal tidak. Didalam satu kebun kami tanam 5 macam jenis tanaman pangan lokal. Yang pertama padi jagung, kedua sorgum, ketiga jewawut yang kami tanam di sekeliling kebun. Dan terakhir kami tanam dela atau delay. Kami panen dan makannya bertahap. Pertama kami makan jewawut, yang kedua jagung, yang ketiga padi, yang keempat sorgum dan yang kelima dela. Ada lima sumber pangan didalam satu lahan tersebut. Jadi kami tidak pernah kelaparan” katanya.

Maria Lorreta yang saat ini masuk salah satu nominasi pemenang Kehati Award 2011 sangat berharap jika gizi dan nutrisi bayi dan anak-anak NTT bisa dipenuhi dengan pangan olahan lokal. Masyarakat NTT juga bisa memanfaatkan hasil olahan dari pangan lokal sebagai pangan alternatif untuk kue-kue anak sekolah dan juga cemilan yang dijual. Tidak lagi mengkonsumsi jajanan yang tidak bergizi dan terkadang mengandung bahan-bahan kimia yang membahayakan kesehatan sang anak.

Maria Lorreta telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati, khususnya spesies tanaman serelia, padi hitam dan padi merah yang jumlahnya semakin menurun di Indonesia, termasuk di NTT. Maria Lorreta juga sudah melakukan sebuah terobosan penting dalam menjaga ketahanan pangan di pulau-pulau kecil di NTT. (EN)
Tanaman sorgum lokal
Tanaman wijen lokal, jagung pulut dan padi hitam

Tanaman jagung lokal

Bibit sorgum, jagung lokal, jagung pulut, dan delay

Sajian nasi campur sorgum, ikan bakar, cumi goreng, sayur singkong dan sayur rumput laut

Pemandangan di depan rumah Maria Lorreta. Air tawar yang keluar deras dari bebatuan ketika air laut sedang surut