Wednesday, December 14, 2011

Menyelamatkan Hutan Terakhir di Riau

Tak ada yang menyangkal bahwa Provinsi Riau adalah salah satu provinsi terkaya di negara ini. Didalam tanah dan diatas tanahnya terhampar kekayaan alam yang tak terhitung nilainya. Minyak bumi, batubara, timah dan berbagai bahan tambang lainnya terpendam didalam tanah Riau. Sementara diatasnya membentang hutan rawa gambut dengan segala potensi kayu yang sangat banyak dan berbagai biodiversity lainnya.

Semua mata pelaku industri melirik Riau. Tak sedikit pelaku industri kelas dunia hijrah ke Riau untuk mengeruk semua kekayaan yang ada di provinsi kaya ini. Pipa-pipa besar mengurai disepanjang jalan utama Kota Siak, Bengkalis, Dumai, dan Rokan Hilir. Di Kota Palalawan dan Indragiri Hilir setiap saat truk-truk raksasa mengangkut kayu alam. Mulai dari yang kecil sampai yang berdiameter diatas 60 sentimeter berlalu lalang disepanjang jalan selama 24 jam. Hampir diseluruh kabupaten yang ada di Riau juga membentang luas perkebunan kelapa sawit.

Kawasan hutan yang luas di Riau bagaikan ATM bagi banyak kalangan. Pejabat, aparat, pebisnis dan pembalak seakan berlomba-lomba ingin memasukkan kartu ATM-nya dan mengambil seluruh uang yang ada didalam mesin ATM tersebut. Buruknya sistem pengelolaan kawasan hutan di Riau. Korupsi dan serakahnya para pengusaha membuat kawasan hutan di Riau hilang tak berbekas.

Tingkat deforestasi atau kerusakan hutan di Riau adalah yang tertinggi di Indonesia. Sekitar 160 ribu ha per tahun hutan di Riau hilang. Kini hutan alam yang tersisa di Riau tinggal 1,2 juta hektar. Pada tahun 1982 kawasan hutan alam di Riau seluas 6,4 juta hektar.

Keberadaan dua perusahaan raksasa kertas Asia Tenggara adalah penyebab tingginya laju deforestasi dan kerusakan hutan alam di Riau. Dua pertiga hutan di Riau dikuasai oleh Asia Pulp & Paper (APP) dari Sinar Mas Group yang bermarkas di Shanghai, China, dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) dari Royal Golden Eagle Group, yang bermarkas di Singapura.

Walaupun banyak kalangan yang mempertanyakan izin-izin konsesi yang dikeluarkan kepada APP dan APRIL karena sebagian besar konsesi mereka dikawasan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, kedua perusahaan ini masih dengan sangat leluasa menumbangkan pohon-pohon yang selama ini menyelamatkan kawasan gambut dari kebakaran. Berdasarkan Kepres No 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Peraturan Pemerintah No 47 tahun 1997, bahwa area gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter harus diperuntukkan bagi daerah lindung.

Kawasan Gambut Terluas di Sumatera

Semenajung Kampar adalah salah satu dari 4 blok hutan rawa gambut yang ada di Riau yang masih tersisa. Luas kawasan gambut Semenanjung Kampar diperkirakan sekitar 700.000 hektar. Semenanjung Kampar merupakan hamparan hutan rawa gambut yang terluas di Sumatera yang memiliki kedalaman mencapai 15 meter. Di lahan gambut ini mengandung lebih dari 2 milyar ton karbon. Berbagai kekayaan flora dan fauna serta tipologi lahan yang unik menjadikan Semenanjung Kampar menjadi penting untuk iklim dunia.

Namun saat ini, kawasan Semenanjung Kampar dalam kondisi kritis. Konversi besar-besaran dan alih fungsi lahan membuat kawasan gambut ini berubah wajah. Kering dan rentan kebakaran. Kanal-kanal raksasa merobek kawasan gambut yang selama ini indah membentang.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, SK 327/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) memperoleh hak konsesi HTI seluas 350.165 hektar di Kabupaten Siak, Pelalawan, Kampar, Kuantan Sengingi dan Bengkalis. Pada November 2009, akibat banyaknya aksi protes para pemerhati lingkungan mengenai pembukaan hutan di Semenanjung Kampar, Menteri Kehutanan sempat mencabut sementara izin pengelolaan hutan gambut RAPP di Semenanjung Kampar. Namun pada bulan April 2010 RAPP diizinkan beroperasi kembali di Semenanjung Kampar. Pada tahun 2006 tercatat bahwa APP dan APRIL beserta mitranya telah mengusai tanah di Riau seluas 1,8 juta hektar atau 21% dari total luas daratan Provinsi Riau (8,6 juta hektar).

Kedua industri pulp and paper ini sampai dengan sekarang masih berlomba-lomba meningkatkan kapasitas industri mereka. Kapasitas Group Sinar Mas (PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk dan PT Lontar papyrus) berdasarkan data Kementerian Perindustrian adalah sebesar 2,68 juta ton per tahun atau 42% dari total kapasitas nasional. PT RAPP memiliki kapasitas produksi 2,21 juta ton per tahun atau 35% dari total kapasitas nasional. Terdapat 80 produsen pulp dan kertas di Indonesia dengan kapasitas produksi 6,29 juta ton per tahun. Kebutuhan kertas dunia pada tahun 2011 ditaksir mencapai 350 juta ton dan pulp 200 juta ton.

Berharap dari Hutan Desa

Minimnya akses masyarakat disekitar kawasan hutan terhadap hutan mereka dan tidak berpihaknya pemerintah kepada masyarakat sudah terbukti akan memunculkan sebuah konflik kehutanan. Kemiskinan, intimidasi dan korban jiwa akibat konflik kehutanan sudah sangat sering terjadi diberbagai wilayah di Indonesia. Masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berada disekitar kawasan hutan merasa punya hak terhadap kawasan hutan mereka. Konsesi yang sudah diberikan pemerintah kepada perusahaan menjadi alat pembenaran untuk mengusir dan menggusur tanah rakyat.

Melihat kondisi hutan Semenanjung Kampar yang secara perlahan-lahan dihancurkan oleh perusahaan untuk dijadikan HTI, masyarakat Desa Segamai, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Palalawan berusaha menyelamatkan hutan yang tersisa. Sebuah kawasan hutan ex HPH yang dulunya milik PT Agam Sempurna seluas 2.000 hektar mereka usulkan untuk menjadi Hutan Desa.

Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Saat ini masyarakat Desa Segamai masih menunggu SK Penetapan Areal hutan Desa dari Menteri Kehutanan. Masyarakat desa diberi hak kelola selama 35 tahun dan hak kelola tersebut dapat diperpanjang.

Walaupun akses menuju hutan desa ini jauh dari kampung, masyarakat Desa Segamai tetap berusaha menyelamatkan hutan terakhir yang ada di wilayah desa mereka. Dibutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan menggunakan pompong (perahu dengan mesin tempel) untuk mencapai lokasi calon hutan desa tersebut. Posisi calon hutan desa ini berada ditengah-tengah konsesi HTI Group Sinar Mas dan RAPP.

Eddy Silatonga, salah satu tokoh pemuda Desa Segamai menyatakan bahwa masyarakat Desa Segamai selama ini tidak pernah tahu mengenai hutan semenanjung kampar. Ketika beberapa lembaga swadaya masyarakat masuk ke Desa Segamai, barulah mereka mengetahui apa itu hutan semenajung kampar dan mengapa semenanjng kampar penting untuk diselamatkan. Dia juga menyatakan selama ini masyarakat Desa Segamai tidak pernah masuk kedalam kawasan hutan calon hutan desa tersebut. Baik itu untuk mengambil kayunya ataupun mengolah hasil non kayu. Selama ini masyarakatnya hanya bertani disekitar kampung. Berbagai macam tanaman seperti kelapa, nanas, karet dan kelapa sawit adalah sumber ekonomi mereka. Kebutuhan kayu untuk rumah mereka masih menambil di kawasan hutan di sekitar kampung. Jarak yang jauh dan harus melewati konsesi perusahaan juga merupakan salah satu alasan kenapa mereka tidak pernah ke lokasi hutan calon hutan desa tersebut. “Kami mengajukan skema hutan desa itu semata-mata hanya ingin menyelamatkan hutan terakhir yang ada di semenanjung kampar. Daripada nanti diambil perusahaan lagi dan ditanami akasia, lebih baik kami jadikan saja hutan desa. Siapa tahu nanti generasi kami berikutnya membutuhkan kayu. Dan juga mereka masih bisa mengenal jenis-jenis kayu yang ada di desa ini” ungkapnya.

Masyarakat Desa Segamai yang berjumlah 268 KK ini mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Kelapa merupakan tanaman andalan masyarakat Desa Segamai. Hampir diseluruh kampung mereka ditumbuhi oleh tanaman kelapa. “Kelapa disini kami jual 700 rupiah per buah. Sekali panen dalam satu pohon bisa mencapai 20 buah. Kami panen kelapa setiap tiga bulan sekali. Rata-rata setiap KK memiliki 200-300 pohon kelapa. Klo sudah masuk musim tanam jagung, kami akan menanam jagung. Desa Segamai juga salah satu desa penghasil jagung terbesar di Riau” ucap Eddy bangga.

Walaupun keberpihakan kepada masyarakat masih kecil terhadap sebuah kawasan hutan dan juga skema ini masih jauh dari ideal, skema hutan desa saat ini adalah salah satu cara masyarakat untuk merebut hak kelola sebuah kawasan hutan secara legal. Masyarakat harus berlomba-lomba dengan perusahaan-perusahaan rakus untuk mendapatkan hak kelola. Masyarakat juga harus bisa menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola kawasan hutan mereka secara baik.

Skema hutan desa satu-satunya harapan bagi masyarakat yang tinggal disepanjang semenanjung kampar. Zainuri Hasyim dari Yayasan Mitra Insani yang selama ini mendampingi beberapa desa yang ada di semenanjung kampar menyatakan bahwa dengan diberikannya hak kelola kepada masyarakat desa di semenanjung kampar berarti pemerintah bisa menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat. “kami seperti berlomba-lomba dengan perusahaan untuk mendapatkan hak kelola kawasan hutan yang ada di semenanjung kampar ini” ungkap Zain. Walaupun salah satu mantan Bupati Palalawan pernah menolak surat permohonan rekomendasi hutan desa di Teluk Binjai dengan alasan masyarakat belum bisa mengelola hutan dan kawasan yang diusulkan masyarakat Desa Teluk Binjai telah diusulkan oleh RAPP, Zainuri bersama-sama masyarakat desa yang ada di semenanjung kampar akan tetap berjuang untuk menyelamatkan hutan terakhir.

Masyarakat Desa Segamai diatas pompong menyebrangi sungai kampar menuju lokasi hutan desa















(Diolah dari berbagai sumber setelah berkunjung ke Desa Segamai)