Wednesday, November 30, 2011

Jangan Hancurkan Hutan Papua

“Kami yang di kampung ini sangat butuh hutan. Hutan adalah sumber penghidupan kami. Perusahaan ataupun pemerintah tidak boleh tebang pohon-pohon yang ada dikampung ini”. Itulah salah satu kalimat yang disampaikan Alfred Kladit, salah satu tokoh masyarakat Kampung Sira, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan.

Kampung Sira adalah salah satu kampung yang terdapat di Distrik Saifi. Seluruh masyarakat yang ada di Kampung Sira adalah warga suku knasaimos. Sebelumnya kampung ini masih tergabung didalam Distrik Seremuk. Jumlah penduduk dikampung ini hanya 178 jiwa dengan total kepala keluarga sebanyak 38 KK.

Diwilayah ini masih menghampar luas hutan tropis dengan tajuk yang rapat. Pohon merbau (Instia bijuga), matoa, eboni, lenggua dan damar merah sangat mudah untuk ditemui. Semua jenis-jenis kayu keras ini memang sangat menggiurkan jika dilihat oleh para mafia hutan ataupun pengusaha kayu.
“Pohon merbau ini usianya mungkin sudah ratusan tahun. Diameter pohon mungkin sudah mencapai 1 meter. Tinggi bebas cabang sekitar 25 meter. Tingginya keselurahan mungkin sekitar 50 meter. Ada banyak disini kayu yang besar-besar seperti ini”. Ucap Alfred sambil menunjuk salah satu pohon yang ada dibelakangnya. Saat itu saya seharian masuk didalam hutan adat mereka untuk melihat dan mendokumentasikan kondisi hutan adatnya.

Di Kampung Sira dan Kampung Manggroholo merupakan sebuah kampung yang masih mempertahankan hutan-hutan adat mereka. Hutan adat ini berada dibawah marga atau sering disebut hutan marga. Di kampung ini terdapat beberapa marga, diantaranya adalah marga kladit, seremere, sesa, serefle, wagarefe, sagisolo dan kolinggia.

Sudah dipastikan kawasan hutan kampung ini dan beberapa kampung lainnya akan selalu menjadi incaran para pelaku industri yang ingin mengambil kayunya. Aktivitas illegal loging memang sempat menghancurkan sebuah kawasan hutan yang ada di Kampung Melaswat. Para cukong kayu memanfaatkan hutan adat mereka dengan menerapkan sistem Koperasi Masyarakat (Kopermas) untuk menebang pohon-pohon yang ada dikawasan hutan tersebut. Namun sejak dilakukan operasi hutan lestari pada tahun 2005, aktivitas illegal loging ini berhenti.

Beberapa tahun yang lalu, untuk menuju kampung ini jalur pertama yang harus dilalui adalah jalur darat dari Sorong-Teminabuan dengan waktu tempuh kurang lebih 7 jam. Dari Teminabuan dilanjutkan dengan speedboat menuju distrik Seremuk selama kurang lebih 4 jam. Dari Distrik Seremuk berjalan kaki selama kurang lebih 3 jam menuju Kampung Manggorholo. Saat ini untuk menuju Kampung Manggoroholo dan Sira sudah bisa ditembus dengan kendaraan four wheel drive dari Sorong. Jarak tempuh Sorong-Manggoroholo jika kondisi jalan kering (tidak berlumpur) kurang lebih sekitar 5 jam.

Di sini kita bisa melihat bagaimana sebuah kearifan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Sehari-harinya masyarakat mengkonsumsi sagu dan talas sebagai sumber pangan utama. Untuk memenuhi kebutuhan protein dan nabati, mereka akan berburu satwa yang ada didalam hutan dan mencari ikan. Pohon-pohon sagu yang masih tersebar diseputaran kampung merupakan aset yang sangat berharga bagi masyarkat Kampung Sira dan Kampung Manggoroholo. Mereka tidak bisa dilepaskan dari pohon sagu.

Dengan segala keterbatasan akses, baik itu akses pendidikan, transportasi dan kesehatan mereka mencoba bertahan. Mensyukuri kekayaan alam yang mereka miliki, walau terkadang ada rasa ketidakadilan yang diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang papua.

Kampung Manggroholo dengan tutupan hutan yang masih rapat dan dikelilingi pohon sagu

Pohon merbau dengan akar banir yang lebar dan diameter pohon mencapai 1 meter lebih
Pohon merbau yang memiliki diameter kurang lebih 80 cm

Berburu adalah salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat di Kampung Sira
Sagu merupakan sumber makanan utama masyarakat di Kampung Sira dan Manggroholo
Membuat anyaman dari kulit pohon dan daun pandan adalah salah satu kearifan masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan
Anak-anak di Kampung Sira dan Manggroholo sekolah dengan segala keterbatasan
Anak-anak di Kampung Sira yang akan berangkat sekolah
Banyak anak-anak di Kampung Sira dan Manggoroholo yang menderita penyakit kulit


Teks dan Foto
Een Irawan Putra


Beberapa foto lainnya bisa lihat disini: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150424794289570.380750.593394569&type=1

Sunday, November 13, 2011

Reihan dan Mulhayati: Dengan Keteguhan Berdagang Sale

Sale atau pisang olahan pada umumnya dikenal sebagai makanan cemilan khas Jawa Barat. Jika kita berkunjung ke Bandung atau Ciamis, biasanya selalu membawa pisang sale sebagai oleh-oleh untuk kerabat dan keluarga.


Tapi siapa menyangka jika disebuah desa di Kabupaten Lombok Utara juga terdapat jenis makan ini. Diolah dengan acara sederhana. Tanpa banyak campuran rasa seperti yang ada di Jawa Barat.


Di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Ibu Reihan (55 tahun) dan anak perempuannya Mulhayati (35 tahun) adalah salah satu pioner pembuat cemilan pisang sale. Melimpahnya buah pisang di desa ini memang salah satu usaha yang pas untuk mengolah buah pisang tersebut menjadi makanan siap saji dan bernilai ekonomis. 


Ibu Reihan mulai belajar membuat pisang sale pada tahun 1997 dengan adanya pelatihan dari Dinas Sosial. Saat itu dibentuk kelompok yang beranggotakan 12 orang untuk diajarkan membuat pisang sale. Namun setelah beberapa tahun berjalan hanya Ibu Reihan yang bertahan sampai dengan sekarang.


Yang menarik dari sosok Ibu Reihan dan Mulhayati adalah sebuah keteguhan dan pola pikir yang sederhana dalam membuat sebuah pisang sale. Walaupun teman-temannya sudah tidak ada yang mau lagi membuat pisang sale pada saat itu, mereka tetap bertahan. Keteguhan hati mereka dalam membuat pisang sale saat ini sudah membuahkan hasil. Banyak orang yang memesan pisang sale buatan Ibu Reihan. Tidak hanya orang-orang dari Mataram yang memesan salenya, tapi juga beberapa tamu dari Jepang, Australia dan Jerman.


Ketika orang sudah ramai memesan pisang sale Ibu Reihan, banyak tetangga mereka yang mulai ikut membuat pisang sale. Banyaknya saingan yang membuat pisang sale di desanya membuat Ibu Reihan dan Mulhayati tidak khawatir. Mereka percaya bahwa rezeki itu sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Pisang sale yang diberi label “Nasel” tetap laris dan banyak yang memesan. Para pembeli senang dengan pisang sale buatan Ibu Reihan karena gurih dan manis. Apalagi jika dimakan dalam kondisi yang masih hangat setelah digoreng.


“Biasanya jika tamu yang baru pertama kali membeli, kami minta mereka untuk mencobanya terlebih dahulu. Jika enak silahkan dibeli. Kami tidak mau memaksa mereka untuk membeli keripik pisang sale buatan kami ini” ungkap Mulhayati ketika saya berkunjung ke rumahnya untuk melihat proses pembuatan pisang sale mereka.


Ingin yang alami dan menerima cemoohan orang lain 


Dalam membuat pisang sale, Ibu Reihan dan Mulhayati tidak pernah berpikir berdagang dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sale yang mereka buat selalu dipertahankan proses pembuatan yang alami dan rasa salenya.


Proses pengeringan pisang yang telah diiris dikeringkan dengan bantuan sinar matahari. Ketika hari diperkirakan akan panas atau terik, mereka akan buru-buru untuk mengiris pisang dan menjemurnya. Mereka percaya bahwa matahari adalah alat pengering yang sangat baik. Disaat musim penghujan mereka memang tidak bisa berbuat banyak, terkadang mereka sama sekali tidak memproduksi pisang sale selama beberapa hari. Pada saat proses penggorengan pisang sale, Ibu Reihan dan Mulhayati menggunakan kayu bakar. Mereka tidak mau menggunakan kompor minyak tanah ataupun gas karena mereka mengganggap panas dari kayu api dengan kompor berbeda. “Kami lebih mempertahankan rasa. Kami tidak mau sale kami dikembalikan oleh pembeli karena rasanya tidak enak” ucap Mulhayati. Dia menceritakan bahwa ada sale yang buatan orang lain pernah dikembalikan oleh pembelinya karena rasanya tidak enak. Mereka melakukan pengeringan dengan menggunakan oven.


Harga pisang sale buatan Ibu Reihan dan Mulhayati bisa dikatakan sangat murah. Hanya 25 ribu per kilo. Banyak para pembeli yang menyampaikan bahwa harga ini terlalu murah. Tapi mereka tidak mau menaikkan harga pisang salenya. Bagi mereka harga ini terjangkau bagi para pembeli di desa. Mereka tidak mempermasalahkan dengan para pembeli yang menjual kembali salenya dengan harga yang lebih tinggi. Karena mereka percaya bahwa rezeki sepenuhnya sudah diatur oleh Tuhan. Mulhayati mengatakan itu hak mereka jika mereka menaikkan harga ketika mereka menjual kembali pisang sale yang mereka bikin. Bagi mereka keuntungan dari harga itu sudah cukup untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.


Mulai banyaknya para pembuat sale di desanya di Lombok Utara, membuat persaingan dalam membuka sebuah usaha. Tak jarang persaingan secara tidak sehat dilakukan oleh para pembuat sale yang lain. Banyak orang-orang menyampaikan kepada Ibu Reihan bahwa dalam membuat sale seharusnya memakai telur ayam, margarin dan memakai tepung buatan sebuah pabrik ternama di Indonesia. Tapi Ibu Reihan dan Mulhayati tetap dengan cara mereka sendiri, memakai cara sederhana dengan menggunakan tepung beras yang ditumbuk sendiri. “Mereka menyarankan kami seperti itu mungkin agar sale yang kami buat rasanya berubah. Pernah juga diisukan sale buatan kami rasanya aneh dan busuk” ungkap Mulhayati.


Beberapa kali pisang sale mereka dibeli untuk pameran di beberapa tempat di Mataram. Tapi ketika dipamerkan, label mereka yaitu “Nasel” diganti oleh label milik orang lain. Seorang pembeli yang sudah kenal dengan rasa sale Ibu Reihan menyampaikan kasus ini kepada Ibu Reihan dan Mulhayati, tapi mereka tidak mau meributkan urusan seperti ini. “Malu ngeributin hal-hal seperti itu. Biarkan saja mereka berbuat demikian, toh orang tetap datang dan pesan kepada kami” ungkapnya.


Rata-rata per minggu Ibu Reihan dan Mulhayati hanya mampu membuat pisang sale sebanyak 50 kg. Jumlah ini akan berkurang jika dalam beberapa bulan masuk musim penghujan. Setiap irisan pisangnya dibutuhkan waktu selama 3 hari untuk menjemur. Beberapa kali pisang yang sudah mereka iris terpaksa dibuang karena gagal dalam proses penjemuran. Irisan pisang yang gagal dalam proses penjemuran akan berwarna hitam. Mereka tidak akan mau menggoreng pisang yang sudah berwarna hitam walaupun dari segi rasa sebenarnya tidak berubah. Mereka akan menggoreng pisang yang sukses dalam penjemuran yaitu irisan pisang yang berwarna kecoklatan atau cokelat tua. Dalam menyajikan makanan dan berdagang mereka tetap memegang sebuah pripsip. Untuk setiap manusia rezeki itu sudah diatur. Jujur adalah sebuah pedoman dalam berusaha.


Terima kasih sudah memberi sebuah pembelajaran dalam menjalani sebuah kehidupan Ibu Reihan. Semoga usahanya semakin lancar. Para pencinta sale akan selalu menunggu sale buatan Ibu Reihan. Termasuk saya sendiri. (EN)

Proses penggorengan yang masih menggunakan kayu bakar. Penggorengan pisang sale harus dilakukan 2 orang

Packing pisang sale juga dengan metode sederhana. Perekat plastik masih menggunakan api pada lampu teplok

Keripik sale yang siap dijual dengan merk Nasel. Nasel adalah nama dari dua cucu Ibu Reihan yaitu Nanang dan Seli