Thursday, February 5, 2009

SIAPA YANG SALAH

Cerita berikut ini adalah sebuah cerita seorang petani sawit yang saya temui beberapa bulan yang lalu (Desember 2008) yang tinggal di perbatasan Pusat Latihan Gajah (PLG), Seblat, Bengkulu Utara. Saya menginap di pondok beliau selama lima hari. Disebuah podok yang sangat sederhana yang terbuat dari papan-papan bekas dan bambu. Berdirinya pondok inipun sudah tidak lurus lagi alias hampir roboh karena dimakan usia.

Saya mengunjungi keluarga petani sawit ini karena berdasarkan informasi yang saya dapat, hanya beliau inilah yang sampai sekarang masih bertahan di jalan koridor yang membelah kawasan PLG Seblat, Bengkulu Utara. Sebuah jalan yang dibuat oleh perusahaan kelapa sawit (PT Alno) pada tahun 2004 dengan MoU antara PT Alno dan BKSDA Bengkulu yang juga mendapat persetujuan dari pejabat di Manggala Wanabakti.

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan di posting sebelumnya tentang status PLG Seblat, yaitu Hutan Produksi dengan fungsi khusus yang secara prinsip pengelolaannya dibawah Dinas Kehutanan. BKSDA Bengkulu sebenarnya tidak punya wewenang dalam pembuatan dan persetujuan MoU yang telah dibuat.

Beberapa bulan sebelum saya datang, disepanjang jalan ini ramai sekali masyarakat yang masuk untuk merambah dan membuat ladang di kawasan PLG Seblat. Sebagian tanaman sawit yang mereka tanam sudah membuahkan hasil. Namun, tak berapa lama setelah itu para perambah ini meninggalkan ladang mereka karena adanya operasi penangkapan oleh Polda Bengkulu terhadap beberapa perambah yang diduga memperjualbelikan tanah kawasan. Hampir seluruh tanaman sawit dan tanaman lainnya yang ada disepanjang jalan poros inipun sudah habis dimakan dan dinjak-injak gajah liar.

Nah, dari latar belakang beberapa permasalahan yang terjadi di PLG Seblat ini. Saya mencoba mencari informasi kenapa masyarakat tersebut merambah dan membuka lahan di kawasan PLG Seblat dan mengapa mereka cenderung ingin menanam kelapa sawit di ladang mereka. Informasi ini kami coba gali untuk melanjutkan sebuah film dokumenter yang pernah kami buat mengenai ancaman satwa Gajah Sumatera yang terdapat di Bengkulu.

Dari cerita yang saya buat ini silahkan menilai sendiri sebenarnya siapa yang salah. Masyarakat (perambah), Dinas Kehutanan, BKSDA Bengkulu, Pemerintah Daerah, Gajah, atau mungkin Tuhan yang salah??!!

Lahmudin. Itulah namanya. Umur beliau sudah 65 tahun. Tinggal disebuah pondok bersama seorang istrinya Jarinah (50 th). Disaat pertama kali saya datang menemui mereka, mereka merasa takut dan bertanya-tanya. Khawatir mereka akan diusir dari ladang mereka yang sudah mereka tempati dari beberapa tahun yang lalu. Mereka menduga saya dari petugas kehutanan.

Setelah beberapa hari tinggal bersama mereka, Pak Lahmudin baru mau bercerita secara terbuka dan tidak takut lagi terhadap saya. Beliau menceritakan bagaimana kehidupan kerluarganya, latar belakang mereka membuat ladang disini, ketakutan mereka dan harapan mereka terhadap ladang yang sudah mereka buat selama ini.

Pada tahun 2000 karena diajak oleh beberapa teman dan keluarga yang ada di kampung (Dusun Pulau) untuk membuat ladang dihutan, akhirnya Pak Lahmudin ikut membuat ladang. Dulu orang-orang kampung ini membuat ladang jauh dari kampung yaitu disekitar areal PT Maju. Mereka menanam tanaman kopi di ladang mereka. Karena sudah ada akses jalan didaerah PLG Seblat, maka beberapa orang kampung inipun bergerak menuju kawasan PLG Seblat untuk membuat ladang disepanjang jalan poros PT Alno. Sebuah jalan yang memotong kawasan PLG Seblat untuk pengangkutan hasil kelapa sawit ke pabrik. Konon disepanjang jalan ini masih berhutan dan semak belukar yang tidak ada penghuninya. Entah karena mereka tidak tahu kawasan ini adalah kawasan PLG Seblat atau pemerintah daerah serta petugas kehutanan tidak memberi tahu mengenai status kawasan, akhirnya mereka menebang, membersihkan lahan dan menanam disana.

Luas lahan yang digarap oleh Pak Lahmudin dan istrinya sekitar 2,5 ha. Beberapa areal sudah ditanam kelapa sawit, dan sebagiannya lagi ditanam tanaman muda, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Seperti para petani lainnya yang ada di Bengkulu. Pada awal membuka lahan, setelah dibersihkan dan dibakar. Mereka akan menugal padi (menanam padi darat). Humus tanah setelah pembakaran sangat baik untuk tanaman padi. Setelah panen padi barulah mereka menanam tanaman keras.

Saya sempat iseng menanyakan kepada Pak Lahmudin. "Mengapa bapak menanam sawit? Apakah tidak ada tanaman lain selain sawit?". "Pada saat saya membuka ladang ini, perkebunan Alno baru buka. Mereka banyak sekali menanam kelapa sawit. Ketika saya duduk di depan pondok saya, saya melihat aktivitas mereka. Lalu lalang membawa bibit-bibit kelapa sawit. Dari sana saya jadi berfikir. Nanti ketika mereka memanen hasil tanaman sawitnya, saya akan menjadi penonton saja kalo saya tidak ikut menanam sawit. Saya juga harus menanam sawit." Jawab beliau terhadap pertanyaan saya.

"Dulu saya tidak tahu berapa harga buah sawit perkilonya. Yang penting saya ikut menanam saja. Pertama kali panen harganya perkilo klo tidak salah seratus rupiah. Terus naik menjadi 200, naik lagi 300, tahun berikutnya naik 400 rupiah. Baru tahun 2008 ini saya bisa menikmati harganya per kilo sampai 1.400 rupiah" lajutnya.

Disaat melihat aktivitas sehari-hari yang dilakukan Pak Lahmudin, saya menjadi tahu dan bisa merasakan betapa berat menjalani kehidupan disini. Hanya berdua ditempat yang sepi. Disaat malam tiba, daerah ini sangat gelap karena tidak ada penerangan dari lampu-lumpu listrik. Tetanggapun sudah tidak ada karena semua teman-temannya balik ke kampung pasca operasi penangkapan para perambah. Banyak satwa-satwa liar yang ada didalam kawasan, termasuk mamalia terbesar di Indonesia yaitu satwa gajah.

Pernah ditengah malam sekitar jam 10 malam terdengar suara teriakan gajah liar. Nyaring dan membuat hati kecut. Posisinya tidak jauh dari pondok Pak Lahmudin. Dengan sigap Pak Lahmudin bangun mengambil senter dan membawa kentongan lalu berjalan menuju ke ladang sawitnya. Saya yang saat itu penasaran bagaimana caranya mengusir gajah malam-malam, akhirnya ikut beliau. Malam itu sangat-sangat gelap. Tidak ada cahaya apapun ditengah-tengah ladang sawit kecuali cahaya senter kita berdua. Saya berfikir didalam hati, bagaimana caranya mengusir gajah malam-malam gelap gulita begini yang klo mereka berkelompok sangat banyak jumlahnya. Tubuh gajah sangat besar. Klo tiba-tiba ada dibelakang kita dan mereka menubruk atau menginjak kita?. Wassalam sudah. "Gila ini perjuangannya membuat ladang disini. Udah sepi, banyak gajah liar, gelap pula" gumamku didalam hati.

Malam itu Pak Lahmudin memukul-mukul kentongan dan berteriak untuk mengusir gajah agar tidak mendekati ladangnya. Kami berdiri diatas sebuah punggungan di ladang tersebut. Saya sempat kaget dan merinding ketika berjalan menuju punggungan, ada seekor musang yang cukup besar melompat didepan saya. Saya langsung mengarahkan cahaya senter kearah musang tersebut dan akhirnya bisa bernafas lega. Untung musang yang melompat didepan. Klo seandainya harimau sumatera yang datang? Mungkin saya bisa langsung pingsang ditempat.

"Klo gajah ini berkelompok saya masih bisa mengusirnya, karena mereka bersuara. Tapi klo dia datang sendiri, habis sudah tanaman sawit saya. Karena dia datangnya diam dan tidak ada suara" ucapnya kepada saya ditengah malam itu. Saya merasa prihatin sekali dengan beliau. Dimana umur beliau yang sudah tua ini seharusnya sudah bisa duduk santai dirumah, menggendong cucu yang manis dan lucu serta menikmati hari-hari tuanya. Bukan di tengah-tengah ladang sawit yang gelap dan penuh dengan resiko.

WILAYAH ABU-ABU

Mungkin inilah yang disebut dengan wilayah abu-abu. Sebuah lahan atau kawasan yang tidak jelas statusnya. Banyak informasi yang tidak jelas yang diterima oleh Pak Lahmudin dan beberapa masyarakat kampung sekitar mengenai status kawasan yang mereka tempati. Pihak PT Alno mengklaim lahan tersebut adalah lahan perkebunan milik mereka. Sementara pihak PLG sendiri mengklaim lahan tersebut adalah kawasan PLG Seblat. Lahan yang ditempati Pak Lahmudin dan beberapa orang disana posisinya berada di antara Perkebunan Alno dan Kawasan PLG Seblat. Dampak yang jelas terjadi dari ketidakjelasan itu adalah perambahan, jual beli tanah, keributan dan beberapa masyarakat yang dirugikan. Mungkin juga pemerintah daerah yang dirugikan karena harus mengeluarkan anggaran untuk menyelesaikan konflik yang terjadi disana.

Kenapa bisa tidak jelas statusnya?
Sepulang dari lapangan saya mencari tahu apa penyebabnya. Saya menemui beberapa orang di Bengkulu dan bertanya mengenai sejarah lahan tersebut. Dari jawaban yang didapat, ada beberapa informasi mengatakan bahwa wilayah itu memang sengaja dibuat samar-samar. Dulu saat dilakukan pengukuran oleh klo tidak salah Dinas Kimpraswil, ada beberapa oknum yang sengaja membuat wilayah itu menjadi abu-abu atau tidak masuk dalam tata batas. Kemungkinan oknum tersebut ingin mendapatkan lahan tersebut untuk kepentingan pribadi. Ini sebenarnya yang harus dicek dan ditelusuri kebenarnya. Dicari solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini.

Bagi Pak Lahmudin lahan itu adalah harta satu-satunya yang ia miliki. Beberapa lahan yang ia miliki didekat kampunya sudah ia berikan kepada anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Walau bagaimanapun beliau akan tetap bertahan karena ditempat inilah beliau bisa bertahan hidup dihari tuanya. Besar sekali harapannya terhadap hasil sawit yang ia tanam beberapa tahun yang lalu. Terlebih lagi ketika ditahun 2008 harga tandan sawit per kilo-nya melambung tinggi. Niat untuk menjalankan rukun islam yang kelimapun yaitu naik haji, seakan bisa diwujudkan. Namun, mejelang akhir tahun 2008 harapan itu seakan sirna. Krisis global yang menimpa hampir diseluruh negara didunia ini juga berdampak buruk terhadap seluruh petani sawit yang ada di pelosok-pelosok negeri. Harga sawit terjun bebas seolah tak peduli dengan jeritan para petani. Mereka yang pada tahun itu bermimpi menjadi kaya dan sudah mengkonversi seluruh lahan yang mereka miliki menjadi kebun sawit, hidup seperti tidak punya harapan. Lahan-lahan produktif sudah terlanjur ditanami tanaman kelapa sawit. Bahkan sawah-sawah yang selalu menghasilkan beras beratus-ratus kilo setiap tahunnya diganti dengan tanaman kelapa sawit.

Sama dengan halnya Pak Lahmudin. Kecewa teramat sangat dengan turunnya harga tandan sawit. Ketidakjelasan status lahan. Harga kelapa sawit yang yang tidak menentu, membuat Pak Lahmudin terkadang termenung kosong memikirkan bagaimana harus menghabisi hari-hari tuanya.

"Klo hama gajah, walaupun malam, siang, masih bisa saya menghadapinya. Tapi klo hama PLG (petugas PLG, Polhut-red) yang datang, tidak bisa saya mengatasinya. Itulah hama yang paling sulit diatasi". Saya akan pergi dari sini jika jalan ini ditutup. Pemerintah atau PLG harus adil. Jangan hanya perusahaan saja yang boleh mengakses jalan ini, sementara kita rakyat kecil di usir" keluh beliau kepada saya disaat saya mewawancarainya.

The Problems is Simple. Kerjasama.

Judul diatas merupakan salah satu kesimpulan saya ketika mencoba mewawancarai beberapa pihak yang berhubungan dengan upaya penyelamatan DAS Air Bengkulu. Baik NGO, Pejabat Kota/Kepala Dinas dan Masyarakat yang berada di hulu dan hilir DAS Air Bengkulu.

Yup, sudah dua minggu ini saya dan beberapa teman di NGO Lokal di Bengkulu yaitu Ulayat, mencoba menggali dan mendokumentasikan perkembangan upaya penyelamatan DAS Air Bengkulu.

DAS Air Bengkulu adalah salah satu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang terdapat di Provinsi Bengkulu. DAS yang memiliki luas areal sekitar 51.500 ha sampai saat ini banyak sekali dimanfaatkan oleh masyarakat Bengkulu dari hulu sungai hingga hilir atau muara sungai. Namun sangat disayangkan, banyaknya orang yang masih ketergantungan dengan aliran sungai ini tidak diikuti dengan banyaknya orang yang sadar untuk menjaga keberadaan dan kelestarian air yang ada di sungai tersebut.

Ada tiga sub-DAS yang mengalir ke DAS Air Bengkulu, yaitu Sub-DAS Susup seluas 9.890 ha, Sub-DAS Rindu Hati 19.207 ha dan Sub-DAS Air Bengkulu Hilir seluas 22.402 ha.

Seminggu yang lalu saya sempat mencoba menyusuri keberadaan DAS Air Bengkulu ini dari hulu hingga hilir. Salah satu hulu DAS Air Bengkulu yang berada di sebuah desa kecil yang agak menjorok kedalam yang terdapat di Kecamatan Taba Penanjung, Bengkulu Tengah (Beberapa bulan yang lalu masih tergabung didalam Kabupaten Bengkulu Utara) yaitu Desa Rindu Hati. Nama desa yang sangat gampang diingat.

Di desa ini saya bisa menikmati jernihnya air sungai yang mengalir dengan tenang. Seakan air ini sangat senang berada di desa tersebut. Pagi yang cerah saat itu. Suara burung yang ribut membuat suasana pagi ini serasa lengkap. Masyarakat desa sudah mulai satu persatu berangkat ke ladang dan ke sawah yang berada tak jauh dari desa. Menyebrangi sungai yang ada dibelakang desa. Berjalan kaki tanpa alas kaki mengikuti jalan setapak yang berada disepanjang sungai. Terlihat sekali mereka hidup sangat harmonis dengan air sungai yang ada disana.

Di Desa Rindu Hati yang mayoritas penduduknya adalah Suku Rejang ini terdapat 6 anak sungai dan mungkin puluhan atau ratusan mata air. Anak-anak sungai yang ada ini akhir menyatu ke sungai besar yang ada di hulu kampung, yaitu Sungai Bengkulu.
Konon katanya di Desa Rindu Hati ini adalah keturunan para raja dari Raja Sungai Serut. Awal dari semua ini karena Putri Dayang Perindu melarikan diri dari Muara Bengkulu ke Hulu Sungai (yang berada di Desa Rindu Hati saat ini). Sang Putri melarikan diri karena tidak mau dijodohkan dengan para raja yang berasal dari Aceh. Setelah melarikan diri, sang kakak dan beberapa orang kerajaan menyusul keberadaan putri ke hulu sungai. Sebelum menyusul sang putri, sang putri sempat memberikan pesan yaitu “jika ingin menyusulnya, bawalah satu ekor ayam dan satu ekor burung terkukur. Jika ayam dan burung tersebut berbunyi, berhentilah disitu dan buatlah desa. Saya akan tinggal disitu”. Ayam dan burung tersebut berbunyi ketika mereka sampai dilokasi Desa Rindu Hati sekarang. Disitulah mereka membuat desa. Dan Itulah awal mula Desa Rindu Hati.

Berada didesa Rindu Hati memang sangat menyenangkan. Selain suasana kampung yang masih asli juga terdapat sawah yang menghijau dengan dilatar belakangi oleh bukit-bukit. Desa ini memang berada di lembah didataran tinggi Bengkulu.
Selama dua malam berada di Desa Rindu Hati membuat saya sedikit paham dan mengetahui permasalahan apa saja yang terjadi di desa ini mengenai upaya untuk penyelamatan hulu sungai. Pertama, sulitnya mengotrol masyarakat pendatang yang berada dihulu untuk tidak merusak keberadaan hutan disepadan sungai dan dihulu. Kedua, pendapatan masyarakat yang hanya mengenal sistem pertanian yang terkadang kurang paham dengan masalah ekologis yang akan ditimbulkan jika membuka sebuah chatment area atau daerah tangkapan air. Tiga, tidak adanya peranan pemerintah untuk mengajak dan mengatur pola perkebunan masyarakat serta mengajak untuk peduli terhadap pentingnya kawasan hulu sungai.

Kondisi hulu sungai sangat berbeda dengan kondisi di hilir. Setelah dari hulu saya mencoba mengikuti aliran sungai ini sampai ke hilir, yaitu muara didekat lokasi pantai panjang. Setelah keluar dari Desa Rindu Hati dan di Pasar Taba Penanjung, air sungai ini masih cukup bersih. Tapi kondisi air sangat berbeda setelah berada di sebuah desa, klo tidak salah Desa Kancing. Warna air sudah berwarna cokelat dan butek. Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang menyebabkan kondisi air ini keruh. Apakah benar karena ulah beberapa pertambangan batu bara yang ada di Taba Penanjung, limbah beberapa pabrik karet, atau karena limbah rumah tangga yang berada disepanjang sungai.

Yang membuat saya cukup prihatin adalah, air sungai yang butek ini adalah sumber air yang diambil oleh PDAM Bengkulu untuk dialirkan kepada konsumen sebagai sumber air bersih bagi warga kota Bengkulu. Sekitar 30% penduduk Kota Bengkulu menggunakan sumber air yaitu air PDAM. Dulunya mungkin air ini masih jernih dan bersih, itu mangkanya sumber air diambil dari sini. Belanda membangun sumber air disitu sekitar tahun 1928. PDAM hanya mewarisi dan melanjutkan usaha untuk penyaluran sumber air bersih.

Banyaknya pencemaran yang terjadi disepanjang aliran sungai ini membuat kondisi air PDAM saat ini sebenarnya tidak layak untuk dikonsumsi. Hal inilah yang membuat PDAM membutuhkan biaya produksi yang lebih untuk membersihkan dan menetralkan air yang mereka ambil dari Sungai Air Bengkulu. Inipun kualitas airnya masih belum bagus. Biaya produksi permeter kubiknya dikabarkan sudah jauh diatas biaya jual. PDAM yang seharusnya bisa menjadi salah satu pendapatan daerah sekarang justru tidak berarti apa-apa bagi Pemerintah Provinsi Bengkulu. Sungguh ironis.

Aliran sungai Air Bengkulu sebenarnya tidak terlalu panjang dan peluang untuk melakukan penyelamatan keberadaan sungai ini sangat besar. Hanya dibutuhkan sebuah niat saja. Niat untuk mau bersama-sama menyelamatkan keberadaan DAS Air Bengkulu. Ulayat tidak akan mampu melakukannya sendiri. PDAM tidak akan mampu melakukannya sendiri. Apalagi Bapedal dan dinas-dinas yang ada di provinsi Bengkulu (Pemerintah Bengkulu Kota dan Kabupaten), tidak akan ada harapan mengharapkan merekamelakukan itu.

Sekarang limbah pabrik, limbah pertambangan dan limbah lainnya sudah semakin banyak yang masuk kedalam aliran sungai. Air sungai semakin lama semakin tercemar. Konsumen PDAM semakin gundah dan resah akan kondisi air yang mereka terima.
Saya tidak tahu kejadian seperti apa yang bisa membuat aparat Pemerintah Bengkulu ini bisa ngeh dan sadar betapa pentingnya sumber air baku bagi masyarakatnya. Mayarakat Bengkulu ini bisa sadar pentinganya air bagi kehidupan. Mungkin perlu ada kejadian dimana masyarakatnya terserang berbagai penyakit diare dan penyakit lainnya karena kekurangan sumber air bersih dan dilanda banjir atau kekeringan yang sangat hebat. Atau nunggu Gubernur dan Wakil Gubernurnya serta pejabat-pejabat itu sakit diare dulu. Mungkin ngga sih??

Padahal semua tahu mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Mengapa kita harus ada shock terapy dulu baru sadar ya?. Musti ada bencana dulu baru ada tindakan.
Lets do Now!!!. Lakukanlah sekarang sebelum terlambat.

Masyarakat Desa Rindu Hati sebenarnya hampir sama dengan masyarakat desa dibanyak tempat di nusantara ini. Jika ada niat baik dari kita untuk memberitahukan peranan penting dalam upaya penyelamatan lingkungan dan adanya peranan aktif dan dukungan dari pemerintah lokal tentu akan membuat masyarakat tersebut senang dan tentu akan membuat usaha untuk menyelamatkan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat akan berjalan baik. Perlu kerjama antara hulu dan hilir DAS Air Bengkulu.

Inilah yang menjadi salah satu permasalahan utama betapa sulitnya upaya untuk penyelamatan lingkungan dinegara kita tercinta ini. Tidak adanya kerjasama!!. Semua berjalan sendiri. Sibuk dengan kerjaan masing-masing. Padahal pengetahuan dan kemampuan disetiap orang, disetiap lembaga dan disetiap instansi adalah terbatas. Semua masih sibuk dengan egonya masing-masing. Termasuk kita.

Bersepeda di Pantai Panjang. Segar dan Sehat

Sebenarnya niat untuk bisa bersepeda di pantai panjang sudah lama sekali terpendam dihati. Beberapa tahun yang lalu saya sempat mengutarakan niat saya kepada seorang teman. “Wah seandainya saya punya sepeda disini, pasti enak sekali bersepeda di pantai panjang ini” uangkap saya saat itu ketika melewati pantai panjang dikala saya pulang ke Bengkulu.

Niat untuk bersepeda saya sempat utarakan lagi kepada teman-teman Ulayat (sebuah NGO di Kota Bengkulu). Salah orang mendengarkan niat saya adalah Bang Dikson Aritonang. Seorang bapak yang saat ini sangat bahagia sekali karena anak perempuan yang ke-tiga-nya baru saja lahir. Karena mendengar niat saya yang kuat sekali untuk bersepeda di pantai panjang. Apalagi diikutsertakan tentang sakit radang paru (Bronchoneumonia) yang saya derita dan katanya udara pantai pada pagi hari sangat baik untuk penderita radang paru. Maka, karena tidak tega melihat keadaan saya yang niatnya tidak pernah tercapai, esok paginya beliau membawakan sepeda yang ada dirumahnya untuk saya bisa bersepeda di pantai panjang. Terima kasih banyak Bapak Dikson. Akhirnya saya bisa menikmati indahnya bersepeda pagi-pagi di Kota Bengkulu.

Dua hari kemaren. Pagi-pagi setelah sholat subuh saya menggoes sepeda dari kantor Ulayat (Kenanga) menuju Persimpangan Skip – Jalan Suprapto – Kampung Bali – Bank Indonesia – Tugu – Veteran – Pantai Panjang – Pantai Panjang Ujung (Bundaran) – Muter balik lagi – Menyusuri pantai melewati jalan yang baru dibuat sampai ke Tapak Padri – Bank Indonesia – Jalan Suprapto – Simpang Skip – Kembali ke Ulayat.

Pertama sekali melewati Jalan Suprapto dan melihat masih sepinya jalan-jalan kota. Saya tersenyum, betapa indah dan betapa segarnya Kota Bengkulu ini pada pagi hari. Pagi ini hanya ada beberapa orang yang lalu lalang untuk berbelanja di pasar tradisional. Ternyata setelah saya menoleh ke kanan, terdapat sebuah pasar yang sangat ramai orang berjualan dan pembeli yang sibuk memilih barang-barang yang akan mereka beli.

Saya terus menggoeskan sepeda saya menuju pantai panjang. Udara pantai panjang pada pagi hari tidak bisa saya ungkapkan disini bagaimana rasanya. Yang jelas saya hanya kembali tersenyum dan mengucapkan Asma Allah. Betapa agung dan betapa indahnya ciptaan Allah SWT. Manusia seharusnya bisa menikmati kenikmatan yang ada dimuka bumi ini. Bukan malah menghancurkannya dan membinasakannya. Keindahan dan kenikmatan yang saya dapat bersepeda pagi itu membuat saya tambah jatuh cinta terhadap tanah kelahiran saya ini dan saya ingin bisa menikmati udara pagi ini sepanjang hari. Bisa bersepeda di pantai panjang ini setiap pagi.

Sudah banyak memang perubahan yang ada di pantai panjang. Mulai dari perubahan yang baik sampai ke perubahan yang jelek. Perubahan yang baiknya adalah telah dibangunnya beberapa jogging track yang menyusuri pantai dan jalan yang sudah lebar. Perubahan jeleknya adalah, karena sudah ramai orang yang datang ke pantai panjang dan tapak padri maka sudah hukum alam bahwa manusia akan mencari sumber rezeki dan pendapatan seseorang di tempat keramaian. Tapi yang menjadi masalah adalah Pemerintah Bengkulu tidak memperhatikan cara-cara orang untuk mendapatkan sumber rezeki tersebut akan membuat pemandangan yang indah menjadi tidak indah. Suasana yang nyaman menjadi tidak nyaman. Moral dan norma masyarakat yang sudah lama baik menjadi tidak baik. Pantai panjang sekarang jika saya melihat banyaknya bangunan-bangunan untuk mereka berjualan yang terbuat dari bambu dan beratapkan terpal disepanjang pantai panjang dan tapak padri adalah tak ubahnya bangunan-bangunan kumuh yang ada disepanjang rel kereta api Bogor – Jakarta.

Saya sangat menyayangkan niat pemerintah daerah yang masih setengah-setengah dalam upaya melakukan pengembangan tempat-tempat wisata yang ada di Bengkulu. Sangat kelihatan sekali jika Pemerintah Kota Bengkulu belum siap benar menghadapi banyaknya pengunjung dan masyarakat yang datang ke tempat-tempat wisata yang ada di Bengkulu. Saya heran mengapa pemerintah tidak membangun secara seragam tempat-tempat mereka yang ingin berjualan. Agar lebih berestetika dan lebih beradap. Agar keindahan yang ada tidak terganggu. Kenyamanan yang ada tidak hilang. Moral dan norma yang baik tetap terjaga.

Pantai panjang sekarang ini, disaat malam hari suasana pantai panjang tidak ubahnya menjadi tempat-tempat orang yang ingin melakukan maksiat. Didukung tempat-tempat yang gelap dan banyaknya bangunan-bangunan kumuh yang dibuat remang-remang. Saya heran, kenapa Pemerintah Kota Bengkulu ini tidak mau memberi penerangan yang layak dan membuat rasa aman bagi orang yang datang ke pantai panjang yang ada di Bengkulu. Atau memang orang-orang Pemerintahan Kota Bengkulu juga menikmati suasana yang sudah ada selama ini. Ikut menikamti suasana mesum pada malam hari yang ada di Pantai Panjang?? Mungkin perlu dicari tahu.

Halah…. terlalu panjang dan terlalu banyak komentar saya terhadap jeleknya pembangunan pantai pajang ini. Mungkin karena saya sangat kecewa pantai panjang yang selama indah dan masih alami, keadaannya sekarang menjadi begini. Tidak jelas mau dibawa kemana pembangunannya. Konsep seperti apa yang diinginkan Pemerintah Bengkulu.

Disaat menyusuri pantai, saya bisa menikmati ombak yang tanpa hentinya bergoyang seolah ingin menunjukkan betapa indah dirinya dan manusia selayaknya bisa menikmati dirinya.Setiba di kampung nelayan, saya bisa melihat nelayan yang bergotong royong menggiring perahu nelayan yang baru tiba dari melaut ke bibir pantai. Bahu membahu mengangkat hasil tangkapannya. Ada beberapa nelayan yang sedang asyik membetulkan jaring-jaring ikan yang mungkin sempat putus ketika menangkap ikan tadi malam.

Setelah melewati kampung nelayan saya memasuki wilayah Benteng Malborough. Sebuah benteng peninggalan Inggris yang dibangun pada tahun 1713-1719 dibawah pimpinan Joseph Callet. Konon katanya benteng ini adalah benteng terkuat di daerah timur setelah Benteng St. George di Madras, India. Saya mengelilingi benteng ini sambil menuju ke Bank Indonesia dan Jalan Suprapto. Besiap-siap untuk kembali pulang.

Setibanya di Jalan Suprapto, beberapa toko sudah mulai buka. Saya menghentikan laju sepeda saya disebuah toko yang menjual roti dan kue-kue jajanan. Sambil meminum susu kotak saya duduk tempat parkiran sambil makan roti dan melihat orang-orang yang sudah mulai berangkat kerja. Mereka sudah berpenampilan rapi dan wangi. Ada yang berjalan kaki, naik angkot, pakai sepeda motor, naik mobil pribadi dan ada juga yang dengan gagahnya membawa mobil-mobil mewah yang berplat merah. Berkacamata hitam dengan sebatang rokok ditangan serta dentuman musik yang keras yang keluar dari mobilnya.

Betapa nikmat dan sehatnya klo saya bisa menikmati susana pagi hari selalu seperti ini. Saya selalu ingin bersepeda seperti ini. Dua jam bersepeda membuat badan ini segar dan sehat. Tapi sayang sampai sekarang saya belum mampu juga untuk beli sepeda :)

Foto diunduh disini

Kuching, Serawak

Setelah seminggu pulang dari Kupang, NTT saya diminta untuk datang ke kuching, Serawak, Malaysia. Untuk menghadiri sebuah festival film yang diadakan oleh sebuah NGO di Malaysia. Sebenarnya kondisi badan saya belum pulih benar dari sakit sepulang dari Kupang. Sepulang dari Kupang saya terserang flu berat dan batuk.

Karena semua teman masih sibuk dengan perkerjaannya, maka akhirnya saya yang berangkat ke Kuching. Selama tiga hari disana (19-22 September 20008), hari ketiganya saya benar-benar drop dan lemas. Badan saya panas, tapi terasa dingin. Persendian dilututku terasa nyeri dan seluruh badan rasanya lemas. Berjalan kaki pulang ke penginapan dari tempat acaranya berlangsung saja rasanya saya sudah tidak sanggup lagi.

Perjalanan tiga hari ke Kuching bagi saya sangat berkesan. Setelah berusaha kuat bisa pulang ke Indonesia, berhubung pesawat saya harus transit dulu di KL sekitar tiga jam. Esok harinya setelah tiba di Bogor (23/09) saya langsung masuk rumah sakit dan di Opname di rumah sakit tersebut. Inilah kali pertama saya menginap dan diinfus di rumah sakit. Selamat… Akhirnya bisa merasakan juga nikmatnya tinggal di rumah sakit.

Freedom Film Fest 2008, Kuching

Freedom Film Fest adalah sebuah festival yang menayangkan film-film dokumenter dari berbagai dunia, seperti Indonesia, Phillipine, Amerika dan Korea serta dari negara Malaysia sendiri. FFF yang ke empat ini yang diadakan di tahun 2008 ini mengangkat tema mengenai Human Right.

FFF yang diadakan oleh Komas ini juga mengadakan kompetisi bagi tiga orang pemenang yang proposal mengenai pembuatan filmnya sesuai dengan tema yang telah ditentukan dan alur ceritanya disetujui oleh Komas. Mereka memberikan Award sebesar RM 5000 atau sekitar Rp 12 juta, serta bantuan fasilitas editing dan bagi pemenang yang terpilih.

Tiga orang yang terpilih dalam FFF 2008 adalah: 1) Pilihanraya Umum Malaysia ke-12: Demokerasi atau rebutan kerusi by Abror Rival, 2) Who Speaks for Me? by Justin Johari, 3) Pecah Lobang by Poh Si Teng.

Selain menampilkan tiga film yang mendapatkan award, FFF juga menayangkan beberapa film lainnya dari berbagai negara. Salah satu film yang ditayangkan adalah Voices from the Forest India Produksi Gekko Studio/Dusty Foot Production/NTFP-EP serta film The Indigenous People of Knasaimos produksi Gekko Studio/Telapak/Handcrafted Films.

Screening yang diadakan di Kuching, Serawak (19-21 September 2008) bertempat di Old Court House dibuka secara resmi oleh Dewan Undangan Negeri untuk Padungan, Kuching yaitu Dominic Ng. "Saya sangat senang dengan adanya FFF di Kuching. Di FFF ada salah satu film yang menceritakan tentang demokerasi dan perjuangan hak tanah masyarakat adat Serawak dari perkebunan kelapa sawit" ucap beliau disaat akan membuka acara FFF 2008.

Pada hari kedua pemutaran film-film dokumenter session tentang Native Land Rights and Conservation. Film Voices fro the Forest India, The Indigenous People of Knasaimos dan What Rain Forest Produksi Ketapang pictures ditayangkan. Banyak orang yang datang untuk menonton film-film yang diputar. Jumlah orang yang datang hari itu dari siang sampai sore harinya sekitar 100 orang. Mungkin karena ini adalah yang pertama kalinya acara festival film-film dokumenter yang diadakan di Serawak, maka banyak orang-orang yang ada di Serawak antusias untuk datang dan menonton.

Setelah pemutaran tiga film tersebut langsung diadakan sesi diskusi dan tanya jawab mengenai film yang sudah ditonton. Tidak banyak komentar dan pertanyaan untuk film Voices from the Forest India dan The Indigenous People of Knasaimos karena memang sudah cukup dimengerti mengenai sebuah solusi pengelolaan hutan yang baik dan lestari. Bagaimana sebuah konsep pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan yang tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Berbeda dengan film What Rain Forest. Film ini banyak mendapat pertanyaan dan komentar dari audiens yang hadir. Karena selain menceritakan tentang lahan masyarakat adat yang ada di Serawak yang diclaim orang pemerintah dan perusahaan untuk perkebunan sawit, juga karena kasus-kasus serupa masih mendominasi di Serawak. Banyak masyarakat dayak iban dan masyarakat adat lainnya di Serawak masih berjuang untuk mendapatkan kembali tanah-tanah mereka yang diclaim oleh perusahaan dan Pemerintah Serawak.

Dari banyaknya orang yang datang untuk menonton dan bisa mengetahui kondisi-kondisi real mengenai sebuah permasalahan disuatu daerah baik di Malaysia atau dinegara lainnya membuat para audiens yang datang mengharapkan acara-acara festival film seperti ini bisa dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan. Dari film-film dokumenter tersebut banyak pembelajaran yang didapat dan pengalaman dari daerah lain yang bisa diketahui. Banyak manfaat yang bisa didapat dari sebuah film dokumenter. Seperti yang pernah disampaikan oleh Lexy Rambadeta, seorang filmaker dokumenter dari Indonesia "Documentary is having power over time…. its last forever".