Tuesday, October 5, 2010

Sebuah Pengakuan untuk Ngata Toro

Di Indonesia banyak sekali sebuah desa yang berada didalam sebuah kawasan Taman Nasional. Tidak sedikit keberadaan mereka dianggap sebagai sebuah permasalahan yang akan mengancam keberadaan sebuah kawasan konservasi. Pernyataan seperti itu tidak semuanya benar. Masih ada masyarakat-masyarakat adat yang masih memegang teguh aturan-aturan adatnya dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di kampung mereka.

Masyarakat adat Toro adalah salah satu masyarakat yang memiliki aturan adat seperti yang saya sebutkan diatas. Pada tanggal 19-24 September 2010 saya berkesempatan mengunjungi kampung ini. Perjalanan ke kampung ini memerlukan waktu sekitar 3 jam dari Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Toro adalah nama sebuah desa (Ngata) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu. Secara administratif, desa ini berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Luas wilayah desa ini sekitar 22.950 ha. Desa ini dikelilingi oleh pegunungan yang sebagian besar adalah kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Selama saya tinggal disana saya bisa merasakan betapa damainya tinggal di kampung ini. Hamparan padi yang menguning terbentang luas dibelakang rumah-rumah mereka. Disaat pagi, kabut masih menyelimuti kampung sehingga gunung-gunung yang ada disekeliling kampung tidak terlihat.

Masyarakat Adat Toro percaya bahwa mereka dari generasi ke generasi sudah melindungi alam dan sumberdaya alam yang mereka miliki. Pembagian wilayah dan lahan garapan sudah mereka bikin melalui aturan adat. Mereka masih yakin dan percaya dengan aturan-aturan adat peninggalan nenek moyang mereka. Aturan-aturan adat ini sampai dengan sekarang masih menjadi acuan hidup seluruh masyarakat adat disana.

Seluruh aktivitas kemasyarakatan dan pranata sosial budaya, termasuk dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, berporos pada pandangan budaya mengenai dua nilai utama, yaitu hintuwu dan katuwua. Hintuwu adalah nilai ideal dalam relasi antar sesama manusia yang dilandaskan atas prinsip –prinsip penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan katuwua adalah nilai ideal dalam relasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya yang dilandasi oleh sikap kearifan dan keselarasan dengan alam.

Masyarakat adat Toro memiliki kelembagaan sendiri dalam menjalani kehidupan di kampungnya. Peran dan wewenang kelembagaan adat di Ngata Toro diantaranya adalah:

• Maradika, berperan mengatur hubungan ngata dengan ngata yang lain, menentukan peran dengan ngata lain, tempat keputusan apabila ada masyarakat yang membuat pelanggaran.

• Totua Ngata, berperan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, menyelesaikan perselisihan, melaksanakan dan mengatur pelaksanaan perkawinan adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, mengubah dan membuat aturan adat yang baru, memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, memilih pemuda sebagai tondo ngata untuk dipersiapkan untuk prajurit perang dan pengawasan wilayah adat.

• Tina Ngata, berwenang merancang pekerjaan dalam pertanian terutama karena merekalah yang mengetahui dengan teliti ilmu perbintangan untuk dijadikan pedoman dalam bercocok tanam, mendinginkan konflik dalam ngata, serta mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang.

Dalam kepemilikan lahan, masyarakat adat Toro mengenal enam tata guna lahan secara tradisional. Pertama, Wana Ngkiki, yaitu zona hutan di puncak gunung yang didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Meskipun zona ini tidak dijamah aktivitas manusia, kawasan ini dianggap sebagai sumber udara segar, sehingga kedudukannya sangat penting. Hak kepemilikan individu tidak diakui di zona ini.

Kedua, Wana, yaitu hutan primer yang menjadi habitat hewan, tumbuhan langka, dan zona tangkapan air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan serta rotan. Seluruh sumberdaya alam di zona ini dikuasai secara kolektif sebagai bagian dari ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat. Kepemilikan pribadi di dalam zona ini hanya berlaku pada pohon damar yang biasanya diberikan kepada orang yang pertama mengambil atau mengolah getah damar itu.

Ketiga, Pangale, yaitu zona hutan semi-primer bekas yang pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Zona ini biasanya dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dikembangkan menjadi lahan kebun dan persawahan. Zona pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bagunan dan keperluan tumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian.

Keempat, Pahawa Pongko, yaitu campuran hutan semi-primer dan sekunder, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun keatas sehingga kondisinya sudah menyerupai pangale. Pepohonan di zona ini biasanya besar-besar. Seperti halnya pangale, zona ini tidak mengenal hak kepemilikan pribadi kecuali pohon damar yang ada didalamnya.

Kelima, Oma, yaitu hutan belukar yang berbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergulir. Di zona inilah hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.

Keenam, Balingkea, yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus diistirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini biasanya masih bisa diolah untuk budidaya palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe dan sayuran. Lahan ini sudah termasuk hak kepemilikan pribadi. Di zona inilah biasanya masyarakat adat Toro bertani sawah.

Selain adanya pembagian-pembagian wilayah hutan dan lahan. Masyarakat adat Toro juga memiliki aturan-aturan adat yang sangat ketat. Aturan-aturan adat ini mencakupi aturan dalam kehidupan sehari-hari, aturan pembukaan lahan dan hutan, pengambilan kayu dan kasus-kasus pencurian. Jika ada yang melakukan penebangan kayu tanpa izin lembaga adat maka akan dikenakan denda adat yaitu Hampole hangu , yaitu berupa 1 ekor kerbau, 10 dulang dan 1 lembar mbesa. Saat ini juga sedang berlaku aturan adat untuk tidak mengambil rotan (untuk dijual) selama satu tahun, atau istilah adatnya di Ombo. Aturan ini dikeluarkan oleh lembaga adat karena melihat ketersediaan rotan di dalam hutan sudah semakin berkurang.


Butuh Pengakuan dan jangan diabaikan


Melihat dari sejarah dan perilaku masyarakat adat Toro dalam menjalani kehidupan di kampungnya, tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Taman Nasional untuk tidak mengakui kearifan mereka dan juga peranan mereka dalam sebuah upaya konservasi. Pola pikir yang sederhana dari mereka janganlah dibuat rumit dengan aturan-aturan yang berlaku diskala nasional ataupun internasional. Membenturkan kearifan lokal mereka dengan kemodernan yang ada terkadang akan membuat adat istiadat yang mereka pegang selama ini akan pudar.

Kebijakan yang berubah-ubah seiring dengan bergantinya Kepala Balai Taman Nasioanl Lore Lindu menunjukkan tidak konsistennya para pejabat dan tidak ada koordinasi yang baik antara pejabat yang lama dengan pejabat yang baru. Kebijakan dibuat semau-maunya dan seperti ingin menunjukkan eksistensi si pejabat tersebut yang justru bisa berdampak negatif bagi masyarakat adat.

Masih segar dingatan saya, ketika 3 tahun yang lalu saya bertemu dengan Pak Banjar Julianto Laban di Bogor. Beliau bercerita banyak mengenai pengalamannya ketika menjabat sebagai Kepala Taman Nasional Lore Lindu. Dengan tegas beliau mengatakan TNLL tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan masyarakat Ngata Toro. Koordinasi antara pihak taman nasional dan masyarakat adat dalam menjaga keberadaan hutan terjalin dengan baik. Pak Banjar dan masyarakat adat Toro saat itu saling menghargai dan mengakui peranan di masing-masing pihak.

Harmonisasi antara pihak TNLL dan masyarakat adat Toro saat ini tidak lagi terjalin dengan baik. Banyak masyarakat adat Toro yang menceritakan kepada saya bagaimana hubungan yang dulu harmonis sekarang mulai pudar dan mungkin sudah pudar. Pihak TNLL tidak pernah lagi melakukan koordinasi dalam menjaga keberadaan kawasan hutan Lore Lindu. Sebuah undangan resmi untuk kepala balai yang diberikan oleh lembaga adat Toro juga tidak pernah dihadiri oleh kepala balai yang sekarang. “Mana berani dia (kepala balai) datang kemari lagi, sudah beberapa kali ingkar janji dengan kami. Datang ke kampung tetangga saja dia bawa Polhut dengan bersenjata lengkap” ucap salah satu masyarakat adat Toro ketika saya mendokumentasikan pertemuan di Ngata Toro.

Selain permasalahan dengan TNLL, perbedaan persepsi antara masyarakat adat Toro juga terjadi akibat adanya proyek pembangunan tempat pariwisata yang dibangun di Ngata Toro. Proyek ambisius dari Dinas Pariwisata Provinsi Sulteng ini menimbulkan sebuah konflik baru didalam masyarakat itu sendiri.

Melihat situasi ini, saya secara pribadi sangat menyesalkan adanya proyek ini. Sebuah proyek yang tidak dikaji terlebih dahulu apa manfaat dan dampak yang bisa terjadi dengan dijalankannya sebuah proyek. Pembangunan proyek seharusnya bisa mengikuti aturan adat Toro yang sudah ada. Salah satu permasalahan yang terjadi saat ini adalah, beberapa masyarakat meyakini bahwa bangunan adat (Lobo) dipercaya hanya ada satu di Ngata Toro. Dinas Pariwisata sepertinya tidak melihat kepercayaan ini. Dinas Pariwisata Sulteng membangunan 1 bangunan yang sama persis dengan Lobo yang sudah ada yang lokasinya tidak jauh dari bangunan adat yang selama ini ada. Selain itu juga 3 bangunan lainnya dibangun yang tujuannya untuk wisatawan yang datang.

Pembangunan sarana parawisata ini sudah menimbulkan perbedaan pandangan antara masyarkat Toro sendiri. Saya tidak tahu bagaimana dampak lainnya seandainya banyak wisatawan yang datang dan masyarakatnya belum siap menghadapi kunjungan wisatawan yang berbagai macam latar belakang dan berbagai macam prilaku. Jangan sampai pelaksanaan proyek ini hanya untuk menjalankan tender saja dan sebenarnya tidak tahu apa manfaat dari proyek tersebut. Bangunan selesai dibangun, keuntungan dari proses tender sudah diraih. Masa bodoh dengan kelanjutannya. Tidak peduli kalau masyarakatnya berantem sesamanya akibat sebuah proyek yang ada. Tidak peduli bahwa mereka sebenarnya menghancurkan kebudayaan yang sudah ada, bukan mempertahankannya.

Memang benar seperti apa yang disampaikan oleh budayawan Ajip Rosidi. Sejak merdeka pemerintah tidak pernah peduli terhadap kebudayaan. Kebudayaan dianggap bukan hal penting. Kebudayaan ditempatkan pada Departemen Pariwisata dimana pola yang dilakukan adalah menjual ‘kebudayaan’ kepada wisatawan dalam rangka mengumpulkan dolar. Mereka tidak mengerti bahwa kebudayaan itu merupakan inti hakiki dari pendidikan, karena pendidikan itu sendiri tidak lain dari usaha melestarikan kebudayaan dengan mewariskan kepada generasi yang lebih kemudian. Pendidikan kita sejak merdeka sampai sekarang tak pernah disadari sebagai usaha pewarisan budaya.