Wednesday, December 14, 2011

Menyelamatkan Hutan Terakhir di Riau

Tak ada yang menyangkal bahwa Provinsi Riau adalah salah satu provinsi terkaya di negara ini. Didalam tanah dan diatas tanahnya terhampar kekayaan alam yang tak terhitung nilainya. Minyak bumi, batubara, timah dan berbagai bahan tambang lainnya terpendam didalam tanah Riau. Sementara diatasnya membentang hutan rawa gambut dengan segala potensi kayu yang sangat banyak dan berbagai biodiversity lainnya.

Semua mata pelaku industri melirik Riau. Tak sedikit pelaku industri kelas dunia hijrah ke Riau untuk mengeruk semua kekayaan yang ada di provinsi kaya ini. Pipa-pipa besar mengurai disepanjang jalan utama Kota Siak, Bengkalis, Dumai, dan Rokan Hilir. Di Kota Palalawan dan Indragiri Hilir setiap saat truk-truk raksasa mengangkut kayu alam. Mulai dari yang kecil sampai yang berdiameter diatas 60 sentimeter berlalu lalang disepanjang jalan selama 24 jam. Hampir diseluruh kabupaten yang ada di Riau juga membentang luas perkebunan kelapa sawit.

Kawasan hutan yang luas di Riau bagaikan ATM bagi banyak kalangan. Pejabat, aparat, pebisnis dan pembalak seakan berlomba-lomba ingin memasukkan kartu ATM-nya dan mengambil seluruh uang yang ada didalam mesin ATM tersebut. Buruknya sistem pengelolaan kawasan hutan di Riau. Korupsi dan serakahnya para pengusaha membuat kawasan hutan di Riau hilang tak berbekas.

Tingkat deforestasi atau kerusakan hutan di Riau adalah yang tertinggi di Indonesia. Sekitar 160 ribu ha per tahun hutan di Riau hilang. Kini hutan alam yang tersisa di Riau tinggal 1,2 juta hektar. Pada tahun 1982 kawasan hutan alam di Riau seluas 6,4 juta hektar.

Keberadaan dua perusahaan raksasa kertas Asia Tenggara adalah penyebab tingginya laju deforestasi dan kerusakan hutan alam di Riau. Dua pertiga hutan di Riau dikuasai oleh Asia Pulp & Paper (APP) dari Sinar Mas Group yang bermarkas di Shanghai, China, dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) dari Royal Golden Eagle Group, yang bermarkas di Singapura.

Walaupun banyak kalangan yang mempertanyakan izin-izin konsesi yang dikeluarkan kepada APP dan APRIL karena sebagian besar konsesi mereka dikawasan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, kedua perusahaan ini masih dengan sangat leluasa menumbangkan pohon-pohon yang selama ini menyelamatkan kawasan gambut dari kebakaran. Berdasarkan Kepres No 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Peraturan Pemerintah No 47 tahun 1997, bahwa area gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter harus diperuntukkan bagi daerah lindung.

Kawasan Gambut Terluas di Sumatera

Semenajung Kampar adalah salah satu dari 4 blok hutan rawa gambut yang ada di Riau yang masih tersisa. Luas kawasan gambut Semenanjung Kampar diperkirakan sekitar 700.000 hektar. Semenanjung Kampar merupakan hamparan hutan rawa gambut yang terluas di Sumatera yang memiliki kedalaman mencapai 15 meter. Di lahan gambut ini mengandung lebih dari 2 milyar ton karbon. Berbagai kekayaan flora dan fauna serta tipologi lahan yang unik menjadikan Semenanjung Kampar menjadi penting untuk iklim dunia.

Namun saat ini, kawasan Semenanjung Kampar dalam kondisi kritis. Konversi besar-besaran dan alih fungsi lahan membuat kawasan gambut ini berubah wajah. Kering dan rentan kebakaran. Kanal-kanal raksasa merobek kawasan gambut yang selama ini indah membentang.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, SK 327/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) memperoleh hak konsesi HTI seluas 350.165 hektar di Kabupaten Siak, Pelalawan, Kampar, Kuantan Sengingi dan Bengkalis. Pada November 2009, akibat banyaknya aksi protes para pemerhati lingkungan mengenai pembukaan hutan di Semenanjung Kampar, Menteri Kehutanan sempat mencabut sementara izin pengelolaan hutan gambut RAPP di Semenanjung Kampar. Namun pada bulan April 2010 RAPP diizinkan beroperasi kembali di Semenanjung Kampar. Pada tahun 2006 tercatat bahwa APP dan APRIL beserta mitranya telah mengusai tanah di Riau seluas 1,8 juta hektar atau 21% dari total luas daratan Provinsi Riau (8,6 juta hektar).

Kedua industri pulp and paper ini sampai dengan sekarang masih berlomba-lomba meningkatkan kapasitas industri mereka. Kapasitas Group Sinar Mas (PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk dan PT Lontar papyrus) berdasarkan data Kementerian Perindustrian adalah sebesar 2,68 juta ton per tahun atau 42% dari total kapasitas nasional. PT RAPP memiliki kapasitas produksi 2,21 juta ton per tahun atau 35% dari total kapasitas nasional. Terdapat 80 produsen pulp dan kertas di Indonesia dengan kapasitas produksi 6,29 juta ton per tahun. Kebutuhan kertas dunia pada tahun 2011 ditaksir mencapai 350 juta ton dan pulp 200 juta ton.

Berharap dari Hutan Desa

Minimnya akses masyarakat disekitar kawasan hutan terhadap hutan mereka dan tidak berpihaknya pemerintah kepada masyarakat sudah terbukti akan memunculkan sebuah konflik kehutanan. Kemiskinan, intimidasi dan korban jiwa akibat konflik kehutanan sudah sangat sering terjadi diberbagai wilayah di Indonesia. Masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berada disekitar kawasan hutan merasa punya hak terhadap kawasan hutan mereka. Konsesi yang sudah diberikan pemerintah kepada perusahaan menjadi alat pembenaran untuk mengusir dan menggusur tanah rakyat.

Melihat kondisi hutan Semenanjung Kampar yang secara perlahan-lahan dihancurkan oleh perusahaan untuk dijadikan HTI, masyarakat Desa Segamai, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Palalawan berusaha menyelamatkan hutan yang tersisa. Sebuah kawasan hutan ex HPH yang dulunya milik PT Agam Sempurna seluas 2.000 hektar mereka usulkan untuk menjadi Hutan Desa.

Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Saat ini masyarakat Desa Segamai masih menunggu SK Penetapan Areal hutan Desa dari Menteri Kehutanan. Masyarakat desa diberi hak kelola selama 35 tahun dan hak kelola tersebut dapat diperpanjang.

Walaupun akses menuju hutan desa ini jauh dari kampung, masyarakat Desa Segamai tetap berusaha menyelamatkan hutan terakhir yang ada di wilayah desa mereka. Dibutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan menggunakan pompong (perahu dengan mesin tempel) untuk mencapai lokasi calon hutan desa tersebut. Posisi calon hutan desa ini berada ditengah-tengah konsesi HTI Group Sinar Mas dan RAPP.

Eddy Silatonga, salah satu tokoh pemuda Desa Segamai menyatakan bahwa masyarakat Desa Segamai selama ini tidak pernah tahu mengenai hutan semenanjung kampar. Ketika beberapa lembaga swadaya masyarakat masuk ke Desa Segamai, barulah mereka mengetahui apa itu hutan semenajung kampar dan mengapa semenanjng kampar penting untuk diselamatkan. Dia juga menyatakan selama ini masyarakat Desa Segamai tidak pernah masuk kedalam kawasan hutan calon hutan desa tersebut. Baik itu untuk mengambil kayunya ataupun mengolah hasil non kayu. Selama ini masyarakatnya hanya bertani disekitar kampung. Berbagai macam tanaman seperti kelapa, nanas, karet dan kelapa sawit adalah sumber ekonomi mereka. Kebutuhan kayu untuk rumah mereka masih menambil di kawasan hutan di sekitar kampung. Jarak yang jauh dan harus melewati konsesi perusahaan juga merupakan salah satu alasan kenapa mereka tidak pernah ke lokasi hutan calon hutan desa tersebut. “Kami mengajukan skema hutan desa itu semata-mata hanya ingin menyelamatkan hutan terakhir yang ada di semenanjung kampar. Daripada nanti diambil perusahaan lagi dan ditanami akasia, lebih baik kami jadikan saja hutan desa. Siapa tahu nanti generasi kami berikutnya membutuhkan kayu. Dan juga mereka masih bisa mengenal jenis-jenis kayu yang ada di desa ini” ungkapnya.

Masyarakat Desa Segamai yang berjumlah 268 KK ini mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Kelapa merupakan tanaman andalan masyarakat Desa Segamai. Hampir diseluruh kampung mereka ditumbuhi oleh tanaman kelapa. “Kelapa disini kami jual 700 rupiah per buah. Sekali panen dalam satu pohon bisa mencapai 20 buah. Kami panen kelapa setiap tiga bulan sekali. Rata-rata setiap KK memiliki 200-300 pohon kelapa. Klo sudah masuk musim tanam jagung, kami akan menanam jagung. Desa Segamai juga salah satu desa penghasil jagung terbesar di Riau” ucap Eddy bangga.

Walaupun keberpihakan kepada masyarakat masih kecil terhadap sebuah kawasan hutan dan juga skema ini masih jauh dari ideal, skema hutan desa saat ini adalah salah satu cara masyarakat untuk merebut hak kelola sebuah kawasan hutan secara legal. Masyarakat harus berlomba-lomba dengan perusahaan-perusahaan rakus untuk mendapatkan hak kelola. Masyarakat juga harus bisa menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola kawasan hutan mereka secara baik.

Skema hutan desa satu-satunya harapan bagi masyarakat yang tinggal disepanjang semenanjung kampar. Zainuri Hasyim dari Yayasan Mitra Insani yang selama ini mendampingi beberapa desa yang ada di semenanjung kampar menyatakan bahwa dengan diberikannya hak kelola kepada masyarakat desa di semenanjung kampar berarti pemerintah bisa menunjukkan keberpihakannya kepada masyarakat. “kami seperti berlomba-lomba dengan perusahaan untuk mendapatkan hak kelola kawasan hutan yang ada di semenanjung kampar ini” ungkap Zain. Walaupun salah satu mantan Bupati Palalawan pernah menolak surat permohonan rekomendasi hutan desa di Teluk Binjai dengan alasan masyarakat belum bisa mengelola hutan dan kawasan yang diusulkan masyarakat Desa Teluk Binjai telah diusulkan oleh RAPP, Zainuri bersama-sama masyarakat desa yang ada di semenanjung kampar akan tetap berjuang untuk menyelamatkan hutan terakhir.

Masyarakat Desa Segamai diatas pompong menyebrangi sungai kampar menuju lokasi hutan desa















(Diolah dari berbagai sumber setelah berkunjung ke Desa Segamai)

Wednesday, November 30, 2011

Jangan Hancurkan Hutan Papua

“Kami yang di kampung ini sangat butuh hutan. Hutan adalah sumber penghidupan kami. Perusahaan ataupun pemerintah tidak boleh tebang pohon-pohon yang ada dikampung ini”. Itulah salah satu kalimat yang disampaikan Alfred Kladit, salah satu tokoh masyarakat Kampung Sira, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan.

Kampung Sira adalah salah satu kampung yang terdapat di Distrik Saifi. Seluruh masyarakat yang ada di Kampung Sira adalah warga suku knasaimos. Sebelumnya kampung ini masih tergabung didalam Distrik Seremuk. Jumlah penduduk dikampung ini hanya 178 jiwa dengan total kepala keluarga sebanyak 38 KK.

Diwilayah ini masih menghampar luas hutan tropis dengan tajuk yang rapat. Pohon merbau (Instia bijuga), matoa, eboni, lenggua dan damar merah sangat mudah untuk ditemui. Semua jenis-jenis kayu keras ini memang sangat menggiurkan jika dilihat oleh para mafia hutan ataupun pengusaha kayu.
“Pohon merbau ini usianya mungkin sudah ratusan tahun. Diameter pohon mungkin sudah mencapai 1 meter. Tinggi bebas cabang sekitar 25 meter. Tingginya keselurahan mungkin sekitar 50 meter. Ada banyak disini kayu yang besar-besar seperti ini”. Ucap Alfred sambil menunjuk salah satu pohon yang ada dibelakangnya. Saat itu saya seharian masuk didalam hutan adat mereka untuk melihat dan mendokumentasikan kondisi hutan adatnya.

Di Kampung Sira dan Kampung Manggroholo merupakan sebuah kampung yang masih mempertahankan hutan-hutan adat mereka. Hutan adat ini berada dibawah marga atau sering disebut hutan marga. Di kampung ini terdapat beberapa marga, diantaranya adalah marga kladit, seremere, sesa, serefle, wagarefe, sagisolo dan kolinggia.

Sudah dipastikan kawasan hutan kampung ini dan beberapa kampung lainnya akan selalu menjadi incaran para pelaku industri yang ingin mengambil kayunya. Aktivitas illegal loging memang sempat menghancurkan sebuah kawasan hutan yang ada di Kampung Melaswat. Para cukong kayu memanfaatkan hutan adat mereka dengan menerapkan sistem Koperasi Masyarakat (Kopermas) untuk menebang pohon-pohon yang ada dikawasan hutan tersebut. Namun sejak dilakukan operasi hutan lestari pada tahun 2005, aktivitas illegal loging ini berhenti.

Beberapa tahun yang lalu, untuk menuju kampung ini jalur pertama yang harus dilalui adalah jalur darat dari Sorong-Teminabuan dengan waktu tempuh kurang lebih 7 jam. Dari Teminabuan dilanjutkan dengan speedboat menuju distrik Seremuk selama kurang lebih 4 jam. Dari Distrik Seremuk berjalan kaki selama kurang lebih 3 jam menuju Kampung Manggorholo. Saat ini untuk menuju Kampung Manggoroholo dan Sira sudah bisa ditembus dengan kendaraan four wheel drive dari Sorong. Jarak tempuh Sorong-Manggoroholo jika kondisi jalan kering (tidak berlumpur) kurang lebih sekitar 5 jam.

Di sini kita bisa melihat bagaimana sebuah kearifan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Sehari-harinya masyarakat mengkonsumsi sagu dan talas sebagai sumber pangan utama. Untuk memenuhi kebutuhan protein dan nabati, mereka akan berburu satwa yang ada didalam hutan dan mencari ikan. Pohon-pohon sagu yang masih tersebar diseputaran kampung merupakan aset yang sangat berharga bagi masyarkat Kampung Sira dan Kampung Manggoroholo. Mereka tidak bisa dilepaskan dari pohon sagu.

Dengan segala keterbatasan akses, baik itu akses pendidikan, transportasi dan kesehatan mereka mencoba bertahan. Mensyukuri kekayaan alam yang mereka miliki, walau terkadang ada rasa ketidakadilan yang diberikan oleh pemerintah kepada orang-orang papua.

Kampung Manggroholo dengan tutupan hutan yang masih rapat dan dikelilingi pohon sagu

Pohon merbau dengan akar banir yang lebar dan diameter pohon mencapai 1 meter lebih
Pohon merbau yang memiliki diameter kurang lebih 80 cm

Berburu adalah salah satu kegiatan yang dilakukan masyarakat di Kampung Sira
Sagu merupakan sumber makanan utama masyarakat di Kampung Sira dan Manggroholo
Membuat anyaman dari kulit pohon dan daun pandan adalah salah satu kearifan masyarakat dalam memanfaatkan hasil hutan
Anak-anak di Kampung Sira dan Manggroholo sekolah dengan segala keterbatasan
Anak-anak di Kampung Sira yang akan berangkat sekolah
Banyak anak-anak di Kampung Sira dan Manggoroholo yang menderita penyakit kulit


Teks dan Foto
Een Irawan Putra


Beberapa foto lainnya bisa lihat disini: http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150424794289570.380750.593394569&type=1

Sunday, November 13, 2011

Reihan dan Mulhayati: Dengan Keteguhan Berdagang Sale

Sale atau pisang olahan pada umumnya dikenal sebagai makanan cemilan khas Jawa Barat. Jika kita berkunjung ke Bandung atau Ciamis, biasanya selalu membawa pisang sale sebagai oleh-oleh untuk kerabat dan keluarga.


Tapi siapa menyangka jika disebuah desa di Kabupaten Lombok Utara juga terdapat jenis makan ini. Diolah dengan acara sederhana. Tanpa banyak campuran rasa seperti yang ada di Jawa Barat.


Di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Ibu Reihan (55 tahun) dan anak perempuannya Mulhayati (35 tahun) adalah salah satu pioner pembuat cemilan pisang sale. Melimpahnya buah pisang di desa ini memang salah satu usaha yang pas untuk mengolah buah pisang tersebut menjadi makanan siap saji dan bernilai ekonomis. 


Ibu Reihan mulai belajar membuat pisang sale pada tahun 1997 dengan adanya pelatihan dari Dinas Sosial. Saat itu dibentuk kelompok yang beranggotakan 12 orang untuk diajarkan membuat pisang sale. Namun setelah beberapa tahun berjalan hanya Ibu Reihan yang bertahan sampai dengan sekarang.


Yang menarik dari sosok Ibu Reihan dan Mulhayati adalah sebuah keteguhan dan pola pikir yang sederhana dalam membuat sebuah pisang sale. Walaupun teman-temannya sudah tidak ada yang mau lagi membuat pisang sale pada saat itu, mereka tetap bertahan. Keteguhan hati mereka dalam membuat pisang sale saat ini sudah membuahkan hasil. Banyak orang yang memesan pisang sale buatan Ibu Reihan. Tidak hanya orang-orang dari Mataram yang memesan salenya, tapi juga beberapa tamu dari Jepang, Australia dan Jerman.


Ketika orang sudah ramai memesan pisang sale Ibu Reihan, banyak tetangga mereka yang mulai ikut membuat pisang sale. Banyaknya saingan yang membuat pisang sale di desanya membuat Ibu Reihan dan Mulhayati tidak khawatir. Mereka percaya bahwa rezeki itu sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Pisang sale yang diberi label “Nasel” tetap laris dan banyak yang memesan. Para pembeli senang dengan pisang sale buatan Ibu Reihan karena gurih dan manis. Apalagi jika dimakan dalam kondisi yang masih hangat setelah digoreng.


“Biasanya jika tamu yang baru pertama kali membeli, kami minta mereka untuk mencobanya terlebih dahulu. Jika enak silahkan dibeli. Kami tidak mau memaksa mereka untuk membeli keripik pisang sale buatan kami ini” ungkap Mulhayati ketika saya berkunjung ke rumahnya untuk melihat proses pembuatan pisang sale mereka.


Ingin yang alami dan menerima cemoohan orang lain 


Dalam membuat pisang sale, Ibu Reihan dan Mulhayati tidak pernah berpikir berdagang dengan tujuan utama mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sale yang mereka buat selalu dipertahankan proses pembuatan yang alami dan rasa salenya.


Proses pengeringan pisang yang telah diiris dikeringkan dengan bantuan sinar matahari. Ketika hari diperkirakan akan panas atau terik, mereka akan buru-buru untuk mengiris pisang dan menjemurnya. Mereka percaya bahwa matahari adalah alat pengering yang sangat baik. Disaat musim penghujan mereka memang tidak bisa berbuat banyak, terkadang mereka sama sekali tidak memproduksi pisang sale selama beberapa hari. Pada saat proses penggorengan pisang sale, Ibu Reihan dan Mulhayati menggunakan kayu bakar. Mereka tidak mau menggunakan kompor minyak tanah ataupun gas karena mereka mengganggap panas dari kayu api dengan kompor berbeda. “Kami lebih mempertahankan rasa. Kami tidak mau sale kami dikembalikan oleh pembeli karena rasanya tidak enak” ucap Mulhayati. Dia menceritakan bahwa ada sale yang buatan orang lain pernah dikembalikan oleh pembelinya karena rasanya tidak enak. Mereka melakukan pengeringan dengan menggunakan oven.


Harga pisang sale buatan Ibu Reihan dan Mulhayati bisa dikatakan sangat murah. Hanya 25 ribu per kilo. Banyak para pembeli yang menyampaikan bahwa harga ini terlalu murah. Tapi mereka tidak mau menaikkan harga pisang salenya. Bagi mereka harga ini terjangkau bagi para pembeli di desa. Mereka tidak mempermasalahkan dengan para pembeli yang menjual kembali salenya dengan harga yang lebih tinggi. Karena mereka percaya bahwa rezeki sepenuhnya sudah diatur oleh Tuhan. Mulhayati mengatakan itu hak mereka jika mereka menaikkan harga ketika mereka menjual kembali pisang sale yang mereka bikin. Bagi mereka keuntungan dari harga itu sudah cukup untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari.


Mulai banyaknya para pembuat sale di desanya di Lombok Utara, membuat persaingan dalam membuka sebuah usaha. Tak jarang persaingan secara tidak sehat dilakukan oleh para pembuat sale yang lain. Banyak orang-orang menyampaikan kepada Ibu Reihan bahwa dalam membuat sale seharusnya memakai telur ayam, margarin dan memakai tepung buatan sebuah pabrik ternama di Indonesia. Tapi Ibu Reihan dan Mulhayati tetap dengan cara mereka sendiri, memakai cara sederhana dengan menggunakan tepung beras yang ditumbuk sendiri. “Mereka menyarankan kami seperti itu mungkin agar sale yang kami buat rasanya berubah. Pernah juga diisukan sale buatan kami rasanya aneh dan busuk” ungkap Mulhayati.


Beberapa kali pisang sale mereka dibeli untuk pameran di beberapa tempat di Mataram. Tapi ketika dipamerkan, label mereka yaitu “Nasel” diganti oleh label milik orang lain. Seorang pembeli yang sudah kenal dengan rasa sale Ibu Reihan menyampaikan kasus ini kepada Ibu Reihan dan Mulhayati, tapi mereka tidak mau meributkan urusan seperti ini. “Malu ngeributin hal-hal seperti itu. Biarkan saja mereka berbuat demikian, toh orang tetap datang dan pesan kepada kami” ungkapnya.


Rata-rata per minggu Ibu Reihan dan Mulhayati hanya mampu membuat pisang sale sebanyak 50 kg. Jumlah ini akan berkurang jika dalam beberapa bulan masuk musim penghujan. Setiap irisan pisangnya dibutuhkan waktu selama 3 hari untuk menjemur. Beberapa kali pisang yang sudah mereka iris terpaksa dibuang karena gagal dalam proses penjemuran. Irisan pisang yang gagal dalam proses penjemuran akan berwarna hitam. Mereka tidak akan mau menggoreng pisang yang sudah berwarna hitam walaupun dari segi rasa sebenarnya tidak berubah. Mereka akan menggoreng pisang yang sukses dalam penjemuran yaitu irisan pisang yang berwarna kecoklatan atau cokelat tua. Dalam menyajikan makanan dan berdagang mereka tetap memegang sebuah pripsip. Untuk setiap manusia rezeki itu sudah diatur. Jujur adalah sebuah pedoman dalam berusaha.


Terima kasih sudah memberi sebuah pembelajaran dalam menjalani sebuah kehidupan Ibu Reihan. Semoga usahanya semakin lancar. Para pencinta sale akan selalu menunggu sale buatan Ibu Reihan. Termasuk saya sendiri. (EN)

Proses penggorengan yang masih menggunakan kayu bakar. Penggorengan pisang sale harus dilakukan 2 orang

Packing pisang sale juga dengan metode sederhana. Perekat plastik masih menggunakan api pada lampu teplok

Keripik sale yang siap dijual dengan merk Nasel. Nasel adalah nama dari dua cucu Ibu Reihan yaitu Nanang dan Seli

Wednesday, July 13, 2011

Bagaimana Kami Bisa Bertahan

Bagaimana dia mengobati anaknya sakit? tubuhnya panas dan kulitnya mulai menguning?

Apa yang bisa mereka lakukan untuk mencari penghidupan (makan) jika memang harus tinggal ditegakan akasia yang luasnya puluhan ribu hektar ini? Benarkah dia akan memakan seekor katak yang sudah mati dan tubuhnya sudah mulai mengering itu?

Mungkinkah aku akan mengeksplotasi mereka dengan kamera yang aku pegang?

Bismillahirrahmanirrahim…

Hanya satu niatku ya Tuhan, menyampaikan apa yang aku lihat dan aku dengar disini. Bagaimana kejamnya negara ini memberlakukan warganya. Bagaimana busuknya politik negeri ini. Seolah-olah mereka tidak memandang bahwa orang rimba adalah saudaranya. Manusia yang punya hak hidup layak. Butuh hutan untuk untuk bernaung dan mengajarkan anak-anaknya bagaimana nikmatnya hidup harmonis bersama alam. Berburu di lebatnya hutan rimba. Memakan buah di pohon-pohon liar yang tumbuh di alam. Mencari ikan di riak airnya yang tak pernah padam. Seperti jauh dulu yang mereka rasakan…


Kalimat-kalimat seperti inilah yang selalu menyelimuti perasaan saya ketika saya berhasil menemukan mereka. Menemukan salah satu kelompok Orang Rimba (OR) yang bertahan hidup dibawah tegakan akasia (Acacia sp.). Sebuah hutan monokultur atau yang sering disebut dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kertas. Tanaman akasia jenis Acacia auriculiformis dan Acacia mangium-lah yang sekarang menghijaukan daratan Provinsi Jambi.

Berdasarkan RTRWP Provinsi Jambi, luas kawasan hutan di jambi adalah 2,1 juta hektar dari 5 juta hektar luas Provinsi Jambi. Dari 2,1 juta hektar kawasan hutan tersebut terbagi menjadi kawasan konservasi, kawasan lindung, dan kawasan produksi.

Luas kawasan hutan produksi di Jambi adalah sekitar 1,2 juta hektar. 50% atau sekitar 600 ribu hektar kawasan hutan produksi ini sudah diberikan izin oleh pemerintah kita kepada Sinar Mas Group melalui berbagai macam anak perusahaannya. Izin ini diberikan hanya untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Jika izin HTI yang diperoleh ini digabungkan dengan izin-izin untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara, entah berapa luas daratan Jambi yang sudah dikuasai oleh Sinar Mas Group.

Seorang teman di Jambi pernah menunjukkan sebuah peta rencana perluasan HTI milik Sinar Mas Group kepada saya. Mereka menargetkan luas konsesi mereka seluas kurang lebih 1 juta hektar pada tahun 2020. Fantastis bukan?

Orang Rimba adalah salah satu suku asli Jambi yang hidupnya semi nomadic. Hidup berpindah-pindah didalam kawasan hutan. Bertahan hidup dengan berkebun dan berburu. Dari sejak awal hidup di dunia ini, Orang Rimba tinggal didalam kawasan hutan. Mereka sudah menandakan sebuah kawasan hutan yang merupakan wilayah jelajahan mereka. Orang Rimba sangat bergantung dengan kawasan hutan untuk tempat tinggal mereka.

Bagi Orang Rimba, jika ada anak yang lahir, kedua orang tuanya akan menanamkan ari-ari anaknya di pohon tertentu. Pohon itulah nanti yang akan melambangkan kehidupan sang anak tersebut. Pohon yang menjadi saksi pertumbuhan sang anak tersebut harus dijaga agar kehidupan sang anak juga nantinya terjaga dengan baik. Orang Rimba tidak akan meninggalkan kawasan tempat lahir mereka. Sejauh apapun mereka pergi, mereka pasti akan kembali. Selain pohon sebagai lambang kelahiran, yang mengikat mereka dengan kawasan tertentu adalah kuburan tempat keluarga mereka yang dimakamkan.

Saat ini hutan alam di Jambi sudah dalam kategori sangat kritis. Yang tersisa hanya kawasan-kawasan konservasi didalam taman nasional. Itupun tak luput dari pencurian kayu dan perambahan. Hilangnya kawasan hutan jelas menjadi ancaman bagi Orang Rimba. Hutan yang mereka jaga dan menjadi tempat tinggal yang nyaman selama ini sudah berubah menjadi pohon-pohon akasia. Jenis pepohonan yang sama sekali yang tidak bersahabat untuk Orang Rimba. Tidak ada buah-buahan. Tidak ada satwa buruan. Anak-anak sungai yang ada mengering dan juga teracuni oleh ganasnya pupuk-pupuk yang digunakan perusahaan untuk menggenjot pertumbuhan akasia yang mereka tanam.

Serakahnya para pejabat di negara ini dan rakusnya perusahaan terhadap kawasan hutan jelas-jelas menenggelamkan kehidupan Orang Rimba. Membunuh kebudayaan dan kearifan lokal yang sudah lama mereka pegang. Dampak yang paling buruk adalah membunuh sebuah etnis di Jambi. Etnosida.

Mata sayu. Anak-anak yang kelaparan adalah pemandangan pertama yang saya liat ketika saya menjumpai mereka. Biskuit yang sengaja saya bawa untuk mereka habis dalam seketika. Seorang ibu yang dituakan membagikannya kepada anak-anaknya yang duduk dibawah pohon-pohon akasia yang belum terlalu besar. Seorang ibu muda yang sedang menggendong anaknya yang baru berumur 3 bulan bercerita kepada saya bahwa anaknya sudah 2 minggu panas dan selalu menangis. Dengan telapak tangan yang gemetar saya mencoba memegang kepala sang bayi yang tubuhnya mulai berwarna kuning itu. “Oh Tuhan, haruskah Kau biarkan mereka yang tertindas ini” teriakku dalam hati ketika memegang tubuh sang bayi.

Saya tidak berani lama berada disekitar mereka. Selain saya tidak kuat melihat kenyataan ini, saya juga khawatir orang-orang perusahaan akan tahu klo saya masuk kedalam konsesi mereka.

Hanya satu pesan yang saya ingat sampai sekarang dari Ketua Kelompok mereka yaitu Pak Selamat. “Tolong sampaikan kepada orang-orang yang ada di Jakarta. Jangan dibuka lagi hutan kami. Kami tidak punya tempat tinggal lagi jika semua hutan sudah habis. Kami bertahan di kebun akasia ini karena dari dulu ini memang tempat tinggal kami. Hutan kami”







Friday, July 8, 2011

Kami tak sanggup memandang matahari

Dalam tiga tahun terakhir kasus-kasus konflik harimau sumatera dengan manusia semakin meningkat. Konflik ini terjadi secara merata mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Bengkulu. Di tahun 2011 hampir setiap bulannya terdapat berita-berita mengenai kematian harimau sumatera maupun korban jiwa akibat diserang oleh harimau sumatera sang raja hutan.

Selama bulan Juni-Juli 2011 sudah 2 ekor harimau sumatera yang mati. Kasus pertama terjadi di Provinsi Bengkulu. Seorang oknum polisi diduga menembak mati harimau sumatera yang berada disekitar kampung. Saat ini kasusnya belum terungkap apa motif sang oknum tersebut menembak harimau sumatera. Kasus kedua terjadi di Provinsi Riau. Seekor harimau sumatera usia 1,5 tahun mati terjerat didalam konsesi perkebunan hutan tanaman industri milik sinar mas group.

Tingginya tingkat kematian harimau sumatera di Indonesia jelas sangat mengancam keberadaan harimau sumatera. Jumlah populasi satwa yang menjadi salah satu satwa primadona di Indonesia ini dikabarkan hanya berkisar 400 ekor. Departemen Kehutanan menginformasikan bahwa dalam kurun 25 terakhir jumlah harimau sumatera menyusut sampai 25%. Di Provinsi Riau saja harimau sumatera diperkirakan hanya tinggal 30 ekor.

Mengapa harimau sumatera menyerang manusia? Mengapa konflik harimau sumatera dengan manusia cenderung meningkat?

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan inilah saya melakukan perjalanan ke Pekanbaru, Riau. Desa yang saya tuju adalah Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir. Di desa ini sudah terjadi 4 kali kasus harimau menyerang manusia. Sebanyak 2 orang masyarakat Desa Jumrah meninggal dunia akibat diserang oleh harimau sumatera. Dalam kunjungan ini, saya hanya ingin mengetahui seperti apa jawaban masyarakat desa terkait dengan pertanyaan yang saya sebutkan diatas.


“Harimau menyerang kami, sudah jelas karena tempat tinggal mereka tidak ada lagi pak. Hutan mereka habis dibabat oleh perusahaan. Yang tertinggal hanya pohon-pohon akasia milik PT Arara Abadi, Group Sinar Mas. Apa yang mereka mau makan disana? Monyet saja tidak mau tinggal di pohon akasia itu” ungkap Sukardi Ahmad, Kepala Desa Jumrah.

Sukardi juga menjelaskan bahwa harimau ini awalnya tersebar di daerah Dumai. Tetapi karena hutan di Dumai sudah habis dikonversi menjadi perkebunan skala besar, harimau tersebut bergerak ke arah Desa Jumrah yang hutannya relatif masih bagus. Tetapi dalam setahun belakangan hutan di Desa Jumrah juga sudah dikonversi oleh PT Rimba Utama Jaya (PT RUJ) milik Sinar Mas Group.

“Semua pohon-pohon yang ada di desa kami habis dicabut oleh alat-alat berat milik perusahaan. Yang tersisa hanya daun-daun kering saja. Daunnya pun menjadi bencana buat kami karena rawan terbakar karena tanahnya tanah gambut. Ketika gambut terbakar, masyarakat yang disalahkan oleh pemerintah” jelas Sukardi yang baru menjabat kepala desa selama 4 bulan ini. Masuknya konsesi milik PT RUJ diwilayah Desa Jumrah juga tanpa ada proses sosialisasi. PT RUJ datang dan langsung mencabut semua pohon-pohon alam yang ada di wilayah desa untuk kebutuhan bahan baku pulp and paper milik Sinar Mas Group.

Rakusnya perusahaan milik Sinar Mas Group membuat masyarakat khawatir. Sudah beberapa kali masyarakat mengadukan kasus ini ke kecamatan dan dinas-dinas di kabupaten. Pertemuan demi pertemuan juga sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Jumrah untuk menanyakan status perusahaan yang masuk ke wilayah desa. “Kami seperti tak berdaya menghentikan alat berat yang menghancurkan hutan kami. Mereka seperti tak bisa melihat hutan yang masih bagus dan alami. Pasti langsung ditebang dan dihancurkan. Alasan mereka sudah mendapat izin dari menteri kehutanan. Kami tak sanggup memandang matahari” keluh Sukardi mengumpamakan masyarakatnya jika berhadapan dengan para pejabat negara.

Berdasarkan hasil kesepakatan pertemuan pada awal tahun lalu bahwa akan dilakukannya pemetaan terhadap wilayah desa yang menjadi areal konsesi perusahaan. Masyarakat Desa Jumrah berharap ketika masih menunggu proses pemetaan wilayah desa, perusahaan tidak melakukan aktivitas penebangan. Tapi yang terjadi saat ini adalah proses penebangan terus berjalan dan sudah ribuan hektar wilayah desa yang mengering dan terbakar.

PT RUJ juga sudah membuat kanal yang lebarya mencapai 6 meter. Kanal ini dibuat selain untuk mengeringkan lahan gambut juga untuk sarana transportasi untuk mengeluarkan kayu-kayu hasil tebangan. Keberadaan kanal berdampak terhadap pertanian masyarakat. Ketika musim hujan, air kanal meluap dan masuk keperkebunan masyarakat. “Jadi kami ini sekarang serba salah pak. Musim kering kebakaran. Klo musim hujan kami kebanjiran. Tanaman sawit saya yang masih kecil mati akibat terendam banjir. Sekitar 5 hektar kebun saya rusak akibat banjir dari kanal yang dibuat perusahaan tersebut” Ungkap Sukardi.

Saat ini masyarakat Desa Jumrah yang berjumlah sekitar 3000 jiwa masih bisa bersabar menunggu tindakan kongkrit pemerintah daerah dan departemen kehutanan untuk meninjau kembali konsesi perusahaan yang masuk ke wilayah desa mereka. Mereka khawatir harimau sumatera akan kembali ke desa dan menyerang masyarakat yang sedang berladang. Bukan tidak mungkin jika sebuah kesabaran sudah habis akan terjadi lagi konflik kehutanan di wilayah Riau. Keberadaan harimau sumatera dan masyarakat sama-sama menjadi terancam.





Thursday, May 12, 2011

Nilai-nilai Pancasila tidak lagi menjadi landasan

Membaca berita di harian KOMPAS pagi ini tentang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak lagi berlandaskan nilai-nilai Pancasila membuat saya berner-bener sedih melihat kondisi negara ini. Saya sejak beberapa minggu yang lalu memang selalu membaca dan mecoba memahami pemberitaan di KOMPAS yang beberapa hari belakangan mengangkat isu ini. Entah kenapa pagi ini, setelah membaca berita di KOMPAS tersebut saya bener-bener geram dan emosi melihat tingkat laku pejabat negara kita.

“Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi acuan berpaham pasar bebas atau kapitalisme. Nilai-nilai Pancasila tidak lagi menjadi landasan. Artinya memang sejak awal pemerintah berniat melepaskan tanggung jawab pendidikan pada mekanisme pasar. Yang terjadi tidak akan ada lagi keadilan dan pemerataan pendidikan. Akses pendidikan pendidikan terbuka luas hanya bagi masyarakat kaya.”

13051666292016809131

Garuda Pancasila

Menyedihkan melihat kondisi negara kita saat ini. Pemerintah seperti menghianati ideologi sebuah bangsa yang bermartabat. Mebiarkan ketidakadilan terjadi dan miningginya kecemburuan sosial. Hilang budaya gotong royong, musyarawah untuk mufakat dan jiwa patriotisme pada seseorang.

Terlebih-lebih semakin banyaknya kasus-kasus pemiskinan masyarakat di desa-desa, di dusun sampai di pedalaman nusantara. Semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang berakhir dengan adu testimoni dan adu pengacara. Seorang Jaksa pun lupa memberikan tuntutan kepada salah satu terdakwa kasus korupsi disaat proses persidangan kemaren siang. Entah apa yang ada dipikiran seorang jaksa tersebut disaat akan membacakan sebuah tuntutan. Biasanya seorang terdakwa (biasanya penajabat negara) yang menghabisi uang negara yang jumlahnya puluhan miliar rupiah hanya divonis penjara 1-4 tahun. Itupun akan berlaku berbagai macam remisi setiap tahunnya.

Semakin ngerinya melihat tawuran antar pelajar, antar komplek, antar kelurahan dan antar supporter sepak bola. Setiap lima tahun, yaitu pilkada diberbagai daerah seperti ajang untuk unjuk kekuatan. Klo kalah dalam pilkada bukan tidak mungkin akan mengerahkan keluarga, sanak famili, kerabat dan juga orang-orang bayaran untuk menyerang kantor-kantor pemerintahan, menghancurkan fasilitas-fasilitas negara. Bahkan terkadang rumah, toko-toko dan warung milik warga yang tidak tahu apa-apa ikut musnah.

Kita yang sehari-hari hanya menjadi pekerja biasa, pegawai/karyawan biasa ataupun punya usaha sendiri mungkin tidak terlalu mau ambil pusing dengan urusan negara. Tapi ketika sebuah ideologi negara yang sudah dibuat secara baik, penuh perjuangan dan pemikiran para era Soekarno itu akan dihilangkan dari negara ini membuat saya bener-bener merasa terusik. Bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya negara ini ketika anak-anak yang sekarang masih didalam masa pendidikan akan mengganti generasi-generasi yang sudah ada saat ini. Pejabat negara, pengusaha, dan para penguasa diberbagai daerah sekarang ini sudah sangat memprihatinkan pemikiran dan prilakunya. Apalagi mereka sekarang ini, dimana mereka tidak lagi mendapat pelajaran dan pemahaman mengenai landasan dan acuan seseorang warga negara. Dimana semua harus berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Akan seperti apa negara ini nantinya. Mungkinkah akan semakin baik?

Sewaktu masih di sekolah dasar sampai dengan sma saya sangat senang pelajaran-pelajaran mengenai sebuah jiwa patriotisme. Menyanyikan lagu ‘aku seorang kapiten’. Memahami apa itu Pancasila. Menghafalkan butir-butir Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45.

Sekarang mungkin dijiwa anak-anak yang mulai tumbuh dan berkembang tidak memiliki lagi jiwa-jiwa yang berlandaskan Pancasila. Lupa klo Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika ada idiologi sebuah bangsa.

Melihat keadaan yang seperti ini saya berduka untuk bangsa terlebih dahulu. Mepersiapkan diri untuk beberapa puluh tahun yang akan datang agar tidak shock disaat apa yang saya bayangkan saat ini terjadi. Itupun klo saya masih diberi kesempatan untuk menyaksikannya.

Salam,
Een Irawan Putra
—————

Nilai-nilai Pancasila tidak lagi menjadi landasan
UU Sisdiknas Berpaham Pasar Bebas


Kamis, 12 Mei 2011

Jakarta, Kompas - Bukan sesuatu yang aneh jika pendidikan Pancasila tidak lagi diajarkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Ini disebabkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi acuan berpaham pasar bebas atau kapitalisme.

Paham kapitalisme dan privatisasi sangat terlihat jelas dalam pasal-pasal UU Sisdiknas, seperti adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan pasal Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Dalam paham kapitalisme, tidak ada tempat bagi keadilan sosial karena kesempatan terbuka lebar bagi pemilik modal atau kelompok kaya.

Demikian pendapat Guru Besar (emeritus) Pancasila Universitas Nusa Cendana Kupang Mesakh Taopan (74), Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Bahtiar Effendy, dan sejumlah praktisi pendidikan lainnya, Rabu (11/5).

Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengatakan, landasan pendidikan kita memang sangat kacau. ”Perlu reformasi gradual dan fundamental,” katanya.

Lody Paat mengatakan, UU BHP memang dihapuskan Mahkamah Konstitusi. Namun, pasal BHP di UU Sisdiknas tidak dihapuskan.

”Artinya memang sejak awal pemerintah berniat melepaskan tanggung jawab pendidikan pada mekanisme pasar. Pemerintah hanya akan menanggung pendidikan dasar saja,” kata Lody Paat.

Padahal, pendidikan jika dilepaskan pada mekanisme pasar, yang terjadi tidak akan ada lagi keadilan dan pemerataan pendidikan. Akses pendidikan pendidikan terbuka luas hanya bagi masyarakat kaya.

”Padahal di negara-negara liberal pun, persoalan pendidikan menjadi tanggung jawab negara,” katanya.

Sementara Bahtiar Effendy menambahkan, jika semua pihak serius ingin mempraktikkan Pancasila, maka harus dibuat mekanismenya agar kebijakan publik yang disusun memiliki perspektif Pancasila.

”Kita hanya memiliki Mahkamah Konstitusi yang bertugas mencocokkan peraturan yang ada dengan UUD 1945. Iran dan Turki memiliki komisi ideologi,” kata Bahtiar.

Musyawarah hilang

Mantan anggota DPR, Ferry Mursyidan Baldan, menambahkan, bukan cuma mata pelajaran Pancasila yang hilang, nilai-nilai Pancasila pun sudah mulai ditinggalkan dalam kehidupan berpolitik.

Musyawarah untuk mufakat yang menampung semua aspirasi, termasuk kelompok minoritas, kini ditinggalkan dan diganti menjadi suara terbanyak dalam pengambilan keputusan.

”Politik menjadi kehilangan seninya. Karena yang ada dalam politik adalah menang atau kalah, tidak lagi memengaruhi,” kata Ferry menambahkan.

Mesakh Taopan mengatakan, rapat senat Universitas Nusa Cendana pada tahun 2004 bersepakat pendidikan Pancasila tetap dipertahankan meski tidak tercantum dalam kurikulum Sisdiknas.

”Kini mungkin Universitas Nusa Cendana satu-satunya perguruan tinggi yang masih mempertahankan pendidikan Pancasila,” ujarnya.

(ELN/LUK/NOW/ANS/KOR)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/05/12/05260459/uu.sisdiknas.berpaham.pasar.bebas

Pancasila ideologi negara

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Butir-butir pengamalan Pancasila.

Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :

  • Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.

  • Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya: Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :
  • Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
  • Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
  • Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
  • Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
  • Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila)


Butir-butir pengamalan Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
(10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

3. Persatuan Indonesia

(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
(3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
(6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

(1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
(2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
(6) Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
(7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
(8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
(9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
(10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
(4) Menghormati hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
(7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
(8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
(9) Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Sunday, April 17, 2011

Bathin IX mencari kemerdekaan (2)

Setelah mengunjungi masyarakat adat Bathin IX yang berada di Desa Singoan, keesokan paginya saya diajak Pak Abunyani mengunjungi Dusun Tanah Menang, Desa Bungku, di Kecamatan Bajubang.

Sebuah dusun kecil yang terletak didalam kawasan pekebunan kelapa sawit milik PT Asiatic Persada (Wilmar Group). Di rumah kecil yang terbuat dari papan saya diterima oleh beberapa warga. Rumah yang berada dipinggir jalan perkebunan kelapa sawit yang berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman kelapa sawit milik perusahaan. Jika dimusim hujan jalan-jalan ini berlumpur dan tidak bisa dilalui mobil-mobil kecil yang bukan four-wheel drive.


Kutar. Seorang laki-laki berperawakan tegap dan bersuara lantang, adalah pria yang saya temui di dusun ini. Kami berkunjung ketika dia sedang memperbaiki rumah kecilnya. Laki-laki yang sekarang ditunjuk menjadi ketua RT di lingkungannya ini banyak menjelaskan bagaimana konflik antara masyarakatnya dengan perusahaan perkebebunan kelapa sawit yang saat ini berada di wilayah mereka.

Berdasarkan beberapa sumber informasi dan penjelasan dari Kutar, tidak terlalu jauh dari wilayahnya terdapat 2 dusun lagi yang kawasannya diklaim oleh perusahaan sebagai wilayah perkebunan. Dua dusun tersebut adalah Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Luas lahan yang diklaim oleh perusahaan yang termasuk didalam HGU perusahaan di 3 dusun ini adalah 3.614 ha.

Di wilayah Dusun Padang Salak terdapat beberapa anak sungai yaitu Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, dan Sungai Ulu Suban Ayomati.

Di wilayah Dusun Pinang Tinggi terdapat beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, dan Sungai Tunggul Enaw.

Sementara Dusun Tanah Menang terdapat beberapa sungai yaitu Sungai Limus, Sungai Dahan Petaling, Sungai Langgar Tuan, Sungai Pagar, Sungai Klutum, Sungai Lesung Tigo, Sungai Lamban Bemban, Sungai Tertap, Sungai Nyalim, Sungai Temidai, Sungai Sialang Meranti, Sungai Dahan Setungau, Sungai Ulu Kelabau, Sungai Marung Tengah, SungaiBindu, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Semio, Sungai Klabau, dan Sungai Arang paro.

Keberadaan anak-anak sungai inilah yang menjadi batas-batas wilayah dan sumbermata pencaharian masyarakat. Beberapa anak sungai ini sekarang kondisinya sudah berubah karena ditanami kelapa sawit dan ada yang ditimbun oleh perusahaan untuk areal perkebunan. Sungai yang tersisa juga rusak oleh limbah-limbah pabrik penggilingan kelapa sawit. Masyarakat suku Bathin IX masih bisa mengingatnya dengan baik keberadaan sungai-sungai yang ada di wilayahnya.

Tahun 1987 adalah awal dari semua permasalahan. Sebuah HGU seluas 20.000 ha diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari untuk PT Bangun Desa Utama (PT BDU) untuk dibangun perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Dua tahun setelah penerbitan HGU terjadi penggusuran masyarakat di 3 dusun, yaitu Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Penggusuran yang dilakukan perusahaan bersama aparat kepolisian dan tentara membuat masyarakat di 3 dusun berpencar. Beberapa masyarakat memilih meninggalkan rumahnya karena takut dengan intimidasi yang dilakukan pada saat proses penggusuran.

Pada tahun 2001-2002 setelah pergantian manajemen perusahaan, kembali terjadi penggusurun lahan warga. Tanaman cokelat yang sudah ditanam oleh perusahaan diganti menjadi kelapa sawit. Perusahaan mengklaim bahwa lahan yang ditempati masyarakat berada di kawasan HGU perusahaan. Tanaman-tanaman keras masyarakat seperti durian, digusur dan dibersihkan. Makam-makam masyarakat pun ikut tergusur.

Dampak dari penggusuran paksa yang menggunakan aparat militer dan kepolisian yang menggunakan kekerasan dan intimidasi pada saat itu bukan saja berdampak pada hilangnya tanah dan tanaman masyarakat, tetapi juga dampak psikologis terhadap beberapa orang dewasa dan anak-anak. Jay (24 tahun) yang dulu sewaktu penggusuran masih anak-anak, sampai dengan sekarang masih trauma melihat orang-orang yang berpakaian militer.

Kutar juga menceritakan pada saat itu dia juga pernah diusir dari rumahnya. Diseret ke mobil polisi dan dibawa ke kantor polisi karena dianggap melawan. Merasa tidak bersalah dan harus mempertahankan hak atas tanahnya, Kutar tidak gentar menghadapi para anggota kepolisian. “Pada tahun 86-87 tentara langsung masuk rumah. Menodong senjata dan mengusir kami. Andalan perusahaan itu adalah Kapolres Batang Hari dan Kapolsek Bajubang. Yang saya tanyakan sekarang, mereka ini polisi perusahaan atau masyarakat?” ucap Kutar.

Hanya Kutar dan beberapa rekannya yang masih bertahan di tanah mereka. Walaupun sering menerima intimidasi dan ancaman mereka tidak akan menyerahkan tanah yang sudah dimiliki dari nenek moyang mereka. Karena takut dengan ancaman-ancaman yang diberikan perusahaan, beberapa masyarakat di Dusun Padang Salak dan Dusun Pinang Tinggi sudah meninggalkan tanah mereka. Untuk menghilangkan bukti-bukti bahwa lahan tersebut adalah milik masyarakat Suku Bathin IX, perusahaan membunuh semua tanaman-tanaman keras milik masyarakat dengan cara diracun. Cara-cara inilah yang membuat Kutar dan masyarakat yang masih bertahan di Dusun Tanah Menang berang. “Negara ini kalau tidak salah berlaku undang-undang dan pancasila. Kalau tidak berlaku lagi undang-undang dan hukum ini, mungkin seperti inilah pak. Apakah bapak mau, klo istri bapak adalah istri kami? Harta bapak, harta kami?. Kami mengambil buah sawit satu biji ditangkap, karena dianggap pencuri. Perusahaan mengambil tanah kami tidak ditangkap” jawab Kutar ketika diintrogasi oleh polisi dan dituduh mengambil tanah perusahaan yang masuk kedalam wilayah HGU perusahaan.

Kutar menjelaskan, klo memang perusahaan itu merasa membeli tanah-tanah mereka, ia ingin mengetahui kepada siapa perusahaan itu membeli. Karena mereka merasa tidak pernah merasa menjual atau menyerahkan tanah yang sudah ditempati oleh mereka selama beberapa generasi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang dulu hidup harmonis dengan alam, berladang, berkebun karet dan berburu ini sekarang seperti orang tersesat. Berjalan tak tentu arah. “Sebelum tahun 1986 buah-buahan melimpah disini, sampai tidak habis kami memakannya. Kami berikan buah-buahan itu kepada masyarakat luar (orang-orang trasnmigrasi) karena saking banyaknya. Tanaman jerenang banyak di hutan. Sekarang susah. Perusahaan pernah bilang ke kami, katanya makin ramai makin aman. Tentram. Tapi kenyataannya makin susah hidup kami. Inilah resiko kami bermain dengan orang pintar” keluh Kutar.

Tak mampu beli durian

Tadi ada keluarga yang memberi uang sebesar Rp 50.000. Ketika saya pegang uang itu, cucu saya ingin sekali makan buah durian. Terpaksalah saya membeli durian yang harganya sekarang masih Rp 30.000/buah. Sekarang pak, kami tidak bisa lagi menikmati buah durian.” Ucap Harun C kepada saya ketika kami mengunjungi beberapa orang Bathin IX di Desa Nyogan. Harun C dulunya berasal dari Dusun Padang Salak, Desa Bungku. Dia dan sekeluarga terpaksa meninggalkan rumah dan tanahnya karena takut akan intimidasi para perusahaan dan militer. Tanah Harun C yang ditinggalkan di Dusun Padang Salak kurang lebih 200 X 900 depo. 1 depo sama dengan 1,5 meter.

Usup Bengking sekarang tinggal di Dusun Segandik, Desa Nyogan. Sama dengan Harun C, Usup juga meninggalkan rumah dan tanahnya yang berada di Dusun Pinang Tinggi. Dia dan beberapa rekan-rekannya sekarang tinggal di rumah yang sangat sederhana atas batuan Dinas Sosial sewaktu gencarnya konflik dan penggusuran tanah dan ladang mereka. Di Desa Nyogan sekitar 75% adalah masyarakat Suku Bathin IX. Sebanyak 60 orang mempunyai hak atas tanah di perkebunan PT Asiatic Persada. Mata pencaharian mereka saat ini sudah tidak menentu. Ada yang mencari ikan, berkebun dan buruh perkebunan.

Harapan kami, kami ingin tanah kami kembali. Tidak ada negosiasi lain. Saya ini sudah tua, umur kami sudah tidak lama lagi. Sudah puluhan tahun kami hidup mengungsi seperti ini. Anak cucu saya tidak punya tanah, tidak punya kebun. Mau bertani tidak bisa. Bagaimana mereka mau menjalani kehidupan ini?” ungkap Harun C.

Tidak mau sekolah gara-gara sandal jepit

Derita dan kesedihan bukan hanya dirasakan oleh satu generasi. Tapi mungkin akan berlanjut ke generasi berikutnya. Para orang tua mungkin merasakan sakit dan pedih karena tergusurnya tanah mereka. Sulitnya sumber mata pencaharian untuk penghidupan. Kemiskinan ini juga berdampak pada anak-anak mereka. Karena berasal dari keluarga yang tidak mampu, anak-anak Suku Bathin IX terpaksa sekolah dengan menggunakan baju sekolah seadanya dan menggunakan sandal jepit.

Supri salah satu anak Suku Bathin IX yang tinggal di Dusun Tanah Menang yang bersekolah di salah satu sekolah dasar yang ada di Pasar Kecamatan Bajubang. Pada tahun 2003 Supri duduk di bangku kelas 2. Masih ingat betul diingatan Supri pada saat itu dia dimarahin oleh seorang guru ketika ia dan seorang temannya yang juga berasal dari Suku Bathin IX berangkat sekolah menggunakan sadal jepit. Saat itu sang guru menanyakan kepada mereka kenapa mereka sekolah menggunakan sandal. Supri hanya bisa menjawab bahwa orang tuanya tidak mampu membeli sepatu. Supri juga sudah menejelaskan klo tanah mereka sudah habis diambil oleh perusahaan kelapa sawit. Orang tuanya tidak ada uang untuk membelikan sepatu untuk ke sekolah. Setelah menjawab pertanyaan sang guru, guru tersebut meminta Supri dan temannya untuk menggantungkan sandal mereka di leher dan berjemur di halaman sekolah. Setelah kejadian tersebut mereka tidak mau lagi ke sekolah karena malu dengan murid-murid lain yang mayoritas adalah orang-orang transmigrasi.

Kutar menyampaikan bahwa tanah yang dibangun untuk sekolah dahulunya adalah tanah wakaf dari orang tuanya. Sekolah yang dibangun oleh PT Asiatic Persada awalnya adalah untuk anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) bersekolah. Memperoleh pendidikan. Mengerti baca tulis.

Sampai dengan sekarang saya masih ingat nama dan wajah seorang guru yang menghukum saya disaat sekolah ketikasaya memakai sandal jepit” ungkap Supri. Tak urung Supri yang sekarang mulai tumbuh dewasa menyimpan dendam kepada sang guru.

Saat ini jumlah anak-anak usia sekolah di Dusun Tanah Menang sekitar 200 anak. Yang bisa mengenyam sekolah seekitar 20 orang.

Saya yang beberapa hari tinggal bersama orang-orang Suku Bathin IX menjadi tahu kenapa Pak Abunyani dan bersama dengan rekan-rekannya dari Suku Bathin IX berusaha membangun kekuatan untuk berjuang mencari sebuah kemerdekaan. Merdeka seutuhnya. Merdeka diatas tanah mereka sendiri. Selama 24 tahun mereka harus hidup berjuang mempertahankan tanah warisan dari para leluhur mereka. Seperti pepatah lama orang-orang Suku Bathin IX “Biarlah orang mendapat asal kito tidak kehilangan”.

TAMAT

Wednesday, April 13, 2011

Bathin IX Mencari Kemerdekaan (1)

Murid sekolah dasar. Atupun mungkin murid sekolah dari taman kanak-kanak sudah tahu negara ini merdeka dari tahun 45. Semua rakyat Indonesia pun tahu itu. Tapi seperti apakah hakekat sebuah kemerdekaan? Benarkah bagi orang-orang yang ada di negeri ini merasakan merdeka? Mungkin belum semua lapisan masyarakat yang ada di negeri ini merasakan merdeka seutuhnya.

Apa saya tulis berikut ini adalah, penglihatan saya dan pendengaran saya mengenai masyarakat yang belum merdeka seutuhnya. Memang kita sudah merdeka dari jajahan negara asing yang frontal. Tapi merdeka dari penindasan, pembodohan dan pemiskinan? Saya berani mengatakan mereka belum merdeka!

Berbekal tulisan dari Irma Tambunan mengenai Suku Bathin IX di Jambi pada harian KOMPAS di kolom SOSOK sebulan yang lalu, saya nekad mencari informasi sebanyak-banyak mengenai suku ini dan juga mengenai sosok yang ditulis oleh Irma. Semua kontak yang ada di Jambi saya hubungi untuk melacak siapa orang yang ada dimaksud didalam harian KOMPAS. Benarkan Suku Bathin IX ini ada di Jambi dan kondisinya ‘tenggelam’.

Informasi awal yang ingin saya dapatkan akhirnya terkumpul. Melalui media komunikasi telpon saya berhasil mengumpulkan beberapa informasi awal tersebut.


14 Maret 2011 saya langsung terbang ke Jambi. Setelah empat hari mengunjungi beberapa teman di Jambi saya langsung memutuskan untuk tinggal dirumah Pak Abunyani di Desa Kilangan, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari. Sosok yang ada dituliskan di harian KOMPAS tersebut. Di rumahnya yang sederhana saya mendapatkan banyak informasi mengenai Suku Bathin IX. Saya juga menjadi mengerti kenapa beliau bersikukuh untuk mengangkat kasus-kasus yang terjadi di komunitasnya. Karena saya tidak puas hanya mendengar cerita dari beliau. Saya minta beliau mengantarkan saya ke lokasi-lokasi konflik tersebut. Lokasi dimana masih ada masyarakat adat suku Bathin IX yang tetap mempertahankan tanah ulayatnya walaupun harus menghadapi berbagai macam kecaman dan intimidasi.

Berdasarkan cerita sejarah, Suku Bathin IX adalah komunitas pertama penghuni Jambi dan memiliki sebagian hutan adat di Jambi. Komunitas adat ini awalnya menempati sepanjang sembilan anak sungai yaitu Sungai Semak (saat ini leih dikenal dengan Sungai Bulian), Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Semua sungai ini bermuara ke Sungai Batang Hari. Sejak lama pemerintah menggabungkan Komunitas Suku Bathin IX ini dengan Orang Rimba menjadi satu istilah yaitu Suku Anak Dalam (SAD). Pemerintan menganggap mereka sama, padahal mereka berbeda komunitas dan beda adat istiadat.

Esok paginya sekitar jam delapan pagi Pak Abunyani mengajak saya ke Sialang Pugug, Desa Singoan. Disana saya bertemu dengan beberapa masyarakat Bathin IX yang konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Induk Kebun Unggul (PT IKU). Pada tahun 1995 tanah masyarakat dijadikan perkebunan kelapa sawit dimana sebelumnya dijanjikan akan bagi hasil jika nanti perkebunan tersebut menghasilkan. Pola kemitraan ini dulunya dipimpin oleh seorang cukong yaitu Tanoto Ayong-sebagai bapak angkat. Mereka bekerjasama dengan KUD Sinar tani. Kemitraan Masyarakat dan KUD ini dilakukan melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan cara pembagian 70% untuk petani dan 30% untuk perusahaan yaitu PT IKU. Direktur Utama PT IKU adalah Tanoto Ayong.

Sejak ditandatangani kesepakatan pola kemitraan dengan PT IKU, sekitar 2300 ha hutan adat milik masyarakat Suku Bathin IX dibabat habis oleh perusahaan. Kawasan hutan yang tergabung didalam 4 desa yaitu Desa Olak, Aro, Ma Singoan dan Desa Sungai Baung. Kayu-kayu yang sudah ditebang tersebut dikuasai oleh perusahaan PT IKU. Berdasarkan surat kesepakatan dan perjanjian dengan PT IKU, perusahaan akan membiayai kebutuhan hidup masyarakat yang tanahnya sudah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit selama 48 bulan (sampai perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan buah). Tentu saja dengan harapan besar pola kemitraan ini, mereka rela melepaskan tanah-tanah mereka untuk ditanami kelapa sawit, agar bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka.

Tapi janji, harapan besar dan mimpi indah itu tiba-tiba menjadi hilang dan menjadi sebuah mimpi buruk bagi mereka. Menjadi sumber malapetaka dan bencana. Pemiskinan secara terang-terang yang direstui oleh pemerintah. Setelah hutan habis ditebang dan kayu-kayunya sudah diangkut oleh perusahaan, lahan yang ditanami kelapa sawit hanya 663 ha. Biaya hidup yang dijanjikan selama 48 bulan hanya terlaksana beberapa bulan saja. Bibit kelapa sawit yang ditanami oleh perusahaan PT IKU dilahan tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya. Belakangan diketahui bahwa Tanoto Ayong sengaja mentelantarkan perkebunan sawit yang sudah disepakati karena sudah mendapat keuntungan dari hasil penjualan kayu-kayu disaat melakukan land clearing.

Tanoto Ayong selaku Direktur Utama PT IKU dikabarkan menghilang dari Jambi. Diketahui juga Tanoto Ayong terlibat banyak kasus di Jambi. Sampai dengan sekarang tidak peduli dengan nasib masyarakat yang ada di Desa Singoan.

Saat ini posisi masyarakat menjadi terjepit dan tidak ada pilihan yang menguntungkan. Dilanggarkan semua perjanjian dan kesepakatan yang dibuat berarti sama saja membunuh sumber matapencaharian dan harapan. Karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pada bulan Desember tahun 2007 masyarakat Suku Bathin IX didamping pengacaranya yaitu Mangara Siagian, SH dan kawan-kawan mencoba menghubungi beberapa aparat pemerintah diantaranya Kaporles Batanghari dan Kasat Brimobda Jambi untuk meminta izin untuk melakukan pemanenan kelapa sawit yang sudah ditanam. Hasil pertemuan itu disepakati boleh dilakukan pemanen secara bersama dan didampingi oleh aparat keamanan dari Brimob dan pihak tim pengacara.

Pada tanggal 20 Januari 2008 proses pemanenan bersama dilakukan. Proses pemanenan ini dilakukan oleh masyarakat didamping Brimob dan tim pengacara. Tapi apa yang terjadi? Ketika proses pemanenan dilakukan, sekelompok aparat dari Polres Batang Hari datang ke lokasi kebun. Proses panen dihentikan dan mereka yang lagi panen buah sawit langsung dibawa ke Polres Batang Hari dan ditahan. Mereka didakwa melakukan pencurian buah sawit milik perusahaan. Polres Batang Hari juga menangkap pengacara Mangara Siagian, SH dengan tuduhan sebagai otak pelaku pencurian buah sawit. Dari 60 orang yang melakukan panen bersama, sebanyak 16 orang masyarakat yang melakukan panen tersebut ditahan selama 7 bulan kurungan.

Mungkin inilah nasib rakyat yang belum merdeka seutuhnya. Nasib orang kecil, lemah dan tidak mempunyai sebuah kekuatan untuk meruntuhkan sebuah tembok yang ada didepannya ketika tembok tersebut menghalangi jalan mereka.

Tanah ulayat yang sudah terlanjur mereka sepakati untuk menjadi perkebunan kelapa sawit membawa derita. Ketika memanen tanaman yang ada ditanah sendiripun menjadi masalah. “Sebelum ada perusahaan masuk, kami ini aman. Buahan-buahan, tumbuh-tumbuhan banyak. Durian, cempedak, semua ada. Sekarang ini klo tidak beli buah-buahan diluar, kami tidak akan pernah bisa mencicipi rasa buah-buahan tersebut. Sejak perusahaan masuk, kami kesusahan sekali. Tanah kami digarap oleh perusahaan sawit, ternyata hasilnya tidak diberikan kepada kami. Jika kami olah tanah yang belum tertanam kelapa sawit, polisi datang dan dipenjara. Sedangkan kami merasa tanah ini adalah warisan dari nenek-nenek kami”. Keluh Pak Zainudin yang saat ini menjadi Ketua RT di Dusun Sialang Pugug.


Zainudin juga menjelaskan bahwa pada bulan September tahun 2010, ketika mereka mengolah tanah mereka. Semua orang yang mengolah tanah mereka dikirimin surat dari Polres Batang Hari. Mereka dianggap melakukan perkara tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KHUP). Surat resmi yang dipojok kiri atas tertulis dengan huruf kapital “DEMI KEADILAN” terebut ditandatangani oleh Kasat Reskrim selaku penyidik, yaitu Prasetiyo Adhi Wibowo, SIK. “Katanya klo 3 kali dipanggil kami tidak hadir, kami dianggap menentang hukum. Hukum apa yang saya tentang?” lanjut Zainudin.

(Bersambung)