Friday, July 8, 2011

Kami tak sanggup memandang matahari

Dalam tiga tahun terakhir kasus-kasus konflik harimau sumatera dengan manusia semakin meningkat. Konflik ini terjadi secara merata mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Bengkulu. Di tahun 2011 hampir setiap bulannya terdapat berita-berita mengenai kematian harimau sumatera maupun korban jiwa akibat diserang oleh harimau sumatera sang raja hutan.

Selama bulan Juni-Juli 2011 sudah 2 ekor harimau sumatera yang mati. Kasus pertama terjadi di Provinsi Bengkulu. Seorang oknum polisi diduga menembak mati harimau sumatera yang berada disekitar kampung. Saat ini kasusnya belum terungkap apa motif sang oknum tersebut menembak harimau sumatera. Kasus kedua terjadi di Provinsi Riau. Seekor harimau sumatera usia 1,5 tahun mati terjerat didalam konsesi perkebunan hutan tanaman industri milik sinar mas group.

Tingginya tingkat kematian harimau sumatera di Indonesia jelas sangat mengancam keberadaan harimau sumatera. Jumlah populasi satwa yang menjadi salah satu satwa primadona di Indonesia ini dikabarkan hanya berkisar 400 ekor. Departemen Kehutanan menginformasikan bahwa dalam kurun 25 terakhir jumlah harimau sumatera menyusut sampai 25%. Di Provinsi Riau saja harimau sumatera diperkirakan hanya tinggal 30 ekor.

Mengapa harimau sumatera menyerang manusia? Mengapa konflik harimau sumatera dengan manusia cenderung meningkat?

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan inilah saya melakukan perjalanan ke Pekanbaru, Riau. Desa yang saya tuju adalah Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir. Di desa ini sudah terjadi 4 kali kasus harimau menyerang manusia. Sebanyak 2 orang masyarakat Desa Jumrah meninggal dunia akibat diserang oleh harimau sumatera. Dalam kunjungan ini, saya hanya ingin mengetahui seperti apa jawaban masyarakat desa terkait dengan pertanyaan yang saya sebutkan diatas.


“Harimau menyerang kami, sudah jelas karena tempat tinggal mereka tidak ada lagi pak. Hutan mereka habis dibabat oleh perusahaan. Yang tertinggal hanya pohon-pohon akasia milik PT Arara Abadi, Group Sinar Mas. Apa yang mereka mau makan disana? Monyet saja tidak mau tinggal di pohon akasia itu” ungkap Sukardi Ahmad, Kepala Desa Jumrah.

Sukardi juga menjelaskan bahwa harimau ini awalnya tersebar di daerah Dumai. Tetapi karena hutan di Dumai sudah habis dikonversi menjadi perkebunan skala besar, harimau tersebut bergerak ke arah Desa Jumrah yang hutannya relatif masih bagus. Tetapi dalam setahun belakangan hutan di Desa Jumrah juga sudah dikonversi oleh PT Rimba Utama Jaya (PT RUJ) milik Sinar Mas Group.

“Semua pohon-pohon yang ada di desa kami habis dicabut oleh alat-alat berat milik perusahaan. Yang tersisa hanya daun-daun kering saja. Daunnya pun menjadi bencana buat kami karena rawan terbakar karena tanahnya tanah gambut. Ketika gambut terbakar, masyarakat yang disalahkan oleh pemerintah” jelas Sukardi yang baru menjabat kepala desa selama 4 bulan ini. Masuknya konsesi milik PT RUJ diwilayah Desa Jumrah juga tanpa ada proses sosialisasi. PT RUJ datang dan langsung mencabut semua pohon-pohon alam yang ada di wilayah desa untuk kebutuhan bahan baku pulp and paper milik Sinar Mas Group.

Rakusnya perusahaan milik Sinar Mas Group membuat masyarakat khawatir. Sudah beberapa kali masyarakat mengadukan kasus ini ke kecamatan dan dinas-dinas di kabupaten. Pertemuan demi pertemuan juga sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Jumrah untuk menanyakan status perusahaan yang masuk ke wilayah desa. “Kami seperti tak berdaya menghentikan alat berat yang menghancurkan hutan kami. Mereka seperti tak bisa melihat hutan yang masih bagus dan alami. Pasti langsung ditebang dan dihancurkan. Alasan mereka sudah mendapat izin dari menteri kehutanan. Kami tak sanggup memandang matahari” keluh Sukardi mengumpamakan masyarakatnya jika berhadapan dengan para pejabat negara.

Berdasarkan hasil kesepakatan pertemuan pada awal tahun lalu bahwa akan dilakukannya pemetaan terhadap wilayah desa yang menjadi areal konsesi perusahaan. Masyarakat Desa Jumrah berharap ketika masih menunggu proses pemetaan wilayah desa, perusahaan tidak melakukan aktivitas penebangan. Tapi yang terjadi saat ini adalah proses penebangan terus berjalan dan sudah ribuan hektar wilayah desa yang mengering dan terbakar.

PT RUJ juga sudah membuat kanal yang lebarya mencapai 6 meter. Kanal ini dibuat selain untuk mengeringkan lahan gambut juga untuk sarana transportasi untuk mengeluarkan kayu-kayu hasil tebangan. Keberadaan kanal berdampak terhadap pertanian masyarakat. Ketika musim hujan, air kanal meluap dan masuk keperkebunan masyarakat. “Jadi kami ini sekarang serba salah pak. Musim kering kebakaran. Klo musim hujan kami kebanjiran. Tanaman sawit saya yang masih kecil mati akibat terendam banjir. Sekitar 5 hektar kebun saya rusak akibat banjir dari kanal yang dibuat perusahaan tersebut” Ungkap Sukardi.

Saat ini masyarakat Desa Jumrah yang berjumlah sekitar 3000 jiwa masih bisa bersabar menunggu tindakan kongkrit pemerintah daerah dan departemen kehutanan untuk meninjau kembali konsesi perusahaan yang masuk ke wilayah desa mereka. Mereka khawatir harimau sumatera akan kembali ke desa dan menyerang masyarakat yang sedang berladang. Bukan tidak mungkin jika sebuah kesabaran sudah habis akan terjadi lagi konflik kehutanan di wilayah Riau. Keberadaan harimau sumatera dan masyarakat sama-sama menjadi terancam.





No comments:

Post a Comment