Thursday, December 30, 2010

Soe Hok Gie; dalam sebuah surat

Karena tulisan ini sangat menarik bagi saya. Bisa menjadi bahan renungan saya kita sebelum tidur dimalam hari. Mengingat kembali apa yang sudah saya lakukan untuk keluarga, kerabat, dan orang lain yang tersebar diseluruh nusantara ini.

Terima kasih kepada yang menulis. Mohon maaf saya copy dan saya taroh disini.
Gie.. memang sebuah nama yang besar..

Semoga saya masih bisa melangkah didunia ini dengan sebuah idialisme yang saya miliki. Melangkahkan kaki di negara yang memang sudah hancur. Kacau. Kejam. Ibarat sebuah kendaraan, negara ini sudah tidak tahu lagi mau pergi kemana. Mau diarahkan kemana. Semua dijalankan oleh sopirnya semau-maunya sendiri. Sesuka-suka sopirnya. Tidak peduli penumpangnya resah karena tidak sesuai dengan tujuan yang dia inginkan.

Selamat tahun baru 2011.
Semoga kita bisa berbuat dan bersikap sesuai dengan idealisme kita. Tidak dibuat-buat. Tidak mengada-ada. Jujur dan punya integritas.

Bogor, 30 Desember 2010
Een Irawan Putra
----------------

Soe Hok Gie ; dalam sebuah surat


Oleh: Pers Mahasiswa Indonesia


Dhan, apa kabar Indonesia kini? Ramai kukira, kudengar sedang ramai bicara
kerbau. Kenapa memangnya? Sudah lama saya tidak mendengar tanah kelahiran saya. Ah ya, kemarin saya bertemu dengan Gus Dur, orang baik, ia menyenangkan, aku dan Ahmad Wahib ketawa terpingkal dibuatnya. Ah jika aku bertemu dengannya sejak lama mungkin aku tobat jadi atheis. Hehehehe tapi aku tau kau takan percaya. Gus ini anak kyai rupanya, banyak ia bercerita tentang islam dan yang bukan islam. Rupa-rupanya ia tahu aku gak percaya tuhan barangkali. Aku sebenarnya iri melihat dia. Dia telah tenang dalam Tuhannya. Dia sudah bersatu dengan Tuhannya. Katanya ia pernah jadi presiden, 2 tahun lantas ia bosan lalu diberhentikan. Oleh DPR katanya, yang ia tuduh mirip Taman Kanak-Kanak. Aku dan Wahib sekali lagi keras tertawa.

Siapa presiden kita kali ini Dhan? Militer lagi ataukah sudah teknokrat? Aku
ingin suatu saat Indonesia dipimpin oleh Filsuf atau Budayawan. Biar ia bijak, atau setidaknya ia mungkin bisa berpikir secara lebih baik, bukan lagi tentang untung rugi, tapi baik buruk. Jangan lagi presiden dari golongan kyai atau pastur, mereka suruh perbaiki umat saja, jangan ikut berpolitik. Dulu ada Buya H.A.M.K.A, orang hebat dan baik ia Dhan. Berani ia kritik Soekarno, kudengar ia
sahabat Hatta.

Dhani masihkah kau suka membaca? Aku ada buku bagus, buku lama tapi semoga kau
suka. Dr. Zhivago judulnya, Pasternak yang menulis. Boris Pasternak, ah si manusia itu yang sampai akhir hayatnya menolak berkompromi dengan sesama manusia, sampai saat ini tak sempat aku menulis tentangnya Dhan. Kapan-kapan kau tulis tentangnya, nanti kubaca. Jangan pacaran terus, ya aku tahu, kau sedang dekat dengan seorang gadis padang. Kawanmu Rasul bercerita, ia tiba lebih dahulu sebelum Gus Dur. Aktifis ia Dhan? Katanya dari LPM Keadilan. UII Jogja, anak sebaik dan secemerlang itu. Sayang sekali, kenapa pemuda hebat selalu cepat kesini. Sedangkan para pemabuk dan penggila pesta selalu berhayat panjang. Tapi yah, beruntunglah mereka yang mati muda, dan yang tak pernah dilahirkan.

Masih kau jadi anggota Tegalboto? Nama yang aneh brick field? Hahaha jangan
marah Dhan, apapun namanya jika ia berguna tak apalah. What is a name kata Shakespeare. Sebagai wartawan kau musti tau tugas pers. Jangan kau ikuti kata presiden Soekarno dulu saat ia buka jurusan jurnalistik di pada masaku. Ia bilang tugas pers adalah menggambarkan cita-cita muluk kepada rakyat supaya nafsu yang baik dari rakyat berkobar kembali. Seolah hendak dikatakan presiden, tugas pers ialah meninabobokan rakyat. Bukan inilah tugas pers melainkan menggambarkan kebenaran pada pembaca. kalau pemberitaan itu merugikan kelompok tertentu maka berita itu harus disiarkan. Kita sering dininabobokan bahwa produksi padi naik, produksi kain maju, gerombolan dikalahkan dan seterusnya
beginilah kemerdekaan pers di indonesia potonglah kaki tangan seseorang lalu masukan ditempat 2x3 meter dan berilah kebebasan padanya. inilah kebebabasan pers di indonesia.

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.

Saya bukan Ubermensh Dhan, kadang saya lelah bergulat dengan pemikiran saya
sendiri. Memikirkan tentang rakyat, bangsa dan kemanusiaan. Tapi apapun yang terjadi saya menolak untuk berkompromi dengan penindasan. Lebih baik mati diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Dan sekarang makin saya geli melihat kawan-kawanmu, generasi mahasiswa kala ini sedang galau. Sibuk mencari eksistensinya sendiri. Kulihat kau pun demikian, lebih sering update status Facebook daripada ibadahmu. Generasi Facebook, menyedihkan dan jika kau kemudian ikut arus di dalamnya. Dan kupikir kamu akan terjebak dalam identitasnya.

Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan
yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun. Kau tak percaya? Lihat saja demonstrasi mahasiswa saat ini, norak, kampungan! Dulu aku benci sekali dengan mahasiswa oportunis yang sok-sokan menjadi bagian dari sebuah sistem parlemen. Sistem itu busuk Dhan, tapi melihat mahasiswa demonstrasi dengan membawa batu, parang, kayu dan bensin. Mereka mau menjalankan demokrasi atau sekedar sok jagoan?

Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan,
tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. Busuk bukan? Ya, yah aku ingat kau dulu pernah bercerita tentang kawan-kawan ekstramu yang kau bilang busuk itu. Tapi kita harus adil Dhan, Seorang intelektual harus adil sejak dalam pikiran dan perbuatan. Pram bilang begitu, oh ya dia titip salam. Lama ia tak baca lagi tulisanmu, mandul kau katanya? Ayo menulis Dhan, ajak teman-temanmu sekalian. Jangan mau jadi renik dalam sejarah yang hanya numpang kuliah tanpa bisa memberi jejak dalam sejarah.

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak
ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?. Karena kau tau Dhan? Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis. Aku muak dengan FPI Dhan, memangnya agamamu memerintahkan umatnya membawa parang kemana-mana lalu menghancurkan tempat yang dituduh maksiat? Beruntunglah aku yang tak beragama ini jika demikian. Agama harusnya membawa kedamaian Dhan, jika pun Tuhan memang ada tak mungkin ia menyuruh umatnya membacok sesamanya hanya karena berebut lahan parkir atau karena tak dapat jatah uang keamanan.

Sudahkah kau lulus Dhan? Jangan lulus dulu, tuntaskan dulu tanggung jawabmu
sebagai intelektuil, bukan aku menyuruhmu malas. Tapi sesuaikan dengan tanggung jawabmu sebagai Agent of enlighment. Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yang kacau, seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanannya. Lalu hiduplah dengan keyakinan teguh. Karena kau tau, saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin. Karena saya tak mau diam melihat penindasan. Dan saya lebih tak suka melihat orang-orang munafik Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.

Kau tentu ingat puisiku Dhan, Puisi yang kubuat saat sedang galau. Yah pasti kau
lupa, tak suka aku dengan tabiatmu ini. Baiklah kutulis ulang untukmu Dhan.

Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Di mana ulama - buruh dan pemuda, Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan, Stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Dan para politisi di PBB, Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras, Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,Dan lupa akan diplomasi. Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun, Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun, Dan melupakan perang dan kebencian, Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik. Tuhan – Saya mimpi tentang dunia tadi, Yang tak pernah akan datang.

Hadapilah cita-cita ini Dhan, karena buat apa menghindar? Cepat atau lambat,
suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang; kepercayaan. Karena kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur. Bergeraklah Dhan, tubuhmu terlalu gemuk, terlalu banyak makan junkfood. Jangan kau bilang peduli rakyat, jika makanmu masih seperti priyayi. Bergeraklah Dhan, ayo didik masyarakatmu dengan kata-kata dan buku. Karena kau tahu, percuma hidup jika kau tak dapat berkarya.

Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut
mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya, hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. Berakar menghujam seperti beringin. Maka jika kau lihat mengapa Orde Baru kuat mengakar, ya mungkin karena lambang partainya adalah beringin. Akan lain cerita jika lambangnya adalah pohon toge.

Kalau kau tak sanggup menjadi beringin yang tegak dipuncak bukit, Jadilah saja
belukar. Tapi belukar terbaik yang tumbuh ditepi danau. Kalau kau tak sanggupmenjadi belukar, jadilah saja rumput. Tapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Tidak semua jadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya. Karena bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu. Tetapi jadilah saja dirimu, sebaik-baiknya dirimu sendiri.

Dhan, aku mau kau dan generasimu mengerti. Bahwa pendidikan adalah satu-satunya
alat menuju kondisi yang lebih baik. Ayo bangkit Dhan, jangan malas, jangan hanya bisa nonton sinetron. Tak malu kau pada kami? Aku dah Ahmad Wahib, Munir, kau tau Munir kan? Orang cemerlang itu, yang selalu datang dengan sepeda motor tuanya? Ia hebat karena mau belajar, sekolah dan membaca, pejuang ia Dhan. Tak mau kau seperti ia? Bukan sebagai superhero macam Superman, itu Cuma dagelan. Jadilah hebat karena kau peduli dan jujur. Atau seperti Marsinah, ya Marsinah wanita besi itu datang dengan berbagai persoalannya, tapi ia lega Dhan, selama hidup ia sudah jujur, jujur untuk melawan kesewenangan, ayo lah Dhan. Tak perlu dengan agitasi turun ke Jalan, bisa kau bikin macam Si Rendra, berpuisi. Jangan diam Dhan, diam hanya macam orang kejam. Karena diam dan kasihan adalah laknat kutukan pada hati manusia. Ingatlah Dhan, apatisme lahir karena dua hal, kau terlalu bodoh untuk berpikir atau terlalu egois untuk perduli.

Sahabatmu, Gie.

N.B : aku baca tulisanmu, jelek! Macam tukang kutip saja, perbaiki Dhan. Kutunggu kau untuk jadi Martir.

*Ditulis ulang untuk mengenang Soe Hok Gie, ditulis dengan campuran berbagai
kutipan catatannya.

Friday, December 3, 2010

Antara Lubuk Besar dan Cancun

Dalam beberapa tahun terakhir saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi beberapa kawasan hutan adat yang masih terjaga dengan baik dan dikelola secara lestari oleh masyarakat adat yang memiliki kawasan hutan tersebut. Beberapa diantaranya yang sudah saya kunjungi adalah Sei Utik, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Dusun Pendaun, di Ketapang, Kalimantan Barat; dan Ngata Toro, Melawi di Sulawesi Tengah. Pada tanggal 15-20 November 2010 saya memiliki kesempatan untuk melihat satu lagi kawasan hutan adat, yaitu di Dusun Lubuk Besar, Sei Sintang Kecamatan Kayan Hilir, Sintang, Kalimantan Barat.

Untuk menuju lokasi Lubuk Besar dibutuhkan jarak tempuh sekitar 14 jam dari Kota Pontianak menggunakan jalur darat. Dari Kota Sintang, ada dua jalur darat untuk menuju Dusun Lubuk Besar. Pertama, dari Kota Sintang langsung menuju Desa Merampit. Dari Desa Merampit kita harus menggunakan mobil four wheel drive menuju Desa Sungai Buaya. Kedua, Melewati jalan perusahaan loging milik PT. KRBB dan perkebunan kelapa sawit. Dari jalur Bukit Kelam jalan terus ke arah Simpang Silat-Simpang Nanga Ngeri. Setelah itu baru masuk ke Dusun Lubuk Besar. Kendaraan yang dibutuhkan juga kendaraan four wheel drive atau menggunakan sepeda motor. Tapi jalur ini lebih jauh dari jalur yang pertama.

Dusun Lubuk Besar merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Sei Sintang. Sebelumnya Desa Sei Sintang ini masih menyatu dengan Desa Sungai Buaya. Masyarakat di Desa Sei Sintang adalah Masyarakat Dayak Inggar Silat, berjumlah kurang lebih 150 KK dengan mata percaharian petani, yaitu petani karet dan petani ladang. Kawasan hutan adat yang mereka miliki adalah bernama Bukit Ibun. Kawasan Bukit Ibun memiliki permasalah yang sama dengan permasalahan yang ada di kawasan hutan adat lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Ancaman adanya rencana masuknya perkebunan kelapa sawit skala besar dan juga izin-izin konsesi HPH membuat masyarakat menjadi khawatir hutan mereka tidak bisa bertahan lama keberadaannya.

Masyarakat Dayak Inggar Silat setiap tahunnya mengadakan ritual adat di kawasan Bukit Imbun yaitu dalam bahasa lokalnya disebut Nampuk Bukit Imbun. Ritual adat ini dilakukan pada saat menjelang panen atau pada saat padi mulai menguning. Masyarakat Dayak Inggar Silat mendaki bukit untuk menyampaikan niat dan doa atas hasil pertanian yang sudah didapat. Ritual Nampuk Bukit Imbun bukan hanya dilaksanakan pada saat padi mulai menguning saja, tapi ritual juga dilakukan pada saat ingin menyampaikan doa atau sering juga disebut berniat. Ritual ini kabarnya sudah dilakukan semenjak pertama kali manusia di Lubuk Besar tinggal disana.

Perjalanan ke hutan Bukit Imbun dari Dusun Lubuk Besar dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan berjalan kaki. Selama perjalanan kita akan melewati beberapa ladang masyarakat dan menyeberangi sungai inggar beserta anak-anak sungai. Perjalanan menjadi lambat karena hampir sepanjang perjalanan selalu menanjak dan banyak menyeberangi sungai. Karena banyak sekali menyeberangi sungai akhirnya saya sampai menghitung berapa kali menyeberangi sungai selama perjalanan. Sungai yang harus diseberangi sebanyak 11 kali. 5 kali menyebrangi sungai inggar dan 6 kali anak sungai yang bermuara ke sungai inggar.

Setelah melewati ladang masyarakat, kita akan melewati beberapa tembawang atau bekas kampung. Beberapa tembawang yang akan dilewati adalah Tembawang Radin dan tembawang Niur. Tembawang ini ditandai dengan adanya tanaman-tanaman keras seperti durian, kelapa, duku dan tanaman buah-buahan lainnya. Didalam hutan Bukit Imbun kita bisa melihat beberapa pohon kelas satu sampai dengan kelas dua. Beberapa diantaranya; Belian atau Ulin, Meranti, Benua, Keladan, Mungkuyung dan Gaharu. Diameter pohon yang kita jumpai juga beragam, mulai dari 50 cm sampai dengan 2 meter. Dengan tinggi bebas cabang bisa mencapai 20-30 meter. Sore itu saya meminta orang-orang kampung yang menemani saya untuk memeluk sebuah pohon yang ada disana. Dibutuhkan 6 orang untuk dapat memeluk satu pohon tersebut. Masyarakat Dayak Inggar tidak pernah menebang pohon yang ada di hutan mereka kecuali hanya untuk ramuan rumah dan untuk kepentingan umum seperti pembangunan gereja, jembatan dan sekolah.

Niat awalnya saya ingin masuk kedalam hutan adat mereka dan ingin mendokumentasikan bagaimana kondisi hutan adat mereka saat ini. Selain itu juga saya ingin melihat tutupan hutan Bukit Imbun dari ketinggian (dari puncak Bukit Imbun). Namun ketika sudah sampai dipertengahan bukit, kami harus menginap karena sore itu sudah mulai gelap. Pagi harinya niat untuk melihat tutupan hutan dari puncak Bukit Imbun tidak tercapai karena pada pagi harinya saya terserang gejala malaria. Dari pagi sampai dengan sore hari sakit di kepala saya sangat hebat. Badan saya meriang dan air liur di lidah mulai terasa pahit. Padahal untuk mencapai pucak hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 90 menit berjalan kaki dan menanjak.

Sudah pukul empat sore saat itu. Dari pagi sakit kepala saya belum juga hilang. Panas ditubuh saya juga masih belum turun. Sementara cuaca saat itu dari pagi hari sampai dengan sore hari hujan terus menerus. Mengingat waktu saya sangat terbatas dan lusanya saya harus sudah ada di Pontianak, maka sore itu saya memaksakan diri untuk turun ke kampung. Perjalanan terasa sangat berat. Dengan kaki yang sudah mulai gemetar karena tidak sanggup menopang tubuh saya menuruni bukit. Saya harus mampu tiba di kampung dan istirahat satu malam disana. Perjalanan turun ke kampung yang normalnya hanya 3 jam, saat itu saya tempuh sekitar 4 jam.

Karena tidak sampai ke puncak Bukit Imbun dan melihat langusng seperti apa kondisi diatas sana dimana tempat diadakannya ritual adat. Maka saya mencoba menggali informasi dengan mewawancara beberapa orang kampung untuk mendapatkan penjelasan seperti apa kondisi di Puncak Bukit Imbun. Berdasarkan informasi yang saya dapat, diatas sana kita bisa melihat empat buah tempat yang unik dan menarik untuk melihat tutupan hutan adat Lubuk Besar. Diantaranya adalah:

1. Batu Sandang Beliung; Tempat ini adalah sebuah batu tempat masyarakat adat Inggar Silat melakukan ritual. Tempat memberikan sesajian berupa uang logam setelah mengajukan permintaan.

2. Lubang Angin; Posisi lubang angin ini dekat dengan batu sandang beliung. Dinamakan lubang angin karena ada sebuah lubang di tanah yang berdiameter kurang lebih 70 cm yang selalu mengeluarkan angin. Angin yang dikeluarkan dari lubang ini cukup kuat. Terbukti dengan jika daun-daun dijatuhkan kearah lobang angin tersebut, daun-daun tersebut akan berterbangan. Angin yang keluar dari lubang tanah tersebut juga tidak pernah hilang atau berhenti.

3. Semantau; Arti semantau adalah melihat atau memantau. Posisinya kurang lebih 300 meter dari batu sandang beliung. Setelah melakukan ritual biasanya orang-orang akan duduk di semantau. Di semantau kita bisa melihat bentangan hutan adat bukit imbun dan juga perkampungan yang ada dibawahnya. Orang-orang yang duduk disini biasanya akan betah duduk berjam-jam lamanya karena menyajikan pemandangan yang sangat indah.

4. Lebung Bandung; adalah sebuah danau kecil yang pasang surut. Jika musim hujan danau ini bisa mencapai 20 menter dengan kedalaman 1,5 meter. Selain itu juga di kawasan bukit imbun terdapat puluhan air terjun.



Tidak jauh dari Bukit Imbun juga terdapat Bukit Nagam. Bukit Imbun dan Bukit Nagam memiliki puncak yang berbeda. Bukit Nagam menjadi terkenal karena pada zaman penjajahan Belanda bukit ini menjadi tempat persembunyian pahlawan dari Kabupaten Sintang yaitu Apang Semangai. Apang Semangai pada saat itu banyak membunuh orang-orang Belanda. Karena itulah para penjajah Belanda berusaha menangkap Apang Semangai. Masyarakat Lubuk Besar pada saat itu selalu mengantar makanan untuk Apang Semangai di Bukit Nagam. Persembunyian Apang Semangai di Bukit Nagam tidak berlangsung lama, yaitu sekitar 2 bulan. Pada saat itu Belanda mengancam akan membawa istri beserta anaknya ke Nanga Pino jika tidak segera keluar dari persembunyiannya.

Hutan adat Bukit Imbun bagi masyarkat Lubuk Besar masih menyimpan sebuah misteri. Dipercaya oleh masyarakat bahwa Bukit Imbun berkeramat. Pada tahun 2007 masyarakat Dayak Inggar Silat melakuka sebuah sumpah pocong di puncak Bukit Imbun. Sumpah ini dilakukan karena perusahaan PT. KRBB (PT. Karya Rekanan Bina Bersama) yang dimiliki oleh AM. Nasir (sekarang menjabat Bupati Kapuas Hulu) tetap ingin membabat hutan di kawasan Bukit Imbun. Sumpah masyarakat Dayak Inggar Silat saat itu adalah ”Siapa yang menghabiskan rimba bukit imbun, minta dia dihabiskan oleh penunggu bukit imbun”. Tidak lama setelah dilakukan sumpah itu 7 orang pekerja PT KRBB meninggal dunia termasuk orang kampung yang berkhianat kepada masyarakat Dayak Inggar Silat.

Ketika saya melihat dan mendengar cerita-cerita masyarakat kampung ini mengenai hutan adat Bukit Imbun saya merasa bersyukur. Diberi kesempatan untuk melihat secara langsung bagaimana sebuah masyarakat adat menjaga hutan adatnya. Bagaimana sebuah kawasan hutan itu dihormati keberadaannya. Sebuah cerita yang berbeda yang saya dapatkan ketika saya berada di Bogor ataupun berada dibeberapa kota lainnya. Dimana Pemerintah Indonesia, perusahaan, NGO dan lembaga lainnya selalu mengklaim bisa menjaga hutan. Saat ini juga sedang hangat lobby-lobby politik dan hiruk pikuk Konferensi Para Pihat (COP) ke-16 di Cancun, Meksiko. Membicarakan sebuah dampak perubahan iklim dan mencoba mencari kesepakatan bersama untuk sebuah solusinya. Semua berusaha bicara. Semua melakukan interupsi dan menentang setiap solusi yang tawarkan. Tapi tidak ada sebuah tindakan nyata seperti masyararakat di kampung yang keberadaannya sangat jauh dari kota Pontianak ataupun dari Jakarta. Kenapa orang-orang Indonesia ini musti pergi jauh ke Meksiko jika ingin mencari sebuah solusi dalam upaya penyelamatan hutan? Disini, mereka sudah terbukti puluhan tahun atau mungkin juga sudah ratusan tahun menjaga hutan secara baik. Mereka menjaga dan melindungi hutan tidak perlu dengan iming-imingan sebuah konpensasi.

Tuesday, October 5, 2010

Sebuah Pengakuan untuk Ngata Toro

Di Indonesia banyak sekali sebuah desa yang berada didalam sebuah kawasan Taman Nasional. Tidak sedikit keberadaan mereka dianggap sebagai sebuah permasalahan yang akan mengancam keberadaan sebuah kawasan konservasi. Pernyataan seperti itu tidak semuanya benar. Masih ada masyarakat-masyarakat adat yang masih memegang teguh aturan-aturan adatnya dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di kampung mereka.

Masyarakat adat Toro adalah salah satu masyarakat yang memiliki aturan adat seperti yang saya sebutkan diatas. Pada tanggal 19-24 September 2010 saya berkesempatan mengunjungi kampung ini. Perjalanan ke kampung ini memerlukan waktu sekitar 3 jam dari Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Toro adalah nama sebuah desa (Ngata) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu. Secara administratif, desa ini berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Luas wilayah desa ini sekitar 22.950 ha. Desa ini dikelilingi oleh pegunungan yang sebagian besar adalah kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Selama saya tinggal disana saya bisa merasakan betapa damainya tinggal di kampung ini. Hamparan padi yang menguning terbentang luas dibelakang rumah-rumah mereka. Disaat pagi, kabut masih menyelimuti kampung sehingga gunung-gunung yang ada disekeliling kampung tidak terlihat.

Masyarakat Adat Toro percaya bahwa mereka dari generasi ke generasi sudah melindungi alam dan sumberdaya alam yang mereka miliki. Pembagian wilayah dan lahan garapan sudah mereka bikin melalui aturan adat. Mereka masih yakin dan percaya dengan aturan-aturan adat peninggalan nenek moyang mereka. Aturan-aturan adat ini sampai dengan sekarang masih menjadi acuan hidup seluruh masyarakat adat disana.

Seluruh aktivitas kemasyarakatan dan pranata sosial budaya, termasuk dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, berporos pada pandangan budaya mengenai dua nilai utama, yaitu hintuwu dan katuwua. Hintuwu adalah nilai ideal dalam relasi antar sesama manusia yang dilandaskan atas prinsip –prinsip penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan katuwua adalah nilai ideal dalam relasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya yang dilandasi oleh sikap kearifan dan keselarasan dengan alam.

Masyarakat adat Toro memiliki kelembagaan sendiri dalam menjalani kehidupan di kampungnya. Peran dan wewenang kelembagaan adat di Ngata Toro diantaranya adalah:

• Maradika, berperan mengatur hubungan ngata dengan ngata yang lain, menentukan peran dengan ngata lain, tempat keputusan apabila ada masyarakat yang membuat pelanggaran.

• Totua Ngata, berperan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, menyelesaikan perselisihan, melaksanakan dan mengatur pelaksanaan perkawinan adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, mengubah dan membuat aturan adat yang baru, memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, memilih pemuda sebagai tondo ngata untuk dipersiapkan untuk prajurit perang dan pengawasan wilayah adat.

• Tina Ngata, berwenang merancang pekerjaan dalam pertanian terutama karena merekalah yang mengetahui dengan teliti ilmu perbintangan untuk dijadikan pedoman dalam bercocok tanam, mendinginkan konflik dalam ngata, serta mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang.

Dalam kepemilikan lahan, masyarakat adat Toro mengenal enam tata guna lahan secara tradisional. Pertama, Wana Ngkiki, yaitu zona hutan di puncak gunung yang didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Meskipun zona ini tidak dijamah aktivitas manusia, kawasan ini dianggap sebagai sumber udara segar, sehingga kedudukannya sangat penting. Hak kepemilikan individu tidak diakui di zona ini.

Kedua, Wana, yaitu hutan primer yang menjadi habitat hewan, tumbuhan langka, dan zona tangkapan air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan serta rotan. Seluruh sumberdaya alam di zona ini dikuasai secara kolektif sebagai bagian dari ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat. Kepemilikan pribadi di dalam zona ini hanya berlaku pada pohon damar yang biasanya diberikan kepada orang yang pertama mengambil atau mengolah getah damar itu.

Ketiga, Pangale, yaitu zona hutan semi-primer bekas yang pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Zona ini biasanya dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dikembangkan menjadi lahan kebun dan persawahan. Zona pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bagunan dan keperluan tumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian.

Keempat, Pahawa Pongko, yaitu campuran hutan semi-primer dan sekunder, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun keatas sehingga kondisinya sudah menyerupai pangale. Pepohonan di zona ini biasanya besar-besar. Seperti halnya pangale, zona ini tidak mengenal hak kepemilikan pribadi kecuali pohon damar yang ada didalamnya.

Kelima, Oma, yaitu hutan belukar yang berbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergulir. Di zona inilah hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.

Keenam, Balingkea, yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus diistirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini biasanya masih bisa diolah untuk budidaya palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe dan sayuran. Lahan ini sudah termasuk hak kepemilikan pribadi. Di zona inilah biasanya masyarakat adat Toro bertani sawah.

Selain adanya pembagian-pembagian wilayah hutan dan lahan. Masyarakat adat Toro juga memiliki aturan-aturan adat yang sangat ketat. Aturan-aturan adat ini mencakupi aturan dalam kehidupan sehari-hari, aturan pembukaan lahan dan hutan, pengambilan kayu dan kasus-kasus pencurian. Jika ada yang melakukan penebangan kayu tanpa izin lembaga adat maka akan dikenakan denda adat yaitu Hampole hangu , yaitu berupa 1 ekor kerbau, 10 dulang dan 1 lembar mbesa. Saat ini juga sedang berlaku aturan adat untuk tidak mengambil rotan (untuk dijual) selama satu tahun, atau istilah adatnya di Ombo. Aturan ini dikeluarkan oleh lembaga adat karena melihat ketersediaan rotan di dalam hutan sudah semakin berkurang.


Butuh Pengakuan dan jangan diabaikan


Melihat dari sejarah dan perilaku masyarakat adat Toro dalam menjalani kehidupan di kampungnya, tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Taman Nasional untuk tidak mengakui kearifan mereka dan juga peranan mereka dalam sebuah upaya konservasi. Pola pikir yang sederhana dari mereka janganlah dibuat rumit dengan aturan-aturan yang berlaku diskala nasional ataupun internasional. Membenturkan kearifan lokal mereka dengan kemodernan yang ada terkadang akan membuat adat istiadat yang mereka pegang selama ini akan pudar.

Kebijakan yang berubah-ubah seiring dengan bergantinya Kepala Balai Taman Nasioanl Lore Lindu menunjukkan tidak konsistennya para pejabat dan tidak ada koordinasi yang baik antara pejabat yang lama dengan pejabat yang baru. Kebijakan dibuat semau-maunya dan seperti ingin menunjukkan eksistensi si pejabat tersebut yang justru bisa berdampak negatif bagi masyarakat adat.

Masih segar dingatan saya, ketika 3 tahun yang lalu saya bertemu dengan Pak Banjar Julianto Laban di Bogor. Beliau bercerita banyak mengenai pengalamannya ketika menjabat sebagai Kepala Taman Nasional Lore Lindu. Dengan tegas beliau mengatakan TNLL tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan masyarakat Ngata Toro. Koordinasi antara pihak taman nasional dan masyarakat adat dalam menjaga keberadaan hutan terjalin dengan baik. Pak Banjar dan masyarakat adat Toro saat itu saling menghargai dan mengakui peranan di masing-masing pihak.

Harmonisasi antara pihak TNLL dan masyarakat adat Toro saat ini tidak lagi terjalin dengan baik. Banyak masyarakat adat Toro yang menceritakan kepada saya bagaimana hubungan yang dulu harmonis sekarang mulai pudar dan mungkin sudah pudar. Pihak TNLL tidak pernah lagi melakukan koordinasi dalam menjaga keberadaan kawasan hutan Lore Lindu. Sebuah undangan resmi untuk kepala balai yang diberikan oleh lembaga adat Toro juga tidak pernah dihadiri oleh kepala balai yang sekarang. “Mana berani dia (kepala balai) datang kemari lagi, sudah beberapa kali ingkar janji dengan kami. Datang ke kampung tetangga saja dia bawa Polhut dengan bersenjata lengkap” ucap salah satu masyarakat adat Toro ketika saya mendokumentasikan pertemuan di Ngata Toro.

Selain permasalahan dengan TNLL, perbedaan persepsi antara masyarakat adat Toro juga terjadi akibat adanya proyek pembangunan tempat pariwisata yang dibangun di Ngata Toro. Proyek ambisius dari Dinas Pariwisata Provinsi Sulteng ini menimbulkan sebuah konflik baru didalam masyarakat itu sendiri.

Melihat situasi ini, saya secara pribadi sangat menyesalkan adanya proyek ini. Sebuah proyek yang tidak dikaji terlebih dahulu apa manfaat dan dampak yang bisa terjadi dengan dijalankannya sebuah proyek. Pembangunan proyek seharusnya bisa mengikuti aturan adat Toro yang sudah ada. Salah satu permasalahan yang terjadi saat ini adalah, beberapa masyarakat meyakini bahwa bangunan adat (Lobo) dipercaya hanya ada satu di Ngata Toro. Dinas Pariwisata sepertinya tidak melihat kepercayaan ini. Dinas Pariwisata Sulteng membangunan 1 bangunan yang sama persis dengan Lobo yang sudah ada yang lokasinya tidak jauh dari bangunan adat yang selama ini ada. Selain itu juga 3 bangunan lainnya dibangun yang tujuannya untuk wisatawan yang datang.

Pembangunan sarana parawisata ini sudah menimbulkan perbedaan pandangan antara masyarkat Toro sendiri. Saya tidak tahu bagaimana dampak lainnya seandainya banyak wisatawan yang datang dan masyarakatnya belum siap menghadapi kunjungan wisatawan yang berbagai macam latar belakang dan berbagai macam prilaku. Jangan sampai pelaksanaan proyek ini hanya untuk menjalankan tender saja dan sebenarnya tidak tahu apa manfaat dari proyek tersebut. Bangunan selesai dibangun, keuntungan dari proses tender sudah diraih. Masa bodoh dengan kelanjutannya. Tidak peduli kalau masyarakatnya berantem sesamanya akibat sebuah proyek yang ada. Tidak peduli bahwa mereka sebenarnya menghancurkan kebudayaan yang sudah ada, bukan mempertahankannya.

Memang benar seperti apa yang disampaikan oleh budayawan Ajip Rosidi. Sejak merdeka pemerintah tidak pernah peduli terhadap kebudayaan. Kebudayaan dianggap bukan hal penting. Kebudayaan ditempatkan pada Departemen Pariwisata dimana pola yang dilakukan adalah menjual ‘kebudayaan’ kepada wisatawan dalam rangka mengumpulkan dolar. Mereka tidak mengerti bahwa kebudayaan itu merupakan inti hakiki dari pendidikan, karena pendidikan itu sendiri tidak lain dari usaha melestarikan kebudayaan dengan mewariskan kepada generasi yang lebih kemudian. Pendidikan kita sejak merdeka sampai sekarang tak pernah disadari sebagai usaha pewarisan budaya.

Thursday, July 15, 2010

Buaian Proyek KFCP

Mungkin tidak banyak orang yang tahu apa itu KFCP. KFCP adalah sebuah kependekan dari Kalimantan Forests and Climate Partnership. Sebuah mega proyek yang disepakati antara Pemerintah Australia dengan Pemerintah Indonesia. Kesepakatan kerjasama ini ditandatangani oleh Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd pada tanggal 13 Juni 2008. Pemerintah Australia memberikan bantuan dana sebesar AUD 30 juta. Sebuah kesepakatan yang dibentuk pasca COP 13 UNFCCC (United nations Framework Convention on Climate Change) di Bali pada tahun 2007 yaitu untuk melakukan REDD demonstration activities.

Proyek ini bertujuan untuk mendukung pencapaian pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia secara signifikan dan efektif melalui pengurangan deforestasi, mendorong reforestasi dan meningkatkan pengelolaan hutan secara lestari. Proyek ini akan berlangsung sampai dengan tahun 2012. Lokasi yang dipilih untuk proyek percobaan ini adalah ex PLG (Pengembangan Lahan Gambut), di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Pertengan bulan juni 2010 saya mempunyai kesempatan untuk melihat secara langsung seperti apa proyek ini dan seperti apa pula kondisi kawasan Ex PLG. Selama ini saya hanya mendengar melalui berita saja mengenai kegagalan mega proyek pada era Presiden Soeharto tersebut. Dimana 1,4 juta ha lahan gambut terbengkalai dan dalam keadaan kritis setelah proyek tersebut gagal. Setiap tahun sudah bisa dipastikan kawasan gambut yang kritis ini terbakar dan menimbulkan asap tebal. Menghantui seluruh masyarakat Kalimantan Tengah, bahkan juga negara tetangga. Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu mengembalikan ekosistem lahan gambut tersebut seperti semula. Berhutan dan tidak pernah terjadi kebakaran.

Setelah ramainya negara berkembang dan negara maju berdebat tentang REDD (Reducing Emissions from Deforestration and Degradation) diberbagai pertemuan internasional untuk diterapkan pasca tahun 2012, Indonesia mencoba melakukan sebuah proyek percontohan REDD untuk bisa terapkan nantinya jika REDD disetujui diterapkan di negara berkembang. Lahan ex-PLG seluas 100.000 ha menjadi salah satu lahan percontohan REDD demonstration activities di Indonesia untuk lahan gambut. Lahan gambut dipercaya bisa menyimpan stok karbon yang sangat besar. Proyek ini juga mengacu kepada Intruksi Presiden No.2/2007 Tentang Rehabilitasi Lahan ex-PLG.

Untuk melihat lokasi ex-PLG dan lokasi proyek KFCP, dari Palangkaraya harus melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Kapuas (2 jam perjalanan darat). Dari Kapuas, melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Mentangai, kurang lebih 3 jam dari Kapuas. Setelah tiba di ibu kota kecamatan Mentangai, kita harus melanjutkan perjalanan ke lokasi dengan menggunakan speed boat. Dari Mentangai tergantung dengan kita sendiri, desa mana yang ingin kita kunjungi. Karena di lokasi ex-PLG cukup banyak desa yang berada disepanjang kawasan ex-PLG. Hampir semua desa ataupun dusun berada di sepanjang sungai Kapuas dan anak sungai Kapuas. Ketika saya berada disana, saya mengunjungi desa Tumbang Mangkutup, Desa Muroi, Dusun Tuanan, Dusun Tanjung Kelanis, dan Camp penelitian orang utan di Tuanan. Untuk melakukan perjalanan dibeberapa tempat ini saya harus menyewa speed boat selama 4 hari. Kita juga bisa menggunakan perahu klotok dengan biaya yang lebih murah, tapi konskuensinya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan sebuah perjalanan.

Disini saya melihat proses sosialisasi mengenai KFCP di dua tempat dan dihari yang berbeda. Walapun proses sosialisasi menggunakan bahasa lokal yaitu bahasa Dayak Ngaju, tidak mudah membuat masyarakat desa mengerti mengenai REDD, perubahan iklim, perdagangan karbon ataupun emisi karbon. Mungkin dibutuhkan waktu yang lama ataupun sosialisasi yang berulang-ulang untuk membuat mereka mengerti. Saya sendiri yang melihat proses sosialisasi ini merasa prihatin dengan batas pengetahuan mereka tentang proyek yang di-sah-kan oleh negara ini.

Secara sederhananya proyek KFCP ini mengajak masyarakat lokal untuk merehabilitasi kembali lahan gambut yang sudah rusak dan menjaga lahan gambut yang ada diwilayah mereka dari kerusakan seperti illegal loging, kebakaran, dan pembuatan-pembuatan kanal yang bisa mengeringkan lahan gambut tersebut. Dari kegiatan-kegiatan tersebut masyarakat akan menerima konpensasi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, masyarakat akan dibayar atas pasrtisipasinya dalam sebuah kegiatan (uang jasa). Secara tidak langsung, masyarakat disebuah wilayah atau desa akan mendapatkan uang atas pembayaran stok karbon yang mampu diserap oleh sebuah wilayah tersebut. Tentunya akan ada mekanisme penghitungan stok karbon yang tersimpan dan berapa uang yang harus diterima oleh suatu wilayah tersebut.

Merupakan sebuah tantangan yang besar untuk melibatkan 14 desa yang ada di lokasi KFCP. Kurang lebih 10 ribu orang yang menempati 14 desa tersebut. Ketika saya berada disana, kegiatan dilapangan baru sebatas sosialisasi. Belum ada kesepakatan seperti apa pelibatan masyarakat lokal didalam proyek tersebut. Seperti apa keuntungan yang akan diperoleh masyarakat lokal juga belum diketahui. Pihak KFCP mengklaim, dari 2008-2010 mereka baru sebatas negosiasi, mendesain, dan study persiapan proyek. Pertengahan tahun 2010 baru melakukan sosialisasi proyek. Belum bisa dipastikan kapan implementasi proyek akan dilakukan. Waktu yang tersisa hanya dua tahun. Banyak pihak yang meragukan proyek ini akan berhasil pada tahun 2012.

Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam proyek KFCP yang bisa saya lihat dari perjalanan saya kesana. Diantaranya adalah status kawasan lokasi proyek. Sampai dengan saat ini RTRW Propinsi (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) untuk kawasan ex PLG belum selesai. Kabarnya dari tahun 1998 sampai dengan sekarang RTRW untuk kawasan ex PLG tidak pernah selesai direalisasikan. Mungkin terlalu banyak kepentingan dan intervensi terhadap kawasan tersebut. Belum lagi mengenai tanah masyarakat yang terkena proyek tersebut. Seperti apa negosiasinya belum diketahui. Mekanisme pembayaran yang akan diterima masyarakat juga masih tanda tanya besar.

Dari proses sosialisai yang saya lihat, masyarakat yang ada di desa-desa memang cukup terbuai dengan janji dan harapan yang diberikan oleh KFCP. Harapan besar akan menerima sebuah konpensasi atau bayaran dalam melakukan sebuah kegiatan. Hal ini terbukti ketika saya melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat yang mengikuti proses sosialisasi KFCP. Hampir semua orang yang saya wawancarai menyambut baik dan senang dengan adanya proyek ini.

Seandainya ada beberapa masyarakat yang kritis dan bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam proses sosialisasi, mungkin kegiatan sosialisasi tidak berjalan satu arah. Sebenarnya ada banyak pertanyaan besar yang bisa disampaikan kepada pihak KFCP. Diantaranya adalah sbb:

  1. Setelah proses sosialisasi, seperti apa kesepakatan yang akan dibuat antara masyarakat dengan pihak KFCP. Dimana kesepakatan ini diakui dan disetujui oleh seluruh masyarakat desa, bukan segelintir orang ataupun aparat desa. Hal ini mengacu kepada FPIC (Free Prior and Informed Consent), Prinsip Persetujuan Tanpa Paksaan atas dasar Informasi Awal.
  2. Bagaimana dengan safe guard atau jaminan keamanan bagi masyarakat. Seandainya nanti setelah kesepakan dibuat, ada permasalahan-permasalahan yang timbul. Bagaimana penyelesaiannya, baik itu permasalahan status tanah maupun pembayaran. Siapa yang akan menyelesaikan permasalahan ini, kepada siapa masyarakat akan mengadu.
  3. Bagaimana dengan mekanisme proyek tersebut. Apakah dalam desain awal proyek ini ada pelibatan masyarakat lokal? Sehingga ada perwakilan masyarakat lokal untuk menyampaikan aspirasinya. Atau proyek ini hanya didesain oleh para aparat negara dan segelintir orang entah darimana yang terkadang mengkesampingkan kepentingan masyarakat lokal.
  4. Bagaimana dengan teknis proyek KFCP?
  5. Apakah nanti jika REDD diimplementasikan pasca tahun 2012, apakah ini nantinya layak menjadi contoh untuk diterapkan di Indonesia? Apakah contoh ini layak dipelajari oleh masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia?
  6. Bagaimana caranya bisa mensejahterakan masyarakat. Jika proyek ini mengklaim bisa mensejahterakan masyarakat. Seperti apa realnya? Waktu sudah terbuang selama 2 tahun. Tahun 2012 sudah tidak lama lagi.
  7. Bagaimana pemerintah Australia bisa menjamin proyek ini menjamin hak-hak masyarakat adat? Pemerintah Australia sendiri sudah ikut menandatangani UNRIP (United Nations Right of Indigenous People), pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Mungkin inilah beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh KFCP dan juga pemerintah Indonesia. Jangan sampai proyek ini hanya sebuah ‘proyek’. Sama seperti proyek pembangunan ataupun proyek konservasi yang sering dilakukan di Indonesia. Tidak pernah menghasilkan apa-apa. Tidak pernah menguntungkan masyarakat desa dan masyarakat yang ada di kampung-kampung. Proyek berdana besar tersebut hanya sekedar lewat. Hanya membuat tebal kantong para pelaksana proyek.

“Klo ini sampai terjadi. Ini merupakan sebuah kelalaian yang sangat besar yang harus dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Australia. Uang publik Australia menguap tanpa bekas dan sia-sia” tegas Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) disaat saya meminta tanggapan beliau terhadap proyek ini.

Thursday, May 27, 2010

Wajah penipu dari Bandung

Kali ini terpaksa saya menulis di blog saya ini yang bukan cerita tentang perjalanan saya mengunjungi daerah-daerah yang ada di nusantara. Cerita ini saya tulis untuk mengeluarkan rasa dongkol dan sakit hati yang saya derita selama beberapa bulan ini atas penipuan yang terjadi terhadap saya.

Cerita ini adalah pengalaman kasus penipuan yang menimpa diri saya. Posisi sang penipu ini ada di Bandung, Jawa Barat. Saya harap teman-teman yang lainnya tidak mengalami hal yang serupa seperti yang saya alami ketika mengetahui siapa orang ini.

Berikut kronologis atas penipuan yang saya alami…

Pada bulan Februari yang lalu tepatnya tanggal 23 Februari 2010, saya melakukan perjalanan ke sebuah kota di Sumatera dan satu kendaraan dengan orang ini. Setelah berkenalan dan cerita-cerita sepanjang perjalanan akhirnya saya mengetahui namanya adalan Nicky Saputra (29), tinggal di Bandung, punya istri dan anak 2. Dia mengaku memiliki sebuah perusahaan bernama CV. Putra Langit yang bergerak di IT dan membangun jaringan internet, khususnya untuk warnet.

Dikarenakan monitor saya rusak dan berencana ingin ganti monitor, akhirnya saya iseng menanyakan apakah ada monitor bekas (second) yang kondisinya masih bagus. Dengan penuh percaya diri dan banyak bercerita untuk meyakinkan saya bahwa dia mempunyai beberapa barang termasuk monitor. Karena cukup meyakinkan akhirnya saya memesan 1 buah monitor, jika ada barangnya tolong kabari saya kembali.

Setelah pulang ke Bogor, pada tanggal 1 Maret 2010 saya menerima sebuah pesan singkat di handphone saya yang ternyata dari Nicky Saputra yang mengatakan bahwa barangnya ada dan kondisi masih 80%. Dia juga menyebutkan merk serta warna monitor yang dia punya. Setelah saya cross chek bentuk barangnya di internet dan menanyakan kepada teman yang lain atas harga yang dia tawarkan, akhirnya saya memutuskan untuk membeli barang yang dia tawarkan.

Karena awalnya cukup meyakinkan dan saya juga mengenal beberapa orang yang ada disekitar dia (termasuk adiknya) maka pada tanggal 2 Maret 2010 saya menuju sebuah bank dan mentransfer uang sejumlah Rp 960.000 ke rekening BCA atas nama Febby Ayu. Belakangan saya mengetahui bahwa ini adalah rekening istrinya. Setelah mentransfer uang yang dia minta, saya meminta barangnya diantarkan ke rumah keluarga saya yang ada di Bandung karena 2 minggu lagi saya memang ada rencana ke Bandung.

Dua minggu setelah saya mentransfer uang tersebut, jumat sore tanggal 12 Maret 2010 saya ke Bandung. Setiba di rumah saya menanyakan apakah ada orang yang bernama Nicky mengantar monitor ke rumah. Saya sangat terkejut disaat mendengar jawaban bahwa tidak ada barang yang diantarkan kesini. Saat itu juga saya langsung sms dan juga telpon Nicky. Karena jengkel telpon dan sms saya tidak dijawab akhirnya saya meminta adiknya untuk menelpon. Ketika adiknya yang telpon, baru dia menjawab dan menyampaikan ke adiknya bahwa barangnya ada dan nanti aka diantar.

Saya kembali mengirim sms ke handphone Nicky untuk memastikan monitor yang saya pesan diantar ke rumah sebelum minggu siang, karena saya harus kembali ke Bogor. Sampai dengan minggu siang monitor yang saya pesan tidak juga diantarkan. Saya kembali sms dan telpon, tapi tidak dijawab. Selang beberapa menit Nicky baru menelpon saya dan menyatakan bahwa barangnya ada di showroom dan terkunci. Kuncinya dibawa teman-temannya ke Jakarta. Dia menawarkan barang akan diantar ke Bogor pada senin pagi dengan alasan akan ke Kalibata, Jakarta pada hari senin.

Karena sudah beberapa kali ingkar janji dan feelings saya tidak enak, dan juga senin pagi saya musti berangkat ke Medan, akhirnya saya membatalkan membeli monitor tersebut dan saya meminta uang saya kembali saat itu juga. Saya sampaikan juga bahwa saya akan membeli monitor yang baru di Bandung sebelum saya pulang ke Bogor. Emosi saya semakin memuncak ketika kembali dia berkelit dan memberi alasan bahwa tidak pegang uang cash dan uangnya sudah dibelikan barang. Saya sempat membentak kembalikan saat ini juga uang saya dan saya tidak peduli bagaimana caranya. Dia kembali berkelit dan beralasan bla…bla…bla..

Saat itu saya tidak punya cukup waktu untuk mencari orang tersebut ke rumahnya ataupun dilokasi tempat dia bekerja. Saya harus kembali ke Bogor. Saya meminta adiknya dan keluarga yang di Bandung untuk mengambil kembali uang saya.

Setelah empat hari di Medan, kembali ke Bogor belum juga ada kejelasan mengenai uang saya. Saya benar-benar emosi terhadap orang ini dan mengancam akan melaporkan kasus penipuan ini jika tidak ada itikad baik untuk mengembalikan uang saya. Sms ancaman dan kecaman caci maki kembali saya lakukan sampai saya mendapat kepastian uang saya kembali.

Pada hari jumat tanggal 19 Maret 2010, Nicky mengirim sms ke saya “uangnya sudah saya transfer lewat ATM, klo sudah keterima kasih kabar ya”. Tapi setelah saya chek melalui sms banking uang di rekening saya tidak bertambah. Saya kembali menanyakan apakah benar sudah ditransfer atau kembali berbohong. Dia menjawab “wah masa baru 5 menit yang lalu saya transfer. Tar saya telp BCA dulu biasanya 1X24 jam sabar aja dulu saya juga pengen cepet beres”. Membaca sms yang dia kirim saya kembali emosi dan berang

emangnya kau pikir saya orang bodoh apa? Yang namanya ditransfer lewat ATM dalam hitungan detik uangnya sudah nyampe”.

Nicky: “ya udah kita liat aja besok sekalian saya kasih buktinya sama D disitu ada tanggal dan jam dsb. Saya ngga suka banyak omong. Trims

Nicky: “Yang kemaren juga saya terima besoknya. Gini aja coba besok pagi biar ngga bolak balik. Pasti nyampe kok saya juga pengen beres

kemaren itu saya transfer lewat teller goblok. Tadi kau bilang transfer lewat ATM

Sampai dengan senin sore uang yang dia bilang sudah ditransfer tidak ada direkening saya, saya sangat yakin kemaren dia hanya membual. Kembali saya telp adiknya dan saya mengirim sms caci maki ke Nicky.

kau manusia atau bukan sih? Tidak punya rasa malu sama sekali. Bilang uangnya sudah ditransfer, ternyata itu hanya omong kosong. Membuat orang menunggu-nunggu. Tidak malu kau sama adikmu? Bajingan kau… apa perlu saya datangi rumahmu untuk mengambil uang saya yang hanya 960 rb itu?”

23 Maret 2010.
Nicky: “gw belum ketemu dan ngobrol sama si N (adiknya-red). Cuma gw bilang uangnya mau gw transfer klo tu monitor dah laku

jadi benarkan kemaren itu kau tidak transfer uangnya dan hanya membual. What fucking happen with you? Niat ngga sih kau balikin uangku?

Nicky: “Gw balikin tapi gw perlu waktu monitornya gw jual lagi tunggu. Gw juga tau gw jadi punya hutang tunggu

Nicky: “Mau gw bayar tunggu kasih gw waktu… trus jangan bilang kasar lagi ke gw

Nicky: “Tunggu pasti gw bayar sebelum akhir bulan tunggu. Bukan gw ngga mau bayar gw butuh waktu. Masa gw bayar pake daun gw pasti kembaliin".

Sampai dengan tanggal 31 Maret 2010 uang saya tidak juga dikembalikan. Kembali saya mencaci maki orang yang bernama Nicky Saputra ini lewat sms. Telpon saya tidak pernah mau diangkat. Saya pun mencoba melacak identitasnya di internet dan juga nomer telpon orang tuanya yang ada di Bandung dan Ciamis. Saya kembali mengancam akan menelpon orang tuanya untuk melaporlan kasus penipuan ini. Tapi sms saya tidak pernah ditanggapi lagi, sementara nomer handphonenya masih aktif. Saya bener-bener emosi dan putus asa untuk mendapatkan uang saya kembali.

2 April 2010
Nicky: “Hoy besok gw transfer sory telat gw baru dapat duitnya

Selang beberapa menit dia menelpon saya dan menyakinkan kembali uangnya akan ditransfer besok pagi pukul 9.00 WIB. Sayapun hanya menjawab “ya sudah, buktikan saja… saya chek besok”. Setelah menerima telpon dari dia kembali saya kirim sms “Saya sih sudah pesimis, sudah tidak yakin uang itu anda transfer. Tapi kita buktikan saja”. Ternyata benar besok paginya sampai dengan sore harinya uang tersebut tidak ada direkening saya.

Sampai dengan hari ini (saya memposting tulisan ini) uang saya tidak kembali… Berbagai cara saya lakukan untuk mendapatkan uang saya kembali. Dua minggu yang lalu saya juga mengancam akan menyebarkan kasus penipuan ini di mailist dan jaringan internet lainnya. Tapi kembali tidak ditanggapi. Sayangnya saya belum punya waktu untuk mencari orang ini di Bandung.

Bagi teman-teman yang ketemu dengan orang ini dan juga akan bertransaksi untuk membeli sebuah barang atau mungkin juga mau bekerjasama dengan orang seperti ini sebaiknya berpikir ulang dan lebih teliti. Jangan sampai mengalami hal yang serupa seperti saya.

Bagi saya jumlah nominal yang diambil tidak terlalu besar, tapi yang membuat saya sakit hati dan sangat emosi adalah dia selalu berkelit dan telah mempermainkan saya. Sumpah mati saya sangat jengkel plus dongkol sampai ke ubun-ubun dengan orang yang bernama Nicky Saputra yang mengaku punya CV. Putra Langit dan tinggal di Cigadung, Bandung ini.

Saya tidak tahu apakah karena terbelit hutang atau pecandu narkoba sehingga bisa menjadi manusia seperti ini. Tanpa punya rasa malu dan tidak bisa berpikir panjang. Sayang sekali wajah tampan anda harus rusak karena prilaku anda sendiri. Sayang sekali bisnis anda harus terpuruk karena ketidakjujuran anda. Poor of you…

27 Mei 2010

Disaat saya menulis pengalaman saya ini di sebuah blog saya pada pada tanggal 20 April 2010, siang harinya Nicky menelpon saya dan marah-marah. Mengancam akan mencari saya klo tulisan saya tidak dicabut. Dia mengaku ribut dengan istrinya gara-gara tulisan saya ini. Saya sedikit heran, yang salah siapa. Yang buat masalah siapa. Kok yang dimarah-marah dan dimaki adalah korban atas perbuatannya sendiri. Saya hanya bilang “itu kesalahan anda sendiri, anda yang membuat masalah. Coba dari dulu-dulu langsung kembalikan uang saya. Kita tidak ada urusan dan permasalahan. kembalikan uang saya. Selesai sudah urusannya”. Saya hanya bilang transfer balik uang saya dan tulisan tersebut akan saya hapus dari blog saya.

Akhirnya Nicky minta waktu lagi sampai dengan pertengahan mei, sebelum adiknya menikah dia akan mengirim uang saya. Dan minta tulisan saya dicabut dulu. Sayapun meng-iyakan bahwa saya akan menarik kembali tulisan saya sampai dengan pertengahan mei. Saya akan kembali mempublikasikan kasus penipuan ini klo tidak ada niat baik untuk mengembalikan uang saya dan mentransfer balik uang saya dengan segera. Saya kembali berusaha untuk bersabar.

Tapi sampai dengan sekarang (16 Mei), bertepatan dengan pernikahan adiknya, uang saya tidak kembali. Janji hanya janji. Penipu memang tetap penipu. Sampai sekarang saya tak habis pikir seperti apa jalan pikirannya. Sampai kapanpun, dengan perlakuan yang seperti ini, saya akan tetap menuntut uang saya kembali. Saya tidak rela diperlakukan seperti ini.

Tanggal 16 Mei, pada malam harinya saya menemui orang tuanya dan menceritakan penipuan yang dilakukan oleh anak sulungnya terhadap saya. Jawaban dan tanggapan orang tuanya sama sekali tidak memuaskan saya. Bicara panjang lebar, pembicaraan yang muter-muter ngga tentu arah, membuat banyak alasan dan menyalahkan seseorang... Cara bicara dan mimik wajah bapaknya sama persis seperti anaknya yang bernama Nicky!

Mereka menyakini klo anaknya bukanlah penipu. Hanya memang belum bisa mengembalikan uang saya. Saya hanya bilang kepada orang tuanya

"Pak, klo memang barangnya tidak ada kenapa dia berani bilang barangnya ada dan silahkan transfer uangnya sekarang?

"Klo barangnya memang ada, kenapa dia tidak antarkan ke keluarga saya yang ada di Bandung, padahal saya datang ke Bandung itu untuk ambil barangnya 2 minggu setelah uang saya transfer?"

"Klo dia punya niat baik untuk mengembalikan uang saya, kenapa ketika saya ada di Bandung dan meminta uang saya balik. Kenapa dia tidak mengembalikan uangnya saat itu juga. Klo memang kepake uangnya atau tidak pegang uang cash, kenapa dia tidak menemui saya dan bicarakan baik-baik kepada saya. Minta maaf kepada saya klo uangnya kepake. Ini jangankan menemui saya, kata maaf aja tidak pernah terucap dari mulutnya. Yang ada malah berkelit-kelit dan menipu saya pula sebanyak dua kali, bilang uangnya sudah ditransfer balik. Apakah prilaku seperti itu tidak termasuk kategori penipu?"



Bapaknya hanya menjawab "Terserah kamu ya, klo kamu menganggapnya penipu. Bagi saya dia tidak menipu!"


Akhirnya orang tuanya berjanji setelah pertemuan tersebut mereka akan menemui Nicky dan akan memberikan uang kepada Nicky untuk diberikan kepada saya. Mereka tidak mau memberikan langsung uangnya kepada saya dengan alasan agar Nicky bisa berkomunikasi dengan saya. Mereka ingin Nicky yang mengembalikan uang saya. Tapi yaa mungkin like father like son
. Sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Uang saya tetap saja tidak kembali...

Saya sungguh menyesal bertemu dengan orang yang bernama Nicky Saputra!!!

Bertemu dengan orang ini sama saja menjadi sebuah musibah besar. Menjadi beban pikiran. Makan hati dan selalu menjadi emosi jika mengingat kelakuan orang ini. Mungkin inilah yang namanya kehidupan bermasyarakat, kita tidak pernah tahu akan bertemu siapa nantinya dan orang tersebut akan berbuat apa terhadap diri kita.

(Tulisan ini saya update dari tulisan sebelumnya yang saya tulis pada tanggal 20 April 2010)
=======================================================

Berikut adalah identitas di Facebook Nicky Saputra dan istrinya pemilik rekening BCA atas nama Febby Ayu. Silahkan klik pada gambar untuk ukuran yang lebih besar.










a>=======================================================

Tuesday, May 11, 2010

Undang Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam sebuah perjalanan saya selama ini, ada banyak informasi yang saya terima dan saya simpan. Salah satunya adalah hasil perjalanan saya ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Disana saya bertemu dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah yiatu Bapak Drs. Moses Nicodemus, MM. Saya menghadiri sebuah presentasi beliau di kantornya dan juga sempat melakukan wawancara beliau di ruangannya setelah presentasi tersebut.

Ada beberapa informasi yang saya dapatkan dari beliau, mulai dari kegiatan ujicoba skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) yang ada di Kalimantan Tengah dan ulasan mengenai Undang-undang baru tentang Lingkungan Hidup. Beliau sangat senang sekali diterbitkannya undang-undang ini, sehingga ada payung yang melindungi dan mengawasi para pejabat Lingkungan Hidup dan juga masyarakat umumnya. Permasalahan lingkungan hidup bukan permasalahan spele lagi dan permasalahan yang bisa dipandang sebelah mata.

Sudah bertahun-tahun permasalahan lingkungan hidup melanda negara kita tanpa penyelesaian. Penyakit yang sudah kronis dan sangat sulit untuk disembuhkan. Perusahaan merajalela menghancurkan hutan dan sumberdaya alam. Merusak lingkungan hidup. Menyengsarakan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang ada disekitar perusahaan. Tidak sedikit perusahaan yang berdiri tanpa Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Banyak pejabat negara dan pejabat daerah sewenang-wenang menerbitkan izin untuk perusahaan. Lobby-lobby yang menguntungkan pribadi dan golongan marak terjadi.

Kalo berbicara tentang AMDAL, bisa dichek perusahaan mana yang bener-bener membuat AMDAL dan patuh terhadap standarisasi AMDAL. Jangankan AMDAL, belum memiliki izin HGU saja (hanya mengandalkan izin prinsip dari Gubernur atau Bupati) dan belum punya IPK untuk melakukan landclearing mereka sudah berani meratakan semua pohon yang berdiri kawasan tersebut dan menggantikannya dengan tanaman kelapa sawit. Termasuk hutan adat komunitas dayak iban di Kalbar mereka hancurkan. Seperti yang saya ceritakan mengenai "Derita Desa Semunying Jaya"

Terkadang hasil AMDAL juga merupakan hasil lobby-lobby perusahaan dengan para pembuat AMDAL dan pembuat kebijakan. AMDAL seringkali hanya sebuah hasil copy-paste sebuah lembaga pembuat AMDAL. AMDAL hanya sebagai lampiran surat untuk mendapatkan izin eksplorasi atau mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU).

Saya tidak tahu, apakah setelah keluarnya UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, para pembuat AMDAL, perusahaan dan aparat pemerintahan masih berani bermain-main dengan kejahatan yang mereka lakukan. Berikut saya berikan sedikit cuplikan apa saja isi UU tersebut, semoga membantu rekan-rekan dimanapun untuk mengingatkan kembali para perusahaan, aparat pemerintah bahwa sudah ada aturan tegas yang dan sanksi yang tegas jika masih melakukan pengrusakan hutan, sumberdaya alam dan lingkungan.

Semoga informasi ini bermanfaat.

Informasi lengkap tentang Undang-undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlingungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bisa download disini

Monday, May 3, 2010

'Panasnya' Land Clearing Area

Apakah anda pernah merasakan berdiri dibawah teriknya matahari yang sangat terik dan akhirnya membuat kepala kita pusing? Saya pernah merasakannya. Seminggu yang lalu saya mengunjungi salah satu land clearing area milik sebuah perusahaan di Kalimantan Tengah. Panasnya yang begitu dasyat dan tidak ada pohon untuk berlindung tak hayal membuat kepala saya pusing dan muntah-muntah setelah pulang dari area tersebut.

Ya… tepatnya pada tanggal 25-27 April 2010 saya melakukan perjalanan ke Kalimantan Tengah, mengunjungi dan mendokumentasikan sebuah areal yang sudah dibabat habis hutannya oleh sebuah perusahaan kelapa sawit. Kurang lebih 3000 ha areal hutan sudah dibabat habis untuk diganti menjadi tanaman kelapa sawit. Total luas kawasan hutan yang akan dibuka berdasarkan izin yang diperoleh mencapai puluhan ribu hektar.

Lokasi yang kami kunjungi adalah sebuah desa yang lokasinya cukup jauh dari Kota Palangkaraya. Butuh waktu tempuh kurang lebih 10 jam melalui jalur darat untuk mencapai lokasi tersebut. Desa yang kami kunjungi adalah Desa Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Karena berangkat dari Palangkaraya pada siang hari, maka kami harus bermalam dulu di Desa Kuala Kuayan, sebuah desa yang berada di tepi Sungai Mentaya. Kami tiba di Desa Kuala Kuayan sekitar pukul 7 malam. Masih dibutuhkan waktu sekitar 3 jam lagi untuk mencapai lokasi land clearing.

Saya berangkat ke Kalteng bersama dengan beberapa teman jurnalis yaitu dari Al-Jazeera, sebuah televisi berjaringan yang bermarkas di Doha, Qatar. Kami bersama-sama dengan Greenpeace mencoba mendokumentasikan bagaimana pengrusakan hutan yang terjadi di Kalimantan, tepatnya di Kotim.

Setelah menginap di sebuah penginapan yang sangat sederhana di Desa Kuala Kuayan, pada pagi harinya sekitar pukul 5 pagi kami mulai bergerak dengan mobil yang kami sewa untuk menuju lokasi yang ingin kami lihat dan dokumentasikan.

Karena begitu jauh perjalanannya dan sepanjang perjalanan juga dari hari sebelumnya tidak melihat hutan, membuat saya bertanya didalam hati “susah sekali melihat hutan disini, baru sekali ini saya berada disebuah daerah di Kalimantan yang benar-benar gersang dan tidak ada hamparan hutan sejak perjalanan dimulai dari Kota Palangkaraya”.

Perjalanan pada pagi hari menuju lokasi land clearing harus melalui jalan-jalan tanah yang berwarna merah. Walaupun kondisi jalan cukup kering karena tidak ada hujan, tetapi tetap saja ada beberapa titik jalan yang berlumpur. Saya pun sempat marah-marah dan jengkel sama sang driver karena tidak berani melewati jalan yang berlumpur tersebut. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk memastikan sang driver dan mobil kijang Krista yang kami sewa berani melewati jalan yang kondisinya berlumpur dan berlobang.

Sekitar pukul 11.30 WIB kami tiba dilokasi land clearing yang memang sudah menjadi tujuan awal kami. Lahan-lahan yang topografinya bergelombang dan berbukit ini sekarang sudah diatur sedemikian rupa oleh alat-alat berat milik perusahaan untuk ditanami bibit kelapa sawit. Sejauh mata memandang sudah tidak adalagi satu pohonpun yang berdiri tegak. Semua sudah tumbang. Semua sudah kering kerontang. Apalagi panasnya matahari bersinar tanpa awan membuat seluruh kawasan ini terasa sangat panas. Sisa-sisa pohon hanya terlihat beberapa diperbatasan kawasan hutan yang dibuka.

Adalah sebuah anak perusahaan milik Sinar Mas yaitu PT Buana Adhitama yang memiliki konsesi untuk perkebunan tersebut. Greenpeace mengklaim perusahaan ini melakukan land clearing secara illegal karena mereka tidak memiliki Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) dalam melakukan aktivitas land clearing. Selain itu juga perusahaan ini tidak menaati peraturan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yaitu tidak melakukan aktivitas land clearing diareal yang memiliki nilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HVCF) Assessment. Bedasarkan informasi dan data research beberapa lembaga, lokasi ini berbatasan langsung dengan habitat orang utan.

Greenpeace mencoba menyampaikan kejahatan ini ke beberapa pemegang saham Golden Agri Resources, salah satu perusahaan milik Sinar Mas yang sedang melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Singapura. Informasi tentang kampanye ini bisa lihat disini.

Selain itu juga, ternyata perusahaan ini ternyata bermasalah dengan masyarakat lokal yang ada disekitar areal perkebunan. Disaat kami sampai di lokasi areal land clearing, aktivitas land clearing sedang tidak berjalan. Ketika kami tanyakan kenapa tidak ada kativitas disini, sang penunjuk jalan mengatakan kepada kami bahwa satu hari sebelumnya ratusan masyarakat lokal mendatangi lokasi ini dan berdemo. Mereka meminta perusahaan menghentikan aktivitas land clearing dan aktivitas penanaman kelapa sawit karena masyarakat lokal tidak merasa tanah milik mereka dijual ke pihak perusahaan. Mereka mengatakan kepada kami bahwa ada beberapa oknum yang mengatasnamakan masyarakat lokal menjual tanah tersebut ke perusahaan.

Perjalanan yang jauh. Pemandangan yang luar biasa dasyat, yaitu pengrusakan hutan yang sangat luas. Menjadikan pengalaman tersendiri disaat saya melakukan trip ini. Apalagi ketika pulang, harus menempuh waktu yang lama untuk sampai langsung ke Kota Palangkaraya. Dari lokasi tersebut sore harinya kami langsung menuju Kota Palangkaraya. Butuh waktu sekitar lebih dari 10 jam untuk tiba di Palangkaraya. 8 jamnya harus melalui jalan tanah dan koral/batu krikil. Kepala saya yang pusing berat karena berjemur dibawah terik matahari pada siang harinya membuat saya tidak bisa menahan sesuatu yang ingin keluar dari dalam perut alias muntah. Semua makanan dan minuman yang saya makan dan minum dari padi sampai siang keluar saat itu juga. Kondisi jalan yang jelek membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyandarkan kepala dibantalan korsi mobil bagian depan dan berharap bisa cepat sampai ke Kota Palangkaraya.



Foto dicuplik darisini

Sunday, May 2, 2010

HUTANKU LESTARI, SUNGAI BERSAHABAT, MASYARAKAT SEJAHTERA

Bulan lalu (April) saya beberapa kali melakukan trip keluar kota, Medan, Pekanbaru, Palangkaraya dan Jogjakarta. Tidak ada yang bisa saya tuliskan tentang perjalanan saya ke beberapa kota tersebut kecuali perjalanan ke Jogjakarta. Yang lainnya adalah perjalanan untuk melihat sebuah seremonial dan workshop.

Perjalanan ke Jogjakarta sebenarnya adalah sebuah trip lapangan para jurnalis untuk melihat lebih dekat mengenai hutan bersertifikasi. Perjalanan ini dirancang dan diadakan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), yaitu sebuah organisasi non-profit yang bertujuan mendorong penyelamatan sumberdaya alam yang lestari melalui skema sertifikasi pengelolaan sumberdaya alam yang sukarela transparan dan idependent. Trip jurnalis ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pengalaman kepada jurnalis mengenai praktek pengelolaan hutan lestari yang mendorong pengembangan masyarakat (community development) dan pelestarian lingkungan, memperkenalkan sertifikasi ekolabel standar LEI di hutan rakyat lestari dan produk kayu bersertifikasi LEI, dan mempererat hubungan antara LEI dan jurnalis.

Pengelolaan hutan rakyat yang lestari merupakan salah satu kegiatan masyarakat yang berdampak positif bagi perbaikan fungsi tutupan lahan, penyelamatan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan berkontribusi langsung bagi kesejahteraan masyarakat petani hutan yang mengelola hutan secara lestari.

Saat ini telah ada 10 (sepuluh) unit manajemen hutan rakyat lestari (UMHR) yang telah bersertifikat LEI, 5 (lima) diantaranya berada di wilayah kawasan DAS Solo, yaitu Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Sragen, dan Magetan. Penyiapan menuju sertifikasi LEI sedang dilakukan di DAS Pemali Jratun yang meliputi Batang dan Pekalongan, dan DAS Cimanuk Cisanggarung, termasuk DAS Citanduy meliputi Garut, Sumedang, Majalengka, Brebes, dan Cirebon.

Keberhasilan 5 UMHR ini merupakan hasil kerja sama berbagai pihak, mulai dari komitmen masyarakat yang mengelola hutan rakyat, Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI) sebagai penjamin dan pendamping, Dinas kehutanan (Dishut) kabupaten sebagai pendamping dan fasilitator, Dishut Provinsi Jawa Timur, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Solo dan Pusat Standardisasi dan Lingkungan (Pustanling) Kementerian Kehutanan, yang membantu dalam bentuk pendanaan maupun dukungan lainnya.

Sertifikasi ekolabel yang dikembangkan oleh LEI dipilih sebagai alat untuk membantu penyelamatan DAS karena standar sertifikasi LEI mendorong pelestarian lingkungan secara berkelanjutan sekaligus mendorong pemberdayaan masyarakat yang telah mengelola hutan secara lestari sehingga meransang pertumbuhan kesejahteraan masyarakat petani hutan.

Beberapa desa yang kami kunjungi yang memiliki hutan rakyat yang sudah mendapat serfikasi adalah Desa Selopuro, Kecamatan Batuwarno (Wonogiri), Dusun Ngasem, Desa Tinatar, Kecamatan Punung (Pacitan), Desa Dengok, Kecamatan Playen (Gunung Kidul). Semua kabupaten ini memiliki hutan jati rakyat yang sudah bersertifikasi ekolabel dengan standar LEI.

Jika anda mengunjungi lokasi ini, anda tidak akan percaya dulunya daerah ini adalah kawasan gersang dan berbatu. Sekarang sudah berubah, seluruh kawasan sudah rimbun dan hijau. Tegakan jati tersusun rapih dengan berbagai ukuran diameter kayu. Disela-sela tegakan jati juga ditanami beberapa jenis tanaman sayuran dan tanaman jangka pendek lainnya. Desa ini sudah lebih sejuk dan tentram. Selain membantu penyelamatan DAS karena kawasan ini berada di hulu, sumber mata air di daerah ini juga tetap terjaga dengan baik.

Berbagai keuntungan sudah mereka terima setelah mereka mendapatkan sertifikat ekolabel. Dengan persyaratan pola penebangan yang berkelanjutan, hutan tidak dibabat habis untuk keuntungan sesaat. Pola penebangan lebih terencana. Pola tebang butuh sudah mulai diminimalisir dengan terbentuknya koperasi disetiap kelompok tani. Harga kayu yang bersertifikasi juga lebih baik daripada kayu yang tidak bersertifikasi. Proses lacak balak atau asal kayu lebih jelas. Para pembeli tidak khawatir akan asal muasal kayu.

Selain menjual kayu yang bersertifikasi, mereka sekarang juga sudah mencoba mengolah limbah-limbah kayu (ranting-ranting kayu) yang tidak terpakai menjadi sebuah hand craft atau asesoris. Sehingga dari satu buah pohon jati sekarang semuanya bernilai. Ada beberapa jenis hand craft yang mereka buat dari kayu-kayu limbah seperti; meja, kursi, tempat pensil, pas bunga dan beberbagai macam pernak pernik lainnya. Semua produk yang mereka bikin ditampung oleh sebuah perusahaan furniture yang juga sudah bersertifikasi ekolabel yaitu PT Jawa Furni Lestari Yogyakarta.

PT Jawa Furni Lestari mempersiapkan masyarakat lokal untuk membuat sebuah produk setengah jadi. Untuk finishing sebuah produk dan mencari pasarnya akan dilakukan oleh PT Jawa Furni Lestari. Masyarakat lokal mendapat pelatihan bagaimana membuat sebuah produk dari kayu-kayu limbah. PT Jawa Furni Lestari tidak ingin masyarakat lokal hanya menjual bahan baku, mereka harus bisa mengolah bahan baku itu menjadi sebuah produk atau poduk setengah jadi. Keuntungan yang didapat jauh lebih baik jika masyarakat tidak hanya menjual bahan baku, tetapi sudah menjadi sebuah produk.

Semua produk yang sudah difinishing dipasarkan untuk ekspor dan sedikit untuk dijual ditingkat lokal. Jika anda mengunjungi Jogjakarta mungkin bisa mampir ke gallery PT Jawa Furni Lestari yang terdapat di Jalan Palagan Tentara Pelajar Km 8,2 Sariharjo, Ngaglik (RUMAH JAWA LESTARI LEATHER FURNITURE).

Melihat konsep sertifikasi dan bagaimana alur perjalanan sebuah pohon jati menjadi sebuah produk yang ada di jawa ini membuat saya tersenyum sendiri. Saya membayangkan coba dari dulu pengelolaan hutan di Indonesia seperti ini, mungkin masyarakat lokal yang tinggal disekitar hutan bisa berharap banyak terhadap keberadaan hutannya. Keberadaan hutan di negara kita masih bisa dinikmati dari generasi ke generasi berikutnya. Pengelolaan hutan kita bisa lebih bijak dan menguntungkan masyarakat lokal. Tetap memperhatikan dan melibatkan masyarakat lokal dalam membuat sebuah kebijakan dan keputusan. Tidak hanya menguntung segelintir orang penguasa dan pejabat negara ataupun pejabat daerah !!

Monday, February 22, 2010

Derita Desa Semunying Jaya

Pada bulan Januari lalu saya mempunyai kesempatan menemani seorang teman dari Friend of the Earth Austria untuk melihat beberapa lokasi yang mengalami degradasi kawasan hutan di Indonesia. Lokasi yang kami kunjungi adalah Kampung Semunying di Kalimantan Barat dan Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.

Dua lokasi ini kami kunjungi karena adanya ekpansi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengkonversi kawasan hutan dan bermasalah terhadap masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan. Permasalahan yang sebenarnya hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan permasalahan lama, yaitu tidak jelasnya perizinan dan permasalahan ganti rugi lahan atau konpensasi lahan yang digarap untuk perkebunan.

Dari dua daerah ini, tingkat konflik di Desa Semunying Jaya, Kalimantan Barat memang cukup rumit dan saya pikir sangat menyakitkan masyarakat yang ada di desa tersebut. Disini saya mencoba menceritakan apa yang saya lihat dan apa yang saya dengar selama saya berada di kampung tersebut. Karena di Desa Semunying ini permasalahannya sangat kompleks dan akan berdampak besar terhadap kehidupan mereka dan generasi mereka yang akan datang, maka saya mencoba menuliskan pengalaman saya selama disana.

Selamat membaca dan semoga permasalahan-permasalahan lahan, hak ulayat masyarakat adat dan juga konversi hutan di Indonesia ini bisa diselesaikan dengan baik. Pemerintah Indonesia ini berani bersikap dan jujur dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Masyarakat adat yang tinggal disekitar hutan juga berani melawan ketidakadilan yang terjadi. Berjuang sampai hak-hak tersebut terpenuhi.

Derita Desa Semunying Jaya

Foto: Jamaluddin sedang menatapi hutan adat Desa Semunying yang sudah dibakar oleh PT. Ledo Lestari. Silahkan klik bagian gambar untuk diperbesar

Desa Semunying Jaya adalah sebuah desa yang terdapat di Kecamatan Jagoi, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Desa yang berjumlah 90 KK ini terbagi dalam tiga dusun, yaitu Dusun Semunying Bungkan, Dusun Bujuan dan Dusun Pareh.
Desa yang mayoritas masyarakatnya dayak iban ini awal mulanya berasal dari Serawak. Karena adanya konflik di Serawak, akhirnya kelompok mereka migrasi ke Indonesia untuk tinggal di Indonesia. Pada waktu itu mereka meminta izin kepada pemerintahan Soekarno untuk tinggal di Indonesia dan menetap di Indonesia.

Semua mungkin sudah tahu bahwa dahulu kala hutan di Kalimantan masih bagus dan masih perawan. Semua areal di Kalimantan berhutan lebat dan masih terkesan angker. Begitu juga sewaktu pertama kali masyarakat semunying ini mulai membuka kawasan untuk tempat tinggal. Belum ada masyarakat yang berani membuka hutan di perbatasan Serawak dan Indonesia. Masyarakat melayu pun hanya tinggal di kampung-kampung yang sudah ramai penduduknya.

Pada tahun 1979 kondisi hutan di kawasan ini masih bagus dan masih tetap terjaga dengan baik. Karena masyarakat dayak iban sangat tergantung dengan keberadaan hutan untuk kehidupan sehari-harinya, maka sangat tidak mungkin mereka akan merusak hutan-hutan yang ada. Berburu, mencari ikan dan bercocok tanam adalah pola kehidupan sederhana masyarakat disana yang sampai dengan saat ini masih berlaku. Hidup harmonis bersama alam adalah sebuah kepercayaan yang tidak bisa dihilangkan. Mereka bahkan sejak lama juga sudah membagi-bagi kawasan hutan yang bisa digarap dan kawasan hutan yang tidak bisa digarap dalam artian bahwa kawasan hutan tersebut perlu dilindungi untuk tempat satwa berkembang biak dan untuk tempat tanaman-tanaman berkembang biak, baik itu untuk tanaman obat tradisional ataupun untuk dimakan.

Semua pola dan kepercayaan hidup harmonis bersama hutan ini sekarang telah hilang. Tepatnya dihilangkan. Dihilangkan oleh orang-orang luar yang serakah dan mementingkan diri pribadi. Keharmonisan ini sekarang berubah menjadi sebuah ancaman kelaparan, kemiskinan dan perubahan pola prilaku.

Tahun 1995 HPH (Hak Pengusahaan Hutan) masuk kedalam kawasan desa. Pohon-pohon di hutan satu persatu tumbang dan diangkut oleh alat-alat berat. Pohon yang selama ini berdiri angkuh dibuat tidak berdaya saat ditebang dan dibawa pergi dari tempat aslinya. Masyarakat desa yang tidak mengetahui tentang mekanisme penebangan ini hanya memandang bingung. Bingung karena kawasan hutan yang mereka jaga ditebang oleh orang lain. Diambil oleh orang lain. Kayu-kayu yang ditebang dijual ke Malaysia. Semua jenis kayu yang terdapat kampung mereka ditebang dan tumbang.

Perusahaan HPH ini hanya bertahan satu tahun, karena masyarakat desa bersama-sama protes dan mengusir keberadaan perusahaan tersebut. Mereka tidak ingin sumber penghidupan mereka yang selama ini ada rusak dan hancur oleh keserakahan perusahaan.
Perginya sebuah perusahaan HPH tidak membuat keberadaan hutan dan kenyamanan masyarakat desa semunying pulih kembali. Berbagai macam perusahaan, berbagai macam izin dan berbagai macam alasan datang setelah itu untuk mengambil kayu-kayu yang ada di desa mereka. Tahun 1997 Perhutani datang ke desa mereka dengan alasan untuk melakukan reiboisasi. Ternyata mereka juga melakukan penebangan liar dan menjual kayu-kayu yang ada. Tahun 1999 banyak masyarakat luar desa yang datang melakukan aktivitas illegal loging. Tahun 2000 masyarakat dari Malaysia juga datang untuk melakukan illegal loging. Tahun 2001 dan 2003 perusahaan perkebunan mencoba masuk. Izinnya adalah membuka perkebunan, tapi aktivitas yang dilakukan adalah illegal loging. Berbagai macam bentuk pengrusakan hutan yang terjadi semuanya tidak berlangsung lama. Masyarakat desa semunying terus menolak dan berjuang mempertahankan keberadaan dan kelestarian hutan yang terdapat di desa mereka.

Tahun 2004 adalah tahun datangnya bencana besar bagi masyarakat Desa Semunying Jaya. Sebuah perusahaan yang dibekingi oleh para petinggi militer datang masuk dan menggusur habis lahan dan hutan adat mereka. Tanpa tegur sapa alat-alat berat menyapu bersih semua jenis tumbuhan yang ada di lahan masyarakat. Perusahaan yang sampai dengan sekarang juga dijaga oleh tentara-tentara perbatasan Indonesia-Malaysia ini tidak ada bisa menyentuhnya.

PT. Ledo Lestari yang menginduk kepada Duta Palam Group milik Surya Darmadi, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit ini bagaikan batu karang yang tak tergoyahkan. Masyarakat desa sudah bertahun-tahun mencoba mengadu mengenai prilaku buruk sang perusahaan. Mencuri, merampas lahan dan menghancurkan semua jenis tanaman yang ditaman oleh masyarakat. Menghancurkan hutan adat yang selama ini mereka jaga dan pelihara. Mereka sudah melapor dari kecamatan sampai dengan gubernur. Komnas HAM di Jakarta dan pertemuan RSPO di Singapore dan di Kuala Lumpur juga sudah mereka datangi untuk menyampaikan persoalan mereka dengan perusahaan tersebut. Sampai dengan saat ini tidak ada yang bisa menghentikan aktivitas pengrusakah tersebut.

Informasi dari beberapa pihak, perusahaan Ledo Lestari sebenarnya bisa dikatakan perusahaan illegal. Perusahaan ini tidak memiliki HGU. Penggusuran dan pembersihan lahan hanya berdasarkan sebuah izin prinsip yang dikeluarkan oleh bupati setempat pada tahun 2004. Pada tahun 2006 izin prinsip tersebut habis masa berlakunya dan diperlukan sebuah izin HGU untuk dapat melakukan pembersihan lahan dan melakukan penanaman. Pemerintah daerah memberikan perpanjangan 1 tahun untuk dapat menyelesaikan HGU. Tapi waktu yang diberikan juga digunakan oleh PT Ledo Lestari secara baik. “Pada waktu memegang izin prinsip pun perusahaan tidak melakukan sosialisasi kepada kami. Jadi mereka itu saat memegang izin prinsip itu sudah melakukan penggusuran dan menebang semua hutan yang ada disini” ucap Jamaluddin, salah satu tokoh masyarakat di Desa Semunying.

Beberapa bulan yang lalu tepatnya pada bulan Desember karena desakan masyarakat adat desa semunying agar pemerintah dapat memberikan pengakuan terhadap hutan adat yang mereka miliki, Bupati Bengkayang memberikan pengukuhan di lokasi hutan adat tersebut. Tapi yang menarik sekaligus memilukan, disaat bupati medatangi lokasi hutan adat dan membubuhi tanda tangan pengukuhan atas hutan adat mereka, ekavator-eskavator milik perusahaan masih menderu dan melenggang seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa. Jarak eskavator dengan acara pengukuhan tersebut mungkin hanya ratusan meter.

“Inilah yang membuat kami heran. Bupati datang dan mengakui keberadaan hutan adat kami, mereka malah tidak peduli. Eskavator jalan terus. Kami sudah desak bupati dan polisi untuk menghentikan aktivitas tersebut. Tapi memang sepertinya pemerintah daerah dan polisi tidak ada taringnya” geram Jamaluddin. “Beberapa minggu setelah pengukuhan itu kami mengadakan gelar kasus di Kapolres. Menghadirkan semua pihak pemerintah daerah, mulai dari dinas kehutanan, dinas perkebunan dan kepolisian. Tapi semua sia-sia. Polisi tidak berani bertindak tegas, mereka bilang tidak mungkin sesama aparat akan bentrok” lanjutnya.

Karena dibelakang perusahaan tersebut berdiri para petinggi militer yang ada di Jakarta dan dilokasi juga dijaga oleh tentara perbatasan (Libas). Bukan tidak mungkin seorang Kapolres menjadi kecut dan berani macam-macam. Begitu juga seorang bupati.
Perusahaan tetap berdiri dan melenggang. Mereka tidak pernah mengakui hutan adat. Mereka tidak peduli teriakan dan tangisan masyarakat Desa Semunying. “Kami tidak mengakui hutan adat. Yang ada hutan Negara. Kami sudah membayar kepada Negara” ucap Jamaluddin meniru ucapan salah seorang petinggi perusahaan saat bertemu dengan pihak preusahaan. "Hanya dengan perusahaan inilah kami kehabisan akal bagaimana kami bisa mengusir perusahaan yang menghancurkan hutan kami. Dari puluhan tahun yang lalu kami terus berjuang untuk menjaga keberadaan hutan adat kami. Semua perusahaan yang masuk dulu itu bisa kami usir. Tapi dengan Ledo Lestari? hanya kepada Tuhan lah lagi kami bisa berharap" ungkap Jamaluddin.

Selama empat hari saya berada disana, saya melihat sebuah derita yang berkepanjangan terjadi di sebuah desa yang damai yang berada di pinggir Sungai Seluas ini. Hidup yang dulunya damai dan tentram telah terusik oleh orang-orang yang serakah. Sekelompok orang yang ingin berdiri gagah dan menikmati megahnya dunia. Tidak peduli masyarakat Desa Semunying dan beberapa generasi mereka kedepan akan hancur kehidupannya dan masa depan mereka. Itulah Indonesia.