Wednesday, July 13, 2011

Bagaimana Kami Bisa Bertahan

Bagaimana dia mengobati anaknya sakit? tubuhnya panas dan kulitnya mulai menguning?

Apa yang bisa mereka lakukan untuk mencari penghidupan (makan) jika memang harus tinggal ditegakan akasia yang luasnya puluhan ribu hektar ini? Benarkah dia akan memakan seekor katak yang sudah mati dan tubuhnya sudah mulai mengering itu?

Mungkinkah aku akan mengeksplotasi mereka dengan kamera yang aku pegang?

Bismillahirrahmanirrahim…

Hanya satu niatku ya Tuhan, menyampaikan apa yang aku lihat dan aku dengar disini. Bagaimana kejamnya negara ini memberlakukan warganya. Bagaimana busuknya politik negeri ini. Seolah-olah mereka tidak memandang bahwa orang rimba adalah saudaranya. Manusia yang punya hak hidup layak. Butuh hutan untuk untuk bernaung dan mengajarkan anak-anaknya bagaimana nikmatnya hidup harmonis bersama alam. Berburu di lebatnya hutan rimba. Memakan buah di pohon-pohon liar yang tumbuh di alam. Mencari ikan di riak airnya yang tak pernah padam. Seperti jauh dulu yang mereka rasakan…


Kalimat-kalimat seperti inilah yang selalu menyelimuti perasaan saya ketika saya berhasil menemukan mereka. Menemukan salah satu kelompok Orang Rimba (OR) yang bertahan hidup dibawah tegakan akasia (Acacia sp.). Sebuah hutan monokultur atau yang sering disebut dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ditanam untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kertas. Tanaman akasia jenis Acacia auriculiformis dan Acacia mangium-lah yang sekarang menghijaukan daratan Provinsi Jambi.

Berdasarkan RTRWP Provinsi Jambi, luas kawasan hutan di jambi adalah 2,1 juta hektar dari 5 juta hektar luas Provinsi Jambi. Dari 2,1 juta hektar kawasan hutan tersebut terbagi menjadi kawasan konservasi, kawasan lindung, dan kawasan produksi.

Luas kawasan hutan produksi di Jambi adalah sekitar 1,2 juta hektar. 50% atau sekitar 600 ribu hektar kawasan hutan produksi ini sudah diberikan izin oleh pemerintah kita kepada Sinar Mas Group melalui berbagai macam anak perusahaannya. Izin ini diberikan hanya untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Jika izin HTI yang diperoleh ini digabungkan dengan izin-izin untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara, entah berapa luas daratan Jambi yang sudah dikuasai oleh Sinar Mas Group.

Seorang teman di Jambi pernah menunjukkan sebuah peta rencana perluasan HTI milik Sinar Mas Group kepada saya. Mereka menargetkan luas konsesi mereka seluas kurang lebih 1 juta hektar pada tahun 2020. Fantastis bukan?

Orang Rimba adalah salah satu suku asli Jambi yang hidupnya semi nomadic. Hidup berpindah-pindah didalam kawasan hutan. Bertahan hidup dengan berkebun dan berburu. Dari sejak awal hidup di dunia ini, Orang Rimba tinggal didalam kawasan hutan. Mereka sudah menandakan sebuah kawasan hutan yang merupakan wilayah jelajahan mereka. Orang Rimba sangat bergantung dengan kawasan hutan untuk tempat tinggal mereka.

Bagi Orang Rimba, jika ada anak yang lahir, kedua orang tuanya akan menanamkan ari-ari anaknya di pohon tertentu. Pohon itulah nanti yang akan melambangkan kehidupan sang anak tersebut. Pohon yang menjadi saksi pertumbuhan sang anak tersebut harus dijaga agar kehidupan sang anak juga nantinya terjaga dengan baik. Orang Rimba tidak akan meninggalkan kawasan tempat lahir mereka. Sejauh apapun mereka pergi, mereka pasti akan kembali. Selain pohon sebagai lambang kelahiran, yang mengikat mereka dengan kawasan tertentu adalah kuburan tempat keluarga mereka yang dimakamkan.

Saat ini hutan alam di Jambi sudah dalam kategori sangat kritis. Yang tersisa hanya kawasan-kawasan konservasi didalam taman nasional. Itupun tak luput dari pencurian kayu dan perambahan. Hilangnya kawasan hutan jelas menjadi ancaman bagi Orang Rimba. Hutan yang mereka jaga dan menjadi tempat tinggal yang nyaman selama ini sudah berubah menjadi pohon-pohon akasia. Jenis pepohonan yang sama sekali yang tidak bersahabat untuk Orang Rimba. Tidak ada buah-buahan. Tidak ada satwa buruan. Anak-anak sungai yang ada mengering dan juga teracuni oleh ganasnya pupuk-pupuk yang digunakan perusahaan untuk menggenjot pertumbuhan akasia yang mereka tanam.

Serakahnya para pejabat di negara ini dan rakusnya perusahaan terhadap kawasan hutan jelas-jelas menenggelamkan kehidupan Orang Rimba. Membunuh kebudayaan dan kearifan lokal yang sudah lama mereka pegang. Dampak yang paling buruk adalah membunuh sebuah etnis di Jambi. Etnosida.

Mata sayu. Anak-anak yang kelaparan adalah pemandangan pertama yang saya liat ketika saya menjumpai mereka. Biskuit yang sengaja saya bawa untuk mereka habis dalam seketika. Seorang ibu yang dituakan membagikannya kepada anak-anaknya yang duduk dibawah pohon-pohon akasia yang belum terlalu besar. Seorang ibu muda yang sedang menggendong anaknya yang baru berumur 3 bulan bercerita kepada saya bahwa anaknya sudah 2 minggu panas dan selalu menangis. Dengan telapak tangan yang gemetar saya mencoba memegang kepala sang bayi yang tubuhnya mulai berwarna kuning itu. “Oh Tuhan, haruskah Kau biarkan mereka yang tertindas ini” teriakku dalam hati ketika memegang tubuh sang bayi.

Saya tidak berani lama berada disekitar mereka. Selain saya tidak kuat melihat kenyataan ini, saya juga khawatir orang-orang perusahaan akan tahu klo saya masuk kedalam konsesi mereka.

Hanya satu pesan yang saya ingat sampai sekarang dari Ketua Kelompok mereka yaitu Pak Selamat. “Tolong sampaikan kepada orang-orang yang ada di Jakarta. Jangan dibuka lagi hutan kami. Kami tidak punya tempat tinggal lagi jika semua hutan sudah habis. Kami bertahan di kebun akasia ini karena dari dulu ini memang tempat tinggal kami. Hutan kami”







Friday, July 8, 2011

Kami tak sanggup memandang matahari

Dalam tiga tahun terakhir kasus-kasus konflik harimau sumatera dengan manusia semakin meningkat. Konflik ini terjadi secara merata mulai dari Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Bengkulu. Di tahun 2011 hampir setiap bulannya terdapat berita-berita mengenai kematian harimau sumatera maupun korban jiwa akibat diserang oleh harimau sumatera sang raja hutan.

Selama bulan Juni-Juli 2011 sudah 2 ekor harimau sumatera yang mati. Kasus pertama terjadi di Provinsi Bengkulu. Seorang oknum polisi diduga menembak mati harimau sumatera yang berada disekitar kampung. Saat ini kasusnya belum terungkap apa motif sang oknum tersebut menembak harimau sumatera. Kasus kedua terjadi di Provinsi Riau. Seekor harimau sumatera usia 1,5 tahun mati terjerat didalam konsesi perkebunan hutan tanaman industri milik sinar mas group.

Tingginya tingkat kematian harimau sumatera di Indonesia jelas sangat mengancam keberadaan harimau sumatera. Jumlah populasi satwa yang menjadi salah satu satwa primadona di Indonesia ini dikabarkan hanya berkisar 400 ekor. Departemen Kehutanan menginformasikan bahwa dalam kurun 25 terakhir jumlah harimau sumatera menyusut sampai 25%. Di Provinsi Riau saja harimau sumatera diperkirakan hanya tinggal 30 ekor.

Mengapa harimau sumatera menyerang manusia? Mengapa konflik harimau sumatera dengan manusia cenderung meningkat?

Untuk mencari jawaban dari pertanyaan inilah saya melakukan perjalanan ke Pekanbaru, Riau. Desa yang saya tuju adalah Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir. Di desa ini sudah terjadi 4 kali kasus harimau menyerang manusia. Sebanyak 2 orang masyarakat Desa Jumrah meninggal dunia akibat diserang oleh harimau sumatera. Dalam kunjungan ini, saya hanya ingin mengetahui seperti apa jawaban masyarakat desa terkait dengan pertanyaan yang saya sebutkan diatas.


“Harimau menyerang kami, sudah jelas karena tempat tinggal mereka tidak ada lagi pak. Hutan mereka habis dibabat oleh perusahaan. Yang tertinggal hanya pohon-pohon akasia milik PT Arara Abadi, Group Sinar Mas. Apa yang mereka mau makan disana? Monyet saja tidak mau tinggal di pohon akasia itu” ungkap Sukardi Ahmad, Kepala Desa Jumrah.

Sukardi juga menjelaskan bahwa harimau ini awalnya tersebar di daerah Dumai. Tetapi karena hutan di Dumai sudah habis dikonversi menjadi perkebunan skala besar, harimau tersebut bergerak ke arah Desa Jumrah yang hutannya relatif masih bagus. Tetapi dalam setahun belakangan hutan di Desa Jumrah juga sudah dikonversi oleh PT Rimba Utama Jaya (PT RUJ) milik Sinar Mas Group.

“Semua pohon-pohon yang ada di desa kami habis dicabut oleh alat-alat berat milik perusahaan. Yang tersisa hanya daun-daun kering saja. Daunnya pun menjadi bencana buat kami karena rawan terbakar karena tanahnya tanah gambut. Ketika gambut terbakar, masyarakat yang disalahkan oleh pemerintah” jelas Sukardi yang baru menjabat kepala desa selama 4 bulan ini. Masuknya konsesi milik PT RUJ diwilayah Desa Jumrah juga tanpa ada proses sosialisasi. PT RUJ datang dan langsung mencabut semua pohon-pohon alam yang ada di wilayah desa untuk kebutuhan bahan baku pulp and paper milik Sinar Mas Group.

Rakusnya perusahaan milik Sinar Mas Group membuat masyarakat khawatir. Sudah beberapa kali masyarakat mengadukan kasus ini ke kecamatan dan dinas-dinas di kabupaten. Pertemuan demi pertemuan juga sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Jumrah untuk menanyakan status perusahaan yang masuk ke wilayah desa. “Kami seperti tak berdaya menghentikan alat berat yang menghancurkan hutan kami. Mereka seperti tak bisa melihat hutan yang masih bagus dan alami. Pasti langsung ditebang dan dihancurkan. Alasan mereka sudah mendapat izin dari menteri kehutanan. Kami tak sanggup memandang matahari” keluh Sukardi mengumpamakan masyarakatnya jika berhadapan dengan para pejabat negara.

Berdasarkan hasil kesepakatan pertemuan pada awal tahun lalu bahwa akan dilakukannya pemetaan terhadap wilayah desa yang menjadi areal konsesi perusahaan. Masyarakat Desa Jumrah berharap ketika masih menunggu proses pemetaan wilayah desa, perusahaan tidak melakukan aktivitas penebangan. Tapi yang terjadi saat ini adalah proses penebangan terus berjalan dan sudah ribuan hektar wilayah desa yang mengering dan terbakar.

PT RUJ juga sudah membuat kanal yang lebarya mencapai 6 meter. Kanal ini dibuat selain untuk mengeringkan lahan gambut juga untuk sarana transportasi untuk mengeluarkan kayu-kayu hasil tebangan. Keberadaan kanal berdampak terhadap pertanian masyarakat. Ketika musim hujan, air kanal meluap dan masuk keperkebunan masyarakat. “Jadi kami ini sekarang serba salah pak. Musim kering kebakaran. Klo musim hujan kami kebanjiran. Tanaman sawit saya yang masih kecil mati akibat terendam banjir. Sekitar 5 hektar kebun saya rusak akibat banjir dari kanal yang dibuat perusahaan tersebut” Ungkap Sukardi.

Saat ini masyarakat Desa Jumrah yang berjumlah sekitar 3000 jiwa masih bisa bersabar menunggu tindakan kongkrit pemerintah daerah dan departemen kehutanan untuk meninjau kembali konsesi perusahaan yang masuk ke wilayah desa mereka. Mereka khawatir harimau sumatera akan kembali ke desa dan menyerang masyarakat yang sedang berladang. Bukan tidak mungkin jika sebuah kesabaran sudah habis akan terjadi lagi konflik kehutanan di wilayah Riau. Keberadaan harimau sumatera dan masyarakat sama-sama menjadi terancam.