Wednesday, November 14, 2012

Perjalanan ke Mamuju, Sulawesi Barat


Awal bulan November saya kebetulan diminta melakukan pembuatan sebuah video dokumenter di Mamuju, Sulawesi Barat. Selama dua belas hari saya mengunjungi beberapa desa yang ada di Mamuju, Sulawesi Barat. Banyak orang yang bertanya “Mamaju itu dimana?” disaat saya bilang saya sedang berada di Mamuju. Saya sendiri pun musti mencari lokasinya di google map ketika saya diminta berangkat ke Mamuju. Karena ini juga perjalanan pertama saya ke Mamuju.

Pengalaman penerbangan pertama saya ke Mamuju juga membuat hati berdebar-debar karena pesawat yang saya tumpangi yaitu rute Makassar-Mamuju mengalami cuaca buruk. Pesawat ATR 72-500 dengan kapasitas penumpang 80 orang sudah mencoba melakukan 2 kali upaya pendaratan di Bandar Udara Tampa Padang, Mamuju tetapi upaya pendaratan selalu batal dan pesawat dipaksa naik lagi menuju angkasa dengan pemandangan yang gelap karena awan tebal. Lebih dari satu jam pesawat kami muter-muter diatas wilayah Mamuju dengan turbulence yang cukup keras mencoba menunggu cuaca membaik. Semua penumpang saat itu terdiam dan menunduk sambil berdoa. Tapi karena terbatasnya bahan bakar pesawat akhirnya pesawat kami kembali ke Makassar dan mendarat dengan selamat di Bandara Hasanuddin. Semua penumpang dinaikkan kedalam bus dan dibawa ke hotel untuk istirahat. Esok paginya kami kembali diterbangkan dengan pesawat yang sama.

Disaat mendarat di bandar udara yang ada di Provinsi Sulawesi Barat ini saya masih belum percaya klo ini adalah salah satu ibukota provinsi yang ada di Indonesia. Bangunan bandara tempat tunggu penumpang yang besarnya seperti rumah type 45 dan bagasi yang musti diambil sendiri di luar bandara. Di bandar udara ini juga belum ada radar dan belum ada petugas BMKG. Penerbangan ke provinsi ini pun hanya 1 kali satu hari dari Makassar dengan pesawat kecil.
Selama di Mamuju dan mengelilingi kota provinsi, saya melihat sepertinya inilah kota provinsi yang terkecil di Indonesia versi saya. Mamuju yang menjadi provinsi pada tahun 2004 masih dalam kondisi berantakan. Banyak galian-galian yang belum dirapihkan. Jalan-jalan kecil dan sempit, tata kota dan bangunan yang masih belum terlihat rapih. Banyak sekali pekerjaan rumah yang musti dilakukan Pemerintah Daerah Sulbar untuk membuat provinsi ini lebih enak dilihat dan bisa dinikmati oleh warganya ataupun pendatang.

Disaat siang hari saya mencoba berjalan kaki di sekitar hotel tempat saya menginap yaitu Hotel d’Maleo untuk mencari makan siang. Hotel d’Maleo adalah satu-satunya hotel yang bagus dan nyaman di Mamuju. Saya sudah mengecek beberapa hotel yang lain. Tarifnya tidak jauh berbeda tapi kualitas bangunan, luas kamar dan pelayanan memang lebih baik Hotel d’Maleo. Terik matahari yang panas dan membuat silau mata, tanpa pohon perindang, benar-benar membuat kota ini tidak bersahabat untuk para pejalan kaki. Disaat siang hari pun banyak tempat-tempat makan masih tutup. Mereka akan buka pada sore menjelang magrib sampai dengan malam hari. Satu-satunya tempat jajanan makan malam ada di pinggir pantai di sebelah pelabuhan dan TPI, tidak begitu jauh dari Hotel d’Maleo. Para pedagang mendirikan tenda-tenda beratapkan terpal secara acak di sebuah dataran yang datar di pinggi pantai dengan suara musik yang keras. Setiap tenda memutar musik dengan keras yang membuat saya bingung, kita mau dengar musik yang mana karena terlalu banyak musik dengan volume disetting sekeras-kerasnya. Membuat saya tidak nyaman menikmati makan malam. Lokasi ini juga jadinya terkesan kumuh. Padahal jika pemerintahnya mau menata dengan baik para pedagang dan lokasi tempat pengujung duduk dan makan mungkin tempat ini bisa menjadi tempat favorit para pendatang untuk menikmati ikan bakar, sate, sop konro ataupun makanan lainnya.

Di Kota Mamuju saya juga belum menemui tempat yang bisa menjadi tujuan wisata oleh para pendatang. Tidak ada pusat pembelajaan yang terpusat, tidak ada tempat hiburan, museum, ataupun taman kota. Jalanan yang sempit, bangunan yang tidak teratur antara pusat perkantoran, rumah penduduk dan ruko membuat Kota Mamuju tidak sedap untuk dipandang. Disaat tiba di Mamuju pun saya tidak tertarik untuk jalan-jalan keliling kota. Keluar hotel hanya untuk kebutuhan makan siang ataupun makan malam. Saya mencoba mencari tahu sebenarnya Provinsi ini, kota ini arah pembangunannya seperti apa. Tapi informasi ini belum saya dapatkan. Padahal di beberapa titik, Mamuju memiliki laut yang masih jerih, tenang dan masih jauh dari pusat keramaian. Saya mengunjungi beberapa nelayan yang memiliki keramba dan jaring tancap di Desa Tadui dan Ampalas. Tidak jauh dari kota juga terdapat ekosistem mangrove yang punya potensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata edukasi. Mungkin karena baru menjadi Kota Provinsi jadi masih sibuk bangun SDM dan bangun kantor baru. Semoga saja pemerintahnya punya komitmen yang tinggi untuk pembangunan daerah dan mensejahterakan rakyatnya. Punya perencanaan yang matang dan berkelanjutan dalam membangun daerah. Bukan menjadi sarana untuk perebutan kekuasaan dan jabatan.

Tuesday, November 13, 2012

Ubikayu: Pangan alternatif yang selalu di anggap murahan


Mungkin tidak sedikit orang yang menganggap ubikayu adalah makanan yang murahan, kuno dan dikonotasikan makanan untuk orang kampung dan orang miskin. Pola pikir seperti inilah yang sedang dilawan oleh Kelompok Tani Wonosari di Desa Bunde, Kecamatan Sampaga, Kabupaten Mamuju.

Pardio (57 tahun) adalah ketua Kelompok Tani Wonosari dan memiliki 28 orang anggota. Pardio yang biasa dipanggil Pakde ini bersama dengan istrinya Suwarti (53 tahun) sudah membuktikan bahwa ubikayu bisa diolah menjadi berbagai jenis makanan. Bahkan banyak tamu yang tidak tahu bahwa berbagai menu makanan dan kue-kue yang disajikan di rumahnya ataupun di berbagai acara resmi pemerintahan seratus persen bahan bakunya dari ubikayu. Kue-kue yang disajikan banyak macam, rasa yang enak dan rasa ubikayunya seperti sudah tidak ada.

Sebelumnya Pardio dan warga Desa Bunde hanya tahu klo ubikayu hanya bisa dimasak dengan cara di goreng ataupun direbus. Kadang, mereka pun malu menyajikan ubikayu yang direbus dan digoreng tersebut sebagai sajian untuk tamu.

Melihat berlimpahnya tanaman ubikayu di Desa Bunde dan di desa sekitarnya, salah satu perusahaan minyak dan gas lepas pantai yaitu Statoil Indonesia Karama yang sedang melakukan survey dan eksplorasi seismik melakukan program community development (CSR) dengan memberikan berbagai pelatihan, pendampingan dan peralatan untuk mengolah ubikayu. Harapannya kedepan masyarakat bisa mengolah sumberdaya lokal menjadi efektif, berguna dan bisa menambah pendapatan rumah tangga.
Suwarti (53) istri Pardio yang sedang menyajikan berbagai jenis makanan dari ubikayu dan tepung dari ubikayu
Sejak pelatihan yang dilakukan pada bulan Agustus 2012, Pardio dan anggota kelompok taninya sudah bisa membuat berbagai macam jenis makanan dari ubikayu. Mulai dari kue tradisional seperti; jepa, tiwul, nasi ubi. Kue basah; brownies, bolu, donat, bakpau serta berbagai jenis kue kering atau jajanan yang dibuat dari tepung ubikayu. Hasil olahan Kelompok Tani Wonosari sekarang sudah sering mendapat pesanan berbagai acara resmi pemerintah daerah.


Pardio yang juga mantan Kepala Desa Bunde selama 22 tahun ini menyampaikan bahwa keinginannya saat ini adalah mengajarkan kepada warga sekitar rumahnya untuk bisa mengolah ubikayu menjadi tepung, sehingga bisa mengolah tepung tersebut menjadi berbagai macam jenis makanan. Akhirnya warga sudah tidak perlu lagi ketergantungan tepung terigu impor. “Selama inikan kita tidak pernah diajarkan dan didorong mandiri mengolah sumberdaya lokal yang ada di desa. Selalu dipengaruhi oleh produk luar dan cenderung tidak bergizi. Sekarang warga disini sudah tahu bagaimana mengolah ubikayu menjadi berbagai jenis kue-kue. Bahkan bisa menjadi pengganti beras. Ubikayu sudah tidak dianggap kuno lagi” ujarnya.

Makanan-makanan olahan dari ubikayu Kelompok Tani Wonosari juga sudah ikut dalam berbagai pameran. Terakhir ini makanan olahan dari ubikayu mereka ikut dalam pameran Hari Ulang Tahun Sulawesi Barat yang dilaksanakan di halaman kantor Gubernur Sulawesi Barat dan pameran Hari Pangan Sedunia yang dilangsungkan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. “Harapan saya, upaya yang kami lakukan bisa diikuti oleh kemauan politik Pemerintah Daerah untuk mendukung pengembangan pangan alternatif selain beras dan pemanfaatan sumberdaya lokal. Saya ingin anak-anak kita terbiasa mengkonsumsi ubikayu. Tidak lagi gengsi mengkonsumsi ubikayu dan jajanan yang tidak sehat dan tidak bergizi bisa dikurangi” ucap Pardio.

Pangan Alternatif dan Kedaulatan Pangan

Apa yang sudah dilakukan Pardio bersama kelompok taninya merupakan upaya sederhana dari masyarakat yang berada di desa untuk mengembangkan pangan alternatif dan mengembangkan sumberdaya lokal. Kedaulatan pangan bisa dimulai dari cara sederhana dan dimulai dari level desa.

Kendala-kendala dalam mengembangkan tanaman padi di suatu daerah untuk sumber pangan karena pengaruh perubahan iklim, topografi, sumber air dan mahalnya biaya perawatan tanaman padi bisa diganti dengan sumber pangan alternatif seperti ubikayu. Tanaman ubikayu cenderung lebih mudah tumbuh dan tidak rentan terhadap hama seperti yang sering terjadi pada tanaman padi. Ubikayu yang digolongkan sebagai bahan pangan sumber karbohidrat dalam setiap per 100 gram mengandung energi 154 kalori, karbohidrat 36,80 gram, protein 1 gram dan lemak 0,30 gram. Ubikayu juga mempunyai keunggulan berdasarkan aspek ketersediaan dan nutrisi. Keunggulan ini sangat memungkinkan untuk menjadi faktor pendorong program diversifikasi pangan dengan ubikayu sebagai kalori alternatif utama.

Indonesia memiliki berbagai macam jenis pangan alternatif selain beras yang bisa dikembangkan. Ubikayu, ubijalar, jagung, sagu, kedelai, sorgum, pisang dan talas. Sayang semua sumber pangan lokal ini belum ada yang dikembangkan secara maksimal. Pemerintah masih belum berani menutup kran impor dan memberdayakan masyarakat lokal untuk sebuah kedaulatan pangan dan pengembangan pangan alternatif.

Kue Bolu yang bahan bakunya dari ubikayu
Kue kering dari ubikayu
Kue lapis dari ubikayu
Rengginang dari ubikayu
Tepung buatan Kelompok Tani Wonosari, bahan baku untuk membuat berbagai macam makanan