Wednesday, May 27, 2009

Sendiri Menyelamatkan Penyu di Pulau Terluar

Beberapa minggu yang lalu saya berangkat ke Bagansiapiapi, Riau untuk menemui seseorang yang katanya berhasil menyelamatkan populasi penyu hijau (Chelonia mydas) di sebuah pulau terluar yaitu Pulau Jemur. Pulau yang berada di Selat Malaka, perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Awalnya dari Bogor saya hanya membaca sebuah profil singkat yang saya terima. Saya belum bisa membayangkan seperti apa bentuk orangnya dan bagaimana orangnya.

Setelah tiba di Riau, kami langsung dijemput oleh sebuah mobil yang memang sudah dipesan untuk langsung membawa kami menuju Bagansiapiapi. Perjalanan menuju Bagansiapiapi sekitar 5-6 jam. Cukup melelahkan memang berjam jam berada didalam mobil.

Karena berangkatnya agak telat, kami tiba di Bagansiapiapi pada waktu malam hari yaitu sekitar pukul 20.00 WIB. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi disaat tiba di Bagansiapapi kecuali mencari penginapan, mandi, makan malam dan langsung tidur karena badan lumayan pegel-pegel setelah beberapa jam berada didalam mobil dan subuh-subuh berangkat ke badara dari Bogor.

Setelah jalan-jalan pagi mengelilingi kota bagan dan melihat klenteng tua yang berada ditengah kota bagan, saya dan dua orang teman menemui seseorang yang memang sudah tujuan kami untuk datang ke kota ini. Cerita berikut ini adalah hasil rangkuman dari catatan saya setelah saya memberikan beberapa pertanyan kepada beliau. Semoga bisa menjadi sebuah inspirasi bagi kita semua.

Awalnya Hanya Penasaran Ingin Lihat Induk Penyu


Sopyan Hadi (34), seorang laki-laki kelahiran Riau ini adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perindustrian dan Perdagangan di Kabupaten Rokan Hilir. Tak disangka pria yang berpenampilan sederhana ini adalah seseorang yang sudah berhasil menyelamatkan populasi penyu hijau di Pulau Jemur. Setelah banyak mendengar cerita dari beliau ini saya langsung geleng-geleng kepala dan takjub terhadap apa yang sudah dilakukannya untuk melakukan penyelamatan penyu hijau di pulau tersebut. Seorang PNS yang dulunya bekerja di BAPEDA ini masih punya kepedulian terhadap kelestarian alam dan satwa yang terancam punah yang ada di Indonesia.

Awalnya saya hanya ingin melihat seperti apa bentuknya induk penyu. Karena dari dulu penyu ini memang sudah menjadi bahan eksploitasi. Pada saat zaman kerajaan dulu, penyu dan telur penyu itu adalah upeti untuk para raja dan pejabatnya. Nah, sampai dengan sekarang penyu dan telur penyu itu masih diambil dan diperjualbelikan oleh orang-orang yang ada disini. Coba bayangkan bagaimana ngga berkurang dan mungkin habis penyu disini. Dari dulu telur dan induknya diambil terus. Siapa yang tidak sedih, jumlah penyu yang ada di Pulau Jemur saat itu sekitar 30 ekor” ceritanya disaat memulai pembicaraan.

Karena rasa penasaran inilah akhirnya Pak Sopyan nekad berangkat sendirian ke Pulau Jemur. Dari Bagan menuju Pulau Jemur dibutuhkan waktu sekitar 7 jam dengan kapal nelayan. Untuk berangkat kesanapun harus melihat kondisi cuaca. Jika kondisi cuaca tidak baik atau angin kencang tidak ada satupun nelayan yang berani menuju kesana. Pulau Jemur sering juga disebut Pulau Arwah karena dulunya gugusan pulau ini adalah tempat pembantaian tahanan disaat perang pasifik. Maka tidak heran di Pulau Jemur ini terdapat bangunan benteng-benteng tua dan sumur-sumur tempat pembuangan mayat. Didalam lautnya juga terdapat kapal-kapal yang tenggelam akibat perang. Kabarnya disekitar pulau ini juga orang-orang yang berperang dulunya membuang senjata.

Sampai dengan saat ini di pulau tersebut tidak ada penduduk yang tinggal. Hanya ada pos navigasi (mercusuar) dan pos TNI Angkatan Laut. Dulu kabarnya memang banyak masyarakat yang tinggal di pulai ini. Tapi sejak ada isu ganyang malaysia dulunya, masyarakat disana dipindahkan dan di gugusan pulau tersebut menjadi kawasan militer dan pos TNI.





Gugusan Pulau Arwah ini terdapat beberapa pulau diantaranya; Pulau Jemur 28,494 ha, Pulau Pertandangan 0, 82 ha, Pulau Sarong Alang 10,365 ha, Pulau Tukong Emas 3,911 ha, Pulau Batu Adang 0,84 ha, Pulau Labuhan Bilik 7,801 ha, Pulau Batu Berlayar 0,238 ha, Pulau Batu Mandi 0,8 ha dan Pulau Tukong 0,30 ha.

Karena untuk melihat induk penyu naik ke darat hanya pada saat malam hari dan ingin bertelur. Saya harus sabar menunggu pada malam hari dan tinggal di pulau ini. Disaat pertama kali melihat induk penyu naik ke darat, saya kaget karena bentuknya besar sekali seperti raksasa. Saya langsung bersorak riang sendiri. Karena penyunya melihat saya, penyunya langsung balik lagi ke laut dan tidak jadi bertelur hahahaha.... Itu pejalaran pertama saya. Klo ada penyu yang mau naik ke darat jangan berisik dan sembunyi”.

Dimulai pada tahun 2002 Sopyan Hadi mulai mencari cara untuk melakukan penangkaran telur-telur penyu yang ada. Tidak mudah bagi Sopyan Hadi untuk bisa dekat dengan para nelayan dan TNI AL dimana mereka adalah bagian dari oknum yang mengambil dan menjual telur penyu dan induk penyu hijau. Berbekal dengan perlengkapan yang ada di pulau tersebut Sopyan Hadi mencoba membuat penangkaran seadaanya. Mulai dari ember-ember bekas, kaleng cat bekas dan barang-barang yang sudah tidak berguna lagi beliau jadikan peralatan untuk penangkaran penyu. “Ketika sudah sampai di pulau, tidak mungkin saya kembali lagi ke Bagansiapiapi untuk menyiapkan peralatan dan segala macamnya, mendingan manfaatkan apa yang ada” ucapnya.

Setelah dengan alat yang sederhana dan uji coba penangkaran secara mandiri berhasil walaupun tidak maksimal. Sopyan Hadi mengajak beberapa nelayan dan anggota TNI AL untuk melihat tukik-tukik yang baru saja menetas. Banyaknya nelayan dan aparat TNI AL yang datang melihat, memegang serta memberi makan tukik-tukik tersebut, timbul rasa kepedulian mereka untuk menyelamatkan keberadaan penyu hijau di pulau tersebut. “Mungkin mereka senang lihat tukik-tukik yang lucu-lucu, memberi makan tukik, sehingga mereka sadar apa yang mereka lakukan selama ini salah. Saya menyadarkan mereka melalui tukik itu. Bahwa telur-telur yang mereka ambil selama ini mengakibatkan tukik tidak bisa menetas dan penyu yang ada akan semakin berkurang. Lama sekali saya menyadarkan mereka. Saya tidak pernah banyak bicara, lakukan aja sendiri penangkaran. Trus ajak nelayan dan TNI ngobrol-ngobrol tentang penyu. Prosesnya lama, bertahun-tahun. Saya klo datang ke pulau itu, yang saya bawa adalah kopi, gula dan rokok untuk kumpul-kumpul dan ngariung” jelas Pak Sopyan kepada saya bagaimana dia melakukan pendekatan dengan nelayan dan aparat TNI AL.

Setelah berhasil dengan penangkaran metode sederhana, Sopyan Hadi terus mencoba beberapa metoda lainnya. Beliau mulai menjalin hubungan dengan Pemda Rokan Hilir, Universitas Riau (UNRI) dan beberapa pihak lainnya untuk membantu proses penangkaran. UNRI memberikan alat batu penangkaran dari fiber glass. Pemda juga membantu beberapa peralatan. Gaung penyelamatan penyu hijau di Pulau Jemur pun semakin meluas. Beberapa tahun yang lalu Gubernur Provinsi Riau dan pejabat-pejabat dari Pemda datang ke pukau tersebut untuk melakukan pelepasan penyu yang sudah ditangkarkan. Upaya penyelamatan penyu di Pulau Jemur sudah sampai ke provinsi. Penyu hijau sekarang juga sudah menjadi icon daerah Bagansiapiapi. “Saya sudah cukup lega sekarang. Sudah ringan. Penyelamatan penyu yang saya lakukan sekarang sudah terdengar dimana-mana. Kerjanya sudah mulai tampak.” Perasaan lega dari Pak Sopyan.

Dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 diperkirakan Pak Sopyan Hadi sudah melepaskan sekitar 20.000 ekor tukik ke pantai. Jumlah yang sangat besar dari inisiatif satu orang di sebuah pulau. Namun upaya penangkaran ini agar terus berkelanjutan memang membutuhkan bantuan dari pihak lain. Saat ini Pak Sopyan Hadi dengan segala keterbatasannya mengangkat 2 orang anak remaja yang putus sekolah untuk menjaga dan merawat penangkaran penyu yang ada di pulau tersebut. Pak Sopyan Hadi sampai dengan saat ini terpaksa menyisakan uang pendapatannya untuk dua orang yang diangkatnya untuk ditempatkan di Pulau Jemur. “Klo mau jujur pak ya, sekarang ini saya sudah punya keluarga. Berat saya harus membiayai dua orang itu dan membiayai terus menerus penangkaran penyu yang ada. Bantuan dari Pemda juga tidak rutin. Saya menyiasatinya ya dari tamu-tamu yang mau datang ke Pulau Jemur. Saya bilang klo mau menyisakan uang untuk mereka dan penangkaran ya silahkan. Seharusnya ini menjadi kewajiban pemerintah atau BKSDA. Tapi ya beginilah, sampai sekarang tidak ada pemerintah yang mau turun langsung untuk menyelamatkan penyu itu. Karena saya sudah terlanjur cinta terhadap penyu tersebut, yaa saya aja yang bertindak. Bersedekah untuk alam dan lingkungan. Lakukan semampu saya dan apa yang saya bisa lakukan untuk menyelamatkan penyu yang ada di Pulau Jemur” Keluh beliau.

Apa yang dilakukan Pak Sopyan Hadi memang membuat saya terkagum-kagum. Senang sekali bisa bertemu orang hebat seperti beliau. Tak banyak orang seperti beliau. Seandainya di beberapa pulau di Indonesia ini ada orang seperti beliau mungkin negara kita ini bisa dijadikan negara sejuta penyu. Dimana-mana ada tukik yang lucu. Ada penyu yang lucu.

Mimpi dan harapan saya, semoga saya diberi umur panjang. 30 tahun lagi saya bisa kembali ke Pulau Jemur dan bisa melihat 30 ribu ekor penyu yang saya lepaskan balik ke Pulau Jemur untuk bertelur. Karena penyu hijau baru bisa bertelur sekitar umur 3o an tahun. Penyu akan ingat dimana tempat pertama kali ia dilepaskan. Pasti dia akan kembali...

Semoga mimpi dan harapannya bisa terwujud pak. Semoga nanti saya juga bisa datang ke Pulau Jemur. Amien...

Monday, May 11, 2009

Danau Sentarum dan Perbatasan Serawak

Setelah dua hari berada di Sui Utik (26-28/04) melihat dan mendokumetasikan sidang masyarakat adat dayak Se-Jalai Lintang saya melanjutkan perjalanan ke Lanjak, Badau (Perbatasan Serawak dengan Kalbar) dan Danau Sentarum.

Ketika berada di Sui Utik untuk yang ketiga kalinya, hati saya sangat bahagia karena bisa berkunjung lagi ke kampung yang sangat saya kagumi dan yang selalu saya rindukan. Ternyata orang-orang yang tinggal di rumah panjang (rumah betang) masih ingat akan diriku. Mereka datang menghampiri dan menanyakan kabar. Sudah menikah apa belum dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ahh.. mungkin hampir dua tahun lebih terakhir saya datang kesini.

Setelah selesai sidang adat, malamnya kami kumpul bersama-sama, maen musik tradisional (alat musiknya nggerumo, gendang, tawak-tawak dan bebendai) sambil menari khas dayak. Mereka berdiri dan maju, trus menari secara bergantian. Kami hanya menonton, sesekali bertepuk tangan sambil menikmati tuak yang dituangkan digelas kami. Betapa indahnya malam itu. Berkumpul diteras rumah panjang yang panjangnya sekitar 180 m dengan penuh canda tawa dan tukar cerita.

Untuk melepas rindu di Sui Utik, saya dan beberapa teman menikmati tuak yang dibuat oleh mereka. Setelah beberapa jam bernyanyi dan menari saya sudah tidak sadar diri. Ketika sadar pada pagi harinya, saya ternyata dengan beberapa teman tertidur di teras tersebut.
Pada tanggal 29 Mei 2009, saya melanjutkan perjalanan ke Lanjak. Sekitar 2 jam dari Sui Utik. Disana saya juga mencoba mendokumentasikan pertemuan tahunan masyarakat sekitar danau sentarum. Pertemuan tahunan ini dilakukan untuk membahas apa dan bagaimana perkembangan masyarakat yang ada di danau sentarum. Tema dari pertemuan tahunan yang ke empat ini adalah
“Menuju Danau Sentarum Impian 2014”.


Antara Mimpi dan Kenyataan

Selama dua hari acara pertemuan tahunan masyarakat danau sentarum, banyak sekali harapan-harapan dan mimpi mereka terhadap keberadaan danau sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu. Mereka berharap potensi-potensi yang ada di danau seperti ikan, madu dan keindahan yang dimiliki oleh danau sentarum bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Bisa menyekolahkan anak-anak mereka dan bisa menikmati potensi yang ada di danau sentarum tanpa merusak ekosistem yang ada di Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).

Namun, dalam beberapa tahun terakhir masyarakat di sekitar danau sentarum mulai resah. Khawatir dan bingung. Puluhan izin pembukaan lahan di sekeliling danau sentarum untuk perkebunan kelapa sawit skala besar sudah berikan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu kepada beberapa perusahaan besar. Hasil penilitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memperkirakan sekitar 141.290 hektar kawasan hutan primer dan sekunder telah ditebang dan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit. Sayang saya lupa mengcopy peta persebarannya. Klo anda bertanya dimana saja posisi perkebunan tersebut? Jawabannya adalah persis mengelilingi seluruh kawasan TN Danau Sentarum.

Mungkin inilah kenyataan yang akan diterima masyarakat disekitar danau sentarum nantinya. Hilangnya kekayaan alam yang selama ini sudah ada, seperti ratusan jenis ikan, puluhan ton madu setiap tahunnya dan tercemarnya kualitas air danau. Sampai dengan saat ini saya tidak habis pikir apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu. Sudah jelas sekali bahwa masyarakat disekitar danau sentaraum sangat tergantung dengan keberadaan danau sentarum. Potensi disekitar kawasan ini adalah ikan, madu dan keindahan alam danau sentarum. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian nelayan dan bertani. Tapi yang dilakukan adalah memberikan izin untuk membuka perkebunan kelapa sawit.
I don’t know what local goverment think about this. Is crazy option I guess.... Anda tahu? Beberapa tahun yang lalu Pemerintah Kapuas Hulu ini menyatakan diri sebagai Kabupaten Konservasi. See ??

Memang hampir diseluruh propinsi dan kabupaten, pemerintahnya kadang tidak mau berkaca. Berkaca dalam artian kebijakan yang dikeluarkan terkadang tidak sesuai dengan potensi alam yang dimiliki dan apa yang masyarakatnya inginkan. Sering sekali saya menjumpai hal-hal seperti ini disetiap daerah yang saya kunjungi. Untuk di daerah danau sentarum, memang ada beberapa desa saja yang menerima kebijakan pembukaan perkebunan sawit. Hal ini jika ditelusuri, mereka mendukung karena tidak ada pilihan. Mereka ingin mendapatkan uang secara instan, yaitu menjual tanah yang mereka miliki ke perusahaan perkebunan. Serta berharap bisa mendapatkan pekerjaan disana. Alasan klasik memang yaitu karena desakan ekonomi.

Sebenarnya yang saya kwatirkan adalah mereka mendukung bukan sekedar alasan diatas semata. Tapi lebih terhadap iming-iming atau mimpi-mimpi mereka akan sejahteranya hidup mereka jika perkebunan kelapa sawit dibuka disekitar kampung mereka. Seandainya saja mereka bisa mengerti dan tahu bahwa dimana-mana, ya seorang petani itu akan sejahtera bekerja di tanah dan ladang mereka sendiri. Bukan menjadi buruh di perkebunan atau ditanah orang lain.

Sewaktu saya berada disebuah lokasi pembibitan disebuah perkebunan kelapa sawit yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Badau, saya menanyakan beberapa hal kepada seorang ibu yang sedang menanam bibit kelapa sawit dilahan itu.

Saya :
“Maaf ibu, ibu dari mana dan sudah berapa lama bekerja disini?”

Ibu:
“Saya dari Martinus, belum sampai satu bulan saya bekerja disini. Awalnya kami diajak bekerja disini sebagai orang yang mengisi tanah di polibek untuk ditanam bibit. Tapi nyatanya setelah datang kesini kami disuruh menanam bibit kelapa sawit ini. Ini bukan pekerjaan seorang perempuan”

Saya:
“Memangnya bagaimana sistem kerjanya bu, kotrak atau bagaimana?”

Ibu:
“Pokoknya 1 pohonnya seribu dibilangnya. Tau sendirilah beratnya bibit kelapa sawit ini. Kami berkelompok, satu kelompok itu 6 orang. Satu hari kami paling bisa menanam hanya 100-200 pohon. Bayangkanlah 100 ribu dibagi 6, ngga nyampe 10 ribu kami mendapatkan uang perharinya. Kerjanya dari jam 4.30 sampai jam 6 sore”

Saya:
“Ibu bolak-balik kerjanya setiap hari dan apakah makannya dikasih?”

Ibu:
“Nggalah, mana cukup ongkosnya. Kami tidur disini. Makan ya masak sendiri. Kami kesini aja minjem dulu uang tetangga untuk ongkos dan makan selama disini”

Mungkin anda bisa membayangkan dari sepenggal percakapan saya dengan seorang ibu tersebut. Bagaimana kondisi mereka yang bekerja disana. Mendengar pernyataan-pernyataan yang keluar dari sang ibu terkadang membuat saya ingin mendamprat dan mencaci maki habis-habisan pemerintahnya.

Pulau Majang

Setelah melihat dan berkeliling disekitar perbatasan Kalbar dan Serawak. Melihat bagaimana gencarnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di perbatasan. Saya dan beberapa teman berangkat menuju Pulau Majang. Sebuah desa yang berada di Danau Sentarum.

Untuk menuju ke Pulau Majang, ada beberapa pilihan jalur yang bisa digunakan. Bisa menggunakan boat melewati danau atau pakai kendaraan bermotor. Kami menuju kesana dengan menggunakan sepeda motor dari Lanjak. Dari Lanjak, pertama kami menuju ke Badau lama perjalanan sekitar dua jam. Dari Badau lanjut ke Empaik lama perjalanan sekitar dua jam. Jalan menuju Desa Empaik adalah jalan tanah dan jika hujan jalannya sangat licin dan berlumpur. Dari Empaik baru kita pakai long boat menuju ke Pulau Majang, lama perjalanan sekitar 20 menit.

Perjalanan saya mengendarai sepeda motor disana sungguh mengasyikan. Dibelakang membonceng teman berseta barang-barang, didepan saya juga ada barang. Sudah tidak peduli lagi debu-debu yang menempel di muka dan terbakarnya kulit selama membawa sepeda motor. Kami menyewa motornya “komeng” disana selama beberapa hari. Untungnya jembatan-jembatan yang kami lewati tidak ambruk gara-gara membawa motor ini hehehe....

Setibanya di Pulau Majang, hati saya berdesir dan kagum. Betapa cantiknya kampung ini. Damai berada ditengah danau. Kampung yang jumlah penduduknya sekitar 900 jiwa ini adalah sebuah kampung tua di danau sentarum. Masyarakatnya percaya sebelum kemerdekaan Indonesia kampung ini sudah ada. Hampir seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan di danau sentarum, bukan nelayan di laut ya. Tapi lucunya mereka menyebutkan danau ini laut. “
Pak inikan danau, bukan laut” ucapku disaat mereka menyebutkan laut didalam percakapan mereka. Mereka semua tertawa dan bilang “Yaa kami menyebutnya laut...”

Seluruh rumah-rumah yang ada di Desa Pulau Majang adalah rumah panggung. Jalan-jalan yang ada disepanjang kampung inipun diatas air. Semuanya terbuat dari kayu. Saya sangat senang berada di kampung ini karena tidak perlu lagi menggunakan sandal kemana-mana. Jalannya bersih karena berada diatas, seperti melewati jembatan-jembatan kayu.

Beberapa sungai yang ada di hulu semuanya bermuara di Pulau Majang. Jadi disaat musim kemarau, danau ini kering dan yang tersisa hanya hamparan tanah yang kering yang luas dan aliran anak-anak sungai saja. Tapi sudah dua tahun ini air di danau ini tidak pernah kering.

Diberikannya izin kepada beberapa perusahaan kelapa sawit disekitar kawasan danau sentarum tentu saja membuat masyarakat di Pulau Majang cemas dan khawatir. Mereka khawatir dengan jarak antara danau dan perkebunan yang sangat dekat (sekitar 3-5 km), akan mempengaruhi kualitas air danau dan juga kualitas air sungai jika musim kering. Keberadaan beberapa jenis ikan diperkirakan akan berkurang dan mungkin juga punah. Hasil penelitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memprediksikan minimal 49,92% jenis ikan akan punah dari TNDS karena pencemaran dan perubahan fungsi hidrologi. Industri arwana senilai Rp 70-140 milyar per tahun terancam keracunan pestisida dan penurunan kualitas air. Sekitar 93,68% masyarakat yang penghidupannya dari perikanan di TNDS dengan nilai Rp 34,7 milyar per tahun akan kehilangan mata pencaharian.

Selain ikan, masyarakat Pulau Majang juga cemas akan dicabutnya sertifikat organik (BioCert) yang telah diterima oleh petani madu di danau sentarum. Sertifikat ini diberikan kepada APDS-Asosiasi Madu Hutan Indonesia, karena memanen madu secara organik, lestari, pemulihan habitat lebah dan melakukan pengolahan hutan. Dampak dari dicabutnya sertifikat ini adalah hilangnya para pembeli tetap madu danau sentarum dengan harga tinggi. Tahun lalu total madu danau sentarum yang dipanen dan terjual sebanyak kurang lebih 17 ton dengan harga Rp 45.000/kg ditingkat asosiasi.

Mau bercerita kepada siapa lagi kami bang. Mau mengeluh dan protes kepada siapa lagi kami ini. Pemerintah tidak pernah mau mendengar kekhawatiran kami” cetus Pak Aswan, Kepala Desa Pulau majang kepadaku disaat kami berkunjung kerumahnya. “Keuntungannya bagi kami yang dipulau ini, didanau ini, pastinya tidak ada. Tapi dampaknya kecil atau besar pasti ada jika perkebunan sawit dibuka disekeliling danau sentarum” lanjutnya.

Aahh... saya yang hanya bisa mendengar dan mencoba mendokumentasikan keadaan danau sentarum dan masyarakatnya hanya bisa tersenyum miris. Untuk kesekian kalinya saya melihat masyarakat di negara tercinta ini seperti putus asa dan tidak ada harapan hidup tenang dan damai bersama kekayaan alam yang mereka miliki. Selalu saja terusik. Keputusan dan kebijakan pemerintah daerah terkadang terlalu cepat, terlalu memaksakan kehendak dan bertentangan dengan keinginan masyarakatnya.

Kami bercerita tentang Pulau Majang ini sudah sangat sering. Bahkan beberapa puluh tahun yang lalu. Jadi kami ini seolah-olah meratap saja. Tidak ada perubahan. Jangan-jangan kalian nanti datang lagi, cerita yang sama yang akan kami ceritakan. Tidak ada perubahan” ucap Pak Aswan lagi kepada ku.

Tak ada kata yang bisa saya ucapkan lagi kepada Pak Aswan disaat beliau menyampaikan kata-kata itu. Dalam hati saya hanya berharap dan berdoa. Semoga negara kita yang kaya akan sumberdaya alam ini, kaya budaya dan masyarakat yang berbagai macam suku bisa hidup damai dan sejahtera. Dipimpin oleh pemimpin yang cerdas dan punya ahlak. Anak-anak bisa tersenyum riang menatap masa depannya. Amien....


Sumber foto : Rizaldi Siagian, Greenpeace/Edy Purnomo, Riak Bumi/Jem Sammi