Monday, May 11, 2009

Danau Sentarum dan Perbatasan Serawak

Setelah dua hari berada di Sui Utik (26-28/04) melihat dan mendokumetasikan sidang masyarakat adat dayak Se-Jalai Lintang saya melanjutkan perjalanan ke Lanjak, Badau (Perbatasan Serawak dengan Kalbar) dan Danau Sentarum.

Ketika berada di Sui Utik untuk yang ketiga kalinya, hati saya sangat bahagia karena bisa berkunjung lagi ke kampung yang sangat saya kagumi dan yang selalu saya rindukan. Ternyata orang-orang yang tinggal di rumah panjang (rumah betang) masih ingat akan diriku. Mereka datang menghampiri dan menanyakan kabar. Sudah menikah apa belum dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ahh.. mungkin hampir dua tahun lebih terakhir saya datang kesini.

Setelah selesai sidang adat, malamnya kami kumpul bersama-sama, maen musik tradisional (alat musiknya nggerumo, gendang, tawak-tawak dan bebendai) sambil menari khas dayak. Mereka berdiri dan maju, trus menari secara bergantian. Kami hanya menonton, sesekali bertepuk tangan sambil menikmati tuak yang dituangkan digelas kami. Betapa indahnya malam itu. Berkumpul diteras rumah panjang yang panjangnya sekitar 180 m dengan penuh canda tawa dan tukar cerita.

Untuk melepas rindu di Sui Utik, saya dan beberapa teman menikmati tuak yang dibuat oleh mereka. Setelah beberapa jam bernyanyi dan menari saya sudah tidak sadar diri. Ketika sadar pada pagi harinya, saya ternyata dengan beberapa teman tertidur di teras tersebut.
Pada tanggal 29 Mei 2009, saya melanjutkan perjalanan ke Lanjak. Sekitar 2 jam dari Sui Utik. Disana saya juga mencoba mendokumentasikan pertemuan tahunan masyarakat sekitar danau sentarum. Pertemuan tahunan ini dilakukan untuk membahas apa dan bagaimana perkembangan masyarakat yang ada di danau sentarum. Tema dari pertemuan tahunan yang ke empat ini adalah
“Menuju Danau Sentarum Impian 2014”.


Antara Mimpi dan Kenyataan

Selama dua hari acara pertemuan tahunan masyarakat danau sentarum, banyak sekali harapan-harapan dan mimpi mereka terhadap keberadaan danau sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu. Mereka berharap potensi-potensi yang ada di danau seperti ikan, madu dan keindahan yang dimiliki oleh danau sentarum bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Bisa menyekolahkan anak-anak mereka dan bisa menikmati potensi yang ada di danau sentarum tanpa merusak ekosistem yang ada di Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).

Namun, dalam beberapa tahun terakhir masyarakat di sekitar danau sentarum mulai resah. Khawatir dan bingung. Puluhan izin pembukaan lahan di sekeliling danau sentarum untuk perkebunan kelapa sawit skala besar sudah berikan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu kepada beberapa perusahaan besar. Hasil penilitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memperkirakan sekitar 141.290 hektar kawasan hutan primer dan sekunder telah ditebang dan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit. Sayang saya lupa mengcopy peta persebarannya. Klo anda bertanya dimana saja posisi perkebunan tersebut? Jawabannya adalah persis mengelilingi seluruh kawasan TN Danau Sentarum.

Mungkin inilah kenyataan yang akan diterima masyarakat disekitar danau sentarum nantinya. Hilangnya kekayaan alam yang selama ini sudah ada, seperti ratusan jenis ikan, puluhan ton madu setiap tahunnya dan tercemarnya kualitas air danau. Sampai dengan saat ini saya tidak habis pikir apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu. Sudah jelas sekali bahwa masyarakat disekitar danau sentaraum sangat tergantung dengan keberadaan danau sentarum. Potensi disekitar kawasan ini adalah ikan, madu dan keindahan alam danau sentarum. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian nelayan dan bertani. Tapi yang dilakukan adalah memberikan izin untuk membuka perkebunan kelapa sawit.
I don’t know what local goverment think about this. Is crazy option I guess.... Anda tahu? Beberapa tahun yang lalu Pemerintah Kapuas Hulu ini menyatakan diri sebagai Kabupaten Konservasi. See ??

Memang hampir diseluruh propinsi dan kabupaten, pemerintahnya kadang tidak mau berkaca. Berkaca dalam artian kebijakan yang dikeluarkan terkadang tidak sesuai dengan potensi alam yang dimiliki dan apa yang masyarakatnya inginkan. Sering sekali saya menjumpai hal-hal seperti ini disetiap daerah yang saya kunjungi. Untuk di daerah danau sentarum, memang ada beberapa desa saja yang menerima kebijakan pembukaan perkebunan sawit. Hal ini jika ditelusuri, mereka mendukung karena tidak ada pilihan. Mereka ingin mendapatkan uang secara instan, yaitu menjual tanah yang mereka miliki ke perusahaan perkebunan. Serta berharap bisa mendapatkan pekerjaan disana. Alasan klasik memang yaitu karena desakan ekonomi.

Sebenarnya yang saya kwatirkan adalah mereka mendukung bukan sekedar alasan diatas semata. Tapi lebih terhadap iming-iming atau mimpi-mimpi mereka akan sejahteranya hidup mereka jika perkebunan kelapa sawit dibuka disekitar kampung mereka. Seandainya saja mereka bisa mengerti dan tahu bahwa dimana-mana, ya seorang petani itu akan sejahtera bekerja di tanah dan ladang mereka sendiri. Bukan menjadi buruh di perkebunan atau ditanah orang lain.

Sewaktu saya berada disebuah lokasi pembibitan disebuah perkebunan kelapa sawit yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Badau, saya menanyakan beberapa hal kepada seorang ibu yang sedang menanam bibit kelapa sawit dilahan itu.

Saya :
“Maaf ibu, ibu dari mana dan sudah berapa lama bekerja disini?”

Ibu:
“Saya dari Martinus, belum sampai satu bulan saya bekerja disini. Awalnya kami diajak bekerja disini sebagai orang yang mengisi tanah di polibek untuk ditanam bibit. Tapi nyatanya setelah datang kesini kami disuruh menanam bibit kelapa sawit ini. Ini bukan pekerjaan seorang perempuan”

Saya:
“Memangnya bagaimana sistem kerjanya bu, kotrak atau bagaimana?”

Ibu:
“Pokoknya 1 pohonnya seribu dibilangnya. Tau sendirilah beratnya bibit kelapa sawit ini. Kami berkelompok, satu kelompok itu 6 orang. Satu hari kami paling bisa menanam hanya 100-200 pohon. Bayangkanlah 100 ribu dibagi 6, ngga nyampe 10 ribu kami mendapatkan uang perharinya. Kerjanya dari jam 4.30 sampai jam 6 sore”

Saya:
“Ibu bolak-balik kerjanya setiap hari dan apakah makannya dikasih?”

Ibu:
“Nggalah, mana cukup ongkosnya. Kami tidur disini. Makan ya masak sendiri. Kami kesini aja minjem dulu uang tetangga untuk ongkos dan makan selama disini”

Mungkin anda bisa membayangkan dari sepenggal percakapan saya dengan seorang ibu tersebut. Bagaimana kondisi mereka yang bekerja disana. Mendengar pernyataan-pernyataan yang keluar dari sang ibu terkadang membuat saya ingin mendamprat dan mencaci maki habis-habisan pemerintahnya.

Pulau Majang

Setelah melihat dan berkeliling disekitar perbatasan Kalbar dan Serawak. Melihat bagaimana gencarnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di perbatasan. Saya dan beberapa teman berangkat menuju Pulau Majang. Sebuah desa yang berada di Danau Sentarum.

Untuk menuju ke Pulau Majang, ada beberapa pilihan jalur yang bisa digunakan. Bisa menggunakan boat melewati danau atau pakai kendaraan bermotor. Kami menuju kesana dengan menggunakan sepeda motor dari Lanjak. Dari Lanjak, pertama kami menuju ke Badau lama perjalanan sekitar dua jam. Dari Badau lanjut ke Empaik lama perjalanan sekitar dua jam. Jalan menuju Desa Empaik adalah jalan tanah dan jika hujan jalannya sangat licin dan berlumpur. Dari Empaik baru kita pakai long boat menuju ke Pulau Majang, lama perjalanan sekitar 20 menit.

Perjalanan saya mengendarai sepeda motor disana sungguh mengasyikan. Dibelakang membonceng teman berseta barang-barang, didepan saya juga ada barang. Sudah tidak peduli lagi debu-debu yang menempel di muka dan terbakarnya kulit selama membawa sepeda motor. Kami menyewa motornya “komeng” disana selama beberapa hari. Untungnya jembatan-jembatan yang kami lewati tidak ambruk gara-gara membawa motor ini hehehe....

Setibanya di Pulau Majang, hati saya berdesir dan kagum. Betapa cantiknya kampung ini. Damai berada ditengah danau. Kampung yang jumlah penduduknya sekitar 900 jiwa ini adalah sebuah kampung tua di danau sentarum. Masyarakatnya percaya sebelum kemerdekaan Indonesia kampung ini sudah ada. Hampir seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan di danau sentarum, bukan nelayan di laut ya. Tapi lucunya mereka menyebutkan danau ini laut. “
Pak inikan danau, bukan laut” ucapku disaat mereka menyebutkan laut didalam percakapan mereka. Mereka semua tertawa dan bilang “Yaa kami menyebutnya laut...”

Seluruh rumah-rumah yang ada di Desa Pulau Majang adalah rumah panggung. Jalan-jalan yang ada disepanjang kampung inipun diatas air. Semuanya terbuat dari kayu. Saya sangat senang berada di kampung ini karena tidak perlu lagi menggunakan sandal kemana-mana. Jalannya bersih karena berada diatas, seperti melewati jembatan-jembatan kayu.

Beberapa sungai yang ada di hulu semuanya bermuara di Pulau Majang. Jadi disaat musim kemarau, danau ini kering dan yang tersisa hanya hamparan tanah yang kering yang luas dan aliran anak-anak sungai saja. Tapi sudah dua tahun ini air di danau ini tidak pernah kering.

Diberikannya izin kepada beberapa perusahaan kelapa sawit disekitar kawasan danau sentarum tentu saja membuat masyarakat di Pulau Majang cemas dan khawatir. Mereka khawatir dengan jarak antara danau dan perkebunan yang sangat dekat (sekitar 3-5 km), akan mempengaruhi kualitas air danau dan juga kualitas air sungai jika musim kering. Keberadaan beberapa jenis ikan diperkirakan akan berkurang dan mungkin juga punah. Hasil penelitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memprediksikan minimal 49,92% jenis ikan akan punah dari TNDS karena pencemaran dan perubahan fungsi hidrologi. Industri arwana senilai Rp 70-140 milyar per tahun terancam keracunan pestisida dan penurunan kualitas air. Sekitar 93,68% masyarakat yang penghidupannya dari perikanan di TNDS dengan nilai Rp 34,7 milyar per tahun akan kehilangan mata pencaharian.

Selain ikan, masyarakat Pulau Majang juga cemas akan dicabutnya sertifikat organik (BioCert) yang telah diterima oleh petani madu di danau sentarum. Sertifikat ini diberikan kepada APDS-Asosiasi Madu Hutan Indonesia, karena memanen madu secara organik, lestari, pemulihan habitat lebah dan melakukan pengolahan hutan. Dampak dari dicabutnya sertifikat ini adalah hilangnya para pembeli tetap madu danau sentarum dengan harga tinggi. Tahun lalu total madu danau sentarum yang dipanen dan terjual sebanyak kurang lebih 17 ton dengan harga Rp 45.000/kg ditingkat asosiasi.

Mau bercerita kepada siapa lagi kami bang. Mau mengeluh dan protes kepada siapa lagi kami ini. Pemerintah tidak pernah mau mendengar kekhawatiran kami” cetus Pak Aswan, Kepala Desa Pulau majang kepadaku disaat kami berkunjung kerumahnya. “Keuntungannya bagi kami yang dipulau ini, didanau ini, pastinya tidak ada. Tapi dampaknya kecil atau besar pasti ada jika perkebunan sawit dibuka disekeliling danau sentarum” lanjutnya.

Aahh... saya yang hanya bisa mendengar dan mencoba mendokumentasikan keadaan danau sentarum dan masyarakatnya hanya bisa tersenyum miris. Untuk kesekian kalinya saya melihat masyarakat di negara tercinta ini seperti putus asa dan tidak ada harapan hidup tenang dan damai bersama kekayaan alam yang mereka miliki. Selalu saja terusik. Keputusan dan kebijakan pemerintah daerah terkadang terlalu cepat, terlalu memaksakan kehendak dan bertentangan dengan keinginan masyarakatnya.

Kami bercerita tentang Pulau Majang ini sudah sangat sering. Bahkan beberapa puluh tahun yang lalu. Jadi kami ini seolah-olah meratap saja. Tidak ada perubahan. Jangan-jangan kalian nanti datang lagi, cerita yang sama yang akan kami ceritakan. Tidak ada perubahan” ucap Pak Aswan lagi kepada ku.

Tak ada kata yang bisa saya ucapkan lagi kepada Pak Aswan disaat beliau menyampaikan kata-kata itu. Dalam hati saya hanya berharap dan berdoa. Semoga negara kita yang kaya akan sumberdaya alam ini, kaya budaya dan masyarakat yang berbagai macam suku bisa hidup damai dan sejahtera. Dipimpin oleh pemimpin yang cerdas dan punya ahlak. Anak-anak bisa tersenyum riang menatap masa depannya. Amien....


Sumber foto : Rizaldi Siagian, Greenpeace/Edy Purnomo, Riak Bumi/Jem Sammi

5 comments:

  1. tulisannya bagus En.. kita jadi tau tentang kehidupan masyarakat sehari-hari disana. Btw, kamu mabuk ya di rumah Betang? hi hi.

    ReplyDelete
  2. ternyata danau sentarum juga dihajar sama sawit yaa ... jangan2 perusahaan tsb adalah perusahaan yang buat banyak produk sawit yang kita konsumsi (minyak goreng, mentega, dsb). Sedih dehh ...

    ReplyDelete
  3. Boss Igi: Teima kasih atas commentnya. Kemaren di Utik ngga mabok kok, cuma ngga sadar aja sampe pagi hehehehe..

    Moes Jum: Hampir disekeliling danau sentarum sudah ada konsesi yang siap dibuka untuk perkebunan sawit. Produknya ya yang kita makan dan kita dunakan sehari-hari hehehe... :(

    ReplyDelete
  4. Wah wah.. kagum sama Een dan petualangan-petualangannya. Pasti seru abiss..
    Kalo rumah Panjang itu dipake buat apa ya? Atau sejenis aula buat acara-acara desa gitu?
    Trus yang wawancaramu itu En, kalo dapat 100rb, trus dibagi 6 orang kan masih di atas 10 rb dapatnya masing2.. Kali ibunya salah ngitung ya.. ;p

    ReplyDelete
  5. Vidya: Rumah pajang itu adalah rumah masyarakat disana. Rumah tradisional masyarakat dayak di kalimantan. Rumah itu ada beberapa bilik, setiap biiknya ditempati oleh 1-2 KK. Teras rumah dan kaki limanya menyatu, jadi teras rumah mereka panjang banget.

    Maksud ibu itu, klo dipotong sama biaya makan perharinya, ya tidak nyampe 10 ribu dapatnya hehehe

    ReplyDelete