Thursday, December 30, 2010

Soe Hok Gie; dalam sebuah surat

Karena tulisan ini sangat menarik bagi saya. Bisa menjadi bahan renungan saya kita sebelum tidur dimalam hari. Mengingat kembali apa yang sudah saya lakukan untuk keluarga, kerabat, dan orang lain yang tersebar diseluruh nusantara ini.

Terima kasih kepada yang menulis. Mohon maaf saya copy dan saya taroh disini.
Gie.. memang sebuah nama yang besar..

Semoga saya masih bisa melangkah didunia ini dengan sebuah idialisme yang saya miliki. Melangkahkan kaki di negara yang memang sudah hancur. Kacau. Kejam. Ibarat sebuah kendaraan, negara ini sudah tidak tahu lagi mau pergi kemana. Mau diarahkan kemana. Semua dijalankan oleh sopirnya semau-maunya sendiri. Sesuka-suka sopirnya. Tidak peduli penumpangnya resah karena tidak sesuai dengan tujuan yang dia inginkan.

Selamat tahun baru 2011.
Semoga kita bisa berbuat dan bersikap sesuai dengan idealisme kita. Tidak dibuat-buat. Tidak mengada-ada. Jujur dan punya integritas.

Bogor, 30 Desember 2010
Een Irawan Putra
----------------

Soe Hok Gie ; dalam sebuah surat


Oleh: Pers Mahasiswa Indonesia


Dhan, apa kabar Indonesia kini? Ramai kukira, kudengar sedang ramai bicara
kerbau. Kenapa memangnya? Sudah lama saya tidak mendengar tanah kelahiran saya. Ah ya, kemarin saya bertemu dengan Gus Dur, orang baik, ia menyenangkan, aku dan Ahmad Wahib ketawa terpingkal dibuatnya. Ah jika aku bertemu dengannya sejak lama mungkin aku tobat jadi atheis. Hehehehe tapi aku tau kau takan percaya. Gus ini anak kyai rupanya, banyak ia bercerita tentang islam dan yang bukan islam. Rupa-rupanya ia tahu aku gak percaya tuhan barangkali. Aku sebenarnya iri melihat dia. Dia telah tenang dalam Tuhannya. Dia sudah bersatu dengan Tuhannya. Katanya ia pernah jadi presiden, 2 tahun lantas ia bosan lalu diberhentikan. Oleh DPR katanya, yang ia tuduh mirip Taman Kanak-Kanak. Aku dan Wahib sekali lagi keras tertawa.

Siapa presiden kita kali ini Dhan? Militer lagi ataukah sudah teknokrat? Aku
ingin suatu saat Indonesia dipimpin oleh Filsuf atau Budayawan. Biar ia bijak, atau setidaknya ia mungkin bisa berpikir secara lebih baik, bukan lagi tentang untung rugi, tapi baik buruk. Jangan lagi presiden dari golongan kyai atau pastur, mereka suruh perbaiki umat saja, jangan ikut berpolitik. Dulu ada Buya H.A.M.K.A, orang hebat dan baik ia Dhan. Berani ia kritik Soekarno, kudengar ia
sahabat Hatta.

Dhani masihkah kau suka membaca? Aku ada buku bagus, buku lama tapi semoga kau
suka. Dr. Zhivago judulnya, Pasternak yang menulis. Boris Pasternak, ah si manusia itu yang sampai akhir hayatnya menolak berkompromi dengan sesama manusia, sampai saat ini tak sempat aku menulis tentangnya Dhan. Kapan-kapan kau tulis tentangnya, nanti kubaca. Jangan pacaran terus, ya aku tahu, kau sedang dekat dengan seorang gadis padang. Kawanmu Rasul bercerita, ia tiba lebih dahulu sebelum Gus Dur. Aktifis ia Dhan? Katanya dari LPM Keadilan. UII Jogja, anak sebaik dan secemerlang itu. Sayang sekali, kenapa pemuda hebat selalu cepat kesini. Sedangkan para pemabuk dan penggila pesta selalu berhayat panjang. Tapi yah, beruntunglah mereka yang mati muda, dan yang tak pernah dilahirkan.

Masih kau jadi anggota Tegalboto? Nama yang aneh brick field? Hahaha jangan
marah Dhan, apapun namanya jika ia berguna tak apalah. What is a name kata Shakespeare. Sebagai wartawan kau musti tau tugas pers. Jangan kau ikuti kata presiden Soekarno dulu saat ia buka jurusan jurnalistik di pada masaku. Ia bilang tugas pers adalah menggambarkan cita-cita muluk kepada rakyat supaya nafsu yang baik dari rakyat berkobar kembali. Seolah hendak dikatakan presiden, tugas pers ialah meninabobokan rakyat. Bukan inilah tugas pers melainkan menggambarkan kebenaran pada pembaca. kalau pemberitaan itu merugikan kelompok tertentu maka berita itu harus disiarkan. Kita sering dininabobokan bahwa produksi padi naik, produksi kain maju, gerombolan dikalahkan dan seterusnya
beginilah kemerdekaan pers di indonesia potonglah kaki tangan seseorang lalu masukan ditempat 2x3 meter dan berilah kebebasan padanya. inilah kebebabasan pers di indonesia.

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.

Saya bukan Ubermensh Dhan, kadang saya lelah bergulat dengan pemikiran saya
sendiri. Memikirkan tentang rakyat, bangsa dan kemanusiaan. Tapi apapun yang terjadi saya menolak untuk berkompromi dengan penindasan. Lebih baik mati diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Dan sekarang makin saya geli melihat kawan-kawanmu, generasi mahasiswa kala ini sedang galau. Sibuk mencari eksistensinya sendiri. Kulihat kau pun demikian, lebih sering update status Facebook daripada ibadahmu. Generasi Facebook, menyedihkan dan jika kau kemudian ikut arus di dalamnya. Dan kupikir kamu akan terjebak dalam identitasnya.

Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan
yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun. Kau tak percaya? Lihat saja demonstrasi mahasiswa saat ini, norak, kampungan! Dulu aku benci sekali dengan mahasiswa oportunis yang sok-sokan menjadi bagian dari sebuah sistem parlemen. Sistem itu busuk Dhan, tapi melihat mahasiswa demonstrasi dengan membawa batu, parang, kayu dan bensin. Mereka mau menjalankan demokrasi atau sekedar sok jagoan?

Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan,
tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. Busuk bukan? Ya, yah aku ingat kau dulu pernah bercerita tentang kawan-kawan ekstramu yang kau bilang busuk itu. Tapi kita harus adil Dhan, Seorang intelektual harus adil sejak dalam pikiran dan perbuatan. Pram bilang begitu, oh ya dia titip salam. Lama ia tak baca lagi tulisanmu, mandul kau katanya? Ayo menulis Dhan, ajak teman-temanmu sekalian. Jangan mau jadi renik dalam sejarah yang hanya numpang kuliah tanpa bisa memberi jejak dalam sejarah.

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak
ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?. Karena kau tau Dhan? Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis. Aku muak dengan FPI Dhan, memangnya agamamu memerintahkan umatnya membawa parang kemana-mana lalu menghancurkan tempat yang dituduh maksiat? Beruntunglah aku yang tak beragama ini jika demikian. Agama harusnya membawa kedamaian Dhan, jika pun Tuhan memang ada tak mungkin ia menyuruh umatnya membacok sesamanya hanya karena berebut lahan parkir atau karena tak dapat jatah uang keamanan.

Sudahkah kau lulus Dhan? Jangan lulus dulu, tuntaskan dulu tanggung jawabmu
sebagai intelektuil, bukan aku menyuruhmu malas. Tapi sesuaikan dengan tanggung jawabmu sebagai Agent of enlighment. Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yang kacau, seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanannya. Lalu hiduplah dengan keyakinan teguh. Karena kau tau, saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin. Karena saya tak mau diam melihat penindasan. Dan saya lebih tak suka melihat orang-orang munafik Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.

Kau tentu ingat puisiku Dhan, Puisi yang kubuat saat sedang galau. Yah pasti kau
lupa, tak suka aku dengan tabiatmu ini. Baiklah kutulis ulang untukmu Dhan.

Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Di mana ulama - buruh dan pemuda, Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan, Stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Dan para politisi di PBB, Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras, Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,Dan lupa akan diplomasi. Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun, Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun, Dan melupakan perang dan kebencian, Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik. Tuhan – Saya mimpi tentang dunia tadi, Yang tak pernah akan datang.

Hadapilah cita-cita ini Dhan, karena buat apa menghindar? Cepat atau lambat,
suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang; kepercayaan. Karena kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur. Bergeraklah Dhan, tubuhmu terlalu gemuk, terlalu banyak makan junkfood. Jangan kau bilang peduli rakyat, jika makanmu masih seperti priyayi. Bergeraklah Dhan, ayo didik masyarakatmu dengan kata-kata dan buku. Karena kau tahu, percuma hidup jika kau tak dapat berkarya.

Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut
mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya, hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. Berakar menghujam seperti beringin. Maka jika kau lihat mengapa Orde Baru kuat mengakar, ya mungkin karena lambang partainya adalah beringin. Akan lain cerita jika lambangnya adalah pohon toge.

Kalau kau tak sanggup menjadi beringin yang tegak dipuncak bukit, Jadilah saja
belukar. Tapi belukar terbaik yang tumbuh ditepi danau. Kalau kau tak sanggupmenjadi belukar, jadilah saja rumput. Tapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Tidak semua jadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya. Karena bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu. Tetapi jadilah saja dirimu, sebaik-baiknya dirimu sendiri.

Dhan, aku mau kau dan generasimu mengerti. Bahwa pendidikan adalah satu-satunya
alat menuju kondisi yang lebih baik. Ayo bangkit Dhan, jangan malas, jangan hanya bisa nonton sinetron. Tak malu kau pada kami? Aku dah Ahmad Wahib, Munir, kau tau Munir kan? Orang cemerlang itu, yang selalu datang dengan sepeda motor tuanya? Ia hebat karena mau belajar, sekolah dan membaca, pejuang ia Dhan. Tak mau kau seperti ia? Bukan sebagai superhero macam Superman, itu Cuma dagelan. Jadilah hebat karena kau peduli dan jujur. Atau seperti Marsinah, ya Marsinah wanita besi itu datang dengan berbagai persoalannya, tapi ia lega Dhan, selama hidup ia sudah jujur, jujur untuk melawan kesewenangan, ayo lah Dhan. Tak perlu dengan agitasi turun ke Jalan, bisa kau bikin macam Si Rendra, berpuisi. Jangan diam Dhan, diam hanya macam orang kejam. Karena diam dan kasihan adalah laknat kutukan pada hati manusia. Ingatlah Dhan, apatisme lahir karena dua hal, kau terlalu bodoh untuk berpikir atau terlalu egois untuk perduli.

Sahabatmu, Gie.

N.B : aku baca tulisanmu, jelek! Macam tukang kutip saja, perbaiki Dhan. Kutunggu kau untuk jadi Martir.

*Ditulis ulang untuk mengenang Soe Hok Gie, ditulis dengan campuran berbagai
kutipan catatannya.

Friday, December 3, 2010

Antara Lubuk Besar dan Cancun

Dalam beberapa tahun terakhir saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi beberapa kawasan hutan adat yang masih terjaga dengan baik dan dikelola secara lestari oleh masyarakat adat yang memiliki kawasan hutan tersebut. Beberapa diantaranya yang sudah saya kunjungi adalah Sei Utik, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Dusun Pendaun, di Ketapang, Kalimantan Barat; dan Ngata Toro, Melawi di Sulawesi Tengah. Pada tanggal 15-20 November 2010 saya memiliki kesempatan untuk melihat satu lagi kawasan hutan adat, yaitu di Dusun Lubuk Besar, Sei Sintang Kecamatan Kayan Hilir, Sintang, Kalimantan Barat.

Untuk menuju lokasi Lubuk Besar dibutuhkan jarak tempuh sekitar 14 jam dari Kota Pontianak menggunakan jalur darat. Dari Kota Sintang, ada dua jalur darat untuk menuju Dusun Lubuk Besar. Pertama, dari Kota Sintang langsung menuju Desa Merampit. Dari Desa Merampit kita harus menggunakan mobil four wheel drive menuju Desa Sungai Buaya. Kedua, Melewati jalan perusahaan loging milik PT. KRBB dan perkebunan kelapa sawit. Dari jalur Bukit Kelam jalan terus ke arah Simpang Silat-Simpang Nanga Ngeri. Setelah itu baru masuk ke Dusun Lubuk Besar. Kendaraan yang dibutuhkan juga kendaraan four wheel drive atau menggunakan sepeda motor. Tapi jalur ini lebih jauh dari jalur yang pertama.

Dusun Lubuk Besar merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Sei Sintang. Sebelumnya Desa Sei Sintang ini masih menyatu dengan Desa Sungai Buaya. Masyarakat di Desa Sei Sintang adalah Masyarakat Dayak Inggar Silat, berjumlah kurang lebih 150 KK dengan mata percaharian petani, yaitu petani karet dan petani ladang. Kawasan hutan adat yang mereka miliki adalah bernama Bukit Ibun. Kawasan Bukit Ibun memiliki permasalah yang sama dengan permasalahan yang ada di kawasan hutan adat lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Ancaman adanya rencana masuknya perkebunan kelapa sawit skala besar dan juga izin-izin konsesi HPH membuat masyarakat menjadi khawatir hutan mereka tidak bisa bertahan lama keberadaannya.

Masyarakat Dayak Inggar Silat setiap tahunnya mengadakan ritual adat di kawasan Bukit Imbun yaitu dalam bahasa lokalnya disebut Nampuk Bukit Imbun. Ritual adat ini dilakukan pada saat menjelang panen atau pada saat padi mulai menguning. Masyarakat Dayak Inggar Silat mendaki bukit untuk menyampaikan niat dan doa atas hasil pertanian yang sudah didapat. Ritual Nampuk Bukit Imbun bukan hanya dilaksanakan pada saat padi mulai menguning saja, tapi ritual juga dilakukan pada saat ingin menyampaikan doa atau sering juga disebut berniat. Ritual ini kabarnya sudah dilakukan semenjak pertama kali manusia di Lubuk Besar tinggal disana.

Perjalanan ke hutan Bukit Imbun dari Dusun Lubuk Besar dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan berjalan kaki. Selama perjalanan kita akan melewati beberapa ladang masyarakat dan menyeberangi sungai inggar beserta anak-anak sungai. Perjalanan menjadi lambat karena hampir sepanjang perjalanan selalu menanjak dan banyak menyeberangi sungai. Karena banyak sekali menyeberangi sungai akhirnya saya sampai menghitung berapa kali menyeberangi sungai selama perjalanan. Sungai yang harus diseberangi sebanyak 11 kali. 5 kali menyebrangi sungai inggar dan 6 kali anak sungai yang bermuara ke sungai inggar.

Setelah melewati ladang masyarakat, kita akan melewati beberapa tembawang atau bekas kampung. Beberapa tembawang yang akan dilewati adalah Tembawang Radin dan tembawang Niur. Tembawang ini ditandai dengan adanya tanaman-tanaman keras seperti durian, kelapa, duku dan tanaman buah-buahan lainnya. Didalam hutan Bukit Imbun kita bisa melihat beberapa pohon kelas satu sampai dengan kelas dua. Beberapa diantaranya; Belian atau Ulin, Meranti, Benua, Keladan, Mungkuyung dan Gaharu. Diameter pohon yang kita jumpai juga beragam, mulai dari 50 cm sampai dengan 2 meter. Dengan tinggi bebas cabang bisa mencapai 20-30 meter. Sore itu saya meminta orang-orang kampung yang menemani saya untuk memeluk sebuah pohon yang ada disana. Dibutuhkan 6 orang untuk dapat memeluk satu pohon tersebut. Masyarakat Dayak Inggar tidak pernah menebang pohon yang ada di hutan mereka kecuali hanya untuk ramuan rumah dan untuk kepentingan umum seperti pembangunan gereja, jembatan dan sekolah.

Niat awalnya saya ingin masuk kedalam hutan adat mereka dan ingin mendokumentasikan bagaimana kondisi hutan adat mereka saat ini. Selain itu juga saya ingin melihat tutupan hutan Bukit Imbun dari ketinggian (dari puncak Bukit Imbun). Namun ketika sudah sampai dipertengahan bukit, kami harus menginap karena sore itu sudah mulai gelap. Pagi harinya niat untuk melihat tutupan hutan dari puncak Bukit Imbun tidak tercapai karena pada pagi harinya saya terserang gejala malaria. Dari pagi sampai dengan sore hari sakit di kepala saya sangat hebat. Badan saya meriang dan air liur di lidah mulai terasa pahit. Padahal untuk mencapai pucak hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 90 menit berjalan kaki dan menanjak.

Sudah pukul empat sore saat itu. Dari pagi sakit kepala saya belum juga hilang. Panas ditubuh saya juga masih belum turun. Sementara cuaca saat itu dari pagi hari sampai dengan sore hari hujan terus menerus. Mengingat waktu saya sangat terbatas dan lusanya saya harus sudah ada di Pontianak, maka sore itu saya memaksakan diri untuk turun ke kampung. Perjalanan terasa sangat berat. Dengan kaki yang sudah mulai gemetar karena tidak sanggup menopang tubuh saya menuruni bukit. Saya harus mampu tiba di kampung dan istirahat satu malam disana. Perjalanan turun ke kampung yang normalnya hanya 3 jam, saat itu saya tempuh sekitar 4 jam.

Karena tidak sampai ke puncak Bukit Imbun dan melihat langusng seperti apa kondisi diatas sana dimana tempat diadakannya ritual adat. Maka saya mencoba menggali informasi dengan mewawancara beberapa orang kampung untuk mendapatkan penjelasan seperti apa kondisi di Puncak Bukit Imbun. Berdasarkan informasi yang saya dapat, diatas sana kita bisa melihat empat buah tempat yang unik dan menarik untuk melihat tutupan hutan adat Lubuk Besar. Diantaranya adalah:

1. Batu Sandang Beliung; Tempat ini adalah sebuah batu tempat masyarakat adat Inggar Silat melakukan ritual. Tempat memberikan sesajian berupa uang logam setelah mengajukan permintaan.

2. Lubang Angin; Posisi lubang angin ini dekat dengan batu sandang beliung. Dinamakan lubang angin karena ada sebuah lubang di tanah yang berdiameter kurang lebih 70 cm yang selalu mengeluarkan angin. Angin yang dikeluarkan dari lubang ini cukup kuat. Terbukti dengan jika daun-daun dijatuhkan kearah lobang angin tersebut, daun-daun tersebut akan berterbangan. Angin yang keluar dari lubang tanah tersebut juga tidak pernah hilang atau berhenti.

3. Semantau; Arti semantau adalah melihat atau memantau. Posisinya kurang lebih 300 meter dari batu sandang beliung. Setelah melakukan ritual biasanya orang-orang akan duduk di semantau. Di semantau kita bisa melihat bentangan hutan adat bukit imbun dan juga perkampungan yang ada dibawahnya. Orang-orang yang duduk disini biasanya akan betah duduk berjam-jam lamanya karena menyajikan pemandangan yang sangat indah.

4. Lebung Bandung; adalah sebuah danau kecil yang pasang surut. Jika musim hujan danau ini bisa mencapai 20 menter dengan kedalaman 1,5 meter. Selain itu juga di kawasan bukit imbun terdapat puluhan air terjun.



Tidak jauh dari Bukit Imbun juga terdapat Bukit Nagam. Bukit Imbun dan Bukit Nagam memiliki puncak yang berbeda. Bukit Nagam menjadi terkenal karena pada zaman penjajahan Belanda bukit ini menjadi tempat persembunyian pahlawan dari Kabupaten Sintang yaitu Apang Semangai. Apang Semangai pada saat itu banyak membunuh orang-orang Belanda. Karena itulah para penjajah Belanda berusaha menangkap Apang Semangai. Masyarakat Lubuk Besar pada saat itu selalu mengantar makanan untuk Apang Semangai di Bukit Nagam. Persembunyian Apang Semangai di Bukit Nagam tidak berlangsung lama, yaitu sekitar 2 bulan. Pada saat itu Belanda mengancam akan membawa istri beserta anaknya ke Nanga Pino jika tidak segera keluar dari persembunyiannya.

Hutan adat Bukit Imbun bagi masyarkat Lubuk Besar masih menyimpan sebuah misteri. Dipercaya oleh masyarakat bahwa Bukit Imbun berkeramat. Pada tahun 2007 masyarakat Dayak Inggar Silat melakuka sebuah sumpah pocong di puncak Bukit Imbun. Sumpah ini dilakukan karena perusahaan PT. KRBB (PT. Karya Rekanan Bina Bersama) yang dimiliki oleh AM. Nasir (sekarang menjabat Bupati Kapuas Hulu) tetap ingin membabat hutan di kawasan Bukit Imbun. Sumpah masyarakat Dayak Inggar Silat saat itu adalah ”Siapa yang menghabiskan rimba bukit imbun, minta dia dihabiskan oleh penunggu bukit imbun”. Tidak lama setelah dilakukan sumpah itu 7 orang pekerja PT KRBB meninggal dunia termasuk orang kampung yang berkhianat kepada masyarakat Dayak Inggar Silat.

Ketika saya melihat dan mendengar cerita-cerita masyarakat kampung ini mengenai hutan adat Bukit Imbun saya merasa bersyukur. Diberi kesempatan untuk melihat secara langsung bagaimana sebuah masyarakat adat menjaga hutan adatnya. Bagaimana sebuah kawasan hutan itu dihormati keberadaannya. Sebuah cerita yang berbeda yang saya dapatkan ketika saya berada di Bogor ataupun berada dibeberapa kota lainnya. Dimana Pemerintah Indonesia, perusahaan, NGO dan lembaga lainnya selalu mengklaim bisa menjaga hutan. Saat ini juga sedang hangat lobby-lobby politik dan hiruk pikuk Konferensi Para Pihat (COP) ke-16 di Cancun, Meksiko. Membicarakan sebuah dampak perubahan iklim dan mencoba mencari kesepakatan bersama untuk sebuah solusinya. Semua berusaha bicara. Semua melakukan interupsi dan menentang setiap solusi yang tawarkan. Tapi tidak ada sebuah tindakan nyata seperti masyararakat di kampung yang keberadaannya sangat jauh dari kota Pontianak ataupun dari Jakarta. Kenapa orang-orang Indonesia ini musti pergi jauh ke Meksiko jika ingin mencari sebuah solusi dalam upaya penyelamatan hutan? Disini, mereka sudah terbukti puluhan tahun atau mungkin juga sudah ratusan tahun menjaga hutan secara baik. Mereka menjaga dan melindungi hutan tidak perlu dengan iming-imingan sebuah konpensasi.