Friday, December 3, 2010

Antara Lubuk Besar dan Cancun

Dalam beberapa tahun terakhir saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi beberapa kawasan hutan adat yang masih terjaga dengan baik dan dikelola secara lestari oleh masyarakat adat yang memiliki kawasan hutan tersebut. Beberapa diantaranya yang sudah saya kunjungi adalah Sei Utik, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Dusun Pendaun, di Ketapang, Kalimantan Barat; dan Ngata Toro, Melawi di Sulawesi Tengah. Pada tanggal 15-20 November 2010 saya memiliki kesempatan untuk melihat satu lagi kawasan hutan adat, yaitu di Dusun Lubuk Besar, Sei Sintang Kecamatan Kayan Hilir, Sintang, Kalimantan Barat.

Untuk menuju lokasi Lubuk Besar dibutuhkan jarak tempuh sekitar 14 jam dari Kota Pontianak menggunakan jalur darat. Dari Kota Sintang, ada dua jalur darat untuk menuju Dusun Lubuk Besar. Pertama, dari Kota Sintang langsung menuju Desa Merampit. Dari Desa Merampit kita harus menggunakan mobil four wheel drive menuju Desa Sungai Buaya. Kedua, Melewati jalan perusahaan loging milik PT. KRBB dan perkebunan kelapa sawit. Dari jalur Bukit Kelam jalan terus ke arah Simpang Silat-Simpang Nanga Ngeri. Setelah itu baru masuk ke Dusun Lubuk Besar. Kendaraan yang dibutuhkan juga kendaraan four wheel drive atau menggunakan sepeda motor. Tapi jalur ini lebih jauh dari jalur yang pertama.

Dusun Lubuk Besar merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Sei Sintang. Sebelumnya Desa Sei Sintang ini masih menyatu dengan Desa Sungai Buaya. Masyarakat di Desa Sei Sintang adalah Masyarakat Dayak Inggar Silat, berjumlah kurang lebih 150 KK dengan mata percaharian petani, yaitu petani karet dan petani ladang. Kawasan hutan adat yang mereka miliki adalah bernama Bukit Ibun. Kawasan Bukit Ibun memiliki permasalah yang sama dengan permasalahan yang ada di kawasan hutan adat lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Ancaman adanya rencana masuknya perkebunan kelapa sawit skala besar dan juga izin-izin konsesi HPH membuat masyarakat menjadi khawatir hutan mereka tidak bisa bertahan lama keberadaannya.

Masyarakat Dayak Inggar Silat setiap tahunnya mengadakan ritual adat di kawasan Bukit Imbun yaitu dalam bahasa lokalnya disebut Nampuk Bukit Imbun. Ritual adat ini dilakukan pada saat menjelang panen atau pada saat padi mulai menguning. Masyarakat Dayak Inggar Silat mendaki bukit untuk menyampaikan niat dan doa atas hasil pertanian yang sudah didapat. Ritual Nampuk Bukit Imbun bukan hanya dilaksanakan pada saat padi mulai menguning saja, tapi ritual juga dilakukan pada saat ingin menyampaikan doa atau sering juga disebut berniat. Ritual ini kabarnya sudah dilakukan semenjak pertama kali manusia di Lubuk Besar tinggal disana.

Perjalanan ke hutan Bukit Imbun dari Dusun Lubuk Besar dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan berjalan kaki. Selama perjalanan kita akan melewati beberapa ladang masyarakat dan menyeberangi sungai inggar beserta anak-anak sungai. Perjalanan menjadi lambat karena hampir sepanjang perjalanan selalu menanjak dan banyak menyeberangi sungai. Karena banyak sekali menyeberangi sungai akhirnya saya sampai menghitung berapa kali menyeberangi sungai selama perjalanan. Sungai yang harus diseberangi sebanyak 11 kali. 5 kali menyebrangi sungai inggar dan 6 kali anak sungai yang bermuara ke sungai inggar.

Setelah melewati ladang masyarakat, kita akan melewati beberapa tembawang atau bekas kampung. Beberapa tembawang yang akan dilewati adalah Tembawang Radin dan tembawang Niur. Tembawang ini ditandai dengan adanya tanaman-tanaman keras seperti durian, kelapa, duku dan tanaman buah-buahan lainnya. Didalam hutan Bukit Imbun kita bisa melihat beberapa pohon kelas satu sampai dengan kelas dua. Beberapa diantaranya; Belian atau Ulin, Meranti, Benua, Keladan, Mungkuyung dan Gaharu. Diameter pohon yang kita jumpai juga beragam, mulai dari 50 cm sampai dengan 2 meter. Dengan tinggi bebas cabang bisa mencapai 20-30 meter. Sore itu saya meminta orang-orang kampung yang menemani saya untuk memeluk sebuah pohon yang ada disana. Dibutuhkan 6 orang untuk dapat memeluk satu pohon tersebut. Masyarakat Dayak Inggar tidak pernah menebang pohon yang ada di hutan mereka kecuali hanya untuk ramuan rumah dan untuk kepentingan umum seperti pembangunan gereja, jembatan dan sekolah.

Niat awalnya saya ingin masuk kedalam hutan adat mereka dan ingin mendokumentasikan bagaimana kondisi hutan adat mereka saat ini. Selain itu juga saya ingin melihat tutupan hutan Bukit Imbun dari ketinggian (dari puncak Bukit Imbun). Namun ketika sudah sampai dipertengahan bukit, kami harus menginap karena sore itu sudah mulai gelap. Pagi harinya niat untuk melihat tutupan hutan dari puncak Bukit Imbun tidak tercapai karena pada pagi harinya saya terserang gejala malaria. Dari pagi sampai dengan sore hari sakit di kepala saya sangat hebat. Badan saya meriang dan air liur di lidah mulai terasa pahit. Padahal untuk mencapai pucak hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 90 menit berjalan kaki dan menanjak.

Sudah pukul empat sore saat itu. Dari pagi sakit kepala saya belum juga hilang. Panas ditubuh saya juga masih belum turun. Sementara cuaca saat itu dari pagi hari sampai dengan sore hari hujan terus menerus. Mengingat waktu saya sangat terbatas dan lusanya saya harus sudah ada di Pontianak, maka sore itu saya memaksakan diri untuk turun ke kampung. Perjalanan terasa sangat berat. Dengan kaki yang sudah mulai gemetar karena tidak sanggup menopang tubuh saya menuruni bukit. Saya harus mampu tiba di kampung dan istirahat satu malam disana. Perjalanan turun ke kampung yang normalnya hanya 3 jam, saat itu saya tempuh sekitar 4 jam.

Karena tidak sampai ke puncak Bukit Imbun dan melihat langusng seperti apa kondisi diatas sana dimana tempat diadakannya ritual adat. Maka saya mencoba menggali informasi dengan mewawancara beberapa orang kampung untuk mendapatkan penjelasan seperti apa kondisi di Puncak Bukit Imbun. Berdasarkan informasi yang saya dapat, diatas sana kita bisa melihat empat buah tempat yang unik dan menarik untuk melihat tutupan hutan adat Lubuk Besar. Diantaranya adalah:

1. Batu Sandang Beliung; Tempat ini adalah sebuah batu tempat masyarakat adat Inggar Silat melakukan ritual. Tempat memberikan sesajian berupa uang logam setelah mengajukan permintaan.

2. Lubang Angin; Posisi lubang angin ini dekat dengan batu sandang beliung. Dinamakan lubang angin karena ada sebuah lubang di tanah yang berdiameter kurang lebih 70 cm yang selalu mengeluarkan angin. Angin yang dikeluarkan dari lubang ini cukup kuat. Terbukti dengan jika daun-daun dijatuhkan kearah lobang angin tersebut, daun-daun tersebut akan berterbangan. Angin yang keluar dari lubang tanah tersebut juga tidak pernah hilang atau berhenti.

3. Semantau; Arti semantau adalah melihat atau memantau. Posisinya kurang lebih 300 meter dari batu sandang beliung. Setelah melakukan ritual biasanya orang-orang akan duduk di semantau. Di semantau kita bisa melihat bentangan hutan adat bukit imbun dan juga perkampungan yang ada dibawahnya. Orang-orang yang duduk disini biasanya akan betah duduk berjam-jam lamanya karena menyajikan pemandangan yang sangat indah.

4. Lebung Bandung; adalah sebuah danau kecil yang pasang surut. Jika musim hujan danau ini bisa mencapai 20 menter dengan kedalaman 1,5 meter. Selain itu juga di kawasan bukit imbun terdapat puluhan air terjun.



Tidak jauh dari Bukit Imbun juga terdapat Bukit Nagam. Bukit Imbun dan Bukit Nagam memiliki puncak yang berbeda. Bukit Nagam menjadi terkenal karena pada zaman penjajahan Belanda bukit ini menjadi tempat persembunyian pahlawan dari Kabupaten Sintang yaitu Apang Semangai. Apang Semangai pada saat itu banyak membunuh orang-orang Belanda. Karena itulah para penjajah Belanda berusaha menangkap Apang Semangai. Masyarakat Lubuk Besar pada saat itu selalu mengantar makanan untuk Apang Semangai di Bukit Nagam. Persembunyian Apang Semangai di Bukit Nagam tidak berlangsung lama, yaitu sekitar 2 bulan. Pada saat itu Belanda mengancam akan membawa istri beserta anaknya ke Nanga Pino jika tidak segera keluar dari persembunyiannya.

Hutan adat Bukit Imbun bagi masyarkat Lubuk Besar masih menyimpan sebuah misteri. Dipercaya oleh masyarakat bahwa Bukit Imbun berkeramat. Pada tahun 2007 masyarakat Dayak Inggar Silat melakuka sebuah sumpah pocong di puncak Bukit Imbun. Sumpah ini dilakukan karena perusahaan PT. KRBB (PT. Karya Rekanan Bina Bersama) yang dimiliki oleh AM. Nasir (sekarang menjabat Bupati Kapuas Hulu) tetap ingin membabat hutan di kawasan Bukit Imbun. Sumpah masyarakat Dayak Inggar Silat saat itu adalah ”Siapa yang menghabiskan rimba bukit imbun, minta dia dihabiskan oleh penunggu bukit imbun”. Tidak lama setelah dilakukan sumpah itu 7 orang pekerja PT KRBB meninggal dunia termasuk orang kampung yang berkhianat kepada masyarakat Dayak Inggar Silat.

Ketika saya melihat dan mendengar cerita-cerita masyarakat kampung ini mengenai hutan adat Bukit Imbun saya merasa bersyukur. Diberi kesempatan untuk melihat secara langsung bagaimana sebuah masyarakat adat menjaga hutan adatnya. Bagaimana sebuah kawasan hutan itu dihormati keberadaannya. Sebuah cerita yang berbeda yang saya dapatkan ketika saya berada di Bogor ataupun berada dibeberapa kota lainnya. Dimana Pemerintah Indonesia, perusahaan, NGO dan lembaga lainnya selalu mengklaim bisa menjaga hutan. Saat ini juga sedang hangat lobby-lobby politik dan hiruk pikuk Konferensi Para Pihat (COP) ke-16 di Cancun, Meksiko. Membicarakan sebuah dampak perubahan iklim dan mencoba mencari kesepakatan bersama untuk sebuah solusinya. Semua berusaha bicara. Semua melakukan interupsi dan menentang setiap solusi yang tawarkan. Tapi tidak ada sebuah tindakan nyata seperti masyararakat di kampung yang keberadaannya sangat jauh dari kota Pontianak ataupun dari Jakarta. Kenapa orang-orang Indonesia ini musti pergi jauh ke Meksiko jika ingin mencari sebuah solusi dalam upaya penyelamatan hutan? Disini, mereka sudah terbukti puluhan tahun atau mungkin juga sudah ratusan tahun menjaga hutan secara baik. Mereka menjaga dan melindungi hutan tidak perlu dengan iming-imingan sebuah konpensasi.

No comments:

Post a Comment