Dua lokasi ini kami kunjungi karena adanya ekpansi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengkonversi kawasan hutan dan bermasalah terhadap masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan. Permasalahan yang sebenarnya hampir sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan permasalahan lama, yaitu tidak jelasnya perizinan dan permasalahan ganti rugi lahan atau konpensasi lahan yang digarap untuk perkebunan.
Dari dua daerah ini, tingkat konflik di Desa Semunying Jaya, Kalimantan Barat memang cukup rumit dan saya pikir sangat menyakitkan masyarakat yang ada di desa tersebut. Disini saya mencoba menceritakan apa yang saya lihat dan apa yang saya dengar selama saya berada di kampung tersebut. Karena di Desa Semunying ini permasalahannya sangat kompleks dan akan berdampak besar terhadap kehidupan mereka dan generasi mereka yang akan datang, maka saya mencoba menuliskan pengalaman saya selama disana.
Selamat membaca dan semoga permasalahan-permasalahan lahan, hak ulayat masyarakat adat dan juga konversi hutan di Indonesia ini bisa diselesaikan dengan baik. Pemerintah Indonesia ini berani bersikap dan jujur dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Masyarakat adat yang tinggal disekitar hutan juga berani melawan ketidakadilan yang terjadi. Berjuang sampai hak-hak tersebut terpenuhi.
Derita Desa Semunying Jaya
Foto: Jamaluddin sedang menatapi hutan adat Desa Semunying yang sudah dibakar oleh PT. Ledo Lestari. Silahkan klik bagian gambar untuk diperbesar
Desa Semunying Jaya adalah sebuah desa yang terdapat di Kecamatan Jagoi, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Desa yang berjumlah 90 KK ini terbagi dalam tiga dusun, yaitu Dusun Semunying Bungkan, Dusun Bujuan dan Dusun Pareh.
Desa yang mayoritas masyarakatnya dayak iban ini awal mulanya berasal dari Serawak. Karena adanya konflik di Serawak, akhirnya kelompok mereka migrasi ke Indonesia untuk tinggal di Indonesia. Pada waktu itu mereka meminta izin kepada pemerintahan Soekarno untuk tinggal di Indonesia dan menetap di Indonesia.
Semua mungkin sudah tahu bahwa dahulu kala hutan di Kalimantan masih bagus dan masih perawan. Semua areal di Kalimantan berhutan lebat dan masih terkesan angker. Begitu juga sewaktu pertama kali masyarakat semunying ini mulai membuka kawasan untuk tempat tinggal. Belum ada masyarakat yang berani membuka hutan di perbatasan Serawak dan Indonesia. Masyarakat melayu pun hanya tinggal di kampung-kampung yang sudah ramai penduduknya.
Pada tahun 1979 kondisi hutan di kawasan ini masih bagus dan masih tetap terjaga dengan baik. Karena masyarakat dayak iban sangat tergantung dengan keberadaan hutan untuk kehidupan sehari-harinya, maka sangat tidak mungkin mereka akan merusak hutan-hutan yang ada. Berburu, mencari ikan dan bercocok tanam adalah pola kehidupan sederhana masyarakat disana yang sampai dengan saat ini masih berlaku. Hidup harmonis bersama alam adalah sebuah kepercayaan yang tidak bisa dihilangkan. Mereka bahkan sejak lama juga sudah membagi-bagi kawasan hutan yang bisa digarap dan kawasan hutan yang tidak bisa digarap dalam artian bahwa kawasan hutan tersebut perlu dilindungi untuk tempat satwa berkembang biak dan untuk tempat tanaman-tanaman berkembang biak, baik itu untuk tanaman obat tradisional ataupun untuk dimakan.
Semua pola dan kepercayaan hidup harmonis bersama hutan ini sekarang telah hilang. Tepatnya dihilangkan. Dihilangkan oleh orang-orang luar yang serakah dan mementingkan diri pribadi. Keharmonisan ini sekarang berubah menjadi sebuah ancaman kelaparan, kemiskinan dan perubahan pola prilaku.
Tahun 1995 HPH (Hak Pengusahaan Hutan) masuk kedalam kawasan desa. Pohon-pohon di hutan satu persatu tumbang dan diangkut oleh alat-alat berat. Pohon yang selama ini berdiri angkuh dibuat tidak berdaya saat ditebang dan dibawa pergi dari tempat aslinya. Masyarakat desa yang tidak mengetahui tentang mekanisme penebangan ini hanya memandang bingung. Bingung karena kawasan hutan yang mereka jaga ditebang oleh orang lain. Diambil oleh orang lain. Kayu-kayu yang ditebang dijual ke Malaysia. Semua jenis kayu yang terdapat kampung mereka ditebang dan tumbang.
Perusahaan HPH ini hanya bertahan satu tahun, karena masyarakat desa bersama-sama protes dan mengusir keberadaan perusahaan tersebut. Mereka tidak ingin sumber penghidupan mereka yang selama ini ada rusak dan hancur oleh keserakahan perusahaan.
Perginya sebuah perusahaan HPH tidak membuat keberadaan hutan dan kenyamanan masyarakat desa semunying pulih kembali. Berbagai macam perusahaan, berbagai macam izin dan berbagai macam alasan datang setelah itu untuk mengambil kayu-kayu yang ada di desa mereka. Tahun 1997 Perhutani datang ke desa mereka dengan alasan untuk melakukan reiboisasi. Ternyata mereka juga melakukan penebangan liar dan menjual kayu-kayu yang ada. Tahun 1999 banyak masyarakat luar desa yang datang melakukan aktivitas illegal loging. Tahun 2000 masyarakat dari Malaysia juga datang untuk melakukan illegal loging. Tahun 2001 dan 2003 perusahaan perkebunan mencoba masuk. Izinnya adalah membuka perkebunan, tapi aktivitas yang dilakukan adalah illegal loging. Berbagai macam bentuk pengrusakan hutan yang terjadi semuanya tidak berlangsung lama. Masyarakat desa semunying terus menolak dan berjuang mempertahankan keberadaan dan kelestarian hutan yang terdapat di desa mereka.
Tahun 2004 adalah tahun datangnya bencana besar bagi masyarakat Desa Semunying Jaya. Sebuah perusahaan yang dibekingi oleh para petinggi militer datang masuk dan menggusur habis lahan dan hutan adat mereka. Tanpa tegur sapa alat-alat berat menyapu bersih semua jenis tumbuhan yang ada di lahan masyarakat. Perusahaan yang sampai dengan sekarang juga dijaga oleh tentara-tentara perbatasan Indonesia-Malaysia ini tidak ada bisa menyentuhnya.
PT. Ledo Lestari yang menginduk kepada Duta Palam Group milik Surya Darmadi, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit ini bagaikan batu karang yang tak tergoyahkan. Masyarakat desa sudah bertahun-tahun mencoba mengadu mengenai prilaku buruk sang perusahaan. Mencuri, merampas lahan dan menghancurkan semua jenis tanaman yang ditaman oleh masyarakat. Menghancurkan hutan adat yang selama ini mereka jaga dan pelihara. Mereka sudah melapor dari kecamatan sampai dengan gubernur. Komnas HAM di Jakarta dan pertemuan RSPO di Singapore dan di Kuala Lumpur juga sudah mereka datangi untuk menyampaikan persoalan mereka dengan perusahaan tersebut. Sampai dengan saat ini tidak ada yang bisa menghentikan aktivitas pengrusakah tersebut.
Informasi dari beberapa pihak, perusahaan Ledo Lestari sebenarnya bisa dikatakan perusahaan illegal. Perusahaan ini tidak memiliki HGU. Penggusuran dan pembersihan lahan hanya berdasarkan sebuah izin prinsip yang dikeluarkan oleh bupati setempat pada tahun 2004. Pada tahun 2006 izin prinsip tersebut habis masa berlakunya dan diperlukan sebuah izin HGU untuk dapat melakukan pembersihan lahan dan melakukan penanaman. Pemerintah daerah memberikan perpanjangan 1 tahun untuk dapat menyelesaikan HGU. Tapi waktu yang diberikan juga digunakan oleh PT Ledo Lestari secara baik. “Pada waktu memegang izin prinsip pun perusahaan tidak melakukan sosialisasi kepada kami. Jadi mereka itu saat memegang izin prinsip itu sudah melakukan penggusuran dan menebang semua hutan yang ada disini” ucap Jamaluddin, salah satu tokoh masyarakat di Desa Semunying.
Beberapa bulan yang lalu tepatnya pada bulan Desember karena desakan masyarakat adat desa semunying agar pemerintah dapat memberikan pengakuan terhadap hutan adat yang mereka miliki, Bupati Bengkayang memberikan pengukuhan di lokasi hutan adat tersebut. Tapi yang menarik sekaligus memilukan, disaat bupati medatangi lokasi hutan adat dan membubuhi tanda tangan pengukuhan atas hutan adat mereka, ekavator-eskavator milik perusahaan masih menderu dan melenggang seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa. Jarak eskavator dengan acara pengukuhan tersebut mungkin hanya ratusan meter.
“Inilah yang membuat kami heran. Bupati datang dan mengakui keberadaan hutan adat kami, mereka malah tidak peduli. Eskavator jalan terus. Kami sudah desak bupati dan polisi untuk menghentikan aktivitas tersebut. Tapi memang sepertinya pemerintah daerah dan polisi tidak ada taringnya” geram Jamaluddin. “Beberapa minggu setelah pengukuhan itu kami mengadakan gelar kasus di Kapolres. Menghadirkan semua pihak pemerintah daerah, mulai dari dinas kehutanan, dinas perkebunan dan kepolisian. Tapi semua sia-sia. Polisi tidak berani bertindak tegas, mereka bilang tidak mungkin sesama aparat akan bentrok” lanjutnya.
Karena dibelakang perusahaan tersebut berdiri para petinggi militer yang ada di Jakarta dan dilokasi juga dijaga oleh tentara perbatasan (Libas). Bukan tidak mungkin seorang Kapolres menjadi kecut dan berani macam-macam. Begitu juga seorang bupati.
Perusahaan tetap berdiri dan melenggang. Mereka tidak pernah mengakui hutan adat. Mereka tidak peduli teriakan dan tangisan masyarakat Desa Semunying. “Kami tidak mengakui hutan adat. Yang ada hutan Negara. Kami sudah membayar kepada Negara” ucap Jamaluddin meniru ucapan salah seorang petinggi perusahaan saat bertemu dengan pihak preusahaan. "Hanya dengan perusahaan inilah kami kehabisan akal bagaimana kami bisa mengusir perusahaan yang menghancurkan hutan kami. Dari puluhan tahun yang lalu kami terus berjuang untuk menjaga keberadaan hutan adat kami. Semua perusahaan yang masuk dulu itu bisa kami usir. Tapi dengan Ledo Lestari? hanya kepada Tuhan lah lagi kami bisa berharap" ungkap Jamaluddin.
Selama empat hari saya berada disana, saya melihat sebuah derita yang berkepanjangan terjadi di sebuah desa yang damai yang berada di pinggir Sungai Seluas ini. Hidup yang dulunya damai dan tentram telah terusik oleh orang-orang yang serakah. Sekelompok orang yang ingin berdiri gagah dan menikmati megahnya dunia. Tidak peduli masyarakat Desa Semunying dan beberapa generasi mereka kedepan akan hancur kehidupannya dan masa depan mereka. Itulah Indonesia.
Astagaa.... Kadang aku heran liat oknum2 kaya' begitu..
ReplyDeleteBisa gitu ya, bermuka tebal pura-pura apa yang dilakukannya bukanlah hal yang 'kotor'
Kadang sempet kepikiran.. apa jadinya kalo bumi udah 'teriak' dan 'bertindak' memperlihatkan kemarahannya terhadap keserakahan dan pengrusakan yang dilakukan manusia. Kemana kita akan berlindung?