Bapa kami, Uang, yang ada di bumi, Dimuliakanlah namamu, Perkuatkanlah kerajaanmu.
Engkau yang mengatur raja-raja, Pemerintah-pemerintah, mereka yang harus mengambil keputusan.
Tutup mata dan hati mereka terhadap penderitaan rakyat dan penghancuran lingkungan hidup.
Semoga di bawah bimbinganmu perkebunan sawit dan pertambangan bertambah banyak.
Berilah kami cukup orang yang mudah dibutakan,
melihat masa depannya
dengan pengantaraan pemberianmu sendiri.
Berilah kami cukup orang
yang mau bekerja dengan gaji rendah tanpa mengomel.
Aturlah bahwa mereka semua kehilangan tanahnya
dan berhutang kepada kami
agar mereka selama-lamanya terikat.
Jangan membawa kami kepada pertobatan,
tetapi tolonglah agar pemimpin-pemimpin agama-agama,
dan tokoh-tokoh masyarakat tetap bersedia
memberkati atau mendukung usaha-usaha kami
sesudah terima sumbangan secukupnya.
Amien….
PY, 14 November 2008
Doa itu saya dapatkan ketika saya berada disebuah kampung kecil di Kalimatan Barat, tepatnya di Desa Pendaun, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang. Pada tanggal 10 Desember 2009 yang lalu saya berangkat ke kampung tersebut untuk melihat sebuah pertemuan adat masyarakat adat dayak disana. Masyarakat adat yang ada disini adalah masyarakat Dayak Kualatn atau sering juga disebut Masyarakat Dayak Simpang. Ada seorang Pastor, yaitu Pastor Yeri dari Menjalin yang menempelkan sebuah kertas bertuliskan "Doa Seorang Investor Kalimantan" di dinding tempat pertemuan.
Disaat tiba di kampung yang berjumlah 40 KK ini, pemandangan kampungnya hanya biasa-biasa saja. Tapi siapa sangka, kampung ini mempunyai story yang sangat menarik dalam hal menjaga hutan adatnya dan menolak beberapa investor yang datang, yaitu perkebunan kelapa sawit, pertambangan bauksit dan emas.
Perjuangan penolakan sawit dikampung ini sudah dimulai sejak tahun 80 an, yaitu pada tahun 1988. Pada saat itu beberapa perusahaan sudah ingin membeli tanah mereka untuk ditanami perkebunan kelapa sawit. Anak-anak muda yang berasal dari kampung tersebut yang masih berada di bangku kuliah mencoba menjelaskan kepada orang-orang tua mereka apa saja dampak yang akan mereka dapatkan jika perkebunan sawit masuk ke kampung mereka. Mendengar penjelasan tersebut, seluruh masyarakat yang ada di kampung bersepakat menolak masuknya perkebunan sawit.
Dari tahun ke tahun intervensi masuknya perkebunan kelapa sawit semakin besar. Iming-iming yang diberikan kepada masyarakat cukup banyak. Ada beberapa masyarakat sekitar kampung mereka yang sudah tergiur dengan uang yang akan mereka terima jika mereka menjual tanahnya. Begitu juga akan dibangunnya beberapa fasilitas di kampung seperti jalan, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya.
Melihat semakin besarnya itervensi yang mereka rasakan dan merasa kawasan dan tanah mereka akan terancam oleh konversi perkebunan kelapa sawit, pada tahun 2007 masyarakat adat pendaun mengadakan ritual khusus untuk melakukan penolakan sawit. Mereka mengadakan ritual untuk memohan doa kepada para pendahul dan leluhur mereka untuk membantu mereka melakukan penolakan konversi sawit.
Karena selalu melakukan penolakan masuknya investasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, Desa Pendaun dianggap desa pembangkang oleh pemerintah daerah. Dianggap desa yang tidak mau menerima program pembangunan masyarakat dan pembangunan desa. Dampak yang mereka rasakan sekarang adalah tidak adanya perhatian pemerintah. Pemerintah daerah tidak peduli lagi dengan pembangunan desa tersebut, jalan desa sampai dengan sekarang tidak diperhatikan. Sampai sekarang jalan yang ada dikampung-kampung masih tanah dan berlumpur. Padahal jarak kampung ini dengan jalan raya sekitar 2 km. Sehingga masyarakat desa kesulitan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian yang ada diladang mereka. Bukan itu saja, ada beberapa cerita dari masyarakat bahwa pemuda-pemuda desa yang sudah lulus kuliah dan akan ikut PNS tidak pernah diluluskan oleh Pemda setempat.
Hutan adat yang dilindungi
Hutan atau ‘torunth’ dalam bahasa lokal di Desa Pendaun adalah pusaka bagi mereka, karena sumberdaya alam yang ada didalamnya tidak sembarangan orang bisa mengambil isi didalamnya.
Ada beberapa kategori hutan yang mereka pahami di kampung ini. Diantaranya adalah:
1. Rimba, yaitu hutan yang tidak terlalu luas
2. Rimba magong, yaitu kawasan hutan yang luas yang biasanya dijadikan ‘tona colap’ atau hutan adat
3. Tembawang, yaitu bekas ladang, bekas pemukiman masa lalu yang ditandai dengan tanaman buah-buahan atau tanaman keras
4. Gupongh, yaitu rimba yang tidak dikerjakan karena ada kekhususan. Misalnya, untuk menjaga mata air, untuk tanaman buah-buahan atau tanaman yang disayangi/tidak boleh dirusak
Selain itu juga ada sebutan ‘bawas’ yaitu lahan bekas ladang. Bawas dikategrikan menjadi dua yaitu bawas muda (1-4 tahun lamanya ditinggal oleh sang pemilik) dan bawas tua atau ‘jamih muntuh’ (diatas 5 tahun).
Karena keberadaan hutan mereka semakin terancam, maka mereka akhirnya membuat aturan adat untuk menjadikan sebuah kawasan menjadi kawasan hutan adat atau sering disebut sebagai ‘tona colap’, dimana semua orang tidak boleh mengolah kawasan tersebut. ‘Tona’ artinya tanah, ‘colap’ artinya dingin. Mereka ingin hutan yang dilindungi itu akan membuat tanah yang ada dibawahnya selalu dingin. Menjadi hutan seperti apa adanya. Tidak boleh diganggu keberadaannya.
Masyarakat Desa Pendaun juga mempercayai adanya pohon keramat yang ada di kampung mereka yang mereka sebut batu besi, karena pohon itu tumbuh didekat batu yang sangat besar. Jika buah yang ada di pohon tersebut sedikit maka hasil pertanian mereka juga sedikit. Begitupun sebaliknya. Pohon yang buahnya berwarna merah ini kabarnya hanya ada ditempat tersebut. Mereka tidak menemukan pohon yang sama ketika masuk kedalam hutan yang ada di kampung mereka.
Didalam ritual mereka, masyarakat pendaun juga mempunyai upacara khusus untuk melindungi bumi dan beserta isinya. Ada tiga kategori upacara atau ritual yang mereka lakukan dan tingkatan makna yang berbeda.
1. Nukat Bumi : Memperbaiki alam dan bumi yang sudah mulai rusak. Ritual ini mempersembahkan 7 ekor babi dan ayam 14 ekor. Dipimpin oleh 1 Borent khusus (dukun) dan 2 asistennya. Terakhir Nukat Bumi dilakukan pada tahun 1999
2. Mokantona: Tingkatannya dibawah Nukat Bumi, hanya untuk wilayah tertentu. Seperti satu sungai tidak boleh diambil ikannya oleh siapapun. Bagi siapapun yang melanggar akan terkena sanksinya yaitu berupa sakit ataupun meninggal dunia. Ritual ini mempersembahkan 5 ekor babi dan 7 ekor ayam.
3. Bebantan: Berdoa apa yang diharapkan bisa berhasil. Syaratnya tidak boleh ‘belayu’ atau tidak boleh memotong tanaman atau membunuh hewan seama 1 hari – 1 bulan. Tergantung dengan borent-nya.
Masyarakat Desa Pendaun sekarang ini merasakan bumi dan beserta isinya sudah semakin rusak. Mereka sudah mulai memikirkan untuk mengadakan kembali ritual Nukat Bumi untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memudahkan rezeki dan tidak murka. Mereka juga ingin mengingatkan kembali seluruh masyarakatnya untuk menjaga bumi dan isinya. Hidup bersahabat dengan alam dan lingkungan.
Mendengar cerita-cerita mereka saya sangat kagum akan kearifan lokal yang ada. Bagaimana masyarakat adat yang mencoba bertahan untuk hidup sederhana dan melindungi sesama. Berusaha menjaga bumi dan alam ini dengan kepercayaan yang mereka miliki.
Sementara para kapitalis dan penguasa. Para pejabat di negeri ini, tidak akan peduli tentang itu. Yang mereka cari adalah untung sebesar-besarnya. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk istri dan anaknya…. Wallahu’alam…
Saya hanya bisa berdoa. “Tuhan… Jangan kabulkan Doa para investor itu…Bantulah saudara-saudara saya, keluarga saya yang ada diseluruh pelosok nusantara ini untuk melawan para penjahat hutan, penjilat kekuasan dan para pejabat negara yang haus akan harta ini... Berilah mereka kekuatan untuk melawan. Jangan sampai mereka ditindas oleh orang-orang yang beritelektual tapi serakah ini.. Amien…”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah, kampung halaman saya nih :D hehe
ReplyDeletekalimantan :D
keren mas, :) yang jelas, bagi kami doa adalah sebuah momen yang teramat sakral :D jadi tidak ada yang beranin main2 saat doa diucapkan :D
Een,
ReplyDeletemaaf saya hanya ingatkan saja untuk yang seperti ini sebaiknya tidak usah di muat karena doa ini mendekati sekali doa salah satu kelompok kepercayaan tertentu, nanti bisa membuat orang lain tersinggung ya.
Dear Mbak Wiek,
ReplyDeleteTulisan untuk doa ini saya kutip disaat saya berada disana. Seorang Pastor yaitu bernama Pastor Yeri (dari Belanda yang skr stay di Menjalin, Kalbar) yang membawakan lembaran berisi doa tersebut dipertemuan itu. Yang hadir dipertemuan itu seluruhnya umat gereja dan pertemuannya pun diadakan di gereja. Saya sama sekali tidak menambah atau mengurangi kata-kata yang ada dikertas tersebut.
Disaat saya pertama kali membaca tulisan tentang doa seorang investor tsb, saya langsung kagum. Walaupun saya seorang muslim saya tidak merasa risih ataupun tidak nyaman.
Pastor Yeri mencoba memberitahu kepada umatnya, kira-kira kurang lebih seperti itulah niat seorang investor yang tidak memandang kesejahteraan masyarakat lokal disaat melakukan investasi-investasi diwilayah mereka.
Beliau mencoba menyadarkan umat nya melalui jalur-jalur agama.
Disaat saya berada disana, saya berharap semoga agama-agama lain juga melakukan hal yang serupa seperti apa yang dilakukan sang pastor.
Pemimpin agama atau tokoh agama di Indonesia ini bisa menyampaikan pesan-pesan penyadaran kepada umatnya untuk peduli lingkungan, menjaga lingkungan dan menjaga wilayahnya dari kerusakan.
Tidak terlena dengan uang dan kekuasaan. Mengorbankan masyarakat lokal ataupun masyarakat adat yang ada.
Kira-kira seperti itu mbak wiek...
Tidak ada niat sama sekali saya menyinggung kelompok kepercayaan tertentu.
Terima kasih atas masukan dan sarannya.
Salam,
Een
Een,
ReplyDeleteSekedar melengkapi ceritamu, 2 bulan lalu saya jadi pembicara di seminar ekologi Kalimantan. Kebetulan saya diminta bicara soal human rights based approach to development dan penggunaan instrument HAM intenasional untuk penghentian pembangunan yang merusak secara ekologis. Dari puluhan pastor dan suster yang hadir kebetulan salah satunya ya Pastor Yeri yang memang sudah terkenal perlawanannya terhadap invasi sawit di Kalbar. Dia juga menyampaikan doa plesetan ini. Bahkan dia minta para pastor dan suster yang hadir agar mempopulerkan ‘doa’ investor ini di kalangan ummat katolik sebagai materi penyadaran. Hmmm ternyata usulan dia disambut meriah.
Nah…beberapa hari lalu saya kembali ketemu dia di Kampung Raba, Menjalin, Landak. Saya menghadiri pemakaman salah seorang pendiri AMAN dan kebetulan si pastor tua ini pula yang mempimpin ibadah pemakaman. Saya pun punya kesempatan utk bertanya bagaimana lahirnya ‘doa’ ini. Ternyata ‘doa’ ini dia buat untuk melakukan perlawanan moral secara internal di kalangan gereja karena dia mensinyalir beberapa pastor dan bahkan uskup Pontianak pun turut mendukung pembangunan kebun-kebun sawit mengkonversi hutan-hutan adat. Menurut dia, ‘doa’ ini cukup manjur mencegah para pengurus gereja untuk secara terbuka mendukung perusahaan sawit.
Itulah sekelumit cerita di balik ‘doa’ Investor Kalimantan. Doa ini telah diterima luas sebagai inspirasi perlawanan sawit di Kalbar.
Salam,
Abdon N
Hmm.....
ReplyDeletemestinya banyak yang malu saat sadar bahwa banyak orang di negeri ini yang 'serasi' dengan 'doa' itu.
Hidup GEPAK
ReplyDeletekalo hunting ke kalimantan timur kontak saya ya bang,.. saya mau ikutan expedisi,. di sekitar samarinda dan kutaikertanegara
ReplyDeleteSiap pak kadir.. nanti saya kabari :)
ReplyDelete