Dua minggu yang lalu saya berkesempatan berangkat ke Riau dan bergabung dengan teman-teman activist Greenpeace dan masyarakat lokal yang berada disekitar Desa Teluk Meranti, Palalawan, Riau.
Climate Defender Camp didirikan tepat di salah satu lokasi lahan gambut terluas di Riau, yaitu Semenanjung Kampar. Camp ini didirikan sebagai bentuk protes Greenpeace terhadap salah satu perusahaan pulp and paper terbesar di dunia yaitu RAPP yang membuka konsesi HTI dilahan gambut. Selain itu juga Greenpeace bersama-sama masyarakat lokal mencoba mempertahankan ekosistem lahan gambut yang ada tetap terjaga dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun damm untuk membendung kanal-kanal yang dibuat oleh perusahaan maupun masyarakat yang tujuannya untuk mengeringkan lahan gambut tersebut sebelum diolah menjadi lahan perkebunan.
Selama di Riau yaitu di Palalawan (Sungai Kampar) dan Perawang (Sungai Siak), saya banyak menyaksikan bagaimana hutan dataran rendah di Riau porak poranda oleh perusahaan-perusahaan rakus akan kayu. Baik itu penebangan yang dilakukan secara legal (mendapat izin resmi) maupun penebangan illegal (illegal loging).
Selain beraktivitas di camp, Greenpeace juga melakukan aksi protes langsung di lokasi lahan milik perusahaan maupun di pelabuhan bongkar muat ekspor produk pulp and paper. Ada dua perusahaan yang diprotes oleh Greenpeace yaitu RAPP dan Indah Kiat Pulp and Paper, Group Sinar Mas. Greenpeace melakukan protes karena kedua perusahaan ini masih menggunakan kayu alam sebagai bahan baku produk yang mereka bikin. Selain itu juga izin konsesi HTI yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dinilai masih cacat hukum.
Saya menyaksikan langsung kedua aksi tersebut, karena saya diminta oleh Greenpeace sebagai videografernya.
Aksi pertama (12/11) dilakukan di lokasi landclearing milik RAPP di Semenanjung Kampar. Greenpeace memasang spanduk bertuliskan "OBAMA YOU CANT STOP THIS" (Videonya bisa lihat disini). Aksi ini dilakukan karena Greenpeace memprotes izin yang dikeluarkan oleh Dephut untuk konsisi HTI RAPP yang berada dilokasi lahan gambut dalam, bahkan dilahan tersebut ditemukan lahan gambut sedalam 10 meter. Greenpeace meminta para pemimpin negara khusus Presiden SBY dan Obama serius menanggapi perubahan iklim dan pemanasan global dari deforestasi ketika Obama datang ke Singapura beberapa minggu yang lalu.
Terakhir izin ini dibekukan oleh Menteri Kehutanan yang baru karena diindikasikan melanggar UU kehutanan dan akan dikaji lebih dalam. RAPP dihimbau untuk menghentikan aktivitasnya di konsesi yang berada di Semenanjung Kampar. Di Riau, izin ini juga bermasalah, ternyata Bupati Siak dan Palalawan tidak memberikan rekomendasi untuk lokasi konsesi perusahaan tersebut. Kajian AMDAL nya juga berantakan. Gubenur Riau waktu itu langsung saja merekomendasikan ke Menhut (kala itu masih Menhut MS Kaban), dan izinnya pun keluar.
Ketika saya tinggal di camp milik Greenpeace di Desa Teluk Meranti, Palalawan, Riau. Berbagai cara dan upaya orang-orang perusahaan mencoba menghasut masyarakat lokal untuk mengusir Greenpeace dari sana. Mulai dari memberikan bantuan mie, beras, membooking sebuah penginapan yang ada didesa selama 3 bulan walapun tidak ditempatin (ini untuk menyulitkan ketika tamu Greenpeace ataupun jurnalis datang ke lokasi dan tidak mempunyai lokasi penginapan). Selain masyarakat lokal perusahaan juga mendesak Polres Palalawan untuk menangkap para activist asing termasuk journalis asing dan mendeportasi mereka ke negaranya serta mendesak Greenpeace untuk menutup camp. Masyarakat diintimidasi, siapapun yang mendukung Greenpeace akan diusir dari kampung, bagi PNS ataupun guru, akan dipecat atau dimutasikan. Tapi hebatnya, ketika para activist sudah packing dan menaroh barang ke kapal, sekitar 400 an orang datang dengan menggunakan kapal dan menahan para activist. Masyarakat lokal ingin Greenpeace tetap ada di kampung mereka. Mereka pun berteriak "Jika ingin Greenpeace pergi, RAPP harus pergi terlebih dahulu dari kampung kami!!". Polisi yang sudah menggiring mereka ke kapal tidak bisa berbuat apa-apa ketika seluruh masyarakat lokal tersebut mengangkut kembali barang-barang milik activisit kembali ke camp.
Aksi kedua (27/11) dilakukan dilokasi pelabuhan milik Idah Kiat Pulp and Paper, Group Sinar Mas (Videonya bisa lihat disini atau disini). Greenpeace menaiki 4 buah crane milik perusahaan tersebut untuk meghentikan proses ekspor barang yang dilakukan indah kiat dan memasang spanduk 'CLIMATE CRIME'. Greenpeace memprotes perusahaan tersebut masih menggunakan kayu alam sebagai bahan baku untuk produk yang mereka bikin. Disaat kita mengambil gambar aksi tersebut, dipelabuhan tersebut terdapat puluhan tongkang yang memuat ribuan kubik kayu gelondongan, dan beberapa tongkang tersebut tidak memuat kayu akasia melainkan kayu alam. Beberapa tongkang lainnya memuat kayu akasia tapi ditengah2nya memuat kayu gelondongan yang diameternya kurang lebih 1 meter.
Para security berhasil menurunkan para activist di 3 buah crane. Tapi tidak berhasil untuk crane yang satunya, para activist Greenpeace berhasil menguasai crane tersebut selama 26 jam. Mereka tidak berani berlaku kasar karena para journalis terus memantau dari boat apa yang dilakukan oleh perusahaan terhadap para activist. Saya dan beberapa teman media lainnya tidak luput dari intimidasi para security, mulai dari bentakan untuk pergi dan tidak merekam activitas Greenpeace, juga boat kami dikelilingi oleh boat security berkali-kali untuk membuat gelombang sehingga boat kami bergoyang hebat dan proses pengambilan gambar tidak bisa dilakukan.
Akibat tidak bisa ekspor barang, Sinar Mas mengclaim rugi sebesar 33 milyar. Tapi saya pikir kerugian itu tidak sebanding dengan kerugian yang diterima oleh masyarakat lokal dan masyarakat indonesia lainnya yang hutannya sudah diporak-porandakan oleh Sinar Mas. Mulai dari hutan Sumatera, Kalimantan hingga ke Papua. Beberapa bulan yang lalu saya juga menyaksikan masyarakat di TN Danau Sentarum yang terancam akan kehilangan mata pencaharian sebagai petani madu organik dan nelayan ikan tawar di danau sentarum. Danau sentarum saat ini sudah dikelilingi oleh perkebunan sawit milik Sinar Mas.
Beberapa orang menyatakan bahwa 100% Polisi dan aparat hukum lainnya pasti berkolusi dengan perusahaan APRIL dan Sinar Mas. Saya tidak tahu apakah pernyataan itu benar atau tidak. Tapi yang saya alami selama disana adalah sebagai berikut:
Ketika di camp, hampir setiap hari polisi datang ke camp, mulai dari Polsek, Polres hingga dari Polda yang datang. Menanyakan Greenpeace itu apa, buat apa datang kesini, bla...bla... hingga berupaya melakukan pengusiran (dengan alasan dievakuasi karena situasinya tidak kondusif, masyarakat tidak setuju dengan adanya Greenpeace). Terakhir melakukan penangkapan para journalis dan mendeportasikannya (Journalist dari India dan Italy). Belakangan seminggu setelah kejadian itu Pak Boediono datang ke Italy, beliau diprotes keras oleh warga Italy dan para activist disana.
Kita saya dan beberapa rekan journalist sedang mendokumentasikan aksi para activist Greenpeace yang memanjat crane di pelabuhan milik perusahaan Sinar Mas, para security menintimidasi kami dengan cara mengelilingi boat kami beberapa kali untuk membuat gelombang sehingga boat yang kami tumpangi bergoyang hebat sehingga kami tidak bisa melakukan pengambilan gambar. Kami juga dibentak-bentak dan diusir untuk pergi dari lokasi serta tidak mengambil gambar. Polisi saat itu banyak sekali dilokasi pelabuhan milik Sinar Mas. Mereka HANYA menonton tindakan para security terhadap kami. TIDAK ADA tindakan mereka dalam upaya melindungi kami yang merupakan salah satu rakyat sipil dan masyarakat Indonesia.
Ketika di Kantor POLDA Riau, disaat saya mendokumentasikan para activist asing yang ditangkap. Seorang Perwira di Satuan Intel POLDA memberikan amplop kepada wartawan lokal didalam ruangannya dan saya sempat merekam kegiatan itu karena saya sewaktu itu juga ikut masuk bersama para wartawan tersebut. Sang perwira sempat bertanya kepada saya "kok direkam?? kamu darimana" beliau menyamperi saya ketika wartawan lainnya sudah keluar dengan mengantongi amplop tersebut. Beliau bertanya kepada saya "darimana? ini buat uang pulsa" lanjutnya sambil memberikan amplop kearah saya. Dengan senyum manis saya menjawab "tidak pak, terima kasih, pulsa saya masih ada". Saya pun ikut keluar dari ruangan tersebut dan tersenyum miris.
Setelah pulang dari POLDA Riau, saya menanyakan kepada salah satu dari mereka klo itu dari siapa dan berapa totalnya didalam amplop tersebut: "Kamu tahu sendirilah, apa sih yang ngga bisa dilakukan APRIL dan Sinar Mas di Riau ini. Riau ini milik mereka. Totalnya kurang lebih 1 juta satu amplop" jawabnya.
Pada aksi pertama dan untuk research Greenpeace sempat menyewa helikopter milik POLDA dan Rumah Sakit (tentunya tidak tahu sebelumnya klo Greenpeace yang sewa helicopter tersebut).
Ketika mereka mengetahui bahwa Greenpeace yang menyewa helikopter, saya mendapatkan informasi bahwa pilot yang membawa helikopter POLDA ‘dihajar’ oleh Provost dan Helikopter milik rumah sakit tersebut tidak boleh terbang, agent dan pilotnya dimarah-marahin karena membawa Greenpeace terbang. Bukan itu saja, untuk mengantisipasi Greenpeace jika nanti bisa menyewa helikopter dari luar Riau, dalam waktu sekitar 3 hari setelah kejadian itu kabarnya Gubernur Riau mengeluarkan Perda Helikopter komersil tidak boleh terbang diwilayah Riau. Informasi ini saya dapat dari beberapa orang yang berada di Riau, kepastian benar atau tidak memang harus dibuktikan dan dikaji lebih lanjut.
Sepertinya begitulah pemandangan yang akan selalu terlihat jika sebuah perusahaan yang berkorporasi dengan penjabat negara dan pejabat pemerintah. Langkah mereka seakan-akan tidak bisa dihentikan. Sepertinya mimpi kali ya, jika negara kita tercinta ini tercipta sebuah Good Governance. Pemerintah yang baik, aparat hukum yang baik, melindungi rakyat dan membela rakyat banyak.
Yang lebih menyedihkan lagi bagi saya sekarang adalah Sinar Mas mengadakan acara Green Festival di Senayan, Jakarta. Mengajak masyarakat ikut peduli perubahan iklim dan pemanasan global. Memasang iklan dan berita kegiatannya besar-besaran dalam seminggu ini diharian KOMPAS.
Saya bingung kok bisa perusahaan perusak alam Indonesia ini bisa mengadakan acara Green Festival dan ‘diamini’ oleh pemerintah kita?
Apakah tidak ada lembaga lainnya di negara kita ini ataupun perusahaan lain yang lebih bersahabat dengan alam dan lingkungan yang bisa mengadakan acara tersebut? Wallahu’alam…
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment