Thursday, May 12, 2011

Nilai-nilai Pancasila tidak lagi menjadi landasan

Membaca berita di harian KOMPAS pagi ini tentang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tidak lagi berlandaskan nilai-nilai Pancasila membuat saya berner-bener sedih melihat kondisi negara ini. Saya sejak beberapa minggu yang lalu memang selalu membaca dan mecoba memahami pemberitaan di KOMPAS yang beberapa hari belakangan mengangkat isu ini. Entah kenapa pagi ini, setelah membaca berita di KOMPAS tersebut saya bener-bener geram dan emosi melihat tingkat laku pejabat negara kita.

“Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi acuan berpaham pasar bebas atau kapitalisme. Nilai-nilai Pancasila tidak lagi menjadi landasan. Artinya memang sejak awal pemerintah berniat melepaskan tanggung jawab pendidikan pada mekanisme pasar. Yang terjadi tidak akan ada lagi keadilan dan pemerataan pendidikan. Akses pendidikan pendidikan terbuka luas hanya bagi masyarakat kaya.”

13051666292016809131

Garuda Pancasila

Menyedihkan melihat kondisi negara kita saat ini. Pemerintah seperti menghianati ideologi sebuah bangsa yang bermartabat. Mebiarkan ketidakadilan terjadi dan miningginya kecemburuan sosial. Hilang budaya gotong royong, musyarawah untuk mufakat dan jiwa patriotisme pada seseorang.

Terlebih-lebih semakin banyaknya kasus-kasus pemiskinan masyarakat di desa-desa, di dusun sampai di pedalaman nusantara. Semakin banyaknya kasus-kasus korupsi yang berakhir dengan adu testimoni dan adu pengacara. Seorang Jaksa pun lupa memberikan tuntutan kepada salah satu terdakwa kasus korupsi disaat proses persidangan kemaren siang. Entah apa yang ada dipikiran seorang jaksa tersebut disaat akan membacakan sebuah tuntutan. Biasanya seorang terdakwa (biasanya penajabat negara) yang menghabisi uang negara yang jumlahnya puluhan miliar rupiah hanya divonis penjara 1-4 tahun. Itupun akan berlaku berbagai macam remisi setiap tahunnya.

Semakin ngerinya melihat tawuran antar pelajar, antar komplek, antar kelurahan dan antar supporter sepak bola. Setiap lima tahun, yaitu pilkada diberbagai daerah seperti ajang untuk unjuk kekuatan. Klo kalah dalam pilkada bukan tidak mungkin akan mengerahkan keluarga, sanak famili, kerabat dan juga orang-orang bayaran untuk menyerang kantor-kantor pemerintahan, menghancurkan fasilitas-fasilitas negara. Bahkan terkadang rumah, toko-toko dan warung milik warga yang tidak tahu apa-apa ikut musnah.

Kita yang sehari-hari hanya menjadi pekerja biasa, pegawai/karyawan biasa ataupun punya usaha sendiri mungkin tidak terlalu mau ambil pusing dengan urusan negara. Tapi ketika sebuah ideologi negara yang sudah dibuat secara baik, penuh perjuangan dan pemikiran para era Soekarno itu akan dihilangkan dari negara ini membuat saya bener-bener merasa terusik. Bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya negara ini ketika anak-anak yang sekarang masih didalam masa pendidikan akan mengganti generasi-generasi yang sudah ada saat ini. Pejabat negara, pengusaha, dan para penguasa diberbagai daerah sekarang ini sudah sangat memprihatinkan pemikiran dan prilakunya. Apalagi mereka sekarang ini, dimana mereka tidak lagi mendapat pelajaran dan pemahaman mengenai landasan dan acuan seseorang warga negara. Dimana semua harus berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Akan seperti apa negara ini nantinya. Mungkinkah akan semakin baik?

Sewaktu masih di sekolah dasar sampai dengan sma saya sangat senang pelajaran-pelajaran mengenai sebuah jiwa patriotisme. Menyanyikan lagu ‘aku seorang kapiten’. Memahami apa itu Pancasila. Menghafalkan butir-butir Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45.

Sekarang mungkin dijiwa anak-anak yang mulai tumbuh dan berkembang tidak memiliki lagi jiwa-jiwa yang berlandaskan Pancasila. Lupa klo Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika ada idiologi sebuah bangsa.

Melihat keadaan yang seperti ini saya berduka untuk bangsa terlebih dahulu. Mepersiapkan diri untuk beberapa puluh tahun yang akan datang agar tidak shock disaat apa yang saya bayangkan saat ini terjadi. Itupun klo saya masih diberi kesempatan untuk menyaksikannya.

Salam,
Een Irawan Putra
—————

Nilai-nilai Pancasila tidak lagi menjadi landasan
UU Sisdiknas Berpaham Pasar Bebas


Kamis, 12 Mei 2011

Jakarta, Kompas - Bukan sesuatu yang aneh jika pendidikan Pancasila tidak lagi diajarkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Ini disebabkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi acuan berpaham pasar bebas atau kapitalisme.

Paham kapitalisme dan privatisasi sangat terlihat jelas dalam pasal-pasal UU Sisdiknas, seperti adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan pasal Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Dalam paham kapitalisme, tidak ada tempat bagi keadilan sosial karena kesempatan terbuka lebar bagi pemilik modal atau kelompok kaya.

Demikian pendapat Guru Besar (emeritus) Pancasila Universitas Nusa Cendana Kupang Mesakh Taopan (74), Koordinator Koalisi Pendidikan Lody Paat, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Bahtiar Effendy, dan sejumlah praktisi pendidikan lainnya, Rabu (11/5).

Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengatakan, landasan pendidikan kita memang sangat kacau. ”Perlu reformasi gradual dan fundamental,” katanya.

Lody Paat mengatakan, UU BHP memang dihapuskan Mahkamah Konstitusi. Namun, pasal BHP di UU Sisdiknas tidak dihapuskan.

”Artinya memang sejak awal pemerintah berniat melepaskan tanggung jawab pendidikan pada mekanisme pasar. Pemerintah hanya akan menanggung pendidikan dasar saja,” kata Lody Paat.

Padahal, pendidikan jika dilepaskan pada mekanisme pasar, yang terjadi tidak akan ada lagi keadilan dan pemerataan pendidikan. Akses pendidikan pendidikan terbuka luas hanya bagi masyarakat kaya.

”Padahal di negara-negara liberal pun, persoalan pendidikan menjadi tanggung jawab negara,” katanya.

Sementara Bahtiar Effendy menambahkan, jika semua pihak serius ingin mempraktikkan Pancasila, maka harus dibuat mekanismenya agar kebijakan publik yang disusun memiliki perspektif Pancasila.

”Kita hanya memiliki Mahkamah Konstitusi yang bertugas mencocokkan peraturan yang ada dengan UUD 1945. Iran dan Turki memiliki komisi ideologi,” kata Bahtiar.

Musyawarah hilang

Mantan anggota DPR, Ferry Mursyidan Baldan, menambahkan, bukan cuma mata pelajaran Pancasila yang hilang, nilai-nilai Pancasila pun sudah mulai ditinggalkan dalam kehidupan berpolitik.

Musyawarah untuk mufakat yang menampung semua aspirasi, termasuk kelompok minoritas, kini ditinggalkan dan diganti menjadi suara terbanyak dalam pengambilan keputusan.

”Politik menjadi kehilangan seninya. Karena yang ada dalam politik adalah menang atau kalah, tidak lagi memengaruhi,” kata Ferry menambahkan.

Mesakh Taopan mengatakan, rapat senat Universitas Nusa Cendana pada tahun 2004 bersepakat pendidikan Pancasila tetap dipertahankan meski tidak tercantum dalam kurikulum Sisdiknas.

”Kini mungkin Universitas Nusa Cendana satu-satunya perguruan tinggi yang masih mempertahankan pendidikan Pancasila,” ujarnya.

(ELN/LUK/NOW/ANS/KOR)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/05/12/05260459/uu.sisdiknas.berpaham.pasar.bebas

No comments:

Post a Comment