"Kalau mau hidup sejahtera dan NTT (Nusa Tenggara Timur) selamat. Jagalah Molo"
Itulah sebuah kata yang diucapkan oleh seorang mama di Pulau Timor yaitu Mama Aleta saat saya berkesempatan untuk mencoba mendokumentasikan perjuangan beliau dan Masyarakat Adat Molo dalam mempertahankan tanah adatnya dari ancaman pertambangan marmer di Molo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Perjalanan saya ke Molo kurang lebih tiga minggu, 21 Agustus 2008 - 6 September 2008.
Perjalanan ke Molo sebenarnya sangat mendadak. Rencana perjalanan saya sebenarnya adalah ke Masyarakat Talang Mamak di Riau. Tapi berhubung ada beberapa masalah teknis, maka rencana berangkat ke Riau diundur. Setelah mengetahui rencana itu diundur, akhirnya saya diminta ke Molo. Persiapan perjalanan kesana hanya dua hari. Tanya sana sini situasi dan kondisinya, beli obat-obatan dan vitamin, siapkan peralatan trus berangkat sudah.
Sebenarnya sewaktu kuliah saya sudah pernah ke NTT, tapi saat itu ke Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Setelah lihat peta dan tahu dimana lokasi tempat saya akan tinggal, baru saya ketahui ternyata Labuan Bajo dan Pulau Komodo sangat jauh dan beda pulau dengan Molo.
Tiga jam perjalanan dan transit selama dua puluh menit di Surabaya saya sudah bisa melihat dari jendela pesawat pulau-pulau yang didominasi warna-wana cokelat. Inilah pemandangan yang akan kita lihat jika kita datang ke Pulau Timor, terutama pada musim-musim kering. Hampir semua rumput-rumput kering dan pepohonan kehilangan daunnya alias berguguran. Mungkin jika orang yang sudah terbiasa matanya melihat kehijauan pepohonan dan dedaunan, menikmati kesejukan dibawah pohon yang rindang serta terbiasa hidup enak, dalam hatinya akan akan bertanya "Bisakah kita hidup di pulau ini?". Sama halnya saya, ketika akan mendarat di Bandara El Tari, Kupang. "Serasa tidak yakin disini ada kehidupan" celoteh saya kepada Melly Nurmawati, seorang teman satu kerja yang berangkat bersama saya yang juga merangkap sebagai leader dilapangan.
"Tapi orang timor bisa hidup tuh disana… dan beranak pinak lagi hehehe…." Mungkin itu jawaban kalian setelah membaca celotehan saya kali ya..
Sesuai pesan yang disampaikan kepada kami bahwa setelah tiba di badara akan langsung dijemput oleh seseorang maka kami pun menunggu jemputan disebuah cafe dekat pintu keluar bandara.
"Tunggu saja disana ya bapak, kami baru jalan ini. Mungkin sekitar dua jam-an lagi sampai sana" suara yang keluar dari handphone saya disaat saya memastikan orang yang akan menjemput kami lewat telpon.
Yahh.. itulah jemputan kami.
Harus menunggu dulu dua jam.
Kebetulan saya membawa sebuah buku dari Bogor, maka saya habiskan dua jam untuk membaca buku. Buku yang saya bawa adalah Buku City of Joy, Negeri Bahagia karangan Dominique Lapierre.
Menceritakan sebuah Kota Calcutta di India. Kalian harus baca buku ini. Kalian akan tahu bagaimana orang India bertahan hidup dengan sumberdaya yang minim dan bertahan dengan ketermisinan yang amat sangat. Seperti salah satu komentar yang ada disampul belakang buku ini yang ditulis oleh New York Post. "Ada pahlawan di setiap senti karya ini……"
"Bapak posisi dimana? saya ada di parkiran motor" sebuah sms masuk ke handphone saya. Saya langsung telpon dan menunjukkan dimana posisi kami. "Selamat sore pak. Saya Nivron. Saya diminta Ma Leta untuk jemput bapak". "Selamat sore. Saya Een dan ini Melly" saya membalas jabat tangan Pak Nivron dan memperkenalkan teman saya. "Bapak pakai apa jemput kita?" tanya saya kepada Pak Niv. "Kita bawa motor pak, satu lagi teman masih di belakang". Saya dan Melly sempat shock dan termangu beberapa detik. "Bapak jemput kita dengan perjalanan hampir tiga jam pakai motor?" Oh my God!. Bayangan saya karena sudah tau kita bawa cukup banyak barang, jadi akan dijemput dengan sebuah mobil. Dan kita bisa tidur selama perjalanan karena dari Bogor berangkat subuh ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Tapi nyatanya?? Huuhh…
Karena tidak mungkin menolak jemputan yang sudah ada dan tidak mungkin untuk meminta mereka pulang sendiri tanpa jemputan sementara kita menginap dulu semalam di Kupang atau kita rental mobil saja menuju lokasi perkampungan. Maka sekitar pukul 18.30 waktu Kupang kami pun berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Sebuah tas besar yang berisikan peralatan saya harus berada dan menempel dipunggung saya. Sementara tas pakaian diselipkan antara ujung jok depan motor. Saya berangkat bersama dengan Pak Niv dengan Motor Bebek Yamaha Vega, sementara Melly berdua dengan Pak Hedrik dengan menggunakan sepeda motor Suzuki Smash. Selama perjalanan yang malam itu angin sudah mulai berhembus kencang dan dingin, saya sudah tidak kuat menahan kantuk. Saya tidak bisa menikmati lagi perjalanan yang selalu menanjak dan memutari beberapa bukit karena diantara menahan kantuk dan menahan keseimbangan tas besar yang menempel dipungggung. Mata sudah sempat terpejam beberapa kali.
Sekitar pukul 21.30 kami tiba di SoE. Ibu Kota Kabupaten TTS. Karena sudah tidak kuat lagi melanjutkan perjalanan ke Molo, yaitu kearah Gunung Mutis dan sekitar 1 jaman lagi waktu perjalanan maka setelah bertemu dengan Mama Aleta kami minta diri untuk istirahat semalam di SoE dan besok pagi dilanjutkan lagi perjalanannya. "Ya sudah, kalian menginap dulu saja di SoE. Kalian pasti sudah sangat capek sekali" ungkap Ma Leta setelah melihat wajah kami yang sudah lemas. Alhamdulilah Maleta (pangilan akrab Mama Aleta) bisa mengerti.
Perjuangan Perempuan Molo
Pada hari Jum'at pagi tanggal 22 Agustus kami berangkat ke Molo, tepatnya ex camp sebuah pertambangan di Desa Nousus. Dari SoE menuju Kapan dan lanjut kearah Gunung Mutis. Daerah ini ternyata suhunya sangat berbeda jauh dengan Kupang. Sangat dingin, berangin dan selalu berkabut. Diperkirakan ketinggiannya sekitar 1200 mdpl. Selama dua hari berada disana, dari pagi hari sampai sekitar jam 3 sore saya tidak bisa ngapa-ngapain. Hanya meringkuk didalam sleeping bag dan duduk baca buku didalam sebuah ruangan yang sedang diperbaiki. Suhu diluar sangat dingin, hujan dan angin berhembus sangat kencang. Beberapa orang lokal mengatakan angin kencang ini bawaan dari Australia karena keberadaan daerah ini tidak jauh dari Australia. Mereka juga bilang kalo bulan Agustus angin sudah mulai berkurang. Bulan Januari-Maret adalah bulan yang dimana anginnya sangat kencang dan bisa merobohkan beberapa rumah disini. Saya tidak bisa bayangkan sekencang apa angin pada bulan-bulan tersebut. Saat ini saja anginnya sudah sangat kencang bagi saya pribadi.
Perjuangan masyarakat adat Molo dan para mama-mama yang menolak sebuah pertambangan marmer ditanah adatnya beberapa tahun yang lalu mendapat banyak sorotan media, NGO, pemerintah dan lembaga lainnya. Karena perjuangannya itulah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang kantor pusatnya berada di Jakarta, Tebtebba - Indigenous Peoples' International Cantre for Policy Research and Education dari Thailand dan Asia Indigenous Peoples Pact Foundation (AIPP) dari Filipina mengadakan sebuah training untuk para perempuan adat. Peserta training ini selain dihadiri oleh masyarakat di beberapa kampung di Molo juga dihadiri oleh beberapa perempuan adat di Nusantara. Training ini mengangkat tema 'Perempuan Adat dan Pengambilan Keputusan. Persiapan Pengumpulan Data dan Kisah Perempuan Adat tentang Penerapan CEDAW dan Dampak Industri Ekstraktif'. Dalam training ini mereka mencoba memperkuat posisi kaum perempuan dalam sebuah komunitas, pekerjaan ataupun aktivitas lainnya. CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms Against Women) adalah sebuah perjanjian internasional dimana ada beberapa negara termasuk Indonesia yang menandatanganinya. CEDAW dibuat untuk menghapuskan kekerasan dan deskriminasi terhadap perempuan. Ada beberapa pasal yang terdapat didalam perjanjian ini yang mengatur hak-hak kaum perempuan dan harus dihormati dan dihargai.
Selain mendokumentasikan kegiatan training ini. Kami juga mencoba membuat sebuah film tentang perjuangan Mama Aleta dan Komunitas Adatnya. Perjuangan mereka bisa dikatakan berhasil. Dari empat perusahaan tambang yang masuk ke wilayah mereka. Tiga perusahaan berhasil mereka usir dan mereka duduki lokasi pertambangannya. Hanya tinggal satu lagi yang sampai sekarang masih beroperasi, yaitu sebuah perusahaan yang berada di Batu Naitapan.
Mendengar penjelasan dari Mama Aleta membuat saya kagum dengan perjuangan beliau. Maleta memang T.O.P dan memang bukan perempuan biasa. Seorang mama yang bernama lengkap Aleta Ba'un yang lahir pada tanggal 16 Maret 1966 di sebuah kampung yaitu Desa Lelobatan ini menerima nobel prize yaitu salah satu dari 1000 wajah perempuan perdamaian (Women's Nobel Prize for Peace) dan Penghargaan Saparinah Sadli pada Tahun 2007. Nama Aleta Ba'un sudah ada dimana-mana, media lokal, nasional maupun internasional. Beliau adalah anak seorang petani dari masyarakat adat Molo. Beberapa tahun yang lalu beliau menyadarkan dan menggerakkan masyarakatnya untuk menolak pertambangan yang akan menghancurkan kehidupan masyarakat adat yang ada di Molo. Ribuan orang baik kaum perempuan maupun laki-laki ikut turun ke lokasi pertambangan dan menuntut perusahaan tersebut ditutup. Berminggu-minggu dia dan masyarakatnya menginap di hutan dan terus berjuang sampai perusahaan tersebut berhenti beroperasi. Walaupun dalam kondisi hamil tidak mengedorkan niat Mama Aleta untuk terus bergerak dan memberi dukungan kepada masyarakatnya. Bukan hanya menduduki lokasi pertambangan saja. Mereka juga mendatangi Kantor Bupati TTS dan DPRD untuk mendesak pemerintah daerah mencabut izin operasi perusahaan tersebut. Usaha yang dilakukan selama bertahun-tahun memang bukan usaha yang sia-sia. Dari empat perusahaan yang ada masih tersisa satu yang belum berhenti. Tapi secara tegas mereka katakan, masih akan tetap berjuang untuk mengusir perusahaan tersebut.
Mama Aleta adalah salah satu perempuan Indonesia yang rela mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya demi keadilan, perbaikan kondisi masyarakat adatnya dan lingkungannya. Berbagai ancaman dan intimidasi terhadap dirinya dan keluarganya dalam beberapa tahun terakhir ini sering ia dapatkan. Rumah yang beberapa kali dilempari batu dan beberapa kaca pecah. Beberapa kali Mama Aleta dan suaminya mendapat ancaman akan dibunuh. Suaminya Godlif Sanam yang seorang guru di Kapan meminta Mama Aleta untuk menghentikan aktivitasnya. Tapi berkat pengertian yang diberikan oleh Mama Aleta, beliaupun mendukung perjuangan Mama Aleta dan masyarakat adatnya. Pesan Pak Godlif Sanam hanya satu, yaitu saling percaya dan ingat keluarga. Pada tahun 2006 disaat mau pulang ke SoE Mama Aleta sempat dihadang oleh preman-preman bayaran sekitar 20 orang yang memakai topeng. Saat itu Mama Aleta sempat mendapatkan beberapa kali pukulan dan tendangan oleh preman-preman tersebut. "Para preman itu juga sempat mengeluarkan golok dan menebaskannya ke kaki saya disaat saya jatuh. Tapi mungkin karena pertolongan Tuhan dan mereka buru-buru bagian tumpulnya yang mengenai kaki saya. Setelah menebas mereka lari" cerita Mama Aleta kepada kami.
Karena merasa hidupnya sangat terancam, para keluarga dan sahabat mengevakuasi Mama Aleta. Selama tiga bulan Mama Aleta hidup di beberapa tempat seperti di Kupang, SoE dan akhirnya berpindah-pindah dari kampung ke kampung dibawah naungan tokoh-tokoh adat yang ada. Saat evakuasi perjuangan Mama Aleta tidak berhenti disitu. Proses evakuasi dia manfaatkan untuk konsilidasi dan mencari dukungan orang yang lebih banyak lagi. Untuk bertemu dengan suami dan anak-anaknya Mama Alete terpaksa datang sembunyi-sembunyi dan janjian ketemu disuatu tempat.
Sampai dengan saat ini perjuangan Mama Aleta dan Masyarakat Adat Molo tidak pernah luntur. Mama Aleta dan masyarakatnya akan tetap berjuang jika ada perusahaan yang sementara ini berhenti beroperasi akan masuk kembali ke wilayahnya. Perjuangan untuk menutup pertambangan yang masih beroperasi di Naitapan yaitu PT Sumber Alam Marmer juga menjadi salah satu agendanya.
Perjuangan kaum perempuan di Molo bukan hanya tumbuh jiwa Maleta saja, tetapi juga ada di mama-mama yang lainnya di beberapa desa di Molo Utara. Seperti Mama Ety yang berasal dari Desa Kuannoel. Seorang mama yang kalo bercerita penuh dengan ekspresi ini juga menceritakan bahwa ia dan keluarganya sempat dimusuhi oleh saudara-saudaranya yang ada di kampung karena dia menolak pertambangan yang ada di Desa Kuannoel. Dibeberapa desa memang ada beberapa orang pro dengan pertambangan, terutama mereka yang menikmati hasil dari pertambangan dan mereka yang terkena iming-imingan dari perusahaan. Sambil menangis Mama Ety menceritakan bagaimana dia sangat sedih sekali melihat perpecahan ikatan kekeluargaan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun hanya karena sebuah perusahaan tambang. Mama Ety juga sangat sedih sekali karena seoarang tantenya yaitu Mama Marselina Lake yang juga ikut berjuang saat menduduki lokasi pertambangan meninggal dunia karena terlalu banyak menghirup debu-debu dari bor-bor yang beroperasi disaat mencoba menghentikan dan merebut bor dari tangan pekerja. Setelah sakit selama satu minggu akhirnya nyawa Mama Marselina tidak bisa diselamatkan lagi.
Di Desa Tunua juga terdapat para pejuang perempuan. Diantaranya adalah Mama Omi. Wanita muda yang baru berumur 29 tahun ini dengan gigih berjuang untuk menolak pertambangan marmer yang ada di Naitapan. "Di Tunua banyak juga orang yang pro terhadap marmer. Dengan berbagai macam janji perusahaan mengambil hati masyarakat" ungkap Mama Omi. Sebelum memulai operasi di Desa Tunua, Kecamatan Molo utara, kabutapen TTS, perusahaan sempat menjanjikan pembangunan jalan aspal sepanjang 5 km, pembangunan gereja 2 buah, pembangunan gedung Sekolah Dasar 2 buah, rumah masyarakat 150 KK. Tapi sampai saat ini tidak ada yang direalisasikan padahal gunung batu yang ada di Naitapan sudah terpotong-potong dan erosi sudah melanda desa. "Banyak sumber-sumber air disini kering dan hilang walaupun belum masuk musim kering atau kemarau. Salah satu sungai yang hulunya di batu yang ditambang itu sekarang sudah tercemar dan membuat gatal-gatal" keluh Mama Omi.
Batu-batu yang ada di Molo ibarat tulang bagi masyarakat Molo. Air adalah darah. Tanah adalah Daging. Hutan adalah rambut. Tidak bisa dipisahkan. Jika salah satu hilang maka kehidupan tidak akan ada. "Kami yang ada di dataran Molo, kami menganggap bumi, batu, kayu dan air itu adalah merupakan ibu yang menyusui" tegas Om Heis yaitu salah satu tokoh adat dari Desa Ojoabaki. Oleh karena itulah masyarakat Molo berjuang mati-matian mempertahankan Batu yang ada di Molo. Dulunya nenek moyang mereka juga tinggal di gua-gua yang ada dibatu tersebut dan masih ada sisa-sisa peninggalan nenek moyang mereka. Di setiap gua-gua yang ada merupakan salah satu tempat tinggal sebuah marga yang ada di Molo. Seperti yang ada di Batu Nausus, ada beberapa gua yang dimiliki oleh Kafetoran Netpalak yaitu Marga Tefui' Sembanu, Seko Ba'un, Toto Tanesif dan Nani Lasak. Jika batu-batu itu ditambang dan dihancurkan bukan hanya kehidupan mereka yang terganggu tetapi juga identitas masyarakat adat Molo akan ikut musnah. "Kami tolak pertambangan yang ada di Molo, karena inilah tempat ritus kami, tempat tinggal kami yang pertama. Istana daripada marga kami yang tidak boleh diganggu oleh siapapun!" tegas Om Heis lagi.
Melihat dan mendengar cerita dari kaum perempuan yang ada di Pulau Timor ini membuat saya kembali bingung kepada Pemerintah Indonesiah ini. Rakyatnya mati-matian berjuang mempertahankan kesejahteraan alam dan manusianya, mempertahankan identitas dan budayanya. Tapi Pemerintah kita yang tercinta ini malah dengan entengnya dan menjual memberikan izin untuk dihancurkan sumber-sumber kehidupan mereka. Identitas diri mereka. Capek deh!!
wuuaaahhh... Een kembali dengan petualangan barunya.. Aku baru baca sebagian En, tapi kayanya asyik juga yah jadi kamu, bisa jalan kemana-mana liat beraneka ragam budaya...
ReplyDeleteWah, pergi-perginya sih enak klo badan sehat.
ReplyDeleteSetelah pulang dari kupang, aku kena flu berat plus batuk.
Belum sembuh benar, tgl 19 kemaren aku diminta ke serawak untuk menghadiri festival film disana. Alhasil malam ketiga disana karena selalu kena AC yang kenceng, aku tepar. Badan panas dingin. Dan tadi malam tiba di Indonesia, batuk tambah jadi dan flu makin parah. Huhhh lemes badan ini...