Thursday, February 5, 2009

Kuching, Serawak

Setelah seminggu pulang dari Kupang, NTT saya diminta untuk datang ke kuching, Serawak, Malaysia. Untuk menghadiri sebuah festival film yang diadakan oleh sebuah NGO di Malaysia. Sebenarnya kondisi badan saya belum pulih benar dari sakit sepulang dari Kupang. Sepulang dari Kupang saya terserang flu berat dan batuk.

Karena semua teman masih sibuk dengan perkerjaannya, maka akhirnya saya yang berangkat ke Kuching. Selama tiga hari disana (19-22 September 20008), hari ketiganya saya benar-benar drop dan lemas. Badan saya panas, tapi terasa dingin. Persendian dilututku terasa nyeri dan seluruh badan rasanya lemas. Berjalan kaki pulang ke penginapan dari tempat acaranya berlangsung saja rasanya saya sudah tidak sanggup lagi.

Perjalanan tiga hari ke Kuching bagi saya sangat berkesan. Setelah berusaha kuat bisa pulang ke Indonesia, berhubung pesawat saya harus transit dulu di KL sekitar tiga jam. Esok harinya setelah tiba di Bogor (23/09) saya langsung masuk rumah sakit dan di Opname di rumah sakit tersebut. Inilah kali pertama saya menginap dan diinfus di rumah sakit. Selamat… Akhirnya bisa merasakan juga nikmatnya tinggal di rumah sakit.

Freedom Film Fest 2008, Kuching

Freedom Film Fest adalah sebuah festival yang menayangkan film-film dokumenter dari berbagai dunia, seperti Indonesia, Phillipine, Amerika dan Korea serta dari negara Malaysia sendiri. FFF yang ke empat ini yang diadakan di tahun 2008 ini mengangkat tema mengenai Human Right.

FFF yang diadakan oleh Komas ini juga mengadakan kompetisi bagi tiga orang pemenang yang proposal mengenai pembuatan filmnya sesuai dengan tema yang telah ditentukan dan alur ceritanya disetujui oleh Komas. Mereka memberikan Award sebesar RM 5000 atau sekitar Rp 12 juta, serta bantuan fasilitas editing dan bagi pemenang yang terpilih.

Tiga orang yang terpilih dalam FFF 2008 adalah: 1) Pilihanraya Umum Malaysia ke-12: Demokerasi atau rebutan kerusi by Abror Rival, 2) Who Speaks for Me? by Justin Johari, 3) Pecah Lobang by Poh Si Teng.

Selain menampilkan tiga film yang mendapatkan award, FFF juga menayangkan beberapa film lainnya dari berbagai negara. Salah satu film yang ditayangkan adalah Voices from the Forest India Produksi Gekko Studio/Dusty Foot Production/NTFP-EP serta film The Indigenous People of Knasaimos produksi Gekko Studio/Telapak/Handcrafted Films.

Screening yang diadakan di Kuching, Serawak (19-21 September 2008) bertempat di Old Court House dibuka secara resmi oleh Dewan Undangan Negeri untuk Padungan, Kuching yaitu Dominic Ng. "Saya sangat senang dengan adanya FFF di Kuching. Di FFF ada salah satu film yang menceritakan tentang demokerasi dan perjuangan hak tanah masyarakat adat Serawak dari perkebunan kelapa sawit" ucap beliau disaat akan membuka acara FFF 2008.

Pada hari kedua pemutaran film-film dokumenter session tentang Native Land Rights and Conservation. Film Voices fro the Forest India, The Indigenous People of Knasaimos dan What Rain Forest Produksi Ketapang pictures ditayangkan. Banyak orang yang datang untuk menonton film-film yang diputar. Jumlah orang yang datang hari itu dari siang sampai sore harinya sekitar 100 orang. Mungkin karena ini adalah yang pertama kalinya acara festival film-film dokumenter yang diadakan di Serawak, maka banyak orang-orang yang ada di Serawak antusias untuk datang dan menonton.

Setelah pemutaran tiga film tersebut langsung diadakan sesi diskusi dan tanya jawab mengenai film yang sudah ditonton. Tidak banyak komentar dan pertanyaan untuk film Voices from the Forest India dan The Indigenous People of Knasaimos karena memang sudah cukup dimengerti mengenai sebuah solusi pengelolaan hutan yang baik dan lestari. Bagaimana sebuah konsep pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan yang tetap menjaga kelestarian hutan tersebut. Berbeda dengan film What Rain Forest. Film ini banyak mendapat pertanyaan dan komentar dari audiens yang hadir. Karena selain menceritakan tentang lahan masyarakat adat yang ada di Serawak yang diclaim orang pemerintah dan perusahaan untuk perkebunan sawit, juga karena kasus-kasus serupa masih mendominasi di Serawak. Banyak masyarakat dayak iban dan masyarakat adat lainnya di Serawak masih berjuang untuk mendapatkan kembali tanah-tanah mereka yang diclaim oleh perusahaan dan Pemerintah Serawak.

Dari banyaknya orang yang datang untuk menonton dan bisa mengetahui kondisi-kondisi real mengenai sebuah permasalahan disuatu daerah baik di Malaysia atau dinegara lainnya membuat para audiens yang datang mengharapkan acara-acara festival film seperti ini bisa dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan. Dari film-film dokumenter tersebut banyak pembelajaran yang didapat dan pengalaman dari daerah lain yang bisa diketahui. Banyak manfaat yang bisa didapat dari sebuah film dokumenter. Seperti yang pernah disampaikan oleh Lexy Rambadeta, seorang filmaker dokumenter dari Indonesia "Documentary is having power over time…. its last forever".

2 comments:

  1. Hmm, actually i chose to read the indonesian version.. HEHEHEHE...
    Wow.. asyik bener jalan-jalan mulu boss...
    palagi sambil nonton film2 dokumenter gitu.. (* ngayal kalo aku yang kaya gitu....) ^_^
    Btw, makanya, jangan diforsir, tar sakit di tanah orang, susyyeee....

    ReplyDelete
  2. Hallo vid,
    Wah benar-benar toubat deh klo melakukan perjalanan tapi kondisi badan belum benar-benar siap untuk melakukan perjalanan hehehehe...

    Jalan-jalan bareng aja yuk...
    Ajakin aku ke tempat tertinggi di Bandung!!!

    ReplyDelete