Pada hari senin tanggal 18 Juni 20007 saya bersama temen kerja berangkat ke Kasepuhan Cibedug Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak.
Setelah pagi-pagi menyiapkan perlengkapan dan peralatan yang kami butuhkan selama dilapangan kami langsung menuju terminal Bubulak, Bogor. Di terminal Bubulak ini kami akan menuju Cipanas dengan menggunakan angkutan kota. Sebelum menaiki angkot yang menuju ke Cipanas, kami menunggu satu orang teman lagi dari RMI The Indonesian Institute for Forest and Environment yang merupakan salah satu lembaga pendamping masyarakat disana.
Cukup lama menunggu teman yang satu ini, karena saat dihubungi ponselnya dia masih berada di RMI dan baru akan jalan. Sekitar setengah jam kemudian, teman yang bernama Nino ini baru muncul. “Sudah lama menunggu, maaf telat. Tadi ada meeting sebentar dengan teman-teman disana” ucapnya saat saya mau bersalaman dan berkenalan. Tak berapa lama kemudian kami langsung menaiki angkutan kota menuju Cipanas. Tujuan kami dengan angkot ini adalah pertigaan Gajrug, yaitu pertigaan untuk menuju Citorek. “Perjalanan dengan angkot ini sekitar dua jam. Melewati Leuwiliang, Jasinga dan lurus terus sampai perbatasan Bogor-Lebak Banten” ucap Yudi teman saya yang berasal dari Labuan Banten ini. Dia tahu daerah yang akan kami kunjungi karena sering pulang kerumah orang tuanya melalui jalur ini.
Sekitar satu jam perjalanan kepala saya mulai pusing. Bau yang dikeluarkan dari kanalpot angkot yang kami naiki mulai tak sedap. Apalagi disaat angkot ini sering berhenti untuk menaiki dan menuruni penumpang. Saya liat Nino asyik membaca buku novel yang warna sampulnya berwarna hijau. Disaat saya lirik apa judul buku yang dia baca, saya jadi tersenyum sendiri. “Ini pasti buku konyol dan bernuansa komedi, judulnya aja Sakit 1/2 Jiwa” gumamku dalam hati. Karena saya memperhatikan dia membaca buku karangan Endang Rukmana itu, dia lalu menjelaskan sekilas tentang isi buku yang dia baca. “Buku ini bercerita tentang kehidupan seorang laki-laki dalam mencari jati dirinya dan mencari cintanya. Setting tempatnya di Daerah Banten dan Baduy Dalam. Lucu, bahasanya gaul. Ada tebak-tebakkannya lagi”. “Kebetulan, karena saya ngga bawa buku bacaan, saya bisa pinjam nih” balasku.
Sambil menahan rasa mual saya terus berusaha menikmati perjalanan ke Gajrug. Saya sedikit kaget disaat melihat kanan kiri jalan. Disepanjang jalan ini ada tanaman kelapa sawit. Masih ada aja yang nanam kelapa sawit disini. Sambil tertawa Nino memberikan pertanyaan kepada kami yang sedang melamun menikmati perjalanan didalam angkot. “Apa perbedaan bulan dengan matahari??”. Dengan santai Yudi menjawab “klo bulan dimalam hari, klo matahari ada disiang hari”. “Salah, klo bulan bisa ngomong. Klo matahari dapat diskon” jawab nino sambil tertawa dan kembali membaca novelnya.
Taklama kemudian kami tiba di daerah Gajrug. Kami berhenti dirumah makan Simpati, rumah makan masakan sunda. Sambil makan siang kami menunggu mobil elf yang menuju Citorek. Sekitar pukul satu siang mobil yang kami tunggu sudah tiba. Karena kondisi mobil sudah penuh maka kami bertiga terpaksa menumpangi mobil ini dengan naik dibagian atas atap mobil. Rupanya kami adalah penumpang terakhir, setelah kami naik mobil langsung menuju Citorek. Bersama dengan dua penumpang lainnya kami duduk diatas. Sambil duduk menatapi jalan yang tidak terlalu bagus, saya memperhatikan dua orang penumpang yang sedang asyik ngobrol dalam bahasa sunda. Bahasa sunda didaerah ini adalah bahasa sunda kasar. Intonasi dan nada berbicaranya sudah kencang dan keras. Melihat logatnya saya jadi ingat orang madura klo berbicara.
Perjalanan Gajrug-Citorek kurang lebih 2 jam. Sekitar pukul empat sore kami tiba di Citorek. Nino yang sudah hafal daerah ini mengajak singgah dulu ke rumah Kang Nana, yaitu salah satu kontak person didaerah Citorek. Sambil melewati jalan kecil yang dipeneuhi rumah dan terkesan kumuh kami menuju rumah Kang Nana yang sedikit tersembunyi dibagian belakang rumah-rumah lainnya. Ketika kami melewati depan rumah penduduk, banyak penduduk sana yang memperhaikan kami. Penampilan kami sudah jelas bisa ditebak. Bahwa kami pendatang.
Kami taklama singgah dirumah Kang Nana. Setelah meneguk segelas air putih dan memastikan apakah Kang Nana bisa menemani ke Cibedug akhirnya kami berempat berangkat ke Cibeduk. “Wah, sudah jam lima nih. Bisa malam kita nyampe sana. Perjalanan sekitar tiga jam jalan kaki” ujar Kang Nana kepada kami.
Perjalanan ke Cibedug kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Dipertengahan jalan hari sudah mulai gelap. Karena banyak berhentinya, untuk beristirahat dan mengambil beberapa foto kami tiba di Kampung Cibedug sekitar pukul delapan lebih. Perjalanan dari Citorek ke Cibedug kebanyakan menanjak, dikarenakan lokasi perkampungan berada di balik bukit.
Di Cebedug kami menginap di rumah Ki Nurja’. Karena sudah terlalu capek dan pegel, ngga lama berkenalan dan setelah disuguhi makan malam saya sudah terlelap tidur.
Disini, di Cebeduk tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Di wilayah adat yang luasnya 2.144 Ha yang terdapat didalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun ini masih banyak yang perlu digali lagi lebih mendalam mengenai hutan adat mereka. Apa itu leuweung kolot (hutan yang dituakan), leuweung titipan dan leuweung bukaan. Selama tiga hari dua malam saya disana, masih belum banyak informasi yang bisa saya dapat. Informasi yang saya terima semua masih kabur, apakah mitos/kepercayaan/aturan adat itu masih ada atau sekarang sudah tinggal kenangan. Yang bisa saya lihat adalah tanah yang subur, air melimpah mengaliri disetiap hamparan sawah yang mengelilingi kampung.
Citorek Berubah
Ada yang pernah datang ke Citorek pada tahun 80-90’an??. Apa yang anda rasakan??
Ketika saya melewati perkampungan Citorek dan melewati hamparan sawah Citorek dan menatapi damainya aliran air sungai cimadur, saya bisa merasakan betapa damai dan tentramnya Citorek. DULU.
Ini pertama kali saya datang ke Citorek. Selama ini saya hanya mendengar namanya saja dari media dan cerita teman-teman. Semua ceritanya indah-indah dan memancing hasrat untuk datang kesana.
Ketika saya melihat dan melewati pemukiman-pemukiman yang ada di desa ini, kesan pertama yang saya dapati adalah desa yang kumuh dan suasana yang tidak ramah.
Karena masih penasaran apa sebenarnya yang terjadi di desa ini, saya banyak bertanya-tanya kepada Kang Nana setelah kita pulang dari Cebeduk. Sehabis makan malam dirumah Kang Nana, banyak hal yang saya tanyakan dan saya baru mengerti. “Saya bener-bener merasakan bahwa Citorek ini berubah. Sudah tidak ada lagi suara jangkrik dimalam hari. Tidak ada lagi suara burung yang bernyanyi disekitar kampung” ucap Kang Nana.
Pada tahun 2001 kampung Citorek pernah terbakar. Kurang lebih empat ratus rumah penduduk habis terbakar. Sebelum pemekaran, disini terdapat tiga desa, yaitu; Desa Ciparai, Desa Citorek dan Desa Ciusul. Saat ini Citorek sudah dimekarkan menjadi empat desa; yaitu Citorek Barat, Citorek Timur, Citorek Tengah dan Citorek Kidul (Selatan). Dan sejak tahun 2003 listrik sudah masuk ke Citorek.
“Semenjak sudah ada jalan dan listrik sudah masuk, pola hidup masyarakat disini mulai berubah”.
“Sekarang sudah jarang para laki-laki dewasa memakai ikat kepala. Sudah banyak yang punya motor, bahkan ada yang menjual sawahnya untuk membeli motor. Menjadi tukang ojek”.
“Anak-anak sudah ngga pernah main kesawah lagi. Semua lebih senang nonton televisi. Membangun rumah besar-besar”.
Saya rindu suasana seperti dulu. Bentuk rumah masih sama, orang-orang ramai berkeja disawah. Sekarang Citorek benar-benar berubah” tegas Kang Nana kepada saya.
Pola hidup yang berubah di masyarakat Citorek juga berdampak kepada kondisi sungai dibelakang kampung. Disaat saya menyusuri sungai cimadur yang berada dibelakang kampung, saya memperhatikan seorang ibu yang membuang bungkus mie instan sebanyak satu kardus ke sungai. Sementara dibawahnya masih banyak masyarakat yang menggunakan sungai tersebut untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci dan bahkan buang air besar. Dipinggiran sungai sudah mulai menumpuk sampah-sampah plastik. Sudah mulai bau.
“Dulu belum ada samah-sampah plastik disepanjang sungai cimadur. Yang ada hanya sampah-sampah dedaunan. Disepanjang sungai ditanami tanaman pisang. Sekarang sampah ada dimana-dimana”. Keluh Kang Nana.
Malam itu saya hanya bisa berharap kepada Kang Nana agar bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat agar menjaga lingkungan kampung. Tidak membuag sampah disembarang tempat dan di sungai. Saya tidak bisa bayangkan Citorek dalam sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Apakah desa yang dulunya asri akan mengikuti jejak daerah-daerah di ibu kota negara. Kumuh, bauk, penuh sampah dan sungai yang airnya sudah menghitam. Selagi masih bisa berubah, mumpung belum terlalu parah. Baiknya dicegah.
Waaa..rumah makan simpati itu punya nyokap gw..ga nyangka bisa masuk internet..hehe
ReplyDeleteKapan ke gajrug lagi?
ReplyDeleteHi Iyank,
ReplyDeleteIyakah itu rumah makan nyokap lu. Wah kebetulan sekali hehehe..
Belum tau nih kapan bisa kesana lagi.