Secara administratif, Kampung Sungai Utik tergabung dalam Desa Menua Sei Utik di Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Pusat Pemerintahan desa terletak di Kampung Sungai Utik dengan ibu kota kecamatan di Benua Martinus.
Setelah membaca beberapa linteratur dan mendengarkan informasi dari beberapa teman, saya masih belum bisa membayangkan bagaimana keaadaan dan kondisi di Kampung Sungai Utik. Bagaimana sebenarnya kondisi hutan di yang masuk kedalam wilayah kampung tersebut. Akhirnya beberapa pertanyaan yang selama ini tersimpan didalam hati perlahan-lahan mulai terjawab setelah saya datang dan tinggal disana. Saya tinggal disana selama lima belas hari. Cukup banyak yang saya pelajari dan yang saya ketahui tentang kehidupan masyarakat Dayak Iban di Kampung Sungai Utik. Kekeluargaan dan keramahan masyarakat Kampung Sungai Utik membuat saya ingin kembali kesana disuatu saat nanti.
Berikut ini saya coba tulis catatan perjalanan saya ke Kampung Sungai Utik.
Pesawat kami berangkat dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Pontianak pukul 11.00 WIB. Pukul 7.30 WIB kita sudah berkumpul di Terminal Bus Damri Bogor bersama dengan masyarakat Sungai Utik dan teman-teman dari Pontianak.
Tiba di Pontianak kurang lebih pukul 12.45 WIB dan kami langsung menuju LBBT (Lembaga Bela Benua Talino) sebuah NGO yang berada di Pontianak. Kami menuju LBBT setelah makan siang dan langsung menginap disana selama semalam karena jadwal pesawat kami menuju Putusibau esok harinya.
Tanggal 27 Mei 2006 pukul 10.30 WIB dengan menggunakan pesawat DAS (Dirgantara Air Service) yang berkapasitas penumpang sebanyak 46 orang kami berangkat menuju Putusibau. Lama perjalanan dari Pontianak ke Putusibau kurang lebih satu jam. Selama perjalanan kita bisa melihat daratan Kalimantan dari pesawat yang masih tampak hijau membentang walaupun terlihat dibeberapa tempat sudah terdapat bekas tebangan. Dari pesawat juga kita bisa melihat bentangan luasnya Danau Sentarum yang merupakan salah satu danau terluas di Indonesia. Kebetulan cuaca dihari itu cerah, sehingga kami bisa menikmati pemandangan dari atas pesawat.
Kami tiba di Putusibau pukul 11.30 WIB. Dibandara sudah ada mobil yang menunggu kami untuk mengantarkan kami ke terminal bus. Mobil tersebut memang sudah dipesan seorang teman dari Putusibau. Dengan mobil kijang yang kami carter sebesar seratus lima puluh ribu rupiah kami langsung menuju terminal Putusibau karena takut akan ketinggalan bus. Maklum bus yang berangkat dari Putusibau menuju Sungai Utik pada jam-jam itu tinggal satu. Setiap harinya ada tiga buah bus yang routenya melewati Sungai Utik. Jika kita ingin menyewa mobil Dari Putusibau menuju Sungai Utik, kita harus mengeluarkan uang sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Cukup mahal memang jika dibandingkan dengan naik bus yang ongkosnya hanya dua puluh lima ribu rupiah perkepala.
Dengan menumpangi bus, kami berangkat menuju Sungai Utik. Jalur bus yang kami tumpangi adalah Putusibau-Martinus, yaitu kota perbatasan antara Kalimantan dengan Malaysia jika sudah melewati Kecamatan Lanjak dan Badau. Selama perjalanan saya duduk dibangku tengah dekat jendela. Sambil mengamati pergerakan tanda panah di GPS (Global Position System) yang saya pegang. Sambil melihat GPS saya juga melihat pemandangan diluar dan para penumpang lainnya didalam bus. Karena perjalanan Putusibau-Sungai Utik cukup lama yaitu dua jam lebih, akhirnya saya pun terlelap tidur.
Saat mata saya terbuka ternyata bus masih melaju dengan kencang. Mata saya tertuju dikiri dan kanan jalan yang terdapat beberapa pohon besar dan juga saya melihat areal penambangan pasir dan bebatuan. Selagi asyik menikmati perjalanan didalam bus, sopir bus membelokkan busnya kearah kanan. Saya melihat dari jendela bus, ternyata ada sebuah tulisan “Selamat Datang di Desa Lauk Rugun” yang ditulis disebuah gerbang yang dibuat seadanya. Ternyata bus ini akan menurunkan penumpang di Kampung Lauk Rugun. Terlihat orang-orang di rumah panjang Lauk Rugun yang memperhatikan penumpang turun dari bus. Rumah panjang Lauk Rugun-lah rumah panjang tradisional pertama kali yang saya lihat secara langsung. Didalam hati saya hanya mengatakan “waw.. panjang sekali”. Selama ini saya hanya mendengar cerita dari teman-teman yang pernah ke kampug dayak dan melihat di televisi.
Selama perjalanan dengan bus menuju Sungai Utik kita akan melewati dua kampung yang merupakan wilayah ketemenggungan tujuh kampung “Jalai Lintang”. Yaitu Kampung Lauk Rugun dan Kampung Mungguk.
Sekitar pukul 15.00 WIB kami tiba di Kampung Sungai Utik. Disaat turun dari bus, saya merasa grogi dan agak gugup karena diperhatiin oleh masyarakat kampung yang berdiri diatas tangga rumah panjang. Seolah-olah mereka sedang bersikap hati-hati karena akan didatangi orang asing.
Kamipun diajak masuk kesalah satu bilik milik Pak Janggut. Pak Janggut ikut terbang bersama kami dari Jakarta. Pak Janggut dan dua orang temannya dari Kampung Sungai utik datang ke Jakarta beberapa hari yang lalu untuk menghadiri seminar dan diskusi terbatas tentang “Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Adat, Menuju Hutan yang Adil dan Lestari, Pembelajaran dari Kampung Sungai Utik” yang diadakan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Forest Wacth Indonesia (FWI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Uni Eropa (EU) dan Universitas Indonesia.
Setelah menaroh barang-barang didalam bilik milik Pak Janggut, kami duduk di teras depan rumah panjang (yang bahasa ibannya disebut Rumah Panjei). Sambil menikmati teh hangat disore hari kami bercerita mengenai pengalaman perjalanan kami dari Jakarta ke Sungai Utik.
Ketika duduk santai di tanjok (teras paling depan rumah panjang, tempat jemur pakaian dan kayu bakar), ternyata ada beberapa penghuni rumah panjang yang sedang mengganti atap rumah panjang yang sudah rusak karena sudah lapuk dimakan waktu. Atap rumah pajang ini terbuat dari kayu yang dibelah tipis-tipis menggunakan parang yang ukurannya kurang lebih 15 x 40 cm (orang iban menyebutnya sirap). Jenis kayu yang digunakan untuk sirap biasanya kayu laban, bengkalis, janang dan meranti.
Melihat aktivitas masyarakat yang bergotong royong memasang sirap, sayapun langsung mengeluarkan kamera video saya yang masih tersembunyi didalam tas. Setelah mengambil gambar dari beberapa angle (sudut pengambilan) saya mengeluarkan rokok dari dalam saku celana dan ikut bergabung kembali dalam obrolan santai.
Disaat sedang asyik berada bersenda gurau datang seorang teman yang mengajak bergabung untuk minum air nau (sejenis tuak yang terbuat dari pohon nau yang diberi ragi dan diendapkan) dan air bram (tuak yang terbuat dari beras ketan yang diendapkan dan dibri ragi serta kulit pohon). Karena ajakan teman itulah kami pun ikut ke bilik depan rumah panjang. Ternyata satu-persatu orang yang dari rumah panjang datang membawa gelas masing-masing. Tua mudapun berkumpul di tanjok. Seorang teman yang duduk disamping saya bercerita “ini adalah tradisi kami, jika sudah ada nau maka kami akan datang dengan membawa gelas masing-masing dan minum beramai-ramai”. Sayapun menganggukan kepala karena kagum dengan kebersamaan mereka.
Berselang beberapa menit mereka mengeluarkan satu jerigen yang isi lima liter penuh air nau. Dan menyusul lagi orang yang dibelakangnya membawa satu ember hitam penuh air nau dan satu teko tuak atau yang sering kita sebut air bram. Saat itu juga saya terkejut, “ini semua yang akan kita minum??” gumam saya dalam hati.
Satu persatu gelas didepan kami dituangkan penuh air nau. Satu-persatu pula gelas itu disuguhkan didepan kami. Setelah beberapa orang kampung minum duluan sayapun disuruh mencoba. Gelas yang ada didepan saya yang sudah berisi penuh air nau itu saya ambil dan saya minum sedikit demi sedikit. Rasa air nau atau tuak sama seperti kita makan tapai yang terbuat dari ubi kayu. Cuma bedanya ini harus diminum, bukan dikunyah lalu dimakan.
Inilah pertama kali saya minum air nau dan tuak, dah kali pertama juga saya melihat minuman yang disuguhkan sebanyak itu. Ternyata saya minum tak selesai dengan meneguk satu gelas, disaat gelas saya kosong mereka selalu menuangkannya lagi dengan tuak. Dan terus menerus seperti itu. Rasanya kepala saya sudah mulai pusing.
Kami berkumpul dan minum bersama disaat hari sudah mulai gelap. Perkenalan dan obrolan terus berlanjut diiringi dengan minum air tuak. Setelah beberapa gelas air tuak yang kami minum ada salah seorang warga yang menyuguhkan daging goreng diatas piring. “Daging apa itu?” saya bertanya kepada teman yang duduk disebelah saya. Teman disebelah saya menjawab “ini daging ular, ayo cobalah. Kamu makan daging ularkah?” Dengan spontan saya saya menjawab “saya belum pernah makan daging ular, tapi saya akan coba”. “Rasa daging ular tak jauh berbeda dari rasa ikan goreng” lanjut saya setelah mencicipi daging ular yang ada didepan saya.
Teman yang duduk didepan saya berkata “inilah cara ngantor kami disore hari, bawa gelas dan duduk ramai-ramai. Gelas dan rokok adalah ATK nya. Kalian yang baru datang harus magang dulu, sering duduk disini dan minum biar bisa jadi pegawai”. Setelah mendengar ungkapan itu saya dan teman yang lainnya tertawa. Didalam hati saya mengatakan “begitu ramahnya mereka menerima tamu, berbeda sekali apa yang saya duka tadi siang ketika baru sampai”. Diajak duduk bersama-sama dan diselingi minuman yang menghangatkan perut.
No comments:
Post a Comment