"Tidak mungkin manusia bisa merubah ataupun merobohkan pohon-pohon yang besar disini. Bagaimana caranya mereka bisa merobohkan pohon-pohon yang besar dan menghabiskan hutan yang selebat ini". Itulah yang diucapkan oleh Temenggung Nggrip sekitar dua puluh tahun yang lalu kepada kelompoknya disaat mendengar kabar dari masyarakat luar bahwa hutan mereka akan dijadikan areal transmigrasi dan perkebunan skala besar. Temenggung yakin klo hutan mereka yang teramat luas ini tidak akan pernah habis. Pohon-pohon yang besar, tajuk pohon yang rindang dan tinggi serta banyaknya hewan buruan yang bisa dimakan tidak akan hilang.
Tetapi. Kenyataannya benar-benar diluar dugaan Pak Temenggung disaat satu tahun berikutnya kembali lagi ke lokasi yang sama. Tidak ada lagi hutan yang lebat nan rindang. Tidak ada lagi tajuk-tajuk pohon yang berdiri dengan sombong. Semua sudah hancur. Semua sudah tumbang. Suara mesin Chainsaw tak ada henti-hentinya menjerit. Alat berat mondar-mandir memindahkan log ukuran besar kedalam truck logging dan diangkut keluar lokasi penebangan.
Itulah sekilas cerita Pak Temenggung kepadaku tentang awal mulanya hutan mereka perlahan-lahan mulai hilang. Dimana, saat itu mereka belum tahu klo ada Chainsaw yang bisa menumbangkan semua jenis pohon yang sebesar apapun itu. Disaat belum tahu klo ada Buldozer dan mesin kepiting yang mampu mengangkut kayu gelondongan tanpa henti dan tak mengenal lelah.
"Kami semua menangis dan sangat terpukul disaat menyaksikan hutan-hutan kami yang dibabat habis" ungkap Pak Temenggung disaat aku masih terharu dan bengong mendengar cerita-cerita beliau.
Mendengar cerita dan pengalaman dari Pak Temenggung membuatku merinding sekaligus terharu plus sedih. Aku bisa membayangkan mereka yang masih lugu dan tidak pernah mendapatkan berbagai informasi dari luar, dibodohi, ditindas dan dianggap manusia dari planet lain yang tidak layak untuk dipikirkan nasibnya.
Manusia-manusia pintar yang dari kota, berduit dan punya jabatan dengan tenangnya membabat hutan-hutan mereka. Menindas kehidupan mereka. Memandang jijik anak-anak rimba. Aku terkadang ngga habis pikir, kenapa mereka diperlakukan seperti itu. Apa salah Suku Anak Dalam??
Hampir seperti di daerah-daerah lainnya di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Konversi lahan dan hutan menjadi tanaman kelapa sawit dalam skala besar sekarang ini memang sedang menjadi tren. Tidak peduli apakah itu menguntungkan bagi masyarakat lokal atau tidak. Mengganggu serta merusak tatanan ekologi kawasan disekitarnya, yang penting perkebunan kelapa sawit skala besar dan mimpi untuk menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia harus terwujud. Serakah memang.
Aku bingung, mereka tahu atau tidak ya bagaimana masyarakat lokal termiskinkan dengan adanya perkebunan kelapa sawit ini. Seperti yang terjadi di Jambi. Suku Anak Dalam yang hidupnya selama ini berburu dan berpindah-pindah harus merubah pola hidup dan kebiasaan mereka dikarenakan hutan mereka sudah mulai berkurang dan bahkan sudah tidak ada lagi. Dan dampak yang paling buruk adalah mereka harus mencuri ke perkampungan orang-orang transmigrasi karena lapar dan tidak tahu harus makan apa. Mencuri buah-buah sawit yang sudah dipanen, mencuri tanaman di ladang-ladang orang kampung. Pekerjaan yang dulu memang ngga pernah mereka lakukan. Boro-boro mencuri, keluar dari hutan aja jarang. Kebayangkan perubahannya.
Pada tanggal 2 November 2007 aku mengunjungi Orang Rimba di Desa Lantak Seribu (Nauran Duren) Kec. Penenang Kab. Merangin. Di lokasi ini kami menemui kelompok orang rimba yang jumlahnya 14 KK dan hanya menempati areal 9 ha. Hutan mereka sudah habis. Kawasan mereka sudah dikelilingi perkebunan sawit. Lahan yang hanya 9 ha tersebut hanya ditanami tanaman karet dan buah-buahan. Tidak bisa berharapa banyak memang dari apa yang mereka tanam. Perkebunan sawit yang mengelilingi lahan mereka adalah PT Krisna Duta Agro Indo (Grup Sinar Mas), yang luas areal untuk kebun intinya kurang lebih 900 ha dan tanaman plasma kurang lebih 20.000 ha. Disitu, aku melihat raut sedih dan seolah-olah adanya keputusasaan seorang manusia. Duduk termenung memperhatikan anak-anaknya bermain dengan pikiran yang jauh mengambang memikirkan esok harus makan apa...
Mereka menyadari, bagaiamanapun mereka harus bisa bertahan hidup dan harus melawan arus perubahan hidup yang mengalir begitu deras. Kemiskinan, Kesehatan yang tidak terjamin dan rawan akan berbagai penyakit akan selalu membayangi mereka. Pedulikah mereka? Pedulikah kita? Apa yang bisa kita perbuat??
Struktur Kepemimpinan Suku Anak Dalam
Di Suku Anak Dalam memang dari turun temurun sudah terbentuk para pemangku jabatan di komunitasnya dengan tugas-tugas yang dibuat berdasarkan kesepakatan. Jabatan-jabatan itu adalah;
- Tengganas : Jabatan tertinggi di komunitas. Tidak bisa kemana-mana. Klo ada sesuatu urusan kita harus datang ke Tengganas
- Temenggung : Bisa dipanggil, klo ada sesuatu yang kurang jelas bisa menanyakan ke Tengganas
- Depati : Sama dengan Temenggung
- Mangku : Untuk memimpin seluruh rakyat atau kelompok dan yang memberikan aturan
- Menti : Wakil Mangku, yang membantu mangku dan orang kepercayaan Mangku
- Anak Dalam : Bisa jadi orang kepercayaan Mangku dan mengkaji kesalahan rakyat
Rotan. Satu-satunya harapan.....
Suatu pagi yang cerah dan cukup dingin. Aku duduk disebuah bangku yang terbuat dari ptongan-potongan papan dengan mengarah ke tajuk-tajuk hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Angin pagi yang menerpa wajahku membuatku serasa ingin kembali lagi kedalam sleeping bag yang aku bawa dari Bogor.
Pagi ini aku menyaksikan orang-orang rimba ramai-ramai mengangkut hasil rotan yang meraka ambil beberapa hari yang lalu didalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD). Kabarnya hari ini rotan-rotan tersebut akan dibeli oleh oleh pengumpul dan akan diangkut dengan mobil. Mereka mengakut rotan-rotan ini dari kemarin sore. Ditanah yang datar didepanku ratusan batang rotan jenis tebu-tebu dan manau sudah terkumpul berdasarkan pemiliknya. Orang tua, dewasa, anak-anak, laki-laki dan perempuan, semua bekerja mengangkut rotan. Maklum, hanya rotanlah yang sampai sekarang ini hasil bumi yang bisa mereka andalkan untuk menghasilkan uang dan diberi izin untuk mengambil didalam kawasan taman nasional dengan catatan ikut menjaga kelestarian taman nasional dan menjaga kawasan dari kegiatan illegal logging yang dilakukan pihak lain dan oknum-oknum tertentu. Mereka bekerja dengan penuh semangat dan kompak. Puluhan orang berjalan beriringan mengikuti jalan setapak yang ada dengan beberapa potong rotan dipundaknya. Terlihat juga seorang perempuan yang bertelanjang dada, hanya dibaluti kain mengangkut rotan sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Mungkin umurnya kurang dari satu tahun.
Setelah beberapa kali bolak-balik mangankut rotan, mereka beristirahat. Seorang ibu muda membawakan nasi yang masih berada didalam periuknya. Terlihat olehku mereka hanya makan nasi tanpa lauk. Mereka dengan tenang makan bersama-sama dengan keluarganya. Entah... mereka mengeluh atau tidak dengan kehidupan yang mereka alami. Aku hanya memperhatikan mereka dengan tersenyum.
Sambil mendengarkan lagu Low Man's Lyric dari Metallica yang keluar dari iPod yang berada disampingku, aku terus memperhatikan kegiatan-kegiatan mereka dan mencoba mempelajari filosofi hidup mereka. Aku membayangkan, gimana jika aku diposisi seperti mereka. Sanggupkah aku menjalaninya??
Teringat yang diucapkan oleh Pak Temenggung Nggrip kepada ku "Kami harapkan hutan ini jangan diganggu lagi. Biarlah anak-anak kami maju. Tapi hutan jangan diganggu. Klo bisa hutan dan adat tetap ada, walaupun anak-anak kami pemikirannya sudah maju"
"Kami senang banyak orang atau tamu yang datang, memperjuangkan rimba kami, adat kami. Bukan untuk memperkaya diri mereka pribadi. Banyak teman banyak rezeki". Semoga impian Pak Temenggung bisa terwujud. Tapi yang jelas, aku ngga mungkin kaya dengan kunjungan-kunjunganku kesetiap daerah. Yang ada aku selalu meringis ...
Dan sedih....
semangat,..
ReplyDeleteTerima kasih pak kadir
ReplyDelete