Friday, January 30, 2009

Tahura Wan Abdul Rachman

Taman Hutan Raya atau yang sering disebut dengan Tahura menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.

Tahura Wan Abdul Rachman (WAR) dibentuk berdasarkan SK Menhut No. 408/kpts-II/1993 dengan luas 22,.244 Ha. TAHURA Wan Abdul Rachman memiliki topografi bergelombang ringan sampai berat dan sebagian datar, di dalam kawasan terdapat 4 (empat) buah gunung yaitu : G. Rantai (1.671 m dpl), G. Pesawar (661 m dpl), G. Betung (1.240 m dpl) dan G. Tangkit Ulu Padang Ratu (1.600 m dpl).

Lokasi Tahura WAR tidak terlalu jauh dari Kota Bandar Lampung (12 Km), yaitu melalui route Lampung-Hanura.

Kesadaran Untuk Bersatu

SHK Lestari adalah sebuah Kelompok Swadaya Masyarakat yang didirikan di Muara Tiga Desa Hurun Kec. Padang Cermin Kab. Lampung Selatan pada tanggal 14 Februari 2002. Kelompok ini berdiri karena adanya kesadaran sebagai masyarakat yang tinggal dan mempunyai usaha sebagai petani di kawasan register 19 dan bertekad untuk mewujutkan kehidupan yang adil dan sejahtera dan mengembalikan fungsi konservasi dan melestarikan alam yang sampai saat ini masih terjaga kelestariannya. Anggota SHK Lestari adalah masyarakat yang tinggal di talang (kebun/ladang) Muara Tiga. Saat ini anggota SHK Lestari sudah mencapai seratus orang lebih.

Sebagai warga masyarakat yang mempunyai ketergantungan serta sudah menyatu dengan lingkungan dan alamnya membuat anggota kelompok SHK Lestari sadar akan pentingnya peran kelompok dalam melestarikan dan menjaga lahan garapan sehingga bisa dimanfaatkan untuk generasi selanjutnya.

Kelompok yang berkedudukan di Muara Tiga ini terdapat enam kelompok kecil, yaitu:
1. Kelompok Tersenyum berkedudukan di Talang I
2. Kelompok Cinta Damai berkedudukan di Talang II
3. Kelompok Puja Kesuma berkedudukan di Talang III
4. Kelompok Sri Lestari berkedudukan di Talang Pelita
5. Kelompok Sejati berkedudukan di Talang sejati
6. Kelompok Karya mukti berkedudukan di Talang Damar Kaca

Di masing-masing kelompok kecil terdapat koordinator kelompok. Masyarakat yang tinggal didalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman sudah sejak tahun 1960-an dimana kawasan ini belum ditetapkan sebagai Tahura. Pada tahun 1997 Aparat Dinas Kehutanan dan TNI melakukan pengusiran terhadap masyarakat yang tinggal didalam kawasan yang diklaim oleh pemerintah sudah menjadi Tahura. Aparat pemerintah tersebut bukan saja melakukan pengusiran, tetapi juga membakar seluruh bangunan rumah tempat tinggal dan sekolah yang sudah bediri disana.

Setelah dilakukannya pengusiran tersebut, sebagian masyarakat yang berada didalam kawasan sudah keluar dan mengungsi. Akan tetapi, pada tahun 1998 banyak masyarakat kembali lagi kedalam kawasan karena mereka merasa tempat mereka tinggal dan mencari nafkah hanya ditempat yang sejak dulu mereka tempati. Masyarakat yang tinggal disana seluruhnya berladang dan menanam tanaman keras, seperti padi, kopi, cengkeh, coklat, kopi dll. Sama seperti didaerah lainnya, seluruh tanaman cengkeh masyarakat pada tahun 1982 mati dibunuh oleh Tommy Suharto. Pada saat itu Tommy ingin memonopoly tanaman cengkeh di Indonesia. Pada saat itu tanaman cengkeh milik masyarakat tumbuh subur dan mulai berbuah.

Sampai dengan saat ini kenyamanan mereka untuk tinggal dan berladang tidaklah seperti dulu lagi. Rasa takut, resah dan was-was akan dilakukannya pengusiran warga oleh aparat masih menyelimuti diseluruh masyarakat yang tinggal disana.

Karena pentingnya bersatu serta bisa menyatukan suara untuk bernegosiasi dengan Pemerintah Lampung agar bisa menjaga keharmonisan hidup mereka dengan alam, memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari, maka mereka sadar pentingnya sebuah kelompok dan berorganisasi. Untuk itulah mereka yang tinggal didalam kawasan yang berbeda-beda suku bangsa ini seperti Jawa, Sunda, Lampung dan Semende (Sumatera Selatan) membentuk sebuah organisasi rakyat yaitu SHK Lestari.

Ekowisata Berbasis Komunitas

Kurangnya perhatian dan pengawasan dari pemerintah saat ini kerusakan Tahura Wan Abdul Rachman sudah mencapai 80% dari luasan ± 22.000 Ha. Dalam upaya turut menjaga kawasan Tahura, SHK Lestari mencoba merancang konsep ekowisata yang berbasiskan komunitas yang tinggal didalam kawasan. Pengembangan ekowisata di Tahura WAR bisa melibatkan masyarakat yang tinggal didalam kawasan, begitu juga aplikasinya dilapangan. Sebagai langkah awal, SHK Lestari sudah melakukan pemetaan yang secara partisipatif melibatkan seluruh masyarakat yang tinggal di Muara Tiga dan luas kawasan kelola kelompok SHK Lestari seluas 625,75 Ha.

Konsep ekowisata dilakukan dalam upaya untuk mendekatkan kelompok masyarakat pada pemerintah dan mengkolaborasikan program pengelolaan kawasan Tahura. Berdasarkan rencana UPTD Tahura WAR, fungsi Tahura WAR adalah sebagai pusat penelitian, pendidikan dan ekowisata. Diharapkan dengan adanya kolaborasi dan pengakuan dalam hal pengelolaan kawasan ini, masyarakat yang tinggal didalam kawasan bisa mendapatkan ketenangan dalam mengelola hutan agar tetap lestari dan masyarakat juga bisa meningkatkan nilai ekonomi pendapatan dengan pengelolaan hasil hutan bukan kayu sehingga keadilan dan kesejahteraan bisa tercapai.


Perjalanan Menuju Tahura

Setibanya di Bandara Radin Inten II, Branti kami langsung menuju Sekretariat Kawan Tani dan SHK Lestari di Jalan Teuku Umar Gg. Parahiayangan No.13. Didalam taksi saya baru menyadari klo lokasi bandara di Bandar Lampung sangat dekat dengan jalan raya/jalan lintas sumatera. Padahal saya sudah beberapa kali melewati jalan ini ketika akan pulang kampung tapi tidak tahu kalo bandara itu ada disana :)

Karena masih menunggu teman-teman SHK Lestari yang masih ada pertemuan di Walhi Lampung dan akan selesai sore hari, maka kami memutuskan untuk menginap dulu di Bandar Lampung dan esok paginya baru menuju lokasi tahura.

Keesokan harinya kami berangkat menuju lokasi tahura dengan mencharter angkot. Saat tiba di secretariat SHK Lestari, Mas Agus Guntoro yang sebagai pengurus SHK Lestari menunjukkan kepada saya sebuah maket (peta 3 dimensi) wilayah SHK Lestari. Dia juga menunjukkan rencana lokasi perjalanan pada esok harinya. Dengan adanya maket ini, informasi dan kondisi lapangan bisa tergambarkan secara jelas. Begitupun batas-batas wilayah, lading ataupun kontur kawasan.

Sejak dari subuh hujan sudah membasahi Desa Hurun dan kawasan Tahura WAR. Rencana untuk mengambil gambar dipagi hari di sekitar perkampungan tidak jadi saya lakukan. Kira-kira pukul enam pagi hujan sudah mulai reda. Saya buru-buru mengeluarkan kamera video yang saya bawa. Baru mau keluar dari Sekretariat SHK Lestari hujan sudah mulai turun lagi.

Tidak jauh dari secretariat SHK Lestari saya melihat Pak Masdi berjalan dengan buru-buru karena kehujanan. Sambil membawa sepiring singkong goreng Pak Masdi menyapaku, “masih hujan mas, masuk aja dulu. Kita makan singkong goreng dengan ditemani teh manis panas”. Karena hujan sepertinya belum reda, akhir saya masuk lagi kerumah.

Dengan suasana yang masih kedinginan kami berdiskusi mengenai kehidupan masyarakat di talang dan kondisi Tahura WAR saat ini. Setelah dua hari disini banyak informasi yang saya dapatkan dari pengurus anggota SHK Lestari. “Hari ini kalian akan ditemani oleh beberapa teman SHK untuk menuju talang-talang didalam tahura” ucap Pak Jahari. Pak Jahari adalah ketua SHK Lestari untuk periode 2007/2008.

Karena hujan sudah reda, sekitar pukul sembilan pagi kami bersiap berangkat menuju talang didalam kawasan. Perjalan menuju lokasi yang kami tuju ternyata cukup melelahkan. Dari perkampungan perjalan selalu menanjak dan cukup jauh menanjaknya. “Huhh butuh nafas panjang nih buat nanjak” gumamku.

Capeknya perjalanan sudah mulai tak terasa disaat saya melihat pemandangan teluk lampung dan panorama di perbukitan. Sepanjang perjalan saya juga menemui beberapa orang kampung yang mulai beraktivitas diladangnya. Ada yang memanen coklat, mengangkut hasil panen kopi. Terlihat sekali bagaimana harmonisnya mereka dengan alamnya. Bagaimana alam ini yang selalu tak henti-hentinya memberikan kebahagian dan berkah bagi umat manusia.
Dengan kondisi bajuku yang sudah basah oleh keringat selama perjalanan, akhirnya kami tiba di Damar Kaca. Damar Kaca adalah talang pertama yang akan kita temui disaat mengikuti jalan setapak menuju talang-talang berikutnya. “Masih nanjak pak, klo mau ke talang berikutnya??”. “Sudah ngga ada tanjakan yang curam kayak tadi, tanjakannya sudah sedikit lagi kok” jawab Mas Agus. Di Damar Kaca kami beristirahat sejenak di homestay yang dibuat oleh anggota SHK.

Sambil menunggu teman-teman beristirahat, saya dan tiga rekan SHK melihat dua buah lokasi air terjun yang terdapat di Damar Kaca. Karena jalan setapaknya sudah lama tidak dilewati manusia, maka tidak heran jika jalannya sekarang sudah mulai semak belukar. Pertama saya sempat jengkel karena harus naik turun dijalan setapak yang semak belukar.
Kondisi air terjun di Damar Kaca tidak terlalu besar air yang mengalir. Dan karena tadi pagi baru saja hujan, air-air yang mengalir masih keruh.

Sehabis makan siang di homestay, kami melanjutkan perjalanan ke Muara Tiga yaitu lokasi talang tersenyum, talang tengah dan talang pelita. Yang membuat hati lega adalah perjalanan menuju talang ini selalu menurun dan tidak terlalu curam. Karena lokasinya berada ditengah lembah, maka kita bisa melihat gubuk dan kebun masyarakat yang ada didalam kawasan tahura dari atas.

Sepanjang perjalanan yang kami lalui, kondisi lahan yang berhutan sudah jarang sekali terlihat. Apalagi pohon-pohon yang berdiameter besar. Sepanjang jalan yang dilewati didominasi tanaman coklat dan kopi. Saya tidak tahu apakah dulunya berhutan lebat.



Tak lama berjalan menuruni lembah kami sudah sampai di talang tersenyum. Talang ini cukup ramai karena ada sekitar 20 an gubuk pemukiman yang berdekatan antara yang satu dengan yang lainnya. Hampir semua gubuk yang dibangun berbentuk panggung. Model gubuk ini adalah khas Sumatera Bagian Selatan. Karena yang pertama kali memasuki wilayah ini adalah orang dari Sumbagsel (Semende), maka para pendatang baru mengikuti model bangunan yang sudah ada.

Digubuk ini mereka hanya tempat beristirahat dan tempat penyimpanan sementara hasil-hasil pertanian. Keluarga besar mereka ada yang tinggal di kota. Dan ada juga yang membawa anak istri ke talang. Kemungkinan hal ini dikarenakan factor ekonomi mereka.

Di Muara Tiga kami menginap dua malam disana. Tidur disebuah gubuk milik Pak Kasmudin di talang pelita. Heningnya suasana kebun yang berada ditengah hutan membuat kita bisa beristirahat dan menenangkan pikiran serta menjauhkan diri dari kepenatan kota. Sarapan dan makan malam dengan ikan asin goreng dan sambal terasi yang pedasnya huah…bikin betah. Tampat makan yang paling saya senangi dan bisa menambah selera makan saya, yaitu makan di tengah hutan atau di kebun. Ehhmmm.. lauk apapun deh, pasti nikmat.

Selama dua hari di Muara Tiga, saya sempat mengunjungi air terjun Talang Pelita yang ketinggiannya hampir 20 an meter dan cukup besar airnya. Saya bisa melihat betapa semangatnya anggota kelompok SHK dalam melakukan kerjasama dan koordinasi antar sesama serta mengkoordinir anggota. Hal ini terlihat ketika malam-malam mereka harus rapat kelompok yang lokasi antar talang cukup jauh dan gelap, tapi mereka tetap hadir agar bisa mendengar informasi dan perkembangan kegiatan-kegiatan SHK. Pada hari minggu anggota SHK bergotong royong membersihkan serta melebarkan jalan-jalan setapak dari dan menuju talang-talang mereka agar mudah dilalui untuk membawa hasil-hasil pertanian atau nanti jika konsep ekowisata yang mereka bangun sudah banyak pengunjung yang datang, pengunjung tidak kecewa datang ke talang-talang mereka dan bisa menikmati suasana kebun yang asri.

Ketika saya melihat semangat itu, saya merasa terharu dan berharap apa yang mereka perjuangkan bisa tercapai. Pengakuan dan diberinya hak untuk mengelola kawasan oleh masyarakat didalam kawasan dan disekitar kawasan tahura dalam hal ini SHK Lestari bisa terwujud.

Seperti yang disampaikan Pak Gondo yaitu salah satu tokoh masyarakat di Talang Tersenyum ketika kami berdialog dengan beliau. Dengan nada pasti dan jelas beliau berucap “Saya harap untuk penyelenggara kedepan itu (pemerintah) bisa bermasyarakat. Kasihan kepada masyarakatlah… mereka sudah terombang-ambing”.





1 comment:

  1. daerah tahura wan abdul rachman sering saya datangi mas,,,, tempatnya bagus,, ada 7 air terjun...
    tp sayang foto air terjunnya ga di upload...

    ReplyDelete