Bapa kami, Uang, yang ada di bumi, Dimuliakanlah namamu, Perkuatkanlah kerajaanmu.
Engkau yang mengatur raja-raja, Pemerintah-pemerintah, mereka yang harus mengambil keputusan.
Tutup mata dan hati mereka terhadap penderitaan rakyat dan penghancuran lingkungan hidup.
Semoga di bawah bimbinganmu perkebunan sawit dan pertambangan bertambah banyak.
Berilah kami cukup orang yang mudah dibutakan,
melihat masa depannya
dengan pengantaraan pemberianmu sendiri.
Berilah kami cukup orang
yang mau bekerja dengan gaji rendah tanpa mengomel.
Aturlah bahwa mereka semua kehilangan tanahnya
dan berhutang kepada kami
agar mereka selama-lamanya terikat.
Jangan membawa kami kepada pertobatan,
tetapi tolonglah agar pemimpin-pemimpin agama-agama,
dan tokoh-tokoh masyarakat tetap bersedia
memberkati atau mendukung usaha-usaha kami
sesudah terima sumbangan secukupnya.
Amien….
PY, 14 November 2008
Doa itu saya dapatkan ketika saya berada disebuah kampung kecil di Kalimatan Barat, tepatnya di Desa Pendaun, Kecamatan Simpang Hulu, Ketapang. Pada tanggal 10 Desember 2009 yang lalu saya berangkat ke kampung tersebut untuk melihat sebuah pertemuan adat masyarakat adat dayak disana. Masyarakat adat yang ada disini adalah masyarakat Dayak Kualatn atau sering juga disebut Masyarakat Dayak Simpang. Ada seorang Pastor, yaitu Pastor Yeri dari Menjalin yang menempelkan sebuah kertas bertuliskan "Doa Seorang Investor Kalimantan" di dinding tempat pertemuan.
Disaat tiba di kampung yang berjumlah 40 KK ini, pemandangan kampungnya hanya biasa-biasa saja. Tapi siapa sangka, kampung ini mempunyai story yang sangat menarik dalam hal menjaga hutan adatnya dan menolak beberapa investor yang datang, yaitu perkebunan kelapa sawit, pertambangan bauksit dan emas.
Perjuangan penolakan sawit dikampung ini sudah dimulai sejak tahun 80 an, yaitu pada tahun 1988. Pada saat itu beberapa perusahaan sudah ingin membeli tanah mereka untuk ditanami perkebunan kelapa sawit. Anak-anak muda yang berasal dari kampung tersebut yang masih berada di bangku kuliah mencoba menjelaskan kepada orang-orang tua mereka apa saja dampak yang akan mereka dapatkan jika perkebunan sawit masuk ke kampung mereka. Mendengar penjelasan tersebut, seluruh masyarakat yang ada di kampung bersepakat menolak masuknya perkebunan sawit.
Dari tahun ke tahun intervensi masuknya perkebunan kelapa sawit semakin besar. Iming-iming yang diberikan kepada masyarakat cukup banyak. Ada beberapa masyarakat sekitar kampung mereka yang sudah tergiur dengan uang yang akan mereka terima jika mereka menjual tanahnya. Begitu juga akan dibangunnya beberapa fasilitas di kampung seperti jalan, tempat ibadah dan fasilitas umum lainnya.
Melihat semakin besarnya itervensi yang mereka rasakan dan merasa kawasan dan tanah mereka akan terancam oleh konversi perkebunan kelapa sawit, pada tahun 2007 masyarakat adat pendaun mengadakan ritual khusus untuk melakukan penolakan sawit. Mereka mengadakan ritual untuk memohan doa kepada para pendahul dan leluhur mereka untuk membantu mereka melakukan penolakan konversi sawit.
Karena selalu melakukan penolakan masuknya investasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, Desa Pendaun dianggap desa pembangkang oleh pemerintah daerah. Dianggap desa yang tidak mau menerima program pembangunan masyarakat dan pembangunan desa. Dampak yang mereka rasakan sekarang adalah tidak adanya perhatian pemerintah. Pemerintah daerah tidak peduli lagi dengan pembangunan desa tersebut, jalan desa sampai dengan sekarang tidak diperhatikan. Sampai sekarang jalan yang ada dikampung-kampung masih tanah dan berlumpur. Padahal jarak kampung ini dengan jalan raya sekitar 2 km. Sehingga masyarakat desa kesulitan untuk mengangkut hasil-hasil pertanian yang ada diladang mereka. Bukan itu saja, ada beberapa cerita dari masyarakat bahwa pemuda-pemuda desa yang sudah lulus kuliah dan akan ikut PNS tidak pernah diluluskan oleh Pemda setempat.
Hutan adat yang dilindungi
Hutan atau ‘torunth’ dalam bahasa lokal di Desa Pendaun adalah pusaka bagi mereka, karena sumberdaya alam yang ada didalamnya tidak sembarangan orang bisa mengambil isi didalamnya.
Ada beberapa kategori hutan yang mereka pahami di kampung ini. Diantaranya adalah:
1. Rimba, yaitu hutan yang tidak terlalu luas
2. Rimba magong, yaitu kawasan hutan yang luas yang biasanya dijadikan ‘tona colap’ atau hutan adat
3. Tembawang, yaitu bekas ladang, bekas pemukiman masa lalu yang ditandai dengan tanaman buah-buahan atau tanaman keras
4. Gupongh, yaitu rimba yang tidak dikerjakan karena ada kekhususan. Misalnya, untuk menjaga mata air, untuk tanaman buah-buahan atau tanaman yang disayangi/tidak boleh dirusak
Selain itu juga ada sebutan ‘bawas’ yaitu lahan bekas ladang. Bawas dikategrikan menjadi dua yaitu bawas muda (1-4 tahun lamanya ditinggal oleh sang pemilik) dan bawas tua atau ‘jamih muntuh’ (diatas 5 tahun).
Karena keberadaan hutan mereka semakin terancam, maka mereka akhirnya membuat aturan adat untuk menjadikan sebuah kawasan menjadi kawasan hutan adat atau sering disebut sebagai ‘tona colap’, dimana semua orang tidak boleh mengolah kawasan tersebut. ‘Tona’ artinya tanah, ‘colap’ artinya dingin. Mereka ingin hutan yang dilindungi itu akan membuat tanah yang ada dibawahnya selalu dingin. Menjadi hutan seperti apa adanya. Tidak boleh diganggu keberadaannya.
Masyarakat Desa Pendaun juga mempercayai adanya pohon keramat yang ada di kampung mereka yang mereka sebut batu besi, karena pohon itu tumbuh didekat batu yang sangat besar. Jika buah yang ada di pohon tersebut sedikit maka hasil pertanian mereka juga sedikit. Begitupun sebaliknya. Pohon yang buahnya berwarna merah ini kabarnya hanya ada ditempat tersebut. Mereka tidak menemukan pohon yang sama ketika masuk kedalam hutan yang ada di kampung mereka.
Didalam ritual mereka, masyarakat pendaun juga mempunyai upacara khusus untuk melindungi bumi dan beserta isinya. Ada tiga kategori upacara atau ritual yang mereka lakukan dan tingkatan makna yang berbeda.
1. Nukat Bumi : Memperbaiki alam dan bumi yang sudah mulai rusak. Ritual ini mempersembahkan 7 ekor babi dan ayam 14 ekor. Dipimpin oleh 1 Borent khusus (dukun) dan 2 asistennya. Terakhir Nukat Bumi dilakukan pada tahun 1999
2. Mokantona: Tingkatannya dibawah Nukat Bumi, hanya untuk wilayah tertentu. Seperti satu sungai tidak boleh diambil ikannya oleh siapapun. Bagi siapapun yang melanggar akan terkena sanksinya yaitu berupa sakit ataupun meninggal dunia. Ritual ini mempersembahkan 5 ekor babi dan 7 ekor ayam.
3. Bebantan: Berdoa apa yang diharapkan bisa berhasil. Syaratnya tidak boleh ‘belayu’ atau tidak boleh memotong tanaman atau membunuh hewan seama 1 hari – 1 bulan. Tergantung dengan borent-nya.
Masyarakat Desa Pendaun sekarang ini merasakan bumi dan beserta isinya sudah semakin rusak. Mereka sudah mulai memikirkan untuk mengadakan kembali ritual Nukat Bumi untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memudahkan rezeki dan tidak murka. Mereka juga ingin mengingatkan kembali seluruh masyarakatnya untuk menjaga bumi dan isinya. Hidup bersahabat dengan alam dan lingkungan.
Mendengar cerita-cerita mereka saya sangat kagum akan kearifan lokal yang ada. Bagaimana masyarakat adat yang mencoba bertahan untuk hidup sederhana dan melindungi sesama. Berusaha menjaga bumi dan alam ini dengan kepercayaan yang mereka miliki.
Sementara para kapitalis dan penguasa. Para pejabat di negeri ini, tidak akan peduli tentang itu. Yang mereka cari adalah untung sebesar-besarnya. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk istri dan anaknya…. Wallahu’alam…
Saya hanya bisa berdoa. “Tuhan… Jangan kabulkan Doa para investor itu…Bantulah saudara-saudara saya, keluarga saya yang ada diseluruh pelosok nusantara ini untuk melawan para penjahat hutan, penjilat kekuasan dan para pejabat negara yang haus akan harta ini... Berilah mereka kekuatan untuk melawan. Jangan sampai mereka ditindas oleh orang-orang yang beritelektual tapi serakah ini.. Amien…”
Wednesday, December 23, 2009
Tuesday, December 8, 2009
Sebuah Catatan di Climate Defender Camp: Susahnya Menjaga Alam dan Hutan Indonesia
Dua minggu yang lalu saya berkesempatan berangkat ke Riau dan bergabung dengan teman-teman activist Greenpeace dan masyarakat lokal yang berada disekitar Desa Teluk Meranti, Palalawan, Riau.
Climate Defender Camp didirikan tepat di salah satu lokasi lahan gambut terluas di Riau, yaitu Semenanjung Kampar. Camp ini didirikan sebagai bentuk protes Greenpeace terhadap salah satu perusahaan pulp and paper terbesar di dunia yaitu RAPP yang membuka konsesi HTI dilahan gambut. Selain itu juga Greenpeace bersama-sama masyarakat lokal mencoba mempertahankan ekosistem lahan gambut yang ada tetap terjaga dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun damm untuk membendung kanal-kanal yang dibuat oleh perusahaan maupun masyarakat yang tujuannya untuk mengeringkan lahan gambut tersebut sebelum diolah menjadi lahan perkebunan.
Selama di Riau yaitu di Palalawan (Sungai Kampar) dan Perawang (Sungai Siak), saya banyak menyaksikan bagaimana hutan dataran rendah di Riau porak poranda oleh perusahaan-perusahaan rakus akan kayu. Baik itu penebangan yang dilakukan secara legal (mendapat izin resmi) maupun penebangan illegal (illegal loging).
Selain beraktivitas di camp, Greenpeace juga melakukan aksi protes langsung di lokasi lahan milik perusahaan maupun di pelabuhan bongkar muat ekspor produk pulp and paper. Ada dua perusahaan yang diprotes oleh Greenpeace yaitu RAPP dan Indah Kiat Pulp and Paper, Group Sinar Mas. Greenpeace melakukan protes karena kedua perusahaan ini masih menggunakan kayu alam sebagai bahan baku produk yang mereka bikin. Selain itu juga izin konsesi HTI yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dinilai masih cacat hukum.
Saya menyaksikan langsung kedua aksi tersebut, karena saya diminta oleh Greenpeace sebagai videografernya.
Aksi pertama (12/11) dilakukan di lokasi landclearing milik RAPP di Semenanjung Kampar. Greenpeace memasang spanduk bertuliskan "OBAMA YOU CANT STOP THIS" (Videonya bisa lihat disini). Aksi ini dilakukan karena Greenpeace memprotes izin yang dikeluarkan oleh Dephut untuk konsisi HTI RAPP yang berada dilokasi lahan gambut dalam, bahkan dilahan tersebut ditemukan lahan gambut sedalam 10 meter. Greenpeace meminta para pemimpin negara khusus Presiden SBY dan Obama serius menanggapi perubahan iklim dan pemanasan global dari deforestasi ketika Obama datang ke Singapura beberapa minggu yang lalu.
Terakhir izin ini dibekukan oleh Menteri Kehutanan yang baru karena diindikasikan melanggar UU kehutanan dan akan dikaji lebih dalam. RAPP dihimbau untuk menghentikan aktivitasnya di konsesi yang berada di Semenanjung Kampar. Di Riau, izin ini juga bermasalah, ternyata Bupati Siak dan Palalawan tidak memberikan rekomendasi untuk lokasi konsesi perusahaan tersebut. Kajian AMDAL nya juga berantakan. Gubenur Riau waktu itu langsung saja merekomendasikan ke Menhut (kala itu masih Menhut MS Kaban), dan izinnya pun keluar.
Ketika saya tinggal di camp milik Greenpeace di Desa Teluk Meranti, Palalawan, Riau. Berbagai cara dan upaya orang-orang perusahaan mencoba menghasut masyarakat lokal untuk mengusir Greenpeace dari sana. Mulai dari memberikan bantuan mie, beras, membooking sebuah penginapan yang ada didesa selama 3 bulan walapun tidak ditempatin (ini untuk menyulitkan ketika tamu Greenpeace ataupun jurnalis datang ke lokasi dan tidak mempunyai lokasi penginapan). Selain masyarakat lokal perusahaan juga mendesak Polres Palalawan untuk menangkap para activist asing termasuk journalis asing dan mendeportasi mereka ke negaranya serta mendesak Greenpeace untuk menutup camp. Masyarakat diintimidasi, siapapun yang mendukung Greenpeace akan diusir dari kampung, bagi PNS ataupun guru, akan dipecat atau dimutasikan. Tapi hebatnya, ketika para activist sudah packing dan menaroh barang ke kapal, sekitar 400 an orang datang dengan menggunakan kapal dan menahan para activist. Masyarakat lokal ingin Greenpeace tetap ada di kampung mereka. Mereka pun berteriak "Jika ingin Greenpeace pergi, RAPP harus pergi terlebih dahulu dari kampung kami!!". Polisi yang sudah menggiring mereka ke kapal tidak bisa berbuat apa-apa ketika seluruh masyarakat lokal tersebut mengangkut kembali barang-barang milik activisit kembali ke camp.
Aksi kedua (27/11) dilakukan dilokasi pelabuhan milik Idah Kiat Pulp and Paper, Group Sinar Mas (Videonya bisa lihat disini atau disini). Greenpeace menaiki 4 buah crane milik perusahaan tersebut untuk meghentikan proses ekspor barang yang dilakukan indah kiat dan memasang spanduk 'CLIMATE CRIME'. Greenpeace memprotes perusahaan tersebut masih menggunakan kayu alam sebagai bahan baku untuk produk yang mereka bikin. Disaat kita mengambil gambar aksi tersebut, dipelabuhan tersebut terdapat puluhan tongkang yang memuat ribuan kubik kayu gelondongan, dan beberapa tongkang tersebut tidak memuat kayu akasia melainkan kayu alam. Beberapa tongkang lainnya memuat kayu akasia tapi ditengah2nya memuat kayu gelondongan yang diameternya kurang lebih 1 meter.
Para security berhasil menurunkan para activist di 3 buah crane. Tapi tidak berhasil untuk crane yang satunya, para activist Greenpeace berhasil menguasai crane tersebut selama 26 jam. Mereka tidak berani berlaku kasar karena para journalis terus memantau dari boat apa yang dilakukan oleh perusahaan terhadap para activist. Saya dan beberapa teman media lainnya tidak luput dari intimidasi para security, mulai dari bentakan untuk pergi dan tidak merekam activitas Greenpeace, juga boat kami dikelilingi oleh boat security berkali-kali untuk membuat gelombang sehingga boat kami bergoyang hebat dan proses pengambilan gambar tidak bisa dilakukan.
Akibat tidak bisa ekspor barang, Sinar Mas mengclaim rugi sebesar 33 milyar. Tapi saya pikir kerugian itu tidak sebanding dengan kerugian yang diterima oleh masyarakat lokal dan masyarakat indonesia lainnya yang hutannya sudah diporak-porandakan oleh Sinar Mas. Mulai dari hutan Sumatera, Kalimantan hingga ke Papua. Beberapa bulan yang lalu saya juga menyaksikan masyarakat di TN Danau Sentarum yang terancam akan kehilangan mata pencaharian sebagai petani madu organik dan nelayan ikan tawar di danau sentarum. Danau sentarum saat ini sudah dikelilingi oleh perkebunan sawit milik Sinar Mas.
Beberapa orang menyatakan bahwa 100% Polisi dan aparat hukum lainnya pasti berkolusi dengan perusahaan APRIL dan Sinar Mas. Saya tidak tahu apakah pernyataan itu benar atau tidak. Tapi yang saya alami selama disana adalah sebagai berikut:
Ketika di camp, hampir setiap hari polisi datang ke camp, mulai dari Polsek, Polres hingga dari Polda yang datang. Menanyakan Greenpeace itu apa, buat apa datang kesini, bla...bla... hingga berupaya melakukan pengusiran (dengan alasan dievakuasi karena situasinya tidak kondusif, masyarakat tidak setuju dengan adanya Greenpeace). Terakhir melakukan penangkapan para journalis dan mendeportasikannya (Journalist dari India dan Italy). Belakangan seminggu setelah kejadian itu Pak Boediono datang ke Italy, beliau diprotes keras oleh warga Italy dan para activist disana.
Kita saya dan beberapa rekan journalist sedang mendokumentasikan aksi para activist Greenpeace yang memanjat crane di pelabuhan milik perusahaan Sinar Mas, para security menintimidasi kami dengan cara mengelilingi boat kami beberapa kali untuk membuat gelombang sehingga boat yang kami tumpangi bergoyang hebat sehingga kami tidak bisa melakukan pengambilan gambar. Kami juga dibentak-bentak dan diusir untuk pergi dari lokasi serta tidak mengambil gambar. Polisi saat itu banyak sekali dilokasi pelabuhan milik Sinar Mas. Mereka HANYA menonton tindakan para security terhadap kami. TIDAK ADA tindakan mereka dalam upaya melindungi kami yang merupakan salah satu rakyat sipil dan masyarakat Indonesia.
Ketika di Kantor POLDA Riau, disaat saya mendokumentasikan para activist asing yang ditangkap. Seorang Perwira di Satuan Intel POLDA memberikan amplop kepada wartawan lokal didalam ruangannya dan saya sempat merekam kegiatan itu karena saya sewaktu itu juga ikut masuk bersama para wartawan tersebut. Sang perwira sempat bertanya kepada saya "kok direkam?? kamu darimana" beliau menyamperi saya ketika wartawan lainnya sudah keluar dengan mengantongi amplop tersebut. Beliau bertanya kepada saya "darimana? ini buat uang pulsa" lanjutnya sambil memberikan amplop kearah saya. Dengan senyum manis saya menjawab "tidak pak, terima kasih, pulsa saya masih ada". Saya pun ikut keluar dari ruangan tersebut dan tersenyum miris.
Setelah pulang dari POLDA Riau, saya menanyakan kepada salah satu dari mereka klo itu dari siapa dan berapa totalnya didalam amplop tersebut: "Kamu tahu sendirilah, apa sih yang ngga bisa dilakukan APRIL dan Sinar Mas di Riau ini. Riau ini milik mereka. Totalnya kurang lebih 1 juta satu amplop" jawabnya.
Pada aksi pertama dan untuk research Greenpeace sempat menyewa helikopter milik POLDA dan Rumah Sakit (tentunya tidak tahu sebelumnya klo Greenpeace yang sewa helicopter tersebut).
Ketika mereka mengetahui bahwa Greenpeace yang menyewa helikopter, saya mendapatkan informasi bahwa pilot yang membawa helikopter POLDA ‘dihajar’ oleh Provost dan Helikopter milik rumah sakit tersebut tidak boleh terbang, agent dan pilotnya dimarah-marahin karena membawa Greenpeace terbang. Bukan itu saja, untuk mengantisipasi Greenpeace jika nanti bisa menyewa helikopter dari luar Riau, dalam waktu sekitar 3 hari setelah kejadian itu kabarnya Gubernur Riau mengeluarkan Perda Helikopter komersil tidak boleh terbang diwilayah Riau. Informasi ini saya dapat dari beberapa orang yang berada di Riau, kepastian benar atau tidak memang harus dibuktikan dan dikaji lebih lanjut.
Sepertinya begitulah pemandangan yang akan selalu terlihat jika sebuah perusahaan yang berkorporasi dengan penjabat negara dan pejabat pemerintah. Langkah mereka seakan-akan tidak bisa dihentikan. Sepertinya mimpi kali ya, jika negara kita tercinta ini tercipta sebuah Good Governance. Pemerintah yang baik, aparat hukum yang baik, melindungi rakyat dan membela rakyat banyak.
Yang lebih menyedihkan lagi bagi saya sekarang adalah Sinar Mas mengadakan acara Green Festival di Senayan, Jakarta. Mengajak masyarakat ikut peduli perubahan iklim dan pemanasan global. Memasang iklan dan berita kegiatannya besar-besaran dalam seminggu ini diharian KOMPAS.
Saya bingung kok bisa perusahaan perusak alam Indonesia ini bisa mengadakan acara Green Festival dan ‘diamini’ oleh pemerintah kita?
Apakah tidak ada lembaga lainnya di negara kita ini ataupun perusahaan lain yang lebih bersahabat dengan alam dan lingkungan yang bisa mengadakan acara tersebut? Wallahu’alam…
Climate Defender Camp didirikan tepat di salah satu lokasi lahan gambut terluas di Riau, yaitu Semenanjung Kampar. Camp ini didirikan sebagai bentuk protes Greenpeace terhadap salah satu perusahaan pulp and paper terbesar di dunia yaitu RAPP yang membuka konsesi HTI dilahan gambut. Selain itu juga Greenpeace bersama-sama masyarakat lokal mencoba mempertahankan ekosistem lahan gambut yang ada tetap terjaga dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan adalah membangun damm untuk membendung kanal-kanal yang dibuat oleh perusahaan maupun masyarakat yang tujuannya untuk mengeringkan lahan gambut tersebut sebelum diolah menjadi lahan perkebunan.
Selama di Riau yaitu di Palalawan (Sungai Kampar) dan Perawang (Sungai Siak), saya banyak menyaksikan bagaimana hutan dataran rendah di Riau porak poranda oleh perusahaan-perusahaan rakus akan kayu. Baik itu penebangan yang dilakukan secara legal (mendapat izin resmi) maupun penebangan illegal (illegal loging).
Selain beraktivitas di camp, Greenpeace juga melakukan aksi protes langsung di lokasi lahan milik perusahaan maupun di pelabuhan bongkar muat ekspor produk pulp and paper. Ada dua perusahaan yang diprotes oleh Greenpeace yaitu RAPP dan Indah Kiat Pulp and Paper, Group Sinar Mas. Greenpeace melakukan protes karena kedua perusahaan ini masih menggunakan kayu alam sebagai bahan baku produk yang mereka bikin. Selain itu juga izin konsesi HTI yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dinilai masih cacat hukum.
Saya menyaksikan langsung kedua aksi tersebut, karena saya diminta oleh Greenpeace sebagai videografernya.
Aksi pertama (12/11) dilakukan di lokasi landclearing milik RAPP di Semenanjung Kampar. Greenpeace memasang spanduk bertuliskan "OBAMA YOU CANT STOP THIS" (Videonya bisa lihat disini). Aksi ini dilakukan karena Greenpeace memprotes izin yang dikeluarkan oleh Dephut untuk konsisi HTI RAPP yang berada dilokasi lahan gambut dalam, bahkan dilahan tersebut ditemukan lahan gambut sedalam 10 meter. Greenpeace meminta para pemimpin negara khusus Presiden SBY dan Obama serius menanggapi perubahan iklim dan pemanasan global dari deforestasi ketika Obama datang ke Singapura beberapa minggu yang lalu.
Terakhir izin ini dibekukan oleh Menteri Kehutanan yang baru karena diindikasikan melanggar UU kehutanan dan akan dikaji lebih dalam. RAPP dihimbau untuk menghentikan aktivitasnya di konsesi yang berada di Semenanjung Kampar. Di Riau, izin ini juga bermasalah, ternyata Bupati Siak dan Palalawan tidak memberikan rekomendasi untuk lokasi konsesi perusahaan tersebut. Kajian AMDAL nya juga berantakan. Gubenur Riau waktu itu langsung saja merekomendasikan ke Menhut (kala itu masih Menhut MS Kaban), dan izinnya pun keluar.
Ketika saya tinggal di camp milik Greenpeace di Desa Teluk Meranti, Palalawan, Riau. Berbagai cara dan upaya orang-orang perusahaan mencoba menghasut masyarakat lokal untuk mengusir Greenpeace dari sana. Mulai dari memberikan bantuan mie, beras, membooking sebuah penginapan yang ada didesa selama 3 bulan walapun tidak ditempatin (ini untuk menyulitkan ketika tamu Greenpeace ataupun jurnalis datang ke lokasi dan tidak mempunyai lokasi penginapan). Selain masyarakat lokal perusahaan juga mendesak Polres Palalawan untuk menangkap para activist asing termasuk journalis asing dan mendeportasi mereka ke negaranya serta mendesak Greenpeace untuk menutup camp. Masyarakat diintimidasi, siapapun yang mendukung Greenpeace akan diusir dari kampung, bagi PNS ataupun guru, akan dipecat atau dimutasikan. Tapi hebatnya, ketika para activist sudah packing dan menaroh barang ke kapal, sekitar 400 an orang datang dengan menggunakan kapal dan menahan para activist. Masyarakat lokal ingin Greenpeace tetap ada di kampung mereka. Mereka pun berteriak "Jika ingin Greenpeace pergi, RAPP harus pergi terlebih dahulu dari kampung kami!!". Polisi yang sudah menggiring mereka ke kapal tidak bisa berbuat apa-apa ketika seluruh masyarakat lokal tersebut mengangkut kembali barang-barang milik activisit kembali ke camp.
Aksi kedua (27/11) dilakukan dilokasi pelabuhan milik Idah Kiat Pulp and Paper, Group Sinar Mas (Videonya bisa lihat disini atau disini). Greenpeace menaiki 4 buah crane milik perusahaan tersebut untuk meghentikan proses ekspor barang yang dilakukan indah kiat dan memasang spanduk 'CLIMATE CRIME'. Greenpeace memprotes perusahaan tersebut masih menggunakan kayu alam sebagai bahan baku untuk produk yang mereka bikin. Disaat kita mengambil gambar aksi tersebut, dipelabuhan tersebut terdapat puluhan tongkang yang memuat ribuan kubik kayu gelondongan, dan beberapa tongkang tersebut tidak memuat kayu akasia melainkan kayu alam. Beberapa tongkang lainnya memuat kayu akasia tapi ditengah2nya memuat kayu gelondongan yang diameternya kurang lebih 1 meter.
Para security berhasil menurunkan para activist di 3 buah crane. Tapi tidak berhasil untuk crane yang satunya, para activist Greenpeace berhasil menguasai crane tersebut selama 26 jam. Mereka tidak berani berlaku kasar karena para journalis terus memantau dari boat apa yang dilakukan oleh perusahaan terhadap para activist. Saya dan beberapa teman media lainnya tidak luput dari intimidasi para security, mulai dari bentakan untuk pergi dan tidak merekam activitas Greenpeace, juga boat kami dikelilingi oleh boat security berkali-kali untuk membuat gelombang sehingga boat kami bergoyang hebat dan proses pengambilan gambar tidak bisa dilakukan.
Akibat tidak bisa ekspor barang, Sinar Mas mengclaim rugi sebesar 33 milyar. Tapi saya pikir kerugian itu tidak sebanding dengan kerugian yang diterima oleh masyarakat lokal dan masyarakat indonesia lainnya yang hutannya sudah diporak-porandakan oleh Sinar Mas. Mulai dari hutan Sumatera, Kalimantan hingga ke Papua. Beberapa bulan yang lalu saya juga menyaksikan masyarakat di TN Danau Sentarum yang terancam akan kehilangan mata pencaharian sebagai petani madu organik dan nelayan ikan tawar di danau sentarum. Danau sentarum saat ini sudah dikelilingi oleh perkebunan sawit milik Sinar Mas.
Beberapa orang menyatakan bahwa 100% Polisi dan aparat hukum lainnya pasti berkolusi dengan perusahaan APRIL dan Sinar Mas. Saya tidak tahu apakah pernyataan itu benar atau tidak. Tapi yang saya alami selama disana adalah sebagai berikut:
Ketika di camp, hampir setiap hari polisi datang ke camp, mulai dari Polsek, Polres hingga dari Polda yang datang. Menanyakan Greenpeace itu apa, buat apa datang kesini, bla...bla... hingga berupaya melakukan pengusiran (dengan alasan dievakuasi karena situasinya tidak kondusif, masyarakat tidak setuju dengan adanya Greenpeace). Terakhir melakukan penangkapan para journalis dan mendeportasikannya (Journalist dari India dan Italy). Belakangan seminggu setelah kejadian itu Pak Boediono datang ke Italy, beliau diprotes keras oleh warga Italy dan para activist disana.
Kita saya dan beberapa rekan journalist sedang mendokumentasikan aksi para activist Greenpeace yang memanjat crane di pelabuhan milik perusahaan Sinar Mas, para security menintimidasi kami dengan cara mengelilingi boat kami beberapa kali untuk membuat gelombang sehingga boat yang kami tumpangi bergoyang hebat sehingga kami tidak bisa melakukan pengambilan gambar. Kami juga dibentak-bentak dan diusir untuk pergi dari lokasi serta tidak mengambil gambar. Polisi saat itu banyak sekali dilokasi pelabuhan milik Sinar Mas. Mereka HANYA menonton tindakan para security terhadap kami. TIDAK ADA tindakan mereka dalam upaya melindungi kami yang merupakan salah satu rakyat sipil dan masyarakat Indonesia.
Ketika di Kantor POLDA Riau, disaat saya mendokumentasikan para activist asing yang ditangkap. Seorang Perwira di Satuan Intel POLDA memberikan amplop kepada wartawan lokal didalam ruangannya dan saya sempat merekam kegiatan itu karena saya sewaktu itu juga ikut masuk bersama para wartawan tersebut. Sang perwira sempat bertanya kepada saya "kok direkam?? kamu darimana" beliau menyamperi saya ketika wartawan lainnya sudah keluar dengan mengantongi amplop tersebut. Beliau bertanya kepada saya "darimana? ini buat uang pulsa" lanjutnya sambil memberikan amplop kearah saya. Dengan senyum manis saya menjawab "tidak pak, terima kasih, pulsa saya masih ada". Saya pun ikut keluar dari ruangan tersebut dan tersenyum miris.
Setelah pulang dari POLDA Riau, saya menanyakan kepada salah satu dari mereka klo itu dari siapa dan berapa totalnya didalam amplop tersebut: "Kamu tahu sendirilah, apa sih yang ngga bisa dilakukan APRIL dan Sinar Mas di Riau ini. Riau ini milik mereka. Totalnya kurang lebih 1 juta satu amplop" jawabnya.
Pada aksi pertama dan untuk research Greenpeace sempat menyewa helikopter milik POLDA dan Rumah Sakit (tentunya tidak tahu sebelumnya klo Greenpeace yang sewa helicopter tersebut).
Ketika mereka mengetahui bahwa Greenpeace yang menyewa helikopter, saya mendapatkan informasi bahwa pilot yang membawa helikopter POLDA ‘dihajar’ oleh Provost dan Helikopter milik rumah sakit tersebut tidak boleh terbang, agent dan pilotnya dimarah-marahin karena membawa Greenpeace terbang. Bukan itu saja, untuk mengantisipasi Greenpeace jika nanti bisa menyewa helikopter dari luar Riau, dalam waktu sekitar 3 hari setelah kejadian itu kabarnya Gubernur Riau mengeluarkan Perda Helikopter komersil tidak boleh terbang diwilayah Riau. Informasi ini saya dapat dari beberapa orang yang berada di Riau, kepastian benar atau tidak memang harus dibuktikan dan dikaji lebih lanjut.
Sepertinya begitulah pemandangan yang akan selalu terlihat jika sebuah perusahaan yang berkorporasi dengan penjabat negara dan pejabat pemerintah. Langkah mereka seakan-akan tidak bisa dihentikan. Sepertinya mimpi kali ya, jika negara kita tercinta ini tercipta sebuah Good Governance. Pemerintah yang baik, aparat hukum yang baik, melindungi rakyat dan membela rakyat banyak.
Yang lebih menyedihkan lagi bagi saya sekarang adalah Sinar Mas mengadakan acara Green Festival di Senayan, Jakarta. Mengajak masyarakat ikut peduli perubahan iklim dan pemanasan global. Memasang iklan dan berita kegiatannya besar-besaran dalam seminggu ini diharian KOMPAS.
Saya bingung kok bisa perusahaan perusak alam Indonesia ini bisa mengadakan acara Green Festival dan ‘diamini’ oleh pemerintah kita?
Apakah tidak ada lembaga lainnya di negara kita ini ataupun perusahaan lain yang lebih bersahabat dengan alam dan lingkungan yang bisa mengadakan acara tersebut? Wallahu’alam…
Wednesday, December 2, 2009
Imbal Jasa Lingkungan: Mengubah Lumpur Menjadi Listrik
Pada tanggal 3-7 November 2009 saya berkesempatan kembali lagi ke Sumber Jaya, Lampung Barat. Ini adalah kesempatan yang ketiga kalinya saya mengunjungi daerah tersebut. Daerah yang sejuk dan menyimpan banyak potensi alam.
Kunjungan saya yang ketiga ini adalah untuk melihat dan merekam sebuah pertukaran imbal jasa lingkungan antara masyarakat lokal dengan PLTA Way Besai. Imbal jasa ini berikan karena masyarakat disalah satu kampung bersedia untuk menghijaukan kembali lahan mereka dan bersedia untuk mengurangi erosi dan sedimentasi dikawasan hulu sungai agar pasokan air untuk PLTA tetap terjaga dan sedimentasi di bendungan PLTA Way Besai dapat dikurangi.
Kampung yang menerima imbal jasa ini adalah Dusun Buluh Kapur, Pekon Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. PLTA Way Besai memberikan sebuah mesin microhydro berkapasitas 5000 Am untuk membantu penerangan sekitar 40 KK di kampung tersebut. Dengan difasilitasi oleh ICRAF, kegiatan yang sudah lama direncanakan ini akhirnya bisa direalisasikan.
Bagi saya pribadi ini merupakan sebuah kesepakatan awal yang baik. Dimana masyarakat lokal diajak dan dilibatkan oleh lembaga ataupun perusahaan dalam menjaga lingkungan disekitar mereka. Sehingga hasilnyapun sama-sama menguntungkan.
Bagi PLTA Way Besai, keberadaan sedimentasi menjadi ancaman yang sangat besar terhadap debit air untuk menggerakkan turbin. Akbibat adanya lumpur turbin juga sering tidak beroperasi karena rusak. Tak jarang hanya satu turbin yang dijalankan. Kapasitas PLTA Way Besai saat ini adalah 2 x 45 MW. Biaya yang diperlukan untuk pengerukan lumpur yang ada didalam sungai juga sangat besar. Dulu biasanya pengerukan dilakukan sekali dalam 1 tahun, sekarang harus dilakukan 2-3 kali dalam setahun. Volume endapan lumpur bisa mencapai 2000 meter kubik.
Para petani yang tergabung dalam Kelompok Peduli Sungai yang seluruh anggotanya adalah warga dari Dusun Buluh Kapur, melakukan beberapa metode dan teknik didalam berladang di kawasan hulu sungai. Mulai dari menanam strip rumput yaitu rumput sataria dibawah tajuk-tajuk pohon kopi milik mereka, membuat lobang-lobang angin atau dalam bahasa setempat disebut ‘rorak’, dibeberapa tempat mereka juga membuat guludan agar lapisan tanah bagian atas, lapisan tersubur tidak terbawa air hujan. Tidak lupa mereka juga membangun cek damm di parit pinggir kebun mereka sebagai penahan aliran air.
Pengetahuan tentang cara mengurangi laju erosi dengan berbagai teknik konservasi lahan sudah lama diketahui petani Buluh Kapur. Pembuatan cek dam maupun penanaman rumput menjadi lebih intensif ketika mereka membentuk kelompok peduli sungai.
“Tanam rumput ini selain untuk menangkal erosi juga bisa untuk makan kambing, jadi saya tidak perlu jauh-jauh lagi mencari makanan ternak saya. Tujuan sebenarnya adalah menangkal erosi. Kalau hujan, tanah di kebun tergerus. Barisan rumput ini saya buat untuk menahan tanah agar tak terbawa air.” Ungkap Darsono, Ketua Kelompok Petani Peduli Sungai yang saat ini memiliki 21 ekor kambing etawa.
“Saya punya 21 ekor kambing. Gak perlu cemas mereka kelaparan. Walau seharian ikut royongan di kampung, rumput selalu ada. Mencarinyapun tidak jauh, cukup ke kebun dekat rumah” lanjutnya senang.
Dengan luas yang mencapai 44 ribu hektar, DAS Besai memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Lampung Barat. Dalam kesepakatan, disebutkan bahwa PLTA akan memberikan imbalan apabila target penurunan sedimen dapat tercapai. Salah satu komponen yang penting dalam kesepakatan tersebut adalah monitoring – pemantauan lingkungan. Disepakati anggota kelompok dilibatkan dalam pengambilan sampel air sungai sementara staf hidrologi ICRAF diminta bantuan untuk melakukan penghitungan.
“Walaupun hasil tidak mencapai 30%, kami sangat menghargai keseriusan petani dalam melaksanakan perjanjian. Direksi PLN sudah memutuskan untuk tetap memberikan kincir sebagai bentuk penghargaan kami.” Ungkap Antono, Manajer PLN wilayah SUMBAGSEL.
“Kami membentuk kelompok ini sebagai jawaban atas permintaan kerjasama dengan PLTA Way Besai. PLTA sering mengeluh karena dam penampungan airnya cepat dangkal tertimbun kiriman lumpur dari hulu.” Jelas Pak Darsono.
Saya sangat mengagumi kekompakkan masyarakat yang ada di Dusun Buluh Kapur ini. Negosiasi yang layak ditiru oleh masyarakat lainnya dalam hal imbal jasa lingkungan. Tentu saja konsepnya tidak harus sama. Yang penting adalah tujuannya sama yaitu sama-sama menjaga lingkungan sekitar dan sama-sama menguntungkan (mutualisme). Seperti yang terjadi dikampung ini, mereka bisa mengubah lumpur menjadi listrik :)
Kunjungan saya yang ketiga ini adalah untuk melihat dan merekam sebuah pertukaran imbal jasa lingkungan antara masyarakat lokal dengan PLTA Way Besai. Imbal jasa ini berikan karena masyarakat disalah satu kampung bersedia untuk menghijaukan kembali lahan mereka dan bersedia untuk mengurangi erosi dan sedimentasi dikawasan hulu sungai agar pasokan air untuk PLTA tetap terjaga dan sedimentasi di bendungan PLTA Way Besai dapat dikurangi.
Kampung yang menerima imbal jasa ini adalah Dusun Buluh Kapur, Pekon Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. PLTA Way Besai memberikan sebuah mesin microhydro berkapasitas 5000 Am untuk membantu penerangan sekitar 40 KK di kampung tersebut. Dengan difasilitasi oleh ICRAF, kegiatan yang sudah lama direncanakan ini akhirnya bisa direalisasikan.
Bagi saya pribadi ini merupakan sebuah kesepakatan awal yang baik. Dimana masyarakat lokal diajak dan dilibatkan oleh lembaga ataupun perusahaan dalam menjaga lingkungan disekitar mereka. Sehingga hasilnyapun sama-sama menguntungkan.
Bagi PLTA Way Besai, keberadaan sedimentasi menjadi ancaman yang sangat besar terhadap debit air untuk menggerakkan turbin. Akbibat adanya lumpur turbin juga sering tidak beroperasi karena rusak. Tak jarang hanya satu turbin yang dijalankan. Kapasitas PLTA Way Besai saat ini adalah 2 x 45 MW. Biaya yang diperlukan untuk pengerukan lumpur yang ada didalam sungai juga sangat besar. Dulu biasanya pengerukan dilakukan sekali dalam 1 tahun, sekarang harus dilakukan 2-3 kali dalam setahun. Volume endapan lumpur bisa mencapai 2000 meter kubik.
Para petani yang tergabung dalam Kelompok Peduli Sungai yang seluruh anggotanya adalah warga dari Dusun Buluh Kapur, melakukan beberapa metode dan teknik didalam berladang di kawasan hulu sungai. Mulai dari menanam strip rumput yaitu rumput sataria dibawah tajuk-tajuk pohon kopi milik mereka, membuat lobang-lobang angin atau dalam bahasa setempat disebut ‘rorak’, dibeberapa tempat mereka juga membuat guludan agar lapisan tanah bagian atas, lapisan tersubur tidak terbawa air hujan. Tidak lupa mereka juga membangun cek damm di parit pinggir kebun mereka sebagai penahan aliran air.
Pengetahuan tentang cara mengurangi laju erosi dengan berbagai teknik konservasi lahan sudah lama diketahui petani Buluh Kapur. Pembuatan cek dam maupun penanaman rumput menjadi lebih intensif ketika mereka membentuk kelompok peduli sungai.
“Tanam rumput ini selain untuk menangkal erosi juga bisa untuk makan kambing, jadi saya tidak perlu jauh-jauh lagi mencari makanan ternak saya. Tujuan sebenarnya adalah menangkal erosi. Kalau hujan, tanah di kebun tergerus. Barisan rumput ini saya buat untuk menahan tanah agar tak terbawa air.” Ungkap Darsono, Ketua Kelompok Petani Peduli Sungai yang saat ini memiliki 21 ekor kambing etawa.
“Saya punya 21 ekor kambing. Gak perlu cemas mereka kelaparan. Walau seharian ikut royongan di kampung, rumput selalu ada. Mencarinyapun tidak jauh, cukup ke kebun dekat rumah” lanjutnya senang.
Dengan luas yang mencapai 44 ribu hektar, DAS Besai memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Lampung Barat. Dalam kesepakatan, disebutkan bahwa PLTA akan memberikan imbalan apabila target penurunan sedimen dapat tercapai. Salah satu komponen yang penting dalam kesepakatan tersebut adalah monitoring – pemantauan lingkungan. Disepakati anggota kelompok dilibatkan dalam pengambilan sampel air sungai sementara staf hidrologi ICRAF diminta bantuan untuk melakukan penghitungan.
“Walaupun hasil tidak mencapai 30%, kami sangat menghargai keseriusan petani dalam melaksanakan perjanjian. Direksi PLN sudah memutuskan untuk tetap memberikan kincir sebagai bentuk penghargaan kami.” Ungkap Antono, Manajer PLN wilayah SUMBAGSEL.
“Kami membentuk kelompok ini sebagai jawaban atas permintaan kerjasama dengan PLTA Way Besai. PLTA sering mengeluh karena dam penampungan airnya cepat dangkal tertimbun kiriman lumpur dari hulu.” Jelas Pak Darsono.
Saya sangat mengagumi kekompakkan masyarakat yang ada di Dusun Buluh Kapur ini. Negosiasi yang layak ditiru oleh masyarakat lainnya dalam hal imbal jasa lingkungan. Tentu saja konsepnya tidak harus sama. Yang penting adalah tujuannya sama yaitu sama-sama menjaga lingkungan sekitar dan sama-sama menguntungkan (mutualisme). Seperti yang terjadi dikampung ini, mereka bisa mengubah lumpur menjadi listrik :)
Wednesday, October 28, 2009
Brebes Kota Telor Asin!!
Seminggu yang lalu saya berkesempatan untuk pergi ke Brebes, sebuah kota yang terletak dijalur Pantura. Sebuah kota yang terletak di pesisir pantai, terkenal dengan telor asin dan juga kota penghasil bawang merah. Jika kita akan pergi Jogja, Semarang atau Solo melalui jalur darat kita pasti akan melewati kota ini.
Saya sebenarnya sudah beberapa kali melewati Brebes disaat akan pergi Solo dan ke Semarang. Tapi ya sekedar lewat. Tidak pernah mampir atau melihat lebih jauh seperti apa kota ini.
Saya dan beberapa teman berangkat ke Brebes menggunakan kereta dari stasiun kereta Gambir, Jakarta. Kebetulan kami mempunyai beberapa pekerjaan disana. Tentunya pekerjaan saya tidak lepas dari predikat kuli. Tepatnya kuli panggul. Tukang mangguli kamera. Sudah lama sekali saya tidak melakukan perjalanan jauh dengan kereta. Terakhir saya naik kereta ketika berangkat ke Surabaya bersama teman-teman kuliah pada tahun 2003. Itupun kereta ekonomi. Anda tentu bisa bayangkan bagaimana rasanya naik kereta ekonomi di negara kita ini.
Ketika berada di kereta dan duduk dengan nyaman didalam kereta, saya baru bisa merasakan ternyata berpergian dengan kereta itu sangat mengasyikkan dan nyaman. Apakah karena kereta ini kelas ekskutif atau apa ya?. Tapi yang jelas saya sangat menikmati perjalanan ke Brebes selama kurang lebih 5 jam tersebut. Sambil mendengarkan lagu di iPod, saya bisa melihat pemandangan sawah, orang membuat garam, sungai, perkampungan, kebun dan lain-lainnya sepanjang perjalanan. Saya jadi kepikiran untuk mencoba kembali naik kereta ke Surabaya tapi naik kelas ekskutif. Bagaimana rasanya. Apakah sama rasanya seperti dulu ketika saya bersama teman-teman kuliah naik kereta ekonomi ke Surabaya.
Brebes kota yang puanas dan ramai. Puanas mungkin karena berada di pinggir pantai. Ramai mungkin karena berada di jalur lintas, yaitu jalur pantura. Tapi siapa sangka kota yang hanya dilewati oleh orang yang ingin berpergian ke jawa bagian tengah dan timur ini menyimpan berbagai pesona. Terutama pesona untuk melakukan wisata kuliner.
Adalah Pak Jhoni Murahman, seorang dokter hewan lulusan FKH IPB angkatan 18 yang menemani saya untuk mencicipi beberapa makanan khas yang ada di Brebes. Senior yang satu ini memang T.O.P B.G.T. Baik banget dan bahkan kelewat baik. Menemani kami setiap kemana saja selama kami berada di Brebes.
Yang membuat saya terkagum-kagum plus geleng-geleng kepala adalah beliau sampai hafal lokasi-lokasi makanan enak di Brebes. Walaupun lokasinya terkadang tersebunyi dan jauh dari keramaian.
Hari pertama ketika kami nyampe kami langsung dibawa ke tempat jual sate blengong dan makan disana. Blengong adalah unggas hasil perkawinan antara itik dengan entok. Nah.. bingungkan sepertia apa bentuknya hehehe… Malamnya kami diajak ke Tegal untuk mencicipi bebek goreng yang terkenal di Tegal.
Pada malam hari keesokan harinya kami diajak untuk mencicipi Bandeng bakar lumpur di Pantai Randusanga, Brebes. Ikan bandeng ini sebelum dibakar seluruh tubuh ikan ditutupi lumpur tambak yang ada disekitar pantai. Saya awalnya sempat kaget, bagaimana makannya klo semuanya dilumuri lumpur. Tapi ketika selesai dibakar, lumpur tersebut akan mengering dan sebelum kita memakan ikannya, kulit ikan tersebut dikelupasi beserta dengan lumpur yang sudah mengering. “Rasa ikannya lebih original, karena kita tidak memberi bumbu apapun kecuali lumpur ini” kata yang jualan. Disajikan dengan cah kangkung, hmmm nikmat sekali makan malam dipinggir pantai. Nafsu makan saya pun menjadi bertambah.
Pada hari kedua, disaat makan siang. Beliau mengajak kami untuk mencicipi makanan yang cuma ada di Brebes dan terkenal di Brebes yaitu Blengong goreng di daerah Lembarawa. “Rumah makan ini tidak mengindahankan prinsip marketing. Karena lokasinya tersembunyi dan orang musti berjalan kaki masuk gang sekitar 100 m untuk menuju kesana” ungkap Pak Jhoni kepada kami. Ketika kami tiba disana, ternyata benar. Lokasinya berada disebuah pemukiman. Kendaraan musti diparkirkan dipinggir jalan dan kami musti berjalan kaki masuk gang kurang lebih 100 meter untuk menuju kesana. “Beneran nih ada tempat makan didalam?” ungkapku karena masih bingung dan ngga yakin ada tempat makan disana. Lokasinya pun hanya sebuah rumah biasa, yang tidak ada desain sama sekali untuk rumah makan. Hanya satu meja kecil yang terbuat dari kayu dan bangku panjang yang juga terbuat dari kayu, terletak didekat dapur.
Ternyata setelah kami tiba disana, sudah banyak yang antri untuk menunggu makan siang. Hampir semuanya berakaian dinas pegawai negeri. “Disini tempat makan favoritnya Pak Bupati. Bupati sering datang disini. Ini banyak ajudan-ajudannya yang makan disini” cerita Pak Jhoni sambil menunjuk beberapa tamu yang datang dan sambil bercerita menunggu makanan yang kami pesan tiba. Karena tidak ada meja dan kursi untuk menyantap makanan, tamu yang datang hanya duduk di teras rumah. Duduk di lantai kramik tanpa alas. Blengong goreng ini disajikan dengan sambal uleg, lalapan (kacang panjang, mentimun dan daun kemangi) bersama minuman teh poci. Ternyata bener. Makanannya memang enak dan lezat. Inilah mungkin alasannya kenapa banyak yang datang kesini, walaupun lokasinya tersembunyi dan musti jalan kaki menuju lokasinya. Orang yang makan pun hanya duduk diteras rumah sang pemilik tempat makan blengong goreng ini.
Disaat makan malam, saya diajak untuk mencoba makan malam di alun-alun Kota Brebes. Kami memarkirkan kendaraan kami disebuah rumah makan yang sederhana yang ada disana. Pak Jhoni memasankan kami sebuah makanan yaitu Lengko, sate kambing, hati goreng, telor rebus dan teh poci. Keesokan paginya (hari terakhir kami di Brebes) kami diajak untuk sarapan dengan Bogana (nasi kuning, ayam sayur, tempe bumbon, sambel pete, ikan teri, urap, tumis kacang, telor asin) dan minum teh poci. Lokasi tempat makanan ini juga di sebuah pemukiman dan masuk gang yaitu di daerah Gamprit, Pecinan. Dari luar ataupun orang yang tidak berasal dari sana tidak akan tahu kalo didalam gang tersebut ada yang menjual makanan. Seorang nenek yang sudah berjualan Bogana hampir 50 tahun lebih ini tidak pernah pindah dari lokasi dimana dia berjualan. Hanya di sebuah rumahnya yang kecil dan terkurung oleh beberapa rumah yang lain.
Ya.. itulah keunikan Pak Jhoni. Mencintai makan makanan khas Brebes. Klo ada tamu yang datang beliau selalu mengajak tamunya untuk mencicipi makanan-makanan khas Brebes. Beliau juga mengajak saya untuk melihat batik khas Brebes. Batik buatan tangan ini tidak dijual di pasar-pasar. Sang pemilik hanya menjualnya ditempat tinggalnya. Saya juga diajak untuk beli oleh-oleh telor asin, teh poci dan beberapa jajanan lainnya.
Lima menit sebelum kami naik kereta untuk pulang ke Jakarta, Pak Jhoni tiba-tiba datang dari rumahnya menemui kami di stasiun dan membawakan kami tahu genjrot. “Kalian sebelum pulang harus nyobain tahu getjrot. Enak ini, ngga pake pecin” ungkap pak Jhoni yang membuat saya kaget dan ngga habis pikir, kok bisa dia datang ke stasiun. Kami sudah mau berangkat ke Jakarta, kereta sebentar lagi sampai. Belum selesai saya berpikir dia sudah menghilang, dan tiba-tiba datang lagi membawakan semangkok sup buah. “Ini namanya sup buah, musti dicoba juga” tetap dengan semangatnya memberikannya kepada saya. “Walah pak, kok repot-repot begini, keretanya dah mau nyampe”. “Ngga papa, makan aja dulu sampe keretanya nyampe. Tadi saya telp dulu stasiunnya menanyakan apakah keretanya sudah berangkat atau belum. Karena belum berangkat, ya saya langsung kesini”. “Sampai segitunya pak” ugkapku sambil menghabisi makanannya dengan terburu-buru. Setelah kereta tiba Pak Jhoni mengantarkan kami naik kereta. Saya hanya bisa menjabat erat tangan beliau dan mengucapkan terima kasih banyak atas perhatian dan kebaikkannya.
Sampai sekarang saya masih kangen dengan senyum khasnya Pak Jhoni. Melayani orang dengan setulus hati. Seorang bapak yang sangat-sangat baik dan menjadi suri tauladan. Terima kasih banyak Pak Jhoni atas kebaikannya. Semoga kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi. Klo Bapak ke Bogor, mungkin saya bingung harus mengajak wisata kuliner kemana karena saya tidak terlalu hafal lokasi-lokasi tempat makan makanan enak di Bogor. Mungkin bapak lebih hafal daripada saya karena bapak kan dulu juga pernah tinggal di Bogor walaupun pada tahun 80’an hehehe…
Saya sebenarnya sudah beberapa kali melewati Brebes disaat akan pergi Solo dan ke Semarang. Tapi ya sekedar lewat. Tidak pernah mampir atau melihat lebih jauh seperti apa kota ini.
Saya dan beberapa teman berangkat ke Brebes menggunakan kereta dari stasiun kereta Gambir, Jakarta. Kebetulan kami mempunyai beberapa pekerjaan disana. Tentunya pekerjaan saya tidak lepas dari predikat kuli. Tepatnya kuli panggul. Tukang mangguli kamera. Sudah lama sekali saya tidak melakukan perjalanan jauh dengan kereta. Terakhir saya naik kereta ketika berangkat ke Surabaya bersama teman-teman kuliah pada tahun 2003. Itupun kereta ekonomi. Anda tentu bisa bayangkan bagaimana rasanya naik kereta ekonomi di negara kita ini.
Ketika berada di kereta dan duduk dengan nyaman didalam kereta, saya baru bisa merasakan ternyata berpergian dengan kereta itu sangat mengasyikkan dan nyaman. Apakah karena kereta ini kelas ekskutif atau apa ya?. Tapi yang jelas saya sangat menikmati perjalanan ke Brebes selama kurang lebih 5 jam tersebut. Sambil mendengarkan lagu di iPod, saya bisa melihat pemandangan sawah, orang membuat garam, sungai, perkampungan, kebun dan lain-lainnya sepanjang perjalanan. Saya jadi kepikiran untuk mencoba kembali naik kereta ke Surabaya tapi naik kelas ekskutif. Bagaimana rasanya. Apakah sama rasanya seperti dulu ketika saya bersama teman-teman kuliah naik kereta ekonomi ke Surabaya.
Brebes kota yang puanas dan ramai. Puanas mungkin karena berada di pinggir pantai. Ramai mungkin karena berada di jalur lintas, yaitu jalur pantura. Tapi siapa sangka kota yang hanya dilewati oleh orang yang ingin berpergian ke jawa bagian tengah dan timur ini menyimpan berbagai pesona. Terutama pesona untuk melakukan wisata kuliner.
Adalah Pak Jhoni Murahman, seorang dokter hewan lulusan FKH IPB angkatan 18 yang menemani saya untuk mencicipi beberapa makanan khas yang ada di Brebes. Senior yang satu ini memang T.O.P B.G.T. Baik banget dan bahkan kelewat baik. Menemani kami setiap kemana saja selama kami berada di Brebes.
Yang membuat saya terkagum-kagum plus geleng-geleng kepala adalah beliau sampai hafal lokasi-lokasi makanan enak di Brebes. Walaupun lokasinya terkadang tersebunyi dan jauh dari keramaian.
Hari pertama ketika kami nyampe kami langsung dibawa ke tempat jual sate blengong dan makan disana. Blengong adalah unggas hasil perkawinan antara itik dengan entok. Nah.. bingungkan sepertia apa bentuknya hehehe… Malamnya kami diajak ke Tegal untuk mencicipi bebek goreng yang terkenal di Tegal.
Pada malam hari keesokan harinya kami diajak untuk mencicipi Bandeng bakar lumpur di Pantai Randusanga, Brebes. Ikan bandeng ini sebelum dibakar seluruh tubuh ikan ditutupi lumpur tambak yang ada disekitar pantai. Saya awalnya sempat kaget, bagaimana makannya klo semuanya dilumuri lumpur. Tapi ketika selesai dibakar, lumpur tersebut akan mengering dan sebelum kita memakan ikannya, kulit ikan tersebut dikelupasi beserta dengan lumpur yang sudah mengering. “Rasa ikannya lebih original, karena kita tidak memberi bumbu apapun kecuali lumpur ini” kata yang jualan. Disajikan dengan cah kangkung, hmmm nikmat sekali makan malam dipinggir pantai. Nafsu makan saya pun menjadi bertambah.
Pada hari kedua, disaat makan siang. Beliau mengajak kami untuk mencicipi makanan yang cuma ada di Brebes dan terkenal di Brebes yaitu Blengong goreng di daerah Lembarawa. “Rumah makan ini tidak mengindahankan prinsip marketing. Karena lokasinya tersembunyi dan orang musti berjalan kaki masuk gang sekitar 100 m untuk menuju kesana” ungkap Pak Jhoni kepada kami. Ketika kami tiba disana, ternyata benar. Lokasinya berada disebuah pemukiman. Kendaraan musti diparkirkan dipinggir jalan dan kami musti berjalan kaki masuk gang kurang lebih 100 meter untuk menuju kesana. “Beneran nih ada tempat makan didalam?” ungkapku karena masih bingung dan ngga yakin ada tempat makan disana. Lokasinya pun hanya sebuah rumah biasa, yang tidak ada desain sama sekali untuk rumah makan. Hanya satu meja kecil yang terbuat dari kayu dan bangku panjang yang juga terbuat dari kayu, terletak didekat dapur.
Ternyata setelah kami tiba disana, sudah banyak yang antri untuk menunggu makan siang. Hampir semuanya berakaian dinas pegawai negeri. “Disini tempat makan favoritnya Pak Bupati. Bupati sering datang disini. Ini banyak ajudan-ajudannya yang makan disini” cerita Pak Jhoni sambil menunjuk beberapa tamu yang datang dan sambil bercerita menunggu makanan yang kami pesan tiba. Karena tidak ada meja dan kursi untuk menyantap makanan, tamu yang datang hanya duduk di teras rumah. Duduk di lantai kramik tanpa alas. Blengong goreng ini disajikan dengan sambal uleg, lalapan (kacang panjang, mentimun dan daun kemangi) bersama minuman teh poci. Ternyata bener. Makanannya memang enak dan lezat. Inilah mungkin alasannya kenapa banyak yang datang kesini, walaupun lokasinya tersembunyi dan musti jalan kaki menuju lokasinya. Orang yang makan pun hanya duduk diteras rumah sang pemilik tempat makan blengong goreng ini.
Disaat makan malam, saya diajak untuk mencoba makan malam di alun-alun Kota Brebes. Kami memarkirkan kendaraan kami disebuah rumah makan yang sederhana yang ada disana. Pak Jhoni memasankan kami sebuah makanan yaitu Lengko, sate kambing, hati goreng, telor rebus dan teh poci. Keesokan paginya (hari terakhir kami di Brebes) kami diajak untuk sarapan dengan Bogana (nasi kuning, ayam sayur, tempe bumbon, sambel pete, ikan teri, urap, tumis kacang, telor asin) dan minum teh poci. Lokasi tempat makanan ini juga di sebuah pemukiman dan masuk gang yaitu di daerah Gamprit, Pecinan. Dari luar ataupun orang yang tidak berasal dari sana tidak akan tahu kalo didalam gang tersebut ada yang menjual makanan. Seorang nenek yang sudah berjualan Bogana hampir 50 tahun lebih ini tidak pernah pindah dari lokasi dimana dia berjualan. Hanya di sebuah rumahnya yang kecil dan terkurung oleh beberapa rumah yang lain.
Ya.. itulah keunikan Pak Jhoni. Mencintai makan makanan khas Brebes. Klo ada tamu yang datang beliau selalu mengajak tamunya untuk mencicipi makanan-makanan khas Brebes. Beliau juga mengajak saya untuk melihat batik khas Brebes. Batik buatan tangan ini tidak dijual di pasar-pasar. Sang pemilik hanya menjualnya ditempat tinggalnya. Saya juga diajak untuk beli oleh-oleh telor asin, teh poci dan beberapa jajanan lainnya.
Lima menit sebelum kami naik kereta untuk pulang ke Jakarta, Pak Jhoni tiba-tiba datang dari rumahnya menemui kami di stasiun dan membawakan kami tahu genjrot. “Kalian sebelum pulang harus nyobain tahu getjrot. Enak ini, ngga pake pecin” ungkap pak Jhoni yang membuat saya kaget dan ngga habis pikir, kok bisa dia datang ke stasiun. Kami sudah mau berangkat ke Jakarta, kereta sebentar lagi sampai. Belum selesai saya berpikir dia sudah menghilang, dan tiba-tiba datang lagi membawakan semangkok sup buah. “Ini namanya sup buah, musti dicoba juga” tetap dengan semangatnya memberikannya kepada saya. “Walah pak, kok repot-repot begini, keretanya dah mau nyampe”. “Ngga papa, makan aja dulu sampe keretanya nyampe. Tadi saya telp dulu stasiunnya menanyakan apakah keretanya sudah berangkat atau belum. Karena belum berangkat, ya saya langsung kesini”. “Sampai segitunya pak” ugkapku sambil menghabisi makanannya dengan terburu-buru. Setelah kereta tiba Pak Jhoni mengantarkan kami naik kereta. Saya hanya bisa menjabat erat tangan beliau dan mengucapkan terima kasih banyak atas perhatian dan kebaikkannya.
Sampai sekarang saya masih kangen dengan senyum khasnya Pak Jhoni. Melayani orang dengan setulus hati. Seorang bapak yang sangat-sangat baik dan menjadi suri tauladan. Terima kasih banyak Pak Jhoni atas kebaikannya. Semoga kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu lagi. Klo Bapak ke Bogor, mungkin saya bingung harus mengajak wisata kuliner kemana karena saya tidak terlalu hafal lokasi-lokasi tempat makan makanan enak di Bogor. Mungkin bapak lebih hafal daripada saya karena bapak kan dulu juga pernah tinggal di Bogor walaupun pada tahun 80’an hehehe…
Thursday, October 22, 2009
Tour Java and First Guiding
Sudah lama sekali tidak update blog perjalanan ini. Bukannya saya tidak melakukan perjalanan dalam sebulan ini tapi dikarenakan sehabis melakukan perjalanan yang satu saya sudah musti siap-siap lagi untuk melanjutkan perjalanan yang lainnya. Gaya banget yak hehehe…
Kali ini saya mencoba menceritakan pengalaman saya yang baru pertama kali melakukan perjalanan yang konteknya adalah meng-guide orang luar (bule) untuk mengunjungi beberapa tempat di pulau jawa. Sempat nervous juga awalnya untuk menerima tawaran ini karena saya tidak punya pengalaman menjadi guiding. Melakukan perjalanan dengan orang luar sih sering, tapi konteknya adalah melakukan pekerjaan.
Berikut saya coba ceritakan pengalaman pertama saya menjadi guiding alias tukang pemandu wisata.
Awalanya saya mendapat email dari seorang teman yang menceritakan klo temannya dari Belanda bersama keluarganya ingin melakukan perjalanan ke Indonesia. Si bule ini ingin melakukan perjalanan napak tilas keluarga besarnya yang dulu pernah tinggal di Indonesia. Beberapa puluh tahun yang lalu sewaktu jaman penjajahan Belanda. Dua orang adiknya bahkan lahir di Probolinggo dan Banjarmasin. Ibunya lahir di Solo dan sempat bekerja sebagai suster di Semarang yaitu di rumah sakit Williem Boot. Sejak Indonesia merdeka dan mereka baru berumur sekitar 5 tahun mereka diajak oleh orang tuanya untuk pulang ke Belanda. Nah dari umur lima tahun sampai dengan kemaren itu mereka tidak pernah lagi datang ke Indonesia. Dan mereka juga tidak ingat lagi Indonesia itu seperti apa bentuknya dan bagaimana masyarakat dan budayanya.
Kebetulan saat libur lebaran kemaren saya tidak mudik, maka saya menerima tawaran tersebut dan hanya bilang “maaf saya belum pernah jadi guide, semoga saya bisa melakukan yang terbaik”. Alhasil berangkatlah saya bersama mereka untuk menemani mereka melakukan perjalanan tour jawa selama 10 hari (18-29 September 2009). Lokasi yang akan kami kunjungi adalah Yogyakarta, Solo, Tawangmangu, Semarang, Surabaya dan Probolinggo. Tiket pesawat saya PP ditanggung dan selama perjalanan melalui darat sudah disiapkan mobil plus drivernya.
Jumlah tamu yang saya temani adalah berjumlah empat orang. 2 orang suami istri yaitu Frederik Van Leeuwen dan Maria Van Leeuwen serta dua orang adik perempuannya yaitu Gezina Vanriemsdijk dan Henriette Vanriemsdjik. Jadi bersama dengan seorang driver kami melakukan tour jawa.
Dikarenakan alasan akan memakan space yang cukup banyak jika saya ceritakan semua dan detail mengenai per-lokasi yang kami kunjungi, maka saya tidak akan menceritakan detail perjalanannnya. Lokasi yang kami kunjungi cukup banyak, jadi saya cukup menceritakan lokasi apa saja yang kami kunjungi disetiap kota yang kami datangi dan dimana kami menginap.
Ada beberapa hal yang cukup penting dan juga pelajaran yang saya dapatkan dalam perjalanan ini. Yaitu bagaimana memanage suatu perjalanan dan bagaimana bisa meyakinkan sang tamu. Pelajaran ini saya dapatkan dari Fred. Saya berterima kasih sekali ke beliau, beliau mau berbagi ilmu dalam memanagement sebuah kegiatan perjalanan ataupun sebuah aktivitas. Beliau juga mengerti klo saya masih butuh banyak training dan beliau juga memahami klo saya nantinya masih banyak terdapat kekurangan dalam menemani perjalanan-perjalanan mereka. Catatan ini mungkin juga bermanfaat buat teman-teman semua yang ingin menjadi guide dan untuk menetapkan rate disaat anda diminta menjadi guide. Mungkin anda bisa memberikan tawaran kepada mereka seperti yang Fred sampaikan kepada saya sewaktu kami berdiskusi di Jogja untuk membayar fee saya untuk perharinya selama menemani mereka. Lokasi dan tujuan kunjungan bisa dirubah berdasarkan agenda tamu yang akan kalian temani. Berikut adalah catatannya:
What's in it for me? (for visitor)
Added value o the guide
Nah, itulah kurang lebih hasil training kilat saya dengan Fred disuasana pagi yang cerah di sebuah Hotel di Jogja. Semoga catatan-catatan yang kami bikin ini bisa menjadi referensi teman-teman semua ketika akan melakukan perjalanan yang berhubungan dengan guiding.
Berikut nama-nama hotel tempat kita menginap ketika mengunjungi beberapa kota:
Alhamdulillah selama perjalanan selama 10 hari tersebut perjalanan kami lancar. Perjalanan dimulai dari Yogyakarta (3 malam di Yogyakarta)-Solo (2 malam)-Tawangmangu (1 malam)-Semarang (1 malam)-Surabaya (1 malam)-Probolinggo (1 malam)-Surabaya (1 malam). Tujuan mereka untuk melihat tempat ibunya lahir, bekerja dan juga tempat mereka lahir berhasil kami temui. Catatan lokasi-lokasi yang mereka bawa dari Belanda berdasarkan cerita ibunya berhasil kami temui. Mereka sekeluarga sangat senang bisa menemukan dan melihat tanah kelahiran ibunya dan tanah kelahiran mereka. Banyak pengalaman yang mereka dapatkan. Dan tentu saja lebih banyak lagi pengalaman yang saya dapatkan. Terima kasih kepada semua rekan yang membantu mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya perjalanan saya membawa tamu saya.
Special thanks to Rita Mustika Sari for recomedate person-nya, Suci Ramadhanny atas persetujuaannya tidak lebaran bareng, Guntur Kuriawan (Yogyakarta) atas penujuk jalan di Yogyakarta, Annas R Syarif dan Joko Tool ketika berada di Solo, Mas Supri atas good driver-nya, Amelia Marihesya "Echa" atas penunjuk jalan di Surabaya dan rekomendasi restauran korea, Mas Arif (Luamajang) dan Hari Kikuk (Bogor) atas penunjuk jalan di Probolinggo, Ramadian Bachtiar (Bogor) untuk teman berdiskusi dan sharing, Willis Juharini (Bogor) atas masukan dan rekomendasi kendaraan. Dan semua rekan yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Special thanks also fo Fred and family.
Thanks for trust me for guide you all. Thanks Bapak.
I have new family in Holland now :)
Hope someday I can go to Holland and meet you there. Amien.
Another fotos can see this link
Kali ini saya mencoba menceritakan pengalaman saya yang baru pertama kali melakukan perjalanan yang konteknya adalah meng-guide orang luar (bule) untuk mengunjungi beberapa tempat di pulau jawa. Sempat nervous juga awalnya untuk menerima tawaran ini karena saya tidak punya pengalaman menjadi guiding. Melakukan perjalanan dengan orang luar sih sering, tapi konteknya adalah melakukan pekerjaan.
Berikut saya coba ceritakan pengalaman pertama saya menjadi guiding alias tukang pemandu wisata.
Awalanya saya mendapat email dari seorang teman yang menceritakan klo temannya dari Belanda bersama keluarganya ingin melakukan perjalanan ke Indonesia. Si bule ini ingin melakukan perjalanan napak tilas keluarga besarnya yang dulu pernah tinggal di Indonesia. Beberapa puluh tahun yang lalu sewaktu jaman penjajahan Belanda. Dua orang adiknya bahkan lahir di Probolinggo dan Banjarmasin. Ibunya lahir di Solo dan sempat bekerja sebagai suster di Semarang yaitu di rumah sakit Williem Boot. Sejak Indonesia merdeka dan mereka baru berumur sekitar 5 tahun mereka diajak oleh orang tuanya untuk pulang ke Belanda. Nah dari umur lima tahun sampai dengan kemaren itu mereka tidak pernah lagi datang ke Indonesia. Dan mereka juga tidak ingat lagi Indonesia itu seperti apa bentuknya dan bagaimana masyarakat dan budayanya.
Kebetulan saat libur lebaran kemaren saya tidak mudik, maka saya menerima tawaran tersebut dan hanya bilang “maaf saya belum pernah jadi guide, semoga saya bisa melakukan yang terbaik”. Alhasil berangkatlah saya bersama mereka untuk menemani mereka melakukan perjalanan tour jawa selama 10 hari (18-29 September 2009). Lokasi yang akan kami kunjungi adalah Yogyakarta, Solo, Tawangmangu, Semarang, Surabaya dan Probolinggo. Tiket pesawat saya PP ditanggung dan selama perjalanan melalui darat sudah disiapkan mobil plus drivernya.
Jumlah tamu yang saya temani adalah berjumlah empat orang. 2 orang suami istri yaitu Frederik Van Leeuwen dan Maria Van Leeuwen serta dua orang adik perempuannya yaitu Gezina Vanriemsdijk dan Henriette Vanriemsdjik. Jadi bersama dengan seorang driver kami melakukan tour jawa.
Dikarenakan alasan akan memakan space yang cukup banyak jika saya ceritakan semua dan detail mengenai per-lokasi yang kami kunjungi, maka saya tidak akan menceritakan detail perjalanannnya. Lokasi yang kami kunjungi cukup banyak, jadi saya cukup menceritakan lokasi apa saja yang kami kunjungi disetiap kota yang kami datangi dan dimana kami menginap.
Ada beberapa hal yang cukup penting dan juga pelajaran yang saya dapatkan dalam perjalanan ini. Yaitu bagaimana memanage suatu perjalanan dan bagaimana bisa meyakinkan sang tamu. Pelajaran ini saya dapatkan dari Fred. Saya berterima kasih sekali ke beliau, beliau mau berbagi ilmu dalam memanagement sebuah kegiatan perjalanan ataupun sebuah aktivitas. Beliau juga mengerti klo saya masih butuh banyak training dan beliau juga memahami klo saya nantinya masih banyak terdapat kekurangan dalam menemani perjalanan-perjalanan mereka. Catatan ini mungkin juga bermanfaat buat teman-teman semua yang ingin menjadi guide dan untuk menetapkan rate disaat anda diminta menjadi guide. Mungkin anda bisa memberikan tawaran kepada mereka seperti yang Fred sampaikan kepada saya sewaktu kami berdiskusi di Jogja untuk membayar fee saya untuk perharinya selama menemani mereka. Lokasi dan tujuan kunjungan bisa dirubah berdasarkan agenda tamu yang akan kalian temani. Berikut adalah catatannya:
What's in it for me? (for visitor)
Added value o the guide
- To easily (re-)find and visit mother Toet's places, that we want to see in Solo and Semarang.
*Make sure beforehand that the driver knows the places and where to find these, or has figured out in advance. - To really get to know the country and it's people; to be led to the real authentic places, instead of doing the standard tourist routine. E.g. if we want to go to an Gamalan performance, we prefer to see one where the locals go.
*To be aware of what this group of travelers would really like.
*To have a general vision on what it is, that make tourists feel they are experiencing the authentic country, culture and people (e.g. Indonesia still being seen as the land of Carbau and ricefield).
*Avoid this becoming a 'performance by locals'.
*To inform yourself in advance for each location, what of such options it might offer.
*Be aware that authentic for ladies often also means 'finding the real nice shop or market and purchases', men might be more interested in sports, armies, politics & history, etc. (Although Fred might like to fine some good quality Java cigars). Both might like experiencing 'how the locals live', in the city and on the countryside. If you get them invited for a Tubruk and a chat: fine.
*To explain options just before arrival, so Fred & ladies can choose and make a plan with you.
*To find out more, once on location. - To be protected against locals trying to sell us things or services against our will.
*To be always at the place where this I likely to happen (front of group),
*To be constantly aware of such locals in the immediate surrounding.
*To be very visible, so such locals will be reluctant to approach the group.
*To inform the group beforehand when entering such an area, e.g. a 'museum' shop and to brief them what to do and what not to do - To avoid loss of our time by having to search or by having to wait when a time has been agreed.
*Make sure that any information has been gathered before you need it.
*Watch the time, it is always better to be earlier then later (as long as you have the politeness not to intrude on other activities the group might be doing and have the patience to wait for them at a decent distance, so they will not feel rushed). - To organize the things that need to be organized with the driver or car.
*Plan ahead, be pro-active.
*Convince yourself that the driver is doing that as well. - To be able to communicate to locals, where we want to.
*Be alert of where this need arises, or where it could provide a good opportunity for authentic contact.
*Be the middleman and translator.
*Be aware that communication is not only verbal, each culture has different meanings for hand movements, for somefacial expressions, etc. - To go home with nice photographs.
*Be attentive when people want to make photograph.
*Help them especially when you notice they appreciate being on the photograph with the whole group.
*Perhaps even, let them look by themselves while you are making some professional photographs. - To have confidence in guide, he should appear skilled and professional.
*Show self certainty and decisiveness, this is a lot easier when well prepared.
Avoid having to ask others for information (a guide is supposed to know everything). If you really have to, avoid that your group will see it.
*Keep a bit at some distance, while not becoming impersonal (being personal is one of the great Indonesian habits, but it can be too much for some people; always be sensitive to that).
*Read about other cultures so you get to know their habits, (and if possible: travel yourself). - To avoid going where we should not want to be going (unsafe places, or unsafe places after dark).
*To be well-informed about such places and times.
*To take steps if the group seems to be going there. - To relief people of the care for their luggage.
*To assist in loading & unloading luggage, where necessary in getting it to rooms.
*To keep an eye on the luggage, at all times when this is potentially exposed. Or ensure the driver does that. - To keep together the party, making sure no-one stays behind or gets lost.
*To look back over shoulder while guiding, to constantly make sure that everybody is still there and to be able to wait if some-one gets distracted. - To help prevent undesired things, that the tourist may not be aware off.
*E.g., tell him how to cross street, with left-driving traffic, how to be careful with the insects, never walk barefooted outside, or at night in his bedroom (scorpions), or any other danger you as a locals knows of. - To help in cases of emergency or with other unexpected challenges.
*Be aware where to find a doctor rapidly, or how to get a patient quickly to the right hospital.
*Other events, e.g. need medicine, car braking down, road accident, hotel overbooked, flight cancelled.
Note: In the end, if you are serious about your ambition to make money out of the tourist industry next to your main job, you should perhaps focus on your unique combination of skills: forestry, photography & documentary making, language skill, being in a network of ecological people, being close to ecological projects or etc.
Nah, itulah kurang lebih hasil training kilat saya dengan Fred disuasana pagi yang cerah di sebuah Hotel di Jogja. Semoga catatan-catatan yang kami bikin ini bisa menjadi referensi teman-teman semua ketika akan melakukan perjalanan yang berhubungan dengan guiding.
Berikut nama-nama hotel tempat kita menginap ketika mengunjungi beberapa kota:
- Yogyakarta
Dusun Jogja Village Inn
Jl. Menukan 5, karankajen, Yogyakarta
Tlp 0274-373031 - Solo/Surakarta
Lor'in
Jl Adisucipto 47, Solo
Tlp 0271-724500 - Tawangmangu
Hotel Komajaya Komaratih
Jln Raya Lawu
Tlp 0271-697125 - Semarang
Metro Hotel
Jln Haji Agnus Salim 2-4, Semarang
Tlp 0243-547371 - Surabaya
Equator Hotel
Jln Pakis Argosari 47, Surabaya (Depan Sangrila Hotel, Jalan Mayjen Sungkono)
Tlp 0315-687170 - Probolinggo (Bromo)
Java Banana Bromo Hotel
Jln Raya Bromo/Wonotoro, Sakapura
Tlp 0335-541193
Alhamdulillah selama perjalanan selama 10 hari tersebut perjalanan kami lancar. Perjalanan dimulai dari Yogyakarta (3 malam di Yogyakarta)-Solo (2 malam)-Tawangmangu (1 malam)-Semarang (1 malam)-Surabaya (1 malam)-Probolinggo (1 malam)-Surabaya (1 malam). Tujuan mereka untuk melihat tempat ibunya lahir, bekerja dan juga tempat mereka lahir berhasil kami temui. Catatan lokasi-lokasi yang mereka bawa dari Belanda berdasarkan cerita ibunya berhasil kami temui. Mereka sekeluarga sangat senang bisa menemukan dan melihat tanah kelahiran ibunya dan tanah kelahiran mereka. Banyak pengalaman yang mereka dapatkan. Dan tentu saja lebih banyak lagi pengalaman yang saya dapatkan. Terima kasih kepada semua rekan yang membantu mulai dari persiapan sampai dengan berakhirnya perjalanan saya membawa tamu saya.
Special thanks to Rita Mustika Sari for recomedate person-nya, Suci Ramadhanny atas persetujuaannya tidak lebaran bareng, Guntur Kuriawan (Yogyakarta) atas penujuk jalan di Yogyakarta, Annas R Syarif dan Joko Tool ketika berada di Solo, Mas Supri atas good driver-nya, Amelia Marihesya "Echa" atas penunjuk jalan di Surabaya dan rekomendasi restauran korea, Mas Arif (Luamajang) dan Hari Kikuk (Bogor) atas penunjuk jalan di Probolinggo, Ramadian Bachtiar (Bogor) untuk teman berdiskusi dan sharing, Willis Juharini (Bogor) atas masukan dan rekomendasi kendaraan. Dan semua rekan yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Special thanks also fo Fred and family.
Thanks for trust me for guide you all. Thanks Bapak.
I have new family in Holland now :)
Hope someday I can go to Holland and meet you there. Amien.
Another fotos can see this link
Monday, August 24, 2009
WELCOME TO BATAM ISLAND
Karena cukup disibukkan dengan sebuah kegiatan bersama teman-teman komunitas di Bogor, akhirnya baru hari ini saya bisa mengupdate blog ini. Perjalanan saya beberapa minggu lalu yaitu ke sebuah pulau yang diwaktu saya kecil saya selalu bertanya-tanya “knapa sih orang-orang yang lulus sekolah disini (Arga Makmur-red) pada pergi ke Batam?. Ada apa disana?”.
Pertanyaan yang sudah berpuluh-puluh tahun terpendam dihati saya bisa saya temukan jawaban beberapa minggu yang lalu ketika saya terbang ke Batam dan tinggal di Batam dan sekitarnya selama empat hari. Berikut ini sedikit catatan saya mengenai perjalanan ke Batam Island.
Batam awalnya dibangun untuk menyaingi Negara Singapura. Negara yang penuh industri dan geliat ekonomi yang cukup cepat. Selain itu juga Batam dibangun untuk menjadi tempat transit atau tempat wisata orang-orang Singapura dan negara lainnya. Jadi tidak heran jika anda tiba di Batam yang banyak anda temukan adalah kawasan industri dan tempat-tempat wisata plus tempat shooping. Dengan struktur jalan yang lebar dan mulus, Batam memang ingin menunjukkan klo Batam adalah suatu daerah yang sudah maju.
Batam sekarang masuk kedalam Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Dulunya Batam dikelola secara khusus melalui Otorita Batam. Hampir mirip dengan negara sendiri. Semua yang ada di Batam dikuasai oleh Otorita Batam. Tapi sejak adanya reformasi, Otorita Batam dihilangkan dan menjadi Badan Pengelolaan Kawasan Batam.
Selama beberapa hari di Batam saya mengunjungi beberapa tempat di Batam dan sekitarnya. Tempat-tempat yang saya kunjungi adalah beberapa pelabuhan dan tempat wisata. Karena banyak sekali pintu masuk maupun keluar dari Batam, terutama dijalur laut, maka Batam bisa dikatakan Kota yang paling banyak pintu perlintasan internasionalnya. Beberapa pelabuhan yang saya kunjungi adalah Pelabuhan Harbour Bay, Pelabuhan Batam Centre, Pelabuhan Batam Centre, Pelabuhan Sekupang, Pelabuhan Telaga Pungkur, Pelabuhan Sri Bintan (Tanjung Pinang), Pelabuhan Tanjung Uban dan Pelabuhan di Lagoi. Selain pelabuhan saya juga sempat mengelilingi kota Batam dan melihat icon Batam yaitu Jembatan Barelang.
Untuk Pelabuhan Sri Bintan, Pelabuhan Tanjung Uban dan Lagoi lokasinya berbeda pulau dengan Pulau Batam. Jadi kita musti naik speed (kapal cepat) untuk menuju kesana. Dengan tarif Rp 40.000 dan lama perjalanan sekitar 45 menit kita akan tiba di Tanjung Pinang. Dari Tanjung Pinang ke Tanjung Uban kita juga harus kembali naik speed. Dari Tanjung Uban ke Lagoi, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan jalur darat.
Ketika tiba di Lagoi, pemandangan akan sangat berbeda sekali. Lagoi adalah sebuah tempat wisata yang desainnya sangat sempurna. Kawasan wisata bertaraf internasional ini sudah dibangun sejak tahun 1994 dengan luas sekitar 20.000 ha. Kawasan ini dibangun sebagai perwujudan kerjasama ekonomi pertama antara Indonesia-Singapura. Lagoi mempunyai beberapa resort yang loakasinya terpisah antara resort yang satu dengan resort lainnya. Disetiap resort juga terdapat lapangan golf. Pelabuhan di Lagoi juga cukup ramai, setiap 15 menit sekali kapal ferry Lagoi-Singapura datang dan pergi.
Setelah mengelilingi beberapa tempat di Batam, saya kembali ke Batam dan mencari penginapan di salah satu pusat kota Batam yaitu di daerah Nagoya. Cukup lelah juga selama tiga hari muter-muter dan bertemu beberapa orang. Sambil merebahkan tubuh saya kembali teringat akan Lagoi. Kapan ya saya bisa menginap disana dan menikmati salah satu tempat favorit orang-orang Singapura. Kita orang Indonesia kok ngga bisa menikmati keindahan alam dan fasilitas yang ada di Indonesia. Terbesit sebuah pertanyaan didalam benak saya.
Ahh daripada saya terus bermimpi dan menghayal akhirnya saya keluar dari hotel pada malam harinya dan mencari tempat yang asyik untuk nongkrong dan makan. Tak jauh dari penginapan saya menemukan sebuah warung tenda yang cukup nyaman dan enak makanannya. Nama tempatnya adalah Lagoon BBQ and Seafood. Lokasinya pas didepan Nagoya Hill, sebuah mall dan tempat shooping terbesar di Nagoya. Mereka memajang ikan-ikan segar diatas sebuah replika kapal nelayan. Kita dipersilahkan memilih ikannya dan akan dimasak seperti apa. Setelah memilih ikan kita juga dipersilahkan memilih sayurannya. Jelas saya sangat semangat memilih sayur yang terpajang dengan rapi disebelah pajangan ikan ditempat yang berbeda. Dibeberapa deretan sayur tersebut terdapat tumpukan terong panjang berwarna ungu. “Saya minta ini saja sayurnya” jelasku sambil menunjuk kangkung dan terong. Setelah sekitar 20 menunggu, mereka menyajikan sebuah ikan bakar (ikan telunjuk), cah kangkung dan terong goreng sambal terasi. Nafsu makan saya bertambah beberapa kali lipat disaat menikmati masakan yang disajikan. Yaaa mungkin makannya dulu yang baru bisa saya nikmati selama di Batam.
Pertanyaan yang sudah berpuluh-puluh tahun terpendam dihati saya bisa saya temukan jawaban beberapa minggu yang lalu ketika saya terbang ke Batam dan tinggal di Batam dan sekitarnya selama empat hari. Berikut ini sedikit catatan saya mengenai perjalanan ke Batam Island.
Batam awalnya dibangun untuk menyaingi Negara Singapura. Negara yang penuh industri dan geliat ekonomi yang cukup cepat. Selain itu juga Batam dibangun untuk menjadi tempat transit atau tempat wisata orang-orang Singapura dan negara lainnya. Jadi tidak heran jika anda tiba di Batam yang banyak anda temukan adalah kawasan industri dan tempat-tempat wisata plus tempat shooping. Dengan struktur jalan yang lebar dan mulus, Batam memang ingin menunjukkan klo Batam adalah suatu daerah yang sudah maju.
Batam sekarang masuk kedalam Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Dulunya Batam dikelola secara khusus melalui Otorita Batam. Hampir mirip dengan negara sendiri. Semua yang ada di Batam dikuasai oleh Otorita Batam. Tapi sejak adanya reformasi, Otorita Batam dihilangkan dan menjadi Badan Pengelolaan Kawasan Batam.
Selama beberapa hari di Batam saya mengunjungi beberapa tempat di Batam dan sekitarnya. Tempat-tempat yang saya kunjungi adalah beberapa pelabuhan dan tempat wisata. Karena banyak sekali pintu masuk maupun keluar dari Batam, terutama dijalur laut, maka Batam bisa dikatakan Kota yang paling banyak pintu perlintasan internasionalnya. Beberapa pelabuhan yang saya kunjungi adalah Pelabuhan Harbour Bay, Pelabuhan Batam Centre, Pelabuhan Batam Centre, Pelabuhan Sekupang, Pelabuhan Telaga Pungkur, Pelabuhan Sri Bintan (Tanjung Pinang), Pelabuhan Tanjung Uban dan Pelabuhan di Lagoi. Selain pelabuhan saya juga sempat mengelilingi kota Batam dan melihat icon Batam yaitu Jembatan Barelang.
Untuk Pelabuhan Sri Bintan, Pelabuhan Tanjung Uban dan Lagoi lokasinya berbeda pulau dengan Pulau Batam. Jadi kita musti naik speed (kapal cepat) untuk menuju kesana. Dengan tarif Rp 40.000 dan lama perjalanan sekitar 45 menit kita akan tiba di Tanjung Pinang. Dari Tanjung Pinang ke Tanjung Uban kita juga harus kembali naik speed. Dari Tanjung Uban ke Lagoi, dibutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan jalur darat.
Ketika tiba di Lagoi, pemandangan akan sangat berbeda sekali. Lagoi adalah sebuah tempat wisata yang desainnya sangat sempurna. Kawasan wisata bertaraf internasional ini sudah dibangun sejak tahun 1994 dengan luas sekitar 20.000 ha. Kawasan ini dibangun sebagai perwujudan kerjasama ekonomi pertama antara Indonesia-Singapura. Lagoi mempunyai beberapa resort yang loakasinya terpisah antara resort yang satu dengan resort lainnya. Disetiap resort juga terdapat lapangan golf. Pelabuhan di Lagoi juga cukup ramai, setiap 15 menit sekali kapal ferry Lagoi-Singapura datang dan pergi.
Setelah mengelilingi beberapa tempat di Batam, saya kembali ke Batam dan mencari penginapan di salah satu pusat kota Batam yaitu di daerah Nagoya. Cukup lelah juga selama tiga hari muter-muter dan bertemu beberapa orang. Sambil merebahkan tubuh saya kembali teringat akan Lagoi. Kapan ya saya bisa menginap disana dan menikmati salah satu tempat favorit orang-orang Singapura. Kita orang Indonesia kok ngga bisa menikmati keindahan alam dan fasilitas yang ada di Indonesia. Terbesit sebuah pertanyaan didalam benak saya.
Ahh daripada saya terus bermimpi dan menghayal akhirnya saya keluar dari hotel pada malam harinya dan mencari tempat yang asyik untuk nongkrong dan makan. Tak jauh dari penginapan saya menemukan sebuah warung tenda yang cukup nyaman dan enak makanannya. Nama tempatnya adalah Lagoon BBQ and Seafood. Lokasinya pas didepan Nagoya Hill, sebuah mall dan tempat shooping terbesar di Nagoya. Mereka memajang ikan-ikan segar diatas sebuah replika kapal nelayan. Kita dipersilahkan memilih ikannya dan akan dimasak seperti apa. Setelah memilih ikan kita juga dipersilahkan memilih sayurannya. Jelas saya sangat semangat memilih sayur yang terpajang dengan rapi disebelah pajangan ikan ditempat yang berbeda. Dibeberapa deretan sayur tersebut terdapat tumpukan terong panjang berwarna ungu. “Saya minta ini saja sayurnya” jelasku sambil menunjuk kangkung dan terong. Setelah sekitar 20 menunggu, mereka menyajikan sebuah ikan bakar (ikan telunjuk), cah kangkung dan terong goreng sambal terasi. Nafsu makan saya bertambah beberapa kali lipat disaat menikmati masakan yang disajikan. Yaaa mungkin makannya dulu yang baru bisa saya nikmati selama di Batam.
Tuesday, June 30, 2009
Indahnya Kampung Halaman
Beberapa minggu yang lalu saya pulang ke kampung halaman saya. Sebuah kota kecil yang memang selalu saya rindukan. Rindu untuk menemui orang tua dan sanak family. Keluarga besar saya semuanya ada disana.
Kota kecil itu adalah Arga Makmur. Dibagian utara Provinsi Bengkulu, sekitar 1 jam perjalanan jika menggunakan kedaraan roda empat ataupun sepeda motor.
Kepulangan saya kali agak sedikit berbeda. Selain momentnya memang sangat spesial yaitu menghadiri pernikahan adik saya yang perempuan. Saya juga membawa sepeda lipat saya kesana. Kebetulan saya membawa kendaraan sendiri dari Bogor bersama kakak saya dan keluarganya.
Niat untuk mengulang dan mengenang masa kecil dulu yaitu bersepeda mengelilingi kota kecil ini memang sudah muncul dari beberapa tahun yang lalu. Tapi memang waktunya belum pas dan kesempatannya belum ada.
Waktu kecil, mungkin saat itu klo tidak salah masih sekolah TK dan sekolah dasar kelas 1 saya suka sekali bersepeda. Saya dibelikan sebuah sepeda oleh orang tua saya. Sepeda berwarna biru tua dengan roda yang terbuat dari karet padu (tidak memakai ban dalam/angin). Rodanya berwarna putih. Gir dan rantai (pedal) sepedanya tidak bisa dihentikan klo sepedanya sedang jalan, karena memang memakai gir mati. Jadi sangat merepotkan jika menuruni turunan. Kaki harus diangkat karena pedalnya terus berputar mengikuti roda. Jika laju sepeda semakin kencang, semakin cepat juga pedal itu berputar.
Diwaktu kecil saya tidak terlalu peduli dan mengamati ada apa saja di sepanjang jalan disaat saya menaiki sepeda itu. Yang ada saya hanya riang gembira menggoes sepedanya dan keliling kota. Pernah beberapa kali saya jatuh dari sepeda. Sampai sekarangpun masih ada bekas luka karena jatuh dari sepeda.
Ketika tubuh saya sudah mulai membesar, saya tidak bisa lagi menaiki sepeda kecil itu. Klo tidak salah ingat sepeda itu diberikan kepada sepupu saya yang lebih kecil. Saya dibelikan sepeda yang ukurannya lebih besar. Sebuah sepeda berwarna merah bermerk “Mustang”. Masa sekolah SMP, saya selalu menggunakan sepeda itu kesekolah. Membuat saya selalu berkeringat setiap harinya.
Keinginan saya untuk merasakan kembali bagaimana rasanya bersepeda di kota kecil kota kelahiran saya ini bisa rasakan beberapa minggu yang lalu. Setelah istirahat satu hari dirumah dan bertemu keluarga, keesokan harinya pada sore hari saya mengambil seli saya dan menggoesnya keliling kota. Jalur yang saya ambil adalah dari rumah yaitu Jalan Padat Karya – Perempatan Fatwati – Kantor Pos Arga Makmur – Telkom – Bundaran – Kemumu. Dari rumah menuju Kemumu kurang lebih menghabiskan waktu satu jam. Tapi pulangnya tidak sampai 7 menit, karena jalannya selalu menurun.
Betapa nikmat dan indahnya bersepeda sore itu. Sore yang cerah dan membuat seluruh tubuh berkeringat. Menikmati kesejukkan udaranya yang masih segar, tidak bising dan damai. Sepanjang jalan orang-orang melihat saya yang bersepeda, membuat saya bertanya-tanya. Apa yang salah? Kok semua pada ngeliatin. Kadang juga membuat saya ke Ge Er-an.
Saya tidak menyangka ternyata bersepeda di Arga Makmur sangat mengasyikkan. Apalagi disaat kita sudah memasuki daerah Tebing Kaning sampai ke Kemumu. Kita bisa menikmati indahnya areal persawahan penduduk dan sejuknya udara Kemumu. Sepanjang jalan diiringi gemerincik suara air irigasi yang ada disepanjang jalan Kemumu. Disaat menuju ke Kemumu di depan kita juga terdapat sebuah hamparan gunung yang sering disebut bukit barisan yang mengelilingi Kota Arga Makmur.
Beda sekali rasanya bersepeda disaat kecil dan bersepada sekarang ini. Dulu saya tidak peduli dan tidak tahu apa potensi tanah kelahiran saya ini. Saya menganggap biasa-biasa saja semuanya. Tapi sekarang setelah saya banyak berpergian ke berbagai daerah di nusantara ini dan pernah beberapa kali keluar Indonesia, saya bisa merasakan tanah kelahiran saya juga mempunyai potensi dan kota yang sangat cantik. Sayang saya hanya bisa menikmati selama 3 hari bersepeda disana, setiap pagi dan sore harinya.
Namun keindahan ini sepertinya secara perlahan akan sama nasibnya dibeberapa kota lainnya yang ada di Indonesia. Lumbung-lumbung padi atau sawah-sawah produktif secara perlahan akan hilang digantikan oleh bangunan-bangunan perumahan dan pemukiman. Sewaktu saya kecil kawasan kemumu seluruhnya adalah areal persawahan. Hamparan tanaman padi menutupi kawasan ini. Namun sekarang, sudah ada beberapa bangunan rumah dan pemukiman. Persawahan ditimbun oleh tanah-tanah merah. Jika pemerintah daerah tidak sigap menanggapi perubahan ini bukan tidak mungkin lahan-lahan sawah produktif disana akan hilang. Keindahan yang saya rasakan sewaktu kecil sampai dengan saat ini nantinya tidak akan bisa dirasakan lagi oleh saya disaat saya sudah berumur 40-an dan mungkin juga anak cucu saya.
Seharusnya pemerintah daerah mulai peka terhadap perubahan bentang alam yang akan terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perlu dibuatnya tata kota yang bagus dan terkonsep secara baik. Jangan biarkan kawasan hijau dan lahan-lahan persawahan produktif ini hilang akibat dari bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan masyarakat ataupun berubahnya gaya hidup (life style) orang-orang yang ada di Arga Makmur. Jalur Gunung Selan sampai dengan Kemumu sangat bagus sekali jika dibuat jalut hijau dan jalur wisata. Dibuatnya jalur-jalur untuk pejalan kaki ataupun bersepeda bukan tidak mungkin akan membuat daya tarik tersendiri bagi kota ini. Perlu penataan terhadap bangunan-bangunan yang akan menggusur areal persawahan yang ada di Kemumu dan mempercantik tampilan aliran-aliran irigasi yang sudah ada.
Semuanya ini tergantung kepada pemerintahan yang ada. Apakah pemerintah Kota Arga Makmur cukup cerdas berfikir dan bersikap. Mampu melihat peluang dan ancaman yang akan terjadi kedepan. Jika ingin mendapatkan inspirasi... bersepedalah setiap hari...
Kota kecil itu adalah Arga Makmur. Dibagian utara Provinsi Bengkulu, sekitar 1 jam perjalanan jika menggunakan kedaraan roda empat ataupun sepeda motor.
Kepulangan saya kali agak sedikit berbeda. Selain momentnya memang sangat spesial yaitu menghadiri pernikahan adik saya yang perempuan. Saya juga membawa sepeda lipat saya kesana. Kebetulan saya membawa kendaraan sendiri dari Bogor bersama kakak saya dan keluarganya.
Niat untuk mengulang dan mengenang masa kecil dulu yaitu bersepeda mengelilingi kota kecil ini memang sudah muncul dari beberapa tahun yang lalu. Tapi memang waktunya belum pas dan kesempatannya belum ada.
Waktu kecil, mungkin saat itu klo tidak salah masih sekolah TK dan sekolah dasar kelas 1 saya suka sekali bersepeda. Saya dibelikan sebuah sepeda oleh orang tua saya. Sepeda berwarna biru tua dengan roda yang terbuat dari karet padu (tidak memakai ban dalam/angin). Rodanya berwarna putih. Gir dan rantai (pedal) sepedanya tidak bisa dihentikan klo sepedanya sedang jalan, karena memang memakai gir mati. Jadi sangat merepotkan jika menuruni turunan. Kaki harus diangkat karena pedalnya terus berputar mengikuti roda. Jika laju sepeda semakin kencang, semakin cepat juga pedal itu berputar.
Diwaktu kecil saya tidak terlalu peduli dan mengamati ada apa saja di sepanjang jalan disaat saya menaiki sepeda itu. Yang ada saya hanya riang gembira menggoes sepedanya dan keliling kota. Pernah beberapa kali saya jatuh dari sepeda. Sampai sekarangpun masih ada bekas luka karena jatuh dari sepeda.
Ketika tubuh saya sudah mulai membesar, saya tidak bisa lagi menaiki sepeda kecil itu. Klo tidak salah ingat sepeda itu diberikan kepada sepupu saya yang lebih kecil. Saya dibelikan sepeda yang ukurannya lebih besar. Sebuah sepeda berwarna merah bermerk “Mustang”. Masa sekolah SMP, saya selalu menggunakan sepeda itu kesekolah. Membuat saya selalu berkeringat setiap harinya.
Keinginan saya untuk merasakan kembali bagaimana rasanya bersepeda di kota kecil kota kelahiran saya ini bisa rasakan beberapa minggu yang lalu. Setelah istirahat satu hari dirumah dan bertemu keluarga, keesokan harinya pada sore hari saya mengambil seli saya dan menggoesnya keliling kota. Jalur yang saya ambil adalah dari rumah yaitu Jalan Padat Karya – Perempatan Fatwati – Kantor Pos Arga Makmur – Telkom – Bundaran – Kemumu. Dari rumah menuju Kemumu kurang lebih menghabiskan waktu satu jam. Tapi pulangnya tidak sampai 7 menit, karena jalannya selalu menurun.
Betapa nikmat dan indahnya bersepeda sore itu. Sore yang cerah dan membuat seluruh tubuh berkeringat. Menikmati kesejukkan udaranya yang masih segar, tidak bising dan damai. Sepanjang jalan orang-orang melihat saya yang bersepeda, membuat saya bertanya-tanya. Apa yang salah? Kok semua pada ngeliatin. Kadang juga membuat saya ke Ge Er-an.
Saya tidak menyangka ternyata bersepeda di Arga Makmur sangat mengasyikkan. Apalagi disaat kita sudah memasuki daerah Tebing Kaning sampai ke Kemumu. Kita bisa menikmati indahnya areal persawahan penduduk dan sejuknya udara Kemumu. Sepanjang jalan diiringi gemerincik suara air irigasi yang ada disepanjang jalan Kemumu. Disaat menuju ke Kemumu di depan kita juga terdapat sebuah hamparan gunung yang sering disebut bukit barisan yang mengelilingi Kota Arga Makmur.
Beda sekali rasanya bersepeda disaat kecil dan bersepada sekarang ini. Dulu saya tidak peduli dan tidak tahu apa potensi tanah kelahiran saya ini. Saya menganggap biasa-biasa saja semuanya. Tapi sekarang setelah saya banyak berpergian ke berbagai daerah di nusantara ini dan pernah beberapa kali keluar Indonesia, saya bisa merasakan tanah kelahiran saya juga mempunyai potensi dan kota yang sangat cantik. Sayang saya hanya bisa menikmati selama 3 hari bersepeda disana, setiap pagi dan sore harinya.
Namun keindahan ini sepertinya secara perlahan akan sama nasibnya dibeberapa kota lainnya yang ada di Indonesia. Lumbung-lumbung padi atau sawah-sawah produktif secara perlahan akan hilang digantikan oleh bangunan-bangunan perumahan dan pemukiman. Sewaktu saya kecil kawasan kemumu seluruhnya adalah areal persawahan. Hamparan tanaman padi menutupi kawasan ini. Namun sekarang, sudah ada beberapa bangunan rumah dan pemukiman. Persawahan ditimbun oleh tanah-tanah merah. Jika pemerintah daerah tidak sigap menanggapi perubahan ini bukan tidak mungkin lahan-lahan sawah produktif disana akan hilang. Keindahan yang saya rasakan sewaktu kecil sampai dengan saat ini nantinya tidak akan bisa dirasakan lagi oleh saya disaat saya sudah berumur 40-an dan mungkin juga anak cucu saya.
Seharusnya pemerintah daerah mulai peka terhadap perubahan bentang alam yang akan terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perlu dibuatnya tata kota yang bagus dan terkonsep secara baik. Jangan biarkan kawasan hijau dan lahan-lahan persawahan produktif ini hilang akibat dari bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan masyarakat ataupun berubahnya gaya hidup (life style) orang-orang yang ada di Arga Makmur. Jalur Gunung Selan sampai dengan Kemumu sangat bagus sekali jika dibuat jalut hijau dan jalur wisata. Dibuatnya jalur-jalur untuk pejalan kaki ataupun bersepeda bukan tidak mungkin akan membuat daya tarik tersendiri bagi kota ini. Perlu penataan terhadap bangunan-bangunan yang akan menggusur areal persawahan yang ada di Kemumu dan mempercantik tampilan aliran-aliran irigasi yang sudah ada.
Semuanya ini tergantung kepada pemerintahan yang ada. Apakah pemerintah Kota Arga Makmur cukup cerdas berfikir dan bersikap. Mampu melihat peluang dan ancaman yang akan terjadi kedepan. Jika ingin mendapatkan inspirasi... bersepedalah setiap hari...
Monday, June 8, 2009
Berkunjung ke Kasepuhan Cipta Mulya
Tiga hari yang lalu saya dan dua orang teman melakukan perjalanan ke Kasepuhan Cipta Mulya, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Kami mengunjungi kampung ini untuk melihat peralatan musik tradisional yang mereka miliki dari dulu sampai dengan sekarang. Karena saya kurang memahami dan mendalami tentang dunia permusikan tadisional, akhirnya saya hanya mendokumentasikan saja. Plus jalan-jalannya.
Kampung Cipta Mulya terdapat sekitar 60 KK, dimana sekarang ini dipimpin oleh seorang abah yaitu Abah Uum. Nama Lengkap beliau Uum Sukma Wijaya. Beliau memimpin kampung ini sejak tahun 2002. Setelah abah sebelumnya (adik abah Uum) meninggal dunia.
Kampung Cipta Mulya tidak berbeda jauh dengan kampung kasepuhan lainnya yang ada di Sukabumi dan Banten. Bentuk rumah penduduk yang terbuat dari kayu berdindingkan bambu, beratap ijuk. Terdapat rumah besar tempat tinggal Abah (Imah Gede), dan juga Leuit atau tempat penyimpanan gabah.
Bercerita tentang leuit dan gabah, masyarakat adat kasepuhan mempunyai budaya yang sangat unik dan menurut saya sungguh bijaksana. Padi bagi masyarakat kasepuhan adalah sebuah tanaman yang sangat di agungkan. Hampir seluruh masyarakat adat kasepuhan menanam padi di lahannya, baik padi persawahan maupun padi darat. Hasil-hasil panen mereka simpan di sebuah lumbung yang disebut dengan leuit. Padi hasil panen tidak pernah mereka jual kecuali jika memang hasil panennya sangat banyak dan berlebih. Namun, jika padi ini sudah menjadi beras masyarakat adat kasepuhan dilarang menjual beras, menjual nasi ataupun makanan yang terbuat dari beras. Mereka percaya jika mereka menjual beras ataupun nasi, nantinya mereka akan terkena musibah. Saya sangat mengagumi budaya ini. Mereka kaya akan beras, mungkin juga nama lainnya adalah swasembada beras, tapi mereka tidak pernah mau menjualnya.
Untuk menumbuk padi menjadi beras, mereka juga melakukannya secara tradisional. Menumbuk dengan menggunakan lesung. Jika ada acara-acara tertentu para wanita secara beramai-ramai menumbuk padi dilesung yang panjang. Terdengar bunyi lesung yang berirama dan harmonis. Suasana pagi saat itu masih terasa sangat dingin. Saya langsung mencari sumber bunyi yang sangat mengagumkan. Setelah saya menemui dimana lokasinya, tenyata para ibu-ibu tersebut sedang beramai-ramai menumbuk padi untuk acara pernikahan salah satu warganya. Sungguh damai dan indah kampung ini. Hidup harmonis bersama alam dan kebersamaan yang tetap terjalin dengan baik.
Disaat saya memasuki imah gede, saya melihat para ibu-ibu lainnya sedang ramai di dapur. Dengan senda gurau meraka memasak beberapa jenis makanan untuk sebuah acara nanti malam. Acara disetiap bulan purnama. Malam hiburan dan pentas seni budaya. Dalam hati saya hanya berdecak kagum. Sungguh beruntung mereka tinggal dan hidup di kampung ini. Damai dan tentram. Jauh dari hiruk pikuk orang-orang yang selalu sibuk dengan dirinya masing-masing. Sikut-sikutan dalam dalam persaingan pekerjaan mereka. Jauh dari ramainya orang bicara tentang caleg dan kampanye pemilihan presiden. Seolah-olah mereka tidak peduli siapa presidennya. Yang penting kedamaian dan ketentraman yang ada di kampung mereka tidak terusik. Kekayaan alam dan berlimpahnya hasil panen padi mereka tidak terganggu. Setiap tahun mereka tetap bisa merayakan kebahagiaan hasil panen mereka. Merayakan serean taun. Pesta untuk ucapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmad yang diberikan kepada mereka...
Terkadang jika melihat ketentraman seperti ini, ingin rasanya saya tinggal disini atau disebuah kampung dimana saya bisa merasakan juga betapa damainya tinggal disebuah kampung yang kaya akan sumberdaya alam. Hidup dengan penuh rasa kebersamaan. Jauh dari gangguan orang-orang yang serakah dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Tapi apa hendak dikata. Setiap saya membuka mata dipagi hari, saya harus menjalankan garis kehidupan yang sudah ada yang sampai sekarang saya belum mampu membuat garis kehidupan yang baru. Bahkan membayangkan garis-garis baru saja saya belum mampu....
Kampung Cipta Mulya terdapat sekitar 60 KK, dimana sekarang ini dipimpin oleh seorang abah yaitu Abah Uum. Nama Lengkap beliau Uum Sukma Wijaya. Beliau memimpin kampung ini sejak tahun 2002. Setelah abah sebelumnya (adik abah Uum) meninggal dunia.
Kampung Cipta Mulya tidak berbeda jauh dengan kampung kasepuhan lainnya yang ada di Sukabumi dan Banten. Bentuk rumah penduduk yang terbuat dari kayu berdindingkan bambu, beratap ijuk. Terdapat rumah besar tempat tinggal Abah (Imah Gede), dan juga Leuit atau tempat penyimpanan gabah.
Bercerita tentang leuit dan gabah, masyarakat adat kasepuhan mempunyai budaya yang sangat unik dan menurut saya sungguh bijaksana. Padi bagi masyarakat kasepuhan adalah sebuah tanaman yang sangat di agungkan. Hampir seluruh masyarakat adat kasepuhan menanam padi di lahannya, baik padi persawahan maupun padi darat. Hasil-hasil panen mereka simpan di sebuah lumbung yang disebut dengan leuit. Padi hasil panen tidak pernah mereka jual kecuali jika memang hasil panennya sangat banyak dan berlebih. Namun, jika padi ini sudah menjadi beras masyarakat adat kasepuhan dilarang menjual beras, menjual nasi ataupun makanan yang terbuat dari beras. Mereka percaya jika mereka menjual beras ataupun nasi, nantinya mereka akan terkena musibah. Saya sangat mengagumi budaya ini. Mereka kaya akan beras, mungkin juga nama lainnya adalah swasembada beras, tapi mereka tidak pernah mau menjualnya.
Untuk menumbuk padi menjadi beras, mereka juga melakukannya secara tradisional. Menumbuk dengan menggunakan lesung. Jika ada acara-acara tertentu para wanita secara beramai-ramai menumbuk padi dilesung yang panjang. Terdengar bunyi lesung yang berirama dan harmonis. Suasana pagi saat itu masih terasa sangat dingin. Saya langsung mencari sumber bunyi yang sangat mengagumkan. Setelah saya menemui dimana lokasinya, tenyata para ibu-ibu tersebut sedang beramai-ramai menumbuk padi untuk acara pernikahan salah satu warganya. Sungguh damai dan indah kampung ini. Hidup harmonis bersama alam dan kebersamaan yang tetap terjalin dengan baik.
Disaat saya memasuki imah gede, saya melihat para ibu-ibu lainnya sedang ramai di dapur. Dengan senda gurau meraka memasak beberapa jenis makanan untuk sebuah acara nanti malam. Acara disetiap bulan purnama. Malam hiburan dan pentas seni budaya. Dalam hati saya hanya berdecak kagum. Sungguh beruntung mereka tinggal dan hidup di kampung ini. Damai dan tentram. Jauh dari hiruk pikuk orang-orang yang selalu sibuk dengan dirinya masing-masing. Sikut-sikutan dalam dalam persaingan pekerjaan mereka. Jauh dari ramainya orang bicara tentang caleg dan kampanye pemilihan presiden. Seolah-olah mereka tidak peduli siapa presidennya. Yang penting kedamaian dan ketentraman yang ada di kampung mereka tidak terusik. Kekayaan alam dan berlimpahnya hasil panen padi mereka tidak terganggu. Setiap tahun mereka tetap bisa merayakan kebahagiaan hasil panen mereka. Merayakan serean taun. Pesta untuk ucapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmad yang diberikan kepada mereka...
Terkadang jika melihat ketentraman seperti ini, ingin rasanya saya tinggal disini atau disebuah kampung dimana saya bisa merasakan juga betapa damainya tinggal disebuah kampung yang kaya akan sumberdaya alam. Hidup dengan penuh rasa kebersamaan. Jauh dari gangguan orang-orang yang serakah dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Tapi apa hendak dikata. Setiap saya membuka mata dipagi hari, saya harus menjalankan garis kehidupan yang sudah ada yang sampai sekarang saya belum mampu membuat garis kehidupan yang baru. Bahkan membayangkan garis-garis baru saja saya belum mampu....
Wednesday, May 27, 2009
Sendiri Menyelamatkan Penyu di Pulau Terluar
Beberapa minggu yang lalu saya berangkat ke Bagansiapiapi, Riau untuk menemui seseorang yang katanya berhasil menyelamatkan populasi penyu hijau (Chelonia mydas) di sebuah pulau terluar yaitu Pulau Jemur. Pulau yang berada di Selat Malaka, perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Awalnya dari Bogor saya hanya membaca sebuah profil singkat yang saya terima. Saya belum bisa membayangkan seperti apa bentuk orangnya dan bagaimana orangnya.
Setelah tiba di Riau, kami langsung dijemput oleh sebuah mobil yang memang sudah dipesan untuk langsung membawa kami menuju Bagansiapiapi. Perjalanan menuju Bagansiapiapi sekitar 5-6 jam. Cukup melelahkan memang berjam jam berada didalam mobil.
Karena berangkatnya agak telat, kami tiba di Bagansiapiapi pada waktu malam hari yaitu sekitar pukul 20.00 WIB. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi disaat tiba di Bagansiapapi kecuali mencari penginapan, mandi, makan malam dan langsung tidur karena badan lumayan pegel-pegel setelah beberapa jam berada didalam mobil dan subuh-subuh berangkat ke badara dari Bogor.
Setelah jalan-jalan pagi mengelilingi kota bagan dan melihat klenteng tua yang berada ditengah kota bagan, saya dan dua orang teman menemui seseorang yang memang sudah tujuan kami untuk datang ke kota ini. Cerita berikut ini adalah hasil rangkuman dari catatan saya setelah saya memberikan beberapa pertanyan kepada beliau. Semoga bisa menjadi sebuah inspirasi bagi kita semua.
Awalnya Hanya Penasaran Ingin Lihat Induk Penyu
Sopyan Hadi (34), seorang laki-laki kelahiran Riau ini adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perindustrian dan Perdagangan di Kabupaten Rokan Hilir. Tak disangka pria yang berpenampilan sederhana ini adalah seseorang yang sudah berhasil menyelamatkan populasi penyu hijau di Pulau Jemur. Setelah banyak mendengar cerita dari beliau ini saya langsung geleng-geleng kepala dan takjub terhadap apa yang sudah dilakukannya untuk melakukan penyelamatan penyu hijau di pulau tersebut. Seorang PNS yang dulunya bekerja di BAPEDA ini masih punya kepedulian terhadap kelestarian alam dan satwa yang terancam punah yang ada di Indonesia.
“Awalnya saya hanya ingin melihat seperti apa bentuknya induk penyu. Karena dari dulu penyu ini memang sudah menjadi bahan eksploitasi. Pada saat zaman kerajaan dulu, penyu dan telur penyu itu adalah upeti untuk para raja dan pejabatnya. Nah, sampai dengan sekarang penyu dan telur penyu itu masih diambil dan diperjualbelikan oleh orang-orang yang ada disini. Coba bayangkan bagaimana ngga berkurang dan mungkin habis penyu disini. Dari dulu telur dan induknya diambil terus. Siapa yang tidak sedih, jumlah penyu yang ada di Pulau Jemur saat itu sekitar 30 ekor” ceritanya disaat memulai pembicaraan.
Karena rasa penasaran inilah akhirnya Pak Sopyan nekad berangkat sendirian ke Pulau Jemur. Dari Bagan menuju Pulau Jemur dibutuhkan waktu sekitar 7 jam dengan kapal nelayan. Untuk berangkat kesanapun harus melihat kondisi cuaca. Jika kondisi cuaca tidak baik atau angin kencang tidak ada satupun nelayan yang berani menuju kesana. Pulau Jemur sering juga disebut Pulau Arwah karena dulunya gugusan pulau ini adalah tempat pembantaian tahanan disaat perang pasifik. Maka tidak heran di Pulau Jemur ini terdapat bangunan benteng-benteng tua dan sumur-sumur tempat pembuangan mayat. Didalam lautnya juga terdapat kapal-kapal yang tenggelam akibat perang. Kabarnya disekitar pulau ini juga orang-orang yang berperang dulunya membuang senjata.
Sampai dengan saat ini di pulau tersebut tidak ada penduduk yang tinggal. Hanya ada pos navigasi (mercusuar) dan pos TNI Angkatan Laut. Dulu kabarnya memang banyak masyarakat yang tinggal di pulai ini. Tapi sejak ada isu ganyang malaysia dulunya, masyarakat disana dipindahkan dan di gugusan pulau tersebut menjadi kawasan militer dan pos TNI.
Gugusan Pulau Arwah ini terdapat beberapa pulau diantaranya; Pulau Jemur 28,494 ha, Pulau Pertandangan 0, 82 ha, Pulau Sarong Alang 10,365 ha, Pulau Tukong Emas 3,911 ha, Pulau Batu Adang 0,84 ha, Pulau Labuhan Bilik 7,801 ha, Pulau Batu Berlayar 0,238 ha, Pulau Batu Mandi 0,8 ha dan Pulau Tukong 0,30 ha.
“Karena untuk melihat induk penyu naik ke darat hanya pada saat malam hari dan ingin bertelur. Saya harus sabar menunggu pada malam hari dan tinggal di pulau ini. Disaat pertama kali melihat induk penyu naik ke darat, saya kaget karena bentuknya besar sekali seperti raksasa. Saya langsung bersorak riang sendiri. Karena penyunya melihat saya, penyunya langsung balik lagi ke laut dan tidak jadi bertelur hahahaha.... Itu pejalaran pertama saya. Klo ada penyu yang mau naik ke darat jangan berisik dan sembunyi”.
Dimulai pada tahun 2002 Sopyan Hadi mulai mencari cara untuk melakukan penangkaran telur-telur penyu yang ada. Tidak mudah bagi Sopyan Hadi untuk bisa dekat dengan para nelayan dan TNI AL dimana mereka adalah bagian dari oknum yang mengambil dan menjual telur penyu dan induk penyu hijau. Berbekal dengan perlengkapan yang ada di pulau tersebut Sopyan Hadi mencoba membuat penangkaran seadaanya. Mulai dari ember-ember bekas, kaleng cat bekas dan barang-barang yang sudah tidak berguna lagi beliau jadikan peralatan untuk penangkaran penyu. “Ketika sudah sampai di pulau, tidak mungkin saya kembali lagi ke Bagansiapiapi untuk menyiapkan peralatan dan segala macamnya, mendingan manfaatkan apa yang ada” ucapnya.
Setelah dengan alat yang sederhana dan uji coba penangkaran secara mandiri berhasil walaupun tidak maksimal. Sopyan Hadi mengajak beberapa nelayan dan anggota TNI AL untuk melihat tukik-tukik yang baru saja menetas. Banyaknya nelayan dan aparat TNI AL yang datang melihat, memegang serta memberi makan tukik-tukik tersebut, timbul rasa kepedulian mereka untuk menyelamatkan keberadaan penyu hijau di pulau tersebut. “Mungkin mereka senang lihat tukik-tukik yang lucu-lucu, memberi makan tukik, sehingga mereka sadar apa yang mereka lakukan selama ini salah. Saya menyadarkan mereka melalui tukik itu. Bahwa telur-telur yang mereka ambil selama ini mengakibatkan tukik tidak bisa menetas dan penyu yang ada akan semakin berkurang. Lama sekali saya menyadarkan mereka. Saya tidak pernah banyak bicara, lakukan aja sendiri penangkaran. Trus ajak nelayan dan TNI ngobrol-ngobrol tentang penyu. Prosesnya lama, bertahun-tahun. Saya klo datang ke pulau itu, yang saya bawa adalah kopi, gula dan rokok untuk kumpul-kumpul dan ngariung” jelas Pak Sopyan kepada saya bagaimana dia melakukan pendekatan dengan nelayan dan aparat TNI AL.
Setelah berhasil dengan penangkaran metode sederhana, Sopyan Hadi terus mencoba beberapa metoda lainnya. Beliau mulai menjalin hubungan dengan Pemda Rokan Hilir, Universitas Riau (UNRI) dan beberapa pihak lainnya untuk membantu proses penangkaran. UNRI memberikan alat batu penangkaran dari fiber glass. Pemda juga membantu beberapa peralatan. Gaung penyelamatan penyu hijau di Pulau Jemur pun semakin meluas. Beberapa tahun yang lalu Gubernur Provinsi Riau dan pejabat-pejabat dari Pemda datang ke pukau tersebut untuk melakukan pelepasan penyu yang sudah ditangkarkan. Upaya penyelamatan penyu di Pulau Jemur sudah sampai ke provinsi. Penyu hijau sekarang juga sudah menjadi icon daerah Bagansiapiapi. “Saya sudah cukup lega sekarang. Sudah ringan. Penyelamatan penyu yang saya lakukan sekarang sudah terdengar dimana-mana. Kerjanya sudah mulai tampak.” Perasaan lega dari Pak Sopyan.
Dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 diperkirakan Pak Sopyan Hadi sudah melepaskan sekitar 20.000 ekor tukik ke pantai. Jumlah yang sangat besar dari inisiatif satu orang di sebuah pulau. Namun upaya penangkaran ini agar terus berkelanjutan memang membutuhkan bantuan dari pihak lain. Saat ini Pak Sopyan Hadi dengan segala keterbatasannya mengangkat 2 orang anak remaja yang putus sekolah untuk menjaga dan merawat penangkaran penyu yang ada di pulau tersebut. Pak Sopyan Hadi sampai dengan saat ini terpaksa menyisakan uang pendapatannya untuk dua orang yang diangkatnya untuk ditempatkan di Pulau Jemur. “Klo mau jujur pak ya, sekarang ini saya sudah punya keluarga. Berat saya harus membiayai dua orang itu dan membiayai terus menerus penangkaran penyu yang ada. Bantuan dari Pemda juga tidak rutin. Saya menyiasatinya ya dari tamu-tamu yang mau datang ke Pulau Jemur. Saya bilang klo mau menyisakan uang untuk mereka dan penangkaran ya silahkan. Seharusnya ini menjadi kewajiban pemerintah atau BKSDA. Tapi ya beginilah, sampai sekarang tidak ada pemerintah yang mau turun langsung untuk menyelamatkan penyu itu. Karena saya sudah terlanjur cinta terhadap penyu tersebut, yaa saya aja yang bertindak. Bersedekah untuk alam dan lingkungan. Lakukan semampu saya dan apa yang saya bisa lakukan untuk menyelamatkan penyu yang ada di Pulau Jemur” Keluh beliau.
Apa yang dilakukan Pak Sopyan Hadi memang membuat saya terkagum-kagum. Senang sekali bisa bertemu orang hebat seperti beliau. Tak banyak orang seperti beliau. Seandainya di beberapa pulau di Indonesia ini ada orang seperti beliau mungkin negara kita ini bisa dijadikan negara sejuta penyu. Dimana-mana ada tukik yang lucu. Ada penyu yang lucu.
“Mimpi dan harapan saya, semoga saya diberi umur panjang. 30 tahun lagi saya bisa kembali ke Pulau Jemur dan bisa melihat 30 ribu ekor penyu yang saya lepaskan balik ke Pulau Jemur untuk bertelur. Karena penyu hijau baru bisa bertelur sekitar umur 3o an tahun. Penyu akan ingat dimana tempat pertama kali ia dilepaskan. Pasti dia akan kembali...”
Semoga mimpi dan harapannya bisa terwujud pak. Semoga nanti saya juga bisa datang ke Pulau Jemur. Amien...
Setelah tiba di Riau, kami langsung dijemput oleh sebuah mobil yang memang sudah dipesan untuk langsung membawa kami menuju Bagansiapiapi. Perjalanan menuju Bagansiapiapi sekitar 5-6 jam. Cukup melelahkan memang berjam jam berada didalam mobil.
Karena berangkatnya agak telat, kami tiba di Bagansiapiapi pada waktu malam hari yaitu sekitar pukul 20.00 WIB. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi disaat tiba di Bagansiapapi kecuali mencari penginapan, mandi, makan malam dan langsung tidur karena badan lumayan pegel-pegel setelah beberapa jam berada didalam mobil dan subuh-subuh berangkat ke badara dari Bogor.
Setelah jalan-jalan pagi mengelilingi kota bagan dan melihat klenteng tua yang berada ditengah kota bagan, saya dan dua orang teman menemui seseorang yang memang sudah tujuan kami untuk datang ke kota ini. Cerita berikut ini adalah hasil rangkuman dari catatan saya setelah saya memberikan beberapa pertanyan kepada beliau. Semoga bisa menjadi sebuah inspirasi bagi kita semua.
Awalnya Hanya Penasaran Ingin Lihat Induk Penyu
Sopyan Hadi (34), seorang laki-laki kelahiran Riau ini adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perindustrian dan Perdagangan di Kabupaten Rokan Hilir. Tak disangka pria yang berpenampilan sederhana ini adalah seseorang yang sudah berhasil menyelamatkan populasi penyu hijau di Pulau Jemur. Setelah banyak mendengar cerita dari beliau ini saya langsung geleng-geleng kepala dan takjub terhadap apa yang sudah dilakukannya untuk melakukan penyelamatan penyu hijau di pulau tersebut. Seorang PNS yang dulunya bekerja di BAPEDA ini masih punya kepedulian terhadap kelestarian alam dan satwa yang terancam punah yang ada di Indonesia.
“Awalnya saya hanya ingin melihat seperti apa bentuknya induk penyu. Karena dari dulu penyu ini memang sudah menjadi bahan eksploitasi. Pada saat zaman kerajaan dulu, penyu dan telur penyu itu adalah upeti untuk para raja dan pejabatnya. Nah, sampai dengan sekarang penyu dan telur penyu itu masih diambil dan diperjualbelikan oleh orang-orang yang ada disini. Coba bayangkan bagaimana ngga berkurang dan mungkin habis penyu disini. Dari dulu telur dan induknya diambil terus. Siapa yang tidak sedih, jumlah penyu yang ada di Pulau Jemur saat itu sekitar 30 ekor” ceritanya disaat memulai pembicaraan.
Karena rasa penasaran inilah akhirnya Pak Sopyan nekad berangkat sendirian ke Pulau Jemur. Dari Bagan menuju Pulau Jemur dibutuhkan waktu sekitar 7 jam dengan kapal nelayan. Untuk berangkat kesanapun harus melihat kondisi cuaca. Jika kondisi cuaca tidak baik atau angin kencang tidak ada satupun nelayan yang berani menuju kesana. Pulau Jemur sering juga disebut Pulau Arwah karena dulunya gugusan pulau ini adalah tempat pembantaian tahanan disaat perang pasifik. Maka tidak heran di Pulau Jemur ini terdapat bangunan benteng-benteng tua dan sumur-sumur tempat pembuangan mayat. Didalam lautnya juga terdapat kapal-kapal yang tenggelam akibat perang. Kabarnya disekitar pulau ini juga orang-orang yang berperang dulunya membuang senjata.
Sampai dengan saat ini di pulau tersebut tidak ada penduduk yang tinggal. Hanya ada pos navigasi (mercusuar) dan pos TNI Angkatan Laut. Dulu kabarnya memang banyak masyarakat yang tinggal di pulai ini. Tapi sejak ada isu ganyang malaysia dulunya, masyarakat disana dipindahkan dan di gugusan pulau tersebut menjadi kawasan militer dan pos TNI.
Gugusan Pulau Arwah ini terdapat beberapa pulau diantaranya; Pulau Jemur 28,494 ha, Pulau Pertandangan 0, 82 ha, Pulau Sarong Alang 10,365 ha, Pulau Tukong Emas 3,911 ha, Pulau Batu Adang 0,84 ha, Pulau Labuhan Bilik 7,801 ha, Pulau Batu Berlayar 0,238 ha, Pulau Batu Mandi 0,8 ha dan Pulau Tukong 0,30 ha.
“Karena untuk melihat induk penyu naik ke darat hanya pada saat malam hari dan ingin bertelur. Saya harus sabar menunggu pada malam hari dan tinggal di pulau ini. Disaat pertama kali melihat induk penyu naik ke darat, saya kaget karena bentuknya besar sekali seperti raksasa. Saya langsung bersorak riang sendiri. Karena penyunya melihat saya, penyunya langsung balik lagi ke laut dan tidak jadi bertelur hahahaha.... Itu pejalaran pertama saya. Klo ada penyu yang mau naik ke darat jangan berisik dan sembunyi”.
Dimulai pada tahun 2002 Sopyan Hadi mulai mencari cara untuk melakukan penangkaran telur-telur penyu yang ada. Tidak mudah bagi Sopyan Hadi untuk bisa dekat dengan para nelayan dan TNI AL dimana mereka adalah bagian dari oknum yang mengambil dan menjual telur penyu dan induk penyu hijau. Berbekal dengan perlengkapan yang ada di pulau tersebut Sopyan Hadi mencoba membuat penangkaran seadaanya. Mulai dari ember-ember bekas, kaleng cat bekas dan barang-barang yang sudah tidak berguna lagi beliau jadikan peralatan untuk penangkaran penyu. “Ketika sudah sampai di pulau, tidak mungkin saya kembali lagi ke Bagansiapiapi untuk menyiapkan peralatan dan segala macamnya, mendingan manfaatkan apa yang ada” ucapnya.
Setelah dengan alat yang sederhana dan uji coba penangkaran secara mandiri berhasil walaupun tidak maksimal. Sopyan Hadi mengajak beberapa nelayan dan anggota TNI AL untuk melihat tukik-tukik yang baru saja menetas. Banyaknya nelayan dan aparat TNI AL yang datang melihat, memegang serta memberi makan tukik-tukik tersebut, timbul rasa kepedulian mereka untuk menyelamatkan keberadaan penyu hijau di pulau tersebut. “Mungkin mereka senang lihat tukik-tukik yang lucu-lucu, memberi makan tukik, sehingga mereka sadar apa yang mereka lakukan selama ini salah. Saya menyadarkan mereka melalui tukik itu. Bahwa telur-telur yang mereka ambil selama ini mengakibatkan tukik tidak bisa menetas dan penyu yang ada akan semakin berkurang. Lama sekali saya menyadarkan mereka. Saya tidak pernah banyak bicara, lakukan aja sendiri penangkaran. Trus ajak nelayan dan TNI ngobrol-ngobrol tentang penyu. Prosesnya lama, bertahun-tahun. Saya klo datang ke pulau itu, yang saya bawa adalah kopi, gula dan rokok untuk kumpul-kumpul dan ngariung” jelas Pak Sopyan kepada saya bagaimana dia melakukan pendekatan dengan nelayan dan aparat TNI AL.
Setelah berhasil dengan penangkaran metode sederhana, Sopyan Hadi terus mencoba beberapa metoda lainnya. Beliau mulai menjalin hubungan dengan Pemda Rokan Hilir, Universitas Riau (UNRI) dan beberapa pihak lainnya untuk membantu proses penangkaran. UNRI memberikan alat batu penangkaran dari fiber glass. Pemda juga membantu beberapa peralatan. Gaung penyelamatan penyu hijau di Pulau Jemur pun semakin meluas. Beberapa tahun yang lalu Gubernur Provinsi Riau dan pejabat-pejabat dari Pemda datang ke pukau tersebut untuk melakukan pelepasan penyu yang sudah ditangkarkan. Upaya penyelamatan penyu di Pulau Jemur sudah sampai ke provinsi. Penyu hijau sekarang juga sudah menjadi icon daerah Bagansiapiapi. “Saya sudah cukup lega sekarang. Sudah ringan. Penyelamatan penyu yang saya lakukan sekarang sudah terdengar dimana-mana. Kerjanya sudah mulai tampak.” Perasaan lega dari Pak Sopyan.
Dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 diperkirakan Pak Sopyan Hadi sudah melepaskan sekitar 20.000 ekor tukik ke pantai. Jumlah yang sangat besar dari inisiatif satu orang di sebuah pulau. Namun upaya penangkaran ini agar terus berkelanjutan memang membutuhkan bantuan dari pihak lain. Saat ini Pak Sopyan Hadi dengan segala keterbatasannya mengangkat 2 orang anak remaja yang putus sekolah untuk menjaga dan merawat penangkaran penyu yang ada di pulau tersebut. Pak Sopyan Hadi sampai dengan saat ini terpaksa menyisakan uang pendapatannya untuk dua orang yang diangkatnya untuk ditempatkan di Pulau Jemur. “Klo mau jujur pak ya, sekarang ini saya sudah punya keluarga. Berat saya harus membiayai dua orang itu dan membiayai terus menerus penangkaran penyu yang ada. Bantuan dari Pemda juga tidak rutin. Saya menyiasatinya ya dari tamu-tamu yang mau datang ke Pulau Jemur. Saya bilang klo mau menyisakan uang untuk mereka dan penangkaran ya silahkan. Seharusnya ini menjadi kewajiban pemerintah atau BKSDA. Tapi ya beginilah, sampai sekarang tidak ada pemerintah yang mau turun langsung untuk menyelamatkan penyu itu. Karena saya sudah terlanjur cinta terhadap penyu tersebut, yaa saya aja yang bertindak. Bersedekah untuk alam dan lingkungan. Lakukan semampu saya dan apa yang saya bisa lakukan untuk menyelamatkan penyu yang ada di Pulau Jemur” Keluh beliau.
Apa yang dilakukan Pak Sopyan Hadi memang membuat saya terkagum-kagum. Senang sekali bisa bertemu orang hebat seperti beliau. Tak banyak orang seperti beliau. Seandainya di beberapa pulau di Indonesia ini ada orang seperti beliau mungkin negara kita ini bisa dijadikan negara sejuta penyu. Dimana-mana ada tukik yang lucu. Ada penyu yang lucu.
“Mimpi dan harapan saya, semoga saya diberi umur panjang. 30 tahun lagi saya bisa kembali ke Pulau Jemur dan bisa melihat 30 ribu ekor penyu yang saya lepaskan balik ke Pulau Jemur untuk bertelur. Karena penyu hijau baru bisa bertelur sekitar umur 3o an tahun. Penyu akan ingat dimana tempat pertama kali ia dilepaskan. Pasti dia akan kembali...”
Semoga mimpi dan harapannya bisa terwujud pak. Semoga nanti saya juga bisa datang ke Pulau Jemur. Amien...
Monday, May 11, 2009
Danau Sentarum dan Perbatasan Serawak
Setelah dua hari berada di Sui Utik (26-28/04) melihat dan mendokumetasikan sidang masyarakat adat dayak Se-Jalai Lintang saya melanjutkan perjalanan ke Lanjak, Badau (Perbatasan Serawak dengan Kalbar) dan Danau Sentarum.
Ketika berada di Sui Utik untuk yang ketiga kalinya, hati saya sangat bahagia karena bisa berkunjung lagi ke kampung yang sangat saya kagumi dan yang selalu saya rindukan. Ternyata orang-orang yang tinggal di rumah panjang (rumah betang) masih ingat akan diriku. Mereka datang menghampiri dan menanyakan kabar. Sudah menikah apa belum dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ahh.. mungkin hampir dua tahun lebih terakhir saya datang kesini.
Setelah selesai sidang adat, malamnya kami kumpul bersama-sama, maen musik tradisional (alat musiknya nggerumo, gendang, tawak-tawak dan bebendai) sambil menari khas dayak. Mereka berdiri dan maju, trus menari secara bergantian. Kami hanya menonton, sesekali bertepuk tangan sambil menikmati tuak yang dituangkan digelas kami. Betapa indahnya malam itu. Berkumpul diteras rumah panjang yang panjangnya sekitar 180 m dengan penuh canda tawa dan tukar cerita.
Untuk melepas rindu di Sui Utik, saya dan beberapa teman menikmati tuak yang dibuat oleh mereka. Setelah beberapa jam bernyanyi dan menari saya sudah tidak sadar diri. Ketika sadar pada pagi harinya, saya ternyata dengan beberapa teman tertidur di teras tersebut.
Pada tanggal 29 Mei 2009, saya melanjutkan perjalanan ke Lanjak. Sekitar 2 jam dari Sui Utik. Disana saya juga mencoba mendokumentasikan pertemuan tahunan masyarakat sekitar danau sentarum. Pertemuan tahunan ini dilakukan untuk membahas apa dan bagaimana perkembangan masyarakat yang ada di danau sentarum. Tema dari pertemuan tahunan yang ke empat ini adalah “Menuju Danau Sentarum Impian 2014”.
Antara Mimpi dan Kenyataan
Selama dua hari acara pertemuan tahunan masyarakat danau sentarum, banyak sekali harapan-harapan dan mimpi mereka terhadap keberadaan danau sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu. Mereka berharap potensi-potensi yang ada di danau seperti ikan, madu dan keindahan yang dimiliki oleh danau sentarum bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Bisa menyekolahkan anak-anak mereka dan bisa menikmati potensi yang ada di danau sentarum tanpa merusak ekosistem yang ada di Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).
Namun, dalam beberapa tahun terakhir masyarakat di sekitar danau sentarum mulai resah. Khawatir dan bingung. Puluhan izin pembukaan lahan di sekeliling danau sentarum untuk perkebunan kelapa sawit skala besar sudah berikan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu kepada beberapa perusahaan besar. Hasil penilitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memperkirakan sekitar 141.290 hektar kawasan hutan primer dan sekunder telah ditebang dan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit. Sayang saya lupa mengcopy peta persebarannya. Klo anda bertanya dimana saja posisi perkebunan tersebut? Jawabannya adalah persis mengelilingi seluruh kawasan TN Danau Sentarum.
Mungkin inilah kenyataan yang akan diterima masyarakat disekitar danau sentarum nantinya. Hilangnya kekayaan alam yang selama ini sudah ada, seperti ratusan jenis ikan, puluhan ton madu setiap tahunnya dan tercemarnya kualitas air danau. Sampai dengan saat ini saya tidak habis pikir apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu. Sudah jelas sekali bahwa masyarakat disekitar danau sentaraum sangat tergantung dengan keberadaan danau sentarum. Potensi disekitar kawasan ini adalah ikan, madu dan keindahan alam danau sentarum. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian nelayan dan bertani. Tapi yang dilakukan adalah memberikan izin untuk membuka perkebunan kelapa sawit. I don’t know what local goverment think about this. Is crazy option I guess.... Anda tahu? Beberapa tahun yang lalu Pemerintah Kapuas Hulu ini menyatakan diri sebagai Kabupaten Konservasi. See ??
Memang hampir diseluruh propinsi dan kabupaten, pemerintahnya kadang tidak mau berkaca. Berkaca dalam artian kebijakan yang dikeluarkan terkadang tidak sesuai dengan potensi alam yang dimiliki dan apa yang masyarakatnya inginkan. Sering sekali saya menjumpai hal-hal seperti ini disetiap daerah yang saya kunjungi. Untuk di daerah danau sentarum, memang ada beberapa desa saja yang menerima kebijakan pembukaan perkebunan sawit. Hal ini jika ditelusuri, mereka mendukung karena tidak ada pilihan. Mereka ingin mendapatkan uang secara instan, yaitu menjual tanah yang mereka miliki ke perusahaan perkebunan. Serta berharap bisa mendapatkan pekerjaan disana. Alasan klasik memang yaitu karena desakan ekonomi.
Sebenarnya yang saya kwatirkan adalah mereka mendukung bukan sekedar alasan diatas semata. Tapi lebih terhadap iming-iming atau mimpi-mimpi mereka akan sejahteranya hidup mereka jika perkebunan kelapa sawit dibuka disekitar kampung mereka. Seandainya saja mereka bisa mengerti dan tahu bahwa dimana-mana, ya seorang petani itu akan sejahtera bekerja di tanah dan ladang mereka sendiri. Bukan menjadi buruh di perkebunan atau ditanah orang lain.
Sewaktu saya berada disebuah lokasi pembibitan disebuah perkebunan kelapa sawit yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Badau, saya menanyakan beberapa hal kepada seorang ibu yang sedang menanam bibit kelapa sawit dilahan itu.
Saya : “Maaf ibu, ibu dari mana dan sudah berapa lama bekerja disini?”
Ibu: “Saya dari Martinus, belum sampai satu bulan saya bekerja disini. Awalnya kami diajak bekerja disini sebagai orang yang mengisi tanah di polibek untuk ditanam bibit. Tapi nyatanya setelah datang kesini kami disuruh menanam bibit kelapa sawit ini. Ini bukan pekerjaan seorang perempuan”
Saya: “Memangnya bagaimana sistem kerjanya bu, kotrak atau bagaimana?”
Ibu: “Pokoknya 1 pohonnya seribu dibilangnya. Tau sendirilah beratnya bibit kelapa sawit ini. Kami berkelompok, satu kelompok itu 6 orang. Satu hari kami paling bisa menanam hanya 100-200 pohon. Bayangkanlah 100 ribu dibagi 6, ngga nyampe 10 ribu kami mendapatkan uang perharinya. Kerjanya dari jam 4.30 sampai jam 6 sore”
Saya: “Ibu bolak-balik kerjanya setiap hari dan apakah makannya dikasih?”
Ibu: “Nggalah, mana cukup ongkosnya. Kami tidur disini. Makan ya masak sendiri. Kami kesini aja minjem dulu uang tetangga untuk ongkos dan makan selama disini”
Mungkin anda bisa membayangkan dari sepenggal percakapan saya dengan seorang ibu tersebut. Bagaimana kondisi mereka yang bekerja disana. Mendengar pernyataan-pernyataan yang keluar dari sang ibu terkadang membuat saya ingin mendamprat dan mencaci maki habis-habisan pemerintahnya.
Pulau Majang
Setelah melihat dan berkeliling disekitar perbatasan Kalbar dan Serawak. Melihat bagaimana gencarnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di perbatasan. Saya dan beberapa teman berangkat menuju Pulau Majang. Sebuah desa yang berada di Danau Sentarum.
Untuk menuju ke Pulau Majang, ada beberapa pilihan jalur yang bisa digunakan. Bisa menggunakan boat melewati danau atau pakai kendaraan bermotor. Kami menuju kesana dengan menggunakan sepeda motor dari Lanjak. Dari Lanjak, pertama kami menuju ke Badau lama perjalanan sekitar dua jam. Dari Badau lanjut ke Empaik lama perjalanan sekitar dua jam. Jalan menuju Desa Empaik adalah jalan tanah dan jika hujan jalannya sangat licin dan berlumpur. Dari Empaik baru kita pakai long boat menuju ke Pulau Majang, lama perjalanan sekitar 20 menit.
Perjalanan saya mengendarai sepeda motor disana sungguh mengasyikan. Dibelakang membonceng teman berseta barang-barang, didepan saya juga ada barang. Sudah tidak peduli lagi debu-debu yang menempel di muka dan terbakarnya kulit selama membawa sepeda motor. Kami menyewa motornya “komeng” disana selama beberapa hari. Untungnya jembatan-jembatan yang kami lewati tidak ambruk gara-gara membawa motor ini hehehe....
Setibanya di Pulau Majang, hati saya berdesir dan kagum. Betapa cantiknya kampung ini. Damai berada ditengah danau. Kampung yang jumlah penduduknya sekitar 900 jiwa ini adalah sebuah kampung tua di danau sentarum. Masyarakatnya percaya sebelum kemerdekaan Indonesia kampung ini sudah ada. Hampir seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan di danau sentarum, bukan nelayan di laut ya. Tapi lucunya mereka menyebutkan danau ini laut. “Pak inikan danau, bukan laut” ucapku disaat mereka menyebutkan laut didalam percakapan mereka. Mereka semua tertawa dan bilang “Yaa kami menyebutnya laut...”
Seluruh rumah-rumah yang ada di Desa Pulau Majang adalah rumah panggung. Jalan-jalan yang ada disepanjang kampung inipun diatas air. Semuanya terbuat dari kayu. Saya sangat senang berada di kampung ini karena tidak perlu lagi menggunakan sandal kemana-mana. Jalannya bersih karena berada diatas, seperti melewati jembatan-jembatan kayu.
Beberapa sungai yang ada di hulu semuanya bermuara di Pulau Majang. Jadi disaat musim kemarau, danau ini kering dan yang tersisa hanya hamparan tanah yang kering yang luas dan aliran anak-anak sungai saja. Tapi sudah dua tahun ini air di danau ini tidak pernah kering.
Diberikannya izin kepada beberapa perusahaan kelapa sawit disekitar kawasan danau sentarum tentu saja membuat masyarakat di Pulau Majang cemas dan khawatir. Mereka khawatir dengan jarak antara danau dan perkebunan yang sangat dekat (sekitar 3-5 km), akan mempengaruhi kualitas air danau dan juga kualitas air sungai jika musim kering. Keberadaan beberapa jenis ikan diperkirakan akan berkurang dan mungkin juga punah. Hasil penelitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memprediksikan minimal 49,92% jenis ikan akan punah dari TNDS karena pencemaran dan perubahan fungsi hidrologi. Industri arwana senilai Rp 70-140 milyar per tahun terancam keracunan pestisida dan penurunan kualitas air. Sekitar 93,68% masyarakat yang penghidupannya dari perikanan di TNDS dengan nilai Rp 34,7 milyar per tahun akan kehilangan mata pencaharian.
Selain ikan, masyarakat Pulau Majang juga cemas akan dicabutnya sertifikat organik (BioCert) yang telah diterima oleh petani madu di danau sentarum. Sertifikat ini diberikan kepada APDS-Asosiasi Madu Hutan Indonesia, karena memanen madu secara organik, lestari, pemulihan habitat lebah dan melakukan pengolahan hutan. Dampak dari dicabutnya sertifikat ini adalah hilangnya para pembeli tetap madu danau sentarum dengan harga tinggi. Tahun lalu total madu danau sentarum yang dipanen dan terjual sebanyak kurang lebih 17 ton dengan harga Rp 45.000/kg ditingkat asosiasi.
“Mau bercerita kepada siapa lagi kami bang. Mau mengeluh dan protes kepada siapa lagi kami ini. Pemerintah tidak pernah mau mendengar kekhawatiran kami” cetus Pak Aswan, Kepala Desa Pulau majang kepadaku disaat kami berkunjung kerumahnya. “Keuntungannya bagi kami yang dipulau ini, didanau ini, pastinya tidak ada. Tapi dampaknya kecil atau besar pasti ada jika perkebunan sawit dibuka disekeliling danau sentarum” lanjutnya.
Aahh... saya yang hanya bisa mendengar dan mencoba mendokumentasikan keadaan danau sentarum dan masyarakatnya hanya bisa tersenyum miris. Untuk kesekian kalinya saya melihat masyarakat di negara tercinta ini seperti putus asa dan tidak ada harapan hidup tenang dan damai bersama kekayaan alam yang mereka miliki. Selalu saja terusik. Keputusan dan kebijakan pemerintah daerah terkadang terlalu cepat, terlalu memaksakan kehendak dan bertentangan dengan keinginan masyarakatnya.
“Kami bercerita tentang Pulau Majang ini sudah sangat sering. Bahkan beberapa puluh tahun yang lalu. Jadi kami ini seolah-olah meratap saja. Tidak ada perubahan. Jangan-jangan kalian nanti datang lagi, cerita yang sama yang akan kami ceritakan. Tidak ada perubahan” ucap Pak Aswan lagi kepada ku.
Tak ada kata yang bisa saya ucapkan lagi kepada Pak Aswan disaat beliau menyampaikan kata-kata itu. Dalam hati saya hanya berharap dan berdoa. Semoga negara kita yang kaya akan sumberdaya alam ini, kaya budaya dan masyarakat yang berbagai macam suku bisa hidup damai dan sejahtera. Dipimpin oleh pemimpin yang cerdas dan punya ahlak. Anak-anak bisa tersenyum riang menatap masa depannya. Amien....
Sumber foto : Rizaldi Siagian, Greenpeace/Edy Purnomo, Riak Bumi/Jem Sammi
Ketika berada di Sui Utik untuk yang ketiga kalinya, hati saya sangat bahagia karena bisa berkunjung lagi ke kampung yang sangat saya kagumi dan yang selalu saya rindukan. Ternyata orang-orang yang tinggal di rumah panjang (rumah betang) masih ingat akan diriku. Mereka datang menghampiri dan menanyakan kabar. Sudah menikah apa belum dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Ahh.. mungkin hampir dua tahun lebih terakhir saya datang kesini.
Setelah selesai sidang adat, malamnya kami kumpul bersama-sama, maen musik tradisional (alat musiknya nggerumo, gendang, tawak-tawak dan bebendai) sambil menari khas dayak. Mereka berdiri dan maju, trus menari secara bergantian. Kami hanya menonton, sesekali bertepuk tangan sambil menikmati tuak yang dituangkan digelas kami. Betapa indahnya malam itu. Berkumpul diteras rumah panjang yang panjangnya sekitar 180 m dengan penuh canda tawa dan tukar cerita.
Untuk melepas rindu di Sui Utik, saya dan beberapa teman menikmati tuak yang dibuat oleh mereka. Setelah beberapa jam bernyanyi dan menari saya sudah tidak sadar diri. Ketika sadar pada pagi harinya, saya ternyata dengan beberapa teman tertidur di teras tersebut.
Pada tanggal 29 Mei 2009, saya melanjutkan perjalanan ke Lanjak. Sekitar 2 jam dari Sui Utik. Disana saya juga mencoba mendokumentasikan pertemuan tahunan masyarakat sekitar danau sentarum. Pertemuan tahunan ini dilakukan untuk membahas apa dan bagaimana perkembangan masyarakat yang ada di danau sentarum. Tema dari pertemuan tahunan yang ke empat ini adalah “Menuju Danau Sentarum Impian 2014”.
Antara Mimpi dan Kenyataan
Selama dua hari acara pertemuan tahunan masyarakat danau sentarum, banyak sekali harapan-harapan dan mimpi mereka terhadap keberadaan danau sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu. Mereka berharap potensi-potensi yang ada di danau seperti ikan, madu dan keindahan yang dimiliki oleh danau sentarum bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Bisa menyekolahkan anak-anak mereka dan bisa menikmati potensi yang ada di danau sentarum tanpa merusak ekosistem yang ada di Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).
Namun, dalam beberapa tahun terakhir masyarakat di sekitar danau sentarum mulai resah. Khawatir dan bingung. Puluhan izin pembukaan lahan di sekeliling danau sentarum untuk perkebunan kelapa sawit skala besar sudah berikan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu kepada beberapa perusahaan besar. Hasil penilitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memperkirakan sekitar 141.290 hektar kawasan hutan primer dan sekunder telah ditebang dan dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit. Sayang saya lupa mengcopy peta persebarannya. Klo anda bertanya dimana saja posisi perkebunan tersebut? Jawabannya adalah persis mengelilingi seluruh kawasan TN Danau Sentarum.
Mungkin inilah kenyataan yang akan diterima masyarakat disekitar danau sentarum nantinya. Hilangnya kekayaan alam yang selama ini sudah ada, seperti ratusan jenis ikan, puluhan ton madu setiap tahunnya dan tercemarnya kualitas air danau. Sampai dengan saat ini saya tidak habis pikir apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kapuas Hulu. Sudah jelas sekali bahwa masyarakat disekitar danau sentaraum sangat tergantung dengan keberadaan danau sentarum. Potensi disekitar kawasan ini adalah ikan, madu dan keindahan alam danau sentarum. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian nelayan dan bertani. Tapi yang dilakukan adalah memberikan izin untuk membuka perkebunan kelapa sawit. I don’t know what local goverment think about this. Is crazy option I guess.... Anda tahu? Beberapa tahun yang lalu Pemerintah Kapuas Hulu ini menyatakan diri sebagai Kabupaten Konservasi. See ??
Memang hampir diseluruh propinsi dan kabupaten, pemerintahnya kadang tidak mau berkaca. Berkaca dalam artian kebijakan yang dikeluarkan terkadang tidak sesuai dengan potensi alam yang dimiliki dan apa yang masyarakatnya inginkan. Sering sekali saya menjumpai hal-hal seperti ini disetiap daerah yang saya kunjungi. Untuk di daerah danau sentarum, memang ada beberapa desa saja yang menerima kebijakan pembukaan perkebunan sawit. Hal ini jika ditelusuri, mereka mendukung karena tidak ada pilihan. Mereka ingin mendapatkan uang secara instan, yaitu menjual tanah yang mereka miliki ke perusahaan perkebunan. Serta berharap bisa mendapatkan pekerjaan disana. Alasan klasik memang yaitu karena desakan ekonomi.
Sebenarnya yang saya kwatirkan adalah mereka mendukung bukan sekedar alasan diatas semata. Tapi lebih terhadap iming-iming atau mimpi-mimpi mereka akan sejahteranya hidup mereka jika perkebunan kelapa sawit dibuka disekitar kampung mereka. Seandainya saja mereka bisa mengerti dan tahu bahwa dimana-mana, ya seorang petani itu akan sejahtera bekerja di tanah dan ladang mereka sendiri. Bukan menjadi buruh di perkebunan atau ditanah orang lain.
Sewaktu saya berada disebuah lokasi pembibitan disebuah perkebunan kelapa sawit yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Badau, saya menanyakan beberapa hal kepada seorang ibu yang sedang menanam bibit kelapa sawit dilahan itu.
Saya : “Maaf ibu, ibu dari mana dan sudah berapa lama bekerja disini?”
Ibu: “Saya dari Martinus, belum sampai satu bulan saya bekerja disini. Awalnya kami diajak bekerja disini sebagai orang yang mengisi tanah di polibek untuk ditanam bibit. Tapi nyatanya setelah datang kesini kami disuruh menanam bibit kelapa sawit ini. Ini bukan pekerjaan seorang perempuan”
Saya: “Memangnya bagaimana sistem kerjanya bu, kotrak atau bagaimana?”
Ibu: “Pokoknya 1 pohonnya seribu dibilangnya. Tau sendirilah beratnya bibit kelapa sawit ini. Kami berkelompok, satu kelompok itu 6 orang. Satu hari kami paling bisa menanam hanya 100-200 pohon. Bayangkanlah 100 ribu dibagi 6, ngga nyampe 10 ribu kami mendapatkan uang perharinya. Kerjanya dari jam 4.30 sampai jam 6 sore”
Saya: “Ibu bolak-balik kerjanya setiap hari dan apakah makannya dikasih?”
Ibu: “Nggalah, mana cukup ongkosnya. Kami tidur disini. Makan ya masak sendiri. Kami kesini aja minjem dulu uang tetangga untuk ongkos dan makan selama disini”
Mungkin anda bisa membayangkan dari sepenggal percakapan saya dengan seorang ibu tersebut. Bagaimana kondisi mereka yang bekerja disana. Mendengar pernyataan-pernyataan yang keluar dari sang ibu terkadang membuat saya ingin mendamprat dan mencaci maki habis-habisan pemerintahnya.
Pulau Majang
Setelah melihat dan berkeliling disekitar perbatasan Kalbar dan Serawak. Melihat bagaimana gencarnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di perbatasan. Saya dan beberapa teman berangkat menuju Pulau Majang. Sebuah desa yang berada di Danau Sentarum.
Untuk menuju ke Pulau Majang, ada beberapa pilihan jalur yang bisa digunakan. Bisa menggunakan boat melewati danau atau pakai kendaraan bermotor. Kami menuju kesana dengan menggunakan sepeda motor dari Lanjak. Dari Lanjak, pertama kami menuju ke Badau lama perjalanan sekitar dua jam. Dari Badau lanjut ke Empaik lama perjalanan sekitar dua jam. Jalan menuju Desa Empaik adalah jalan tanah dan jika hujan jalannya sangat licin dan berlumpur. Dari Empaik baru kita pakai long boat menuju ke Pulau Majang, lama perjalanan sekitar 20 menit.
Perjalanan saya mengendarai sepeda motor disana sungguh mengasyikan. Dibelakang membonceng teman berseta barang-barang, didepan saya juga ada barang. Sudah tidak peduli lagi debu-debu yang menempel di muka dan terbakarnya kulit selama membawa sepeda motor. Kami menyewa motornya “komeng” disana selama beberapa hari. Untungnya jembatan-jembatan yang kami lewati tidak ambruk gara-gara membawa motor ini hehehe....
Setibanya di Pulau Majang, hati saya berdesir dan kagum. Betapa cantiknya kampung ini. Damai berada ditengah danau. Kampung yang jumlah penduduknya sekitar 900 jiwa ini adalah sebuah kampung tua di danau sentarum. Masyarakatnya percaya sebelum kemerdekaan Indonesia kampung ini sudah ada. Hampir seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan. Nelayan di danau sentarum, bukan nelayan di laut ya. Tapi lucunya mereka menyebutkan danau ini laut. “Pak inikan danau, bukan laut” ucapku disaat mereka menyebutkan laut didalam percakapan mereka. Mereka semua tertawa dan bilang “Yaa kami menyebutnya laut...”
Seluruh rumah-rumah yang ada di Desa Pulau Majang adalah rumah panggung. Jalan-jalan yang ada disepanjang kampung inipun diatas air. Semuanya terbuat dari kayu. Saya sangat senang berada di kampung ini karena tidak perlu lagi menggunakan sandal kemana-mana. Jalannya bersih karena berada diatas, seperti melewati jembatan-jembatan kayu.
Beberapa sungai yang ada di hulu semuanya bermuara di Pulau Majang. Jadi disaat musim kemarau, danau ini kering dan yang tersisa hanya hamparan tanah yang kering yang luas dan aliran anak-anak sungai saja. Tapi sudah dua tahun ini air di danau ini tidak pernah kering.
Diberikannya izin kepada beberapa perusahaan kelapa sawit disekitar kawasan danau sentarum tentu saja membuat masyarakat di Pulau Majang cemas dan khawatir. Mereka khawatir dengan jarak antara danau dan perkebunan yang sangat dekat (sekitar 3-5 km), akan mempengaruhi kualitas air danau dan juga kualitas air sungai jika musim kering. Keberadaan beberapa jenis ikan diperkirakan akan berkurang dan mungkin juga punah. Hasil penelitian CIFOR dan Riak Bumi (2008) memprediksikan minimal 49,92% jenis ikan akan punah dari TNDS karena pencemaran dan perubahan fungsi hidrologi. Industri arwana senilai Rp 70-140 milyar per tahun terancam keracunan pestisida dan penurunan kualitas air. Sekitar 93,68% masyarakat yang penghidupannya dari perikanan di TNDS dengan nilai Rp 34,7 milyar per tahun akan kehilangan mata pencaharian.
Selain ikan, masyarakat Pulau Majang juga cemas akan dicabutnya sertifikat organik (BioCert) yang telah diterima oleh petani madu di danau sentarum. Sertifikat ini diberikan kepada APDS-Asosiasi Madu Hutan Indonesia, karena memanen madu secara organik, lestari, pemulihan habitat lebah dan melakukan pengolahan hutan. Dampak dari dicabutnya sertifikat ini adalah hilangnya para pembeli tetap madu danau sentarum dengan harga tinggi. Tahun lalu total madu danau sentarum yang dipanen dan terjual sebanyak kurang lebih 17 ton dengan harga Rp 45.000/kg ditingkat asosiasi.
“Mau bercerita kepada siapa lagi kami bang. Mau mengeluh dan protes kepada siapa lagi kami ini. Pemerintah tidak pernah mau mendengar kekhawatiran kami” cetus Pak Aswan, Kepala Desa Pulau majang kepadaku disaat kami berkunjung kerumahnya. “Keuntungannya bagi kami yang dipulau ini, didanau ini, pastinya tidak ada. Tapi dampaknya kecil atau besar pasti ada jika perkebunan sawit dibuka disekeliling danau sentarum” lanjutnya.
Aahh... saya yang hanya bisa mendengar dan mencoba mendokumentasikan keadaan danau sentarum dan masyarakatnya hanya bisa tersenyum miris. Untuk kesekian kalinya saya melihat masyarakat di negara tercinta ini seperti putus asa dan tidak ada harapan hidup tenang dan damai bersama kekayaan alam yang mereka miliki. Selalu saja terusik. Keputusan dan kebijakan pemerintah daerah terkadang terlalu cepat, terlalu memaksakan kehendak dan bertentangan dengan keinginan masyarakatnya.
“Kami bercerita tentang Pulau Majang ini sudah sangat sering. Bahkan beberapa puluh tahun yang lalu. Jadi kami ini seolah-olah meratap saja. Tidak ada perubahan. Jangan-jangan kalian nanti datang lagi, cerita yang sama yang akan kami ceritakan. Tidak ada perubahan” ucap Pak Aswan lagi kepada ku.
Tak ada kata yang bisa saya ucapkan lagi kepada Pak Aswan disaat beliau menyampaikan kata-kata itu. Dalam hati saya hanya berharap dan berdoa. Semoga negara kita yang kaya akan sumberdaya alam ini, kaya budaya dan masyarakat yang berbagai macam suku bisa hidup damai dan sejahtera. Dipimpin oleh pemimpin yang cerdas dan punya ahlak. Anak-anak bisa tersenyum riang menatap masa depannya. Amien....
Sumber foto : Rizaldi Siagian, Greenpeace/Edy Purnomo, Riak Bumi/Jem Sammi
Tuesday, April 14, 2009
Libur Pemilu
Perjalanan saya kali ini adalah perjalanan untuk menikmati liburan, yaitu libur pemilu untuk legeslatif dan libur paskah. Lumayan bisa libur kerja selama empat hari. Mulai dari tanggal 9-12 April 2009. Karena dari dulu saya tidak tertarik dengan kampanye parpol dan pemilihan untuk legeslatif, ya saya memilih abstein dan menikmati liburannya saja :)
Perjalanan untuk berlibur memang sangat berbeda rasanya dengan perjalanan yang memang sudah menjadi kewajiban alias memang sudah kerjaan sehari-hari.
Saya dan my special one Sucie Ramadhanny (Uchie) menikmati liburan ini untuk mengunjungi kedua orang tuanya di Kuala Tungkal, Jambi. Sudah setahun lebih kedua orang tuanya dipindahtugaskan kesana. Karena Uchie belum pernah datang ke Jambi, maka kami merencanakan liburan kesana mumpung orang tuanya masih tinggal disana dan sebelum dipindahkan lagi ke daerah lain.
Perjalanan ke Jambi sebenarnya tidak direncanakan jauh-jauh hari karena Uchie memang masih belum pasti apakah tempat dia bekerja akan libur pada tanggal tersebut atau tetap masuk kerja. Beberapa hari sebelum berangkat baru bisa dipastikan kalo kantornya ternyata juga libur. Terpaksa saya buru-buru menelpon seseorang teman untuk memesankan tiket kami berdua pulang pergi ke Jambi. Thanks ya Funny for the ticket...
Kuala Tungkal
Saya memang sudah pernah ke Jambi sebelumnya yaitu tahun 2008. Tapi memang perjalanan saya waktu itu hanya sebatas Jambi, Sorolangun dan Muaro Bungo. Saya belum pernah ke Kuala Tungkal. Karena belum pernah ke Kuala Tungkal, saya sangat setuju jika liburan pemilu ini dihabiskan disana.
Setibanya di Bandara Sultan Thaha, Jambi kami berdua ternyata sudah dijemput oleh kedua orang tuanya Uchie. Kedua orang tuanya sudah tiba lebih dulu di bandara bersama dengan Ida, anak tetangga di Kuala Tungkal yang diajak ke Jambi. Ida masih sekolah kelas lima SD. Dari wajahnya yang selalu senyum dan ramah ini kelihatan klo dia anak yang rajin dan pintar.
Perjalanan dari Jambi ke Kuala Tungkal membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Kuala Tungkal yang termasuk kedalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat ini adalah sebuah kota yang berada di sebelah utara Jambi. Kota Kuala Tungkal berbatasan langsung dengan pantai. Kota kecil ini daratannya didominasi oleh rawa-rawa. Jadi tidak heran jika tiba di Kuala Tungkal, rumah-rumah penduduknya berada diatas rawa. Dan tidak heran juga jika berada disana kita mencium bau khas daerah yang berawa dan dekat dengan pantai.
Perjalanan menuju Kuala Tungkal menjadi lama karena kondisi jalan yang kecil dan banyak bagian-bagian jalan yang berlubang. Ketika akan memasuki kotanya, pas di gerbang selamat datang kita disuguhi kondisi jalan yang berlubang, lumpur dan becek kurang lebih sepanjang 50 meter. Benar-benar sambutan yang membuat kita yang pertama kali mengunjungi kota ini menjadi pesimis akan kota tersebut.
Kuala Tungkal adalah sebuah kota yang kecil dan unik. Unik karena hampir semuanya rawa dan kotanya hanya terpusat di satu tempat. Karena bentuk kotanya yang kotak-kotak maka tidak heran banyak sekali perempatan jalan dan gang-gang (mereka menyebutnya lorong) kecil di tengah kota ini. Bangunan yang dominan di Kota Kuala Tungkal adalah ruko-ruko untuk sarang burung walet. Jika kita perhatikan, bangunan rumah disini sepertinya sangat sederhana. Tapi jangan salah, membangun rumah disini tidaklah gampang. Membutuhkan banyak kayu untuk mendirikan rumah diatas rawa. Jika ingin menimbun semua rawa ini, dibutuhkan biaya yang sangat besar.
Selama empat hari tiga malam disana saya cukup puas mengelilingi kota Kuala Tungkal. Pagi harinya sekiar jam setengah enam saya bersama dengan Uchie dan bapak jalan kaki mengelilingi kota. Pada pagi hari, suasana kota sudah ramai dengan orang-orang yang berjualan dan suara burung walet yang berterbangan. Ruko-ruko oleh para pemiliknya hanya ditempati di lantai bawah saja, sisanya yaitu lantai 2,3 dan ke-4 dibuat untuk sarang burung walet. Banyak juga bangunan ruko disini posisinya miring. Mungkin teras atau bangunan dasar ruko tidak kuat menahan bangunan yang bertingkat. Saya terkadang bertanya-tanya dalam hati, apakah orang ini tidak takut dengan kondisi bangunan yang miring seperti itu. Bagaimana jika nanti terjadi gempa seperti yang di Bengkulu, apakah bangunan ini cukup kuat menahan guncangan??
Jenis transportasi publik di kota ini adalah becak sepeda. Karena daerahnya dominan rata dan tidak ada tanjakan serta jarak kemana-mana tidak terlalu jauh. Jenis kendaraan roda empat sangat sedikit di kota ini. Lebih banyak sepeda dan motor. Pengemudi motor disini jarang sekali yang memakai helm pengaman. Bagi kita yang membawa kendaraan roda empat (mobil), memasuki kota ini kita tidak bisa menggunakan kecepatan tinggi dikarenakan sangat ramai sepeda dan motor yang lalu lalang. Juga kondisi jalannya yang kecil.
Disini kami juga melihat pelabuhan Kuala Tungkal dan Tungkal Ancol Beach. Ternyata di Tungkal juga ada Ancol. Entah mengapa pemerintah atau masyarakatnya menamakan Ancol Beach. Apa karena nge-fans sama keindahan Ancol atau berharap kondisi pantai di Tungkal bisa seperti Ancol. Perlu diketahui, pantai di sekitar pelabuhan Kuala Tungkal selalu berwarna keruh (coklat) dan tidak berpasir alias berlumpur. Apalagi disaat saya mengunjungi pelabuhan ini, kondisi awan mendung dan hitam. Jadi kesan yang saya dapatkan di pelabuhan ini adalah suram hehehe.... Foto yang saya dapatkan seperti foto pantai kematian. Seram :p
Ketika masuk ke Ancol Beach saya melihat beberapa anak muda sedang berkumpul dan main beberapa permainan. Ada yang main engkrang, bakia dan dagongan. Saya tertarik melihat mereka bermain dagongan. Permainan tradisional yang sangat sederhana. Alat permainannya hanya sebuah batang bambu yang ukurannya cukup besar (kira-kira sebesar kaki). Cara bermainnya, terdapat dua kelompok yang memegangi kedua ujung bambu. Setelah dikasih aba-aba, mereka saling dorong. Mana kelompok yang tidak kuat menahan dan mundur, kelompok itulah yang kalah. Permainan yang seru dan kocak. Anak-anak mudanya bermain dengan penuh canda dan ceria. Permainan ini baru sekali ini saya temui. Mungkin permainan khas Kuala Tungkal ??
Pada malam kedua, kami diajak oleh Bapak dan Ibu mencoba mencicipi makanan sea food yang ada di Kuala Tungkal. Beliau mengajak kami makan di RM Sea Food “Nikmat”. Di rumah makan ini kami menikamati kerang, kepiting, cumi besar dan ikan goreng. Semua ikan, kepiting, cumi dan kerangnya masih segar dan baru. Selama ini saya yang tidak pernah mau makan kerang karena tahu bagaimana kondisi kerang yang ada di Jakarta dan Muara Angke. Disini setelah dipastikan segar, maka saya mencicipi masakan kerangnya. Ternyata enak dan nikmat sekali. Hhhmmm jadi kangen makan kerang disana lagi.
Sehari sebelum kami pulang, kami dikunjungi oleh teman lama yaitu Agus Findriawan. Teman kuliah di IPB sewaktu tingkat satu dan teman seangkatan di Lawalata IPB (Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam IPB). Beliau ini hanya satu tahun di IPB. Pada tahun kedua beliau memilih pindah jurusan dan pindah ke Unija, Jambi. Agus yang bulan depan pindah kerja ke Jakarta ini banyak bercerita tentang Kuala Tungkal dan Jambi. Membuat kami ingin kembali mengelilingi Kuala Tungkal. Bersama dengan beliau kami muter-muter di pasar BJ, sebuah pasar yang menjual barang-barang second dari Singapura dan Batam. Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa disebut pasar BJ dan barang BJ. Tapi yang jelas dipasar ini banyak sekali barang-barang yang masih bagus yang dijual dengan harga murah. Mulai dari barang-barang elektronic (TV, kipas angin, vakumcleaner, lemari es), sofa, spring bed, pakaian, tas, boneka, alat fitnes, karpet/ambal, meja makan dan meja karja, sepeda dll. “Cocok nih En klo penganten baru belanja disini. Modal 10 juta saja rumahnya sudah bisa penuh dengan perabotan rumah tangga” ucap Agus kepada saya. “Hahaha... Iya nih, klo kesini lagi musti bawa truck” sayapun menimpalinya dengan tertawa.
Karena dari beberapa tahun yang lalu saya ingin sekali beli sepeda. Dan tabungan saya masih belum mencukupi untuk beli sepeda. Saat muter-muter di pasar BJ saya melihat tumpukan sepeda bekas. Saya pun iseng masuk dan tanya-tanya kepada sang penjual. Ternyata disini semuanya adalah sepeda-sepeda bekas dari Singapura. Berbagai macam jenis sepeda dijual disini. Mata sayapun tertuju pada sebuah tumpukan sepeda lipat yang ada dipojok toko. Sang penjual hanya mau melepas sepeda ini dengan harga 500 ribu rupiah. Semula harga sepeda ini 800 ribu rupiah. Di Bogor kisaran harga sepeda lipat ini barunya antara 2-3 juta rupiah. Akhirnya saya mengiyakan dan membeli sepeda ini. Finally I have a bicyle. Walaupun bekas dan musti bawa dari Jambi. Walaupun pada awalnya saya ingin beli mountain bike bukan lipat bike hehehe...
Mengunjungi kota-kota kecil dan stay beberapa hari di kota yang kita kunjungi ternyata sangat menyenangkan. Menikmati keunikan-keunikan yang ada di kota tersebut. Menikmati makanan-makanan atau masakan khas dan alami. Tak terasa liburan empat hari disana sudah habis dan musti balik lagi ke Bogor untuk kembali ke rutinitas sehari-hari. Suasana hati sudah lebih fresh dan pikiran yang sudah kembali fresh.
Terima kasih banyak Bapak dan Ibu. Terima kasih Agus. Semoga kedepan kita diberikan rezeki dan kesempatan untuk mengujungi kota-kota lainnya yang ada di nusantara ini. Amien.
Foto-foto lainnya bisa liat disini
Perjalanan untuk berlibur memang sangat berbeda rasanya dengan perjalanan yang memang sudah menjadi kewajiban alias memang sudah kerjaan sehari-hari.
Saya dan my special one Sucie Ramadhanny (Uchie) menikmati liburan ini untuk mengunjungi kedua orang tuanya di Kuala Tungkal, Jambi. Sudah setahun lebih kedua orang tuanya dipindahtugaskan kesana. Karena Uchie belum pernah datang ke Jambi, maka kami merencanakan liburan kesana mumpung orang tuanya masih tinggal disana dan sebelum dipindahkan lagi ke daerah lain.
Perjalanan ke Jambi sebenarnya tidak direncanakan jauh-jauh hari karena Uchie memang masih belum pasti apakah tempat dia bekerja akan libur pada tanggal tersebut atau tetap masuk kerja. Beberapa hari sebelum berangkat baru bisa dipastikan kalo kantornya ternyata juga libur. Terpaksa saya buru-buru menelpon seseorang teman untuk memesankan tiket kami berdua pulang pergi ke Jambi. Thanks ya Funny for the ticket...
Kuala Tungkal
Saya memang sudah pernah ke Jambi sebelumnya yaitu tahun 2008. Tapi memang perjalanan saya waktu itu hanya sebatas Jambi, Sorolangun dan Muaro Bungo. Saya belum pernah ke Kuala Tungkal. Karena belum pernah ke Kuala Tungkal, saya sangat setuju jika liburan pemilu ini dihabiskan disana.
Setibanya di Bandara Sultan Thaha, Jambi kami berdua ternyata sudah dijemput oleh kedua orang tuanya Uchie. Kedua orang tuanya sudah tiba lebih dulu di bandara bersama dengan Ida, anak tetangga di Kuala Tungkal yang diajak ke Jambi. Ida masih sekolah kelas lima SD. Dari wajahnya yang selalu senyum dan ramah ini kelihatan klo dia anak yang rajin dan pintar.
Perjalanan dari Jambi ke Kuala Tungkal membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Kuala Tungkal yang termasuk kedalam Kabupaten Tanjung Jabung Barat ini adalah sebuah kota yang berada di sebelah utara Jambi. Kota Kuala Tungkal berbatasan langsung dengan pantai. Kota kecil ini daratannya didominasi oleh rawa-rawa. Jadi tidak heran jika tiba di Kuala Tungkal, rumah-rumah penduduknya berada diatas rawa. Dan tidak heran juga jika berada disana kita mencium bau khas daerah yang berawa dan dekat dengan pantai.
Perjalanan menuju Kuala Tungkal menjadi lama karena kondisi jalan yang kecil dan banyak bagian-bagian jalan yang berlubang. Ketika akan memasuki kotanya, pas di gerbang selamat datang kita disuguhi kondisi jalan yang berlubang, lumpur dan becek kurang lebih sepanjang 50 meter. Benar-benar sambutan yang membuat kita yang pertama kali mengunjungi kota ini menjadi pesimis akan kota tersebut.
Kuala Tungkal adalah sebuah kota yang kecil dan unik. Unik karena hampir semuanya rawa dan kotanya hanya terpusat di satu tempat. Karena bentuk kotanya yang kotak-kotak maka tidak heran banyak sekali perempatan jalan dan gang-gang (mereka menyebutnya lorong) kecil di tengah kota ini. Bangunan yang dominan di Kota Kuala Tungkal adalah ruko-ruko untuk sarang burung walet. Jika kita perhatikan, bangunan rumah disini sepertinya sangat sederhana. Tapi jangan salah, membangun rumah disini tidaklah gampang. Membutuhkan banyak kayu untuk mendirikan rumah diatas rawa. Jika ingin menimbun semua rawa ini, dibutuhkan biaya yang sangat besar.
Selama empat hari tiga malam disana saya cukup puas mengelilingi kota Kuala Tungkal. Pagi harinya sekiar jam setengah enam saya bersama dengan Uchie dan bapak jalan kaki mengelilingi kota. Pada pagi hari, suasana kota sudah ramai dengan orang-orang yang berjualan dan suara burung walet yang berterbangan. Ruko-ruko oleh para pemiliknya hanya ditempati di lantai bawah saja, sisanya yaitu lantai 2,3 dan ke-4 dibuat untuk sarang burung walet. Banyak juga bangunan ruko disini posisinya miring. Mungkin teras atau bangunan dasar ruko tidak kuat menahan bangunan yang bertingkat. Saya terkadang bertanya-tanya dalam hati, apakah orang ini tidak takut dengan kondisi bangunan yang miring seperti itu. Bagaimana jika nanti terjadi gempa seperti yang di Bengkulu, apakah bangunan ini cukup kuat menahan guncangan??
Jenis transportasi publik di kota ini adalah becak sepeda. Karena daerahnya dominan rata dan tidak ada tanjakan serta jarak kemana-mana tidak terlalu jauh. Jenis kendaraan roda empat sangat sedikit di kota ini. Lebih banyak sepeda dan motor. Pengemudi motor disini jarang sekali yang memakai helm pengaman. Bagi kita yang membawa kendaraan roda empat (mobil), memasuki kota ini kita tidak bisa menggunakan kecepatan tinggi dikarenakan sangat ramai sepeda dan motor yang lalu lalang. Juga kondisi jalannya yang kecil.
Disini kami juga melihat pelabuhan Kuala Tungkal dan Tungkal Ancol Beach. Ternyata di Tungkal juga ada Ancol. Entah mengapa pemerintah atau masyarakatnya menamakan Ancol Beach. Apa karena nge-fans sama keindahan Ancol atau berharap kondisi pantai di Tungkal bisa seperti Ancol. Perlu diketahui, pantai di sekitar pelabuhan Kuala Tungkal selalu berwarna keruh (coklat) dan tidak berpasir alias berlumpur. Apalagi disaat saya mengunjungi pelabuhan ini, kondisi awan mendung dan hitam. Jadi kesan yang saya dapatkan di pelabuhan ini adalah suram hehehe.... Foto yang saya dapatkan seperti foto pantai kematian. Seram :p
Ketika masuk ke Ancol Beach saya melihat beberapa anak muda sedang berkumpul dan main beberapa permainan. Ada yang main engkrang, bakia dan dagongan. Saya tertarik melihat mereka bermain dagongan. Permainan tradisional yang sangat sederhana. Alat permainannya hanya sebuah batang bambu yang ukurannya cukup besar (kira-kira sebesar kaki). Cara bermainnya, terdapat dua kelompok yang memegangi kedua ujung bambu. Setelah dikasih aba-aba, mereka saling dorong. Mana kelompok yang tidak kuat menahan dan mundur, kelompok itulah yang kalah. Permainan yang seru dan kocak. Anak-anak mudanya bermain dengan penuh canda dan ceria. Permainan ini baru sekali ini saya temui. Mungkin permainan khas Kuala Tungkal ??
Pada malam kedua, kami diajak oleh Bapak dan Ibu mencoba mencicipi makanan sea food yang ada di Kuala Tungkal. Beliau mengajak kami makan di RM Sea Food “Nikmat”. Di rumah makan ini kami menikamati kerang, kepiting, cumi besar dan ikan goreng. Semua ikan, kepiting, cumi dan kerangnya masih segar dan baru. Selama ini saya yang tidak pernah mau makan kerang karena tahu bagaimana kondisi kerang yang ada di Jakarta dan Muara Angke. Disini setelah dipastikan segar, maka saya mencicipi masakan kerangnya. Ternyata enak dan nikmat sekali. Hhhmmm jadi kangen makan kerang disana lagi.
Sehari sebelum kami pulang, kami dikunjungi oleh teman lama yaitu Agus Findriawan. Teman kuliah di IPB sewaktu tingkat satu dan teman seangkatan di Lawalata IPB (Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam IPB). Beliau ini hanya satu tahun di IPB. Pada tahun kedua beliau memilih pindah jurusan dan pindah ke Unija, Jambi. Agus yang bulan depan pindah kerja ke Jakarta ini banyak bercerita tentang Kuala Tungkal dan Jambi. Membuat kami ingin kembali mengelilingi Kuala Tungkal. Bersama dengan beliau kami muter-muter di pasar BJ, sebuah pasar yang menjual barang-barang second dari Singapura dan Batam. Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa disebut pasar BJ dan barang BJ. Tapi yang jelas dipasar ini banyak sekali barang-barang yang masih bagus yang dijual dengan harga murah. Mulai dari barang-barang elektronic (TV, kipas angin, vakumcleaner, lemari es), sofa, spring bed, pakaian, tas, boneka, alat fitnes, karpet/ambal, meja makan dan meja karja, sepeda dll. “Cocok nih En klo penganten baru belanja disini. Modal 10 juta saja rumahnya sudah bisa penuh dengan perabotan rumah tangga” ucap Agus kepada saya. “Hahaha... Iya nih, klo kesini lagi musti bawa truck” sayapun menimpalinya dengan tertawa.
Karena dari beberapa tahun yang lalu saya ingin sekali beli sepeda. Dan tabungan saya masih belum mencukupi untuk beli sepeda. Saat muter-muter di pasar BJ saya melihat tumpukan sepeda bekas. Saya pun iseng masuk dan tanya-tanya kepada sang penjual. Ternyata disini semuanya adalah sepeda-sepeda bekas dari Singapura. Berbagai macam jenis sepeda dijual disini. Mata sayapun tertuju pada sebuah tumpukan sepeda lipat yang ada dipojok toko. Sang penjual hanya mau melepas sepeda ini dengan harga 500 ribu rupiah. Semula harga sepeda ini 800 ribu rupiah. Di Bogor kisaran harga sepeda lipat ini barunya antara 2-3 juta rupiah. Akhirnya saya mengiyakan dan membeli sepeda ini. Finally I have a bicyle. Walaupun bekas dan musti bawa dari Jambi. Walaupun pada awalnya saya ingin beli mountain bike bukan lipat bike hehehe...
Mengunjungi kota-kota kecil dan stay beberapa hari di kota yang kita kunjungi ternyata sangat menyenangkan. Menikmati keunikan-keunikan yang ada di kota tersebut. Menikmati makanan-makanan atau masakan khas dan alami. Tak terasa liburan empat hari disana sudah habis dan musti balik lagi ke Bogor untuk kembali ke rutinitas sehari-hari. Suasana hati sudah lebih fresh dan pikiran yang sudah kembali fresh.
Terima kasih banyak Bapak dan Ibu. Terima kasih Agus. Semoga kedepan kita diberikan rezeki dan kesempatan untuk mengujungi kota-kota lainnya yang ada di nusantara ini. Amien.
Foto-foto lainnya bisa liat disini
Subscribe to:
Posts (Atom)