Friday, February 18, 2011

Ketidakberadayaan Putra Daerah

Setelah turun dari bus yang membawa saya dari sebuah kota di Jawa Barat, saya mencari angkutan umum menuju sebuah terminal dan mencari angkutan umum lainnya yang bisa mengantarkan saya ke kota kelahiran saya. Tempat dimana orang tua saya tinggal. Ramai. Ramai karena para calo sibuk menanyai kemana tujuan sang penumpang. Ramai karena semua kaca depan dan belakang mobil-mobil angkutan umum itu ditempel dengan dua nama orang yang berukuran besar dan mencolok. Penasaran dan heran, nama siapa ini. Orang mana dia. Akhirnya saya menanyakan kepada seseorang yang duduk disebelah saya “nama siapa yang ada di kaca-kaca mobil itu?”. “Itu nama calon bupati dan wakil bupati yang sekarang. Sekarang kan sedang ada pemilihan bupati dan wakil bupati” jawabnya enteng. Saya baru menyadari klo saya sudah tiga tahun meninggalkan kota ini. Tahun ini memang sudah waktunya pemilihan pemimpin daerah.

Saya sudah duduk disebelah kiri mobil. Dipinggir pintu. Membuka kaca mobil agar bisa menghirup udara diluar. Mobil yang di kaca depan dan belakangnya tertuliskan nama calon bupati dan wakil bupati itu sudah siap berangkat. Dibelakang sopirnya ada tiga baris bangku. Seharusnya satu baris diisi tiga orang penumpang. Karena mengejar setoran maka tak sungkan sang calo dan pemilik mobil memaksakan untuk diisi empat orang penumpang. Untuk bernafas saja cukup sulit, apalagi kita berharap bisa menggerakan kaki atau duduk bersandar. Lama perjalanan jika kondisi jalan bagus sekitar satu jam. Tapi akan berbeda jika kondisi jalan berlubang dan bergelombang karena banyak kendaraan besar truk-truk batu bara yang lewat.

Setibanya dirumah saya langsung linglung dan bingung. Rumah tua yang dulu kecil dan berwarna kusam sudah tidak ada. Sekarang sudah berubah menjadi sebuah rumah yang lebih bagus dan berwarna cerah. “Kenapa kau bingung?” tanya emak kepada saya. “Iya, setelah kamu dan kakakmu lulus kuliah, bapak meminjam bank untuk terakhir kalinya sebelum pensiun untuk membangun rumah”. Mata saya terpejam mendengar ucapan polos itu. Seakan berdosa karena selama ini saya seolah menghambat mereka membangun sebuah rumah yang layak untuk mereka tempati dengan nyaman untuk tempat tinggal. Tetangga kiri dan kanan yang baru datang membangun rumah lebih bagus dan warnanyapun lebih cerah. Ya, disaat saya dan kakak saya kuliah semua pendapatan orangtua saya harus disisihkan untuk biaya kami kuliah di Bogor. Bukan hanya pendapatan, tapi juga harus meminjam bank dengan menggadaikan surat-surat berharga untuk membiaya kami berdua masuk kuliah dan membayar uang semester.

Pada malam harinya disaat sedang berkumpul bersama dengan adik-adik saya. Saya bertanya kepada sang bapak “sedang ada pemilihan bupati ya pak?”. “Iya, sedang ramai dibicarakan sekarang”. “Orang mana saja calonnya dan darimana mereka” saya lanjut bertanya. “Sekarang putra daerah yang kita jagokan”. “Dia orang kita, dari suku kita. Rejang” si emak menimpali. “Semoga nanti disaat dia terpilih lebih memperhatikan orang-orang kita. Baru sekali ini orang kita, putra daerah bisa jadi bupati. Bapak ingin lihat seperti apa kepemimpinannya” bapak melanjutkan.

Malam itu selain bercerita tentang harapan orang tua terhadap calon bupati yang dijagokan juga bercerita tentang Calon Gubernur yang akan maju juga putra daerah. Masih muda dan katanya pengusaha. Mereka berharap ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh putra daerah di era otonomi daerah ini. Saya yang mendengarkan hanya menganggukan kepala yang berarti mengiyakan dan berharap hal yang sama. Mungkin harapan yang sama seperti yang ada dihati masyarakat diseluruh daerah dimana sedang ada pilkada.

Beberapa minggu yang lalu.
Setelah mengikuti beberapa prosesi acara pernikahan saya di dua tempat, yaitu di kota kelahiran istri saya di Sumsel dan di kota kelahiran saya sendiri. Malam terakhir sebelum keesokan harinya kami harus pulang ke Bogor, saya dan istri saya berkumpul dengan orang tua saya di rumah. Malam itu, emak menyampaikan keinginan sang adik perempuan saya klo dia ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Beberapa tahun ini dia hanya sebagai pegawai honorer. Meminta emak untuk menjual tanah yang dimiliki untuk membayar orang-orang yang bisa membantu proses penerimaan pegawai negeri. Jumlah yang dibutuhkan jika orang tersebut lulusan sarjana adalah kurang lebih Rp 150 juta. Emak meminta pendapat saya pada malam itu.

Saya selama ini hanya mendengar kasus-kasus penyuapan dalam proses penerimaan PNS yang dilakukan oleh beberapa orang dibeberapa daerah. Selama ini saya hanya tersenyum jika mendengar cerita teman-teman mengenai diterimanya seseorang menjadi PNS karena membayar para makelar dan pejabat-pejabat daerah.

Sekarang, saya dihadapkan langsung dengan kasus seperti ini. Ahhh.. apa yang saya khawatirkan selama ini terjadi juga. Saat itu saya bingung menjawabnya. Takut menyinggung perasaan sang orang tua dan adik saya. Saya takut dianggap orang yang sombong. Malam itu saya hanya menyampaikan, klo saya secara pribadi dan dari hati yang paling dalam saya tidak setuju dengan mekanisme seperti itu. Saya tidak rela tabungan yang disimpan sejak lama dan susah payah harus diberikan kepada para makelar dan pejabat-pejabat itu. Lebih baik uang yang senilai ratusan juta itu dinikmati sendiri. Membangun rumah yang besar atau membuka kebun yang luas. Toh sang suami juga sudah berstatus kerja sebagai pegawai negeri.

Saya hanya memberi beberapa perumpamaan kepada orang tua saya. Berapa pendapatan PNS perbulan. Butuh berapa tahun harus mengembalikan uang sebesar itu jika sudah menjadi PNS? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun?. Klo membangung rumah, sudah nyaman sekali untuk menjadi tempat tinggal selama puluhan tahun. Klo membuat kebun, sepuluh tahun mungkin sudah menikmati hasil-hasil kebun. Apalagi jika dengan kondisi harga komoditi karet saat ini sangat tinggi. Klo sekedar untuk makan sekeluarga saya pikir pendapatan suaminya sudah lebih dari cukup.

Latah menjadi PNS

Disetiap daerah. Disetiap tahunnya masyarakat seakan selalu latah untuk menjadi pegawai negeri sipil. Hal ini menurut saya sudah menjadi seperti sebuah kompetisi tahunan. Saya menjadi curiga sebuah kabupaten baru bermunculan beberapa tahun ini hanya untuk membuat peserta kompetisi ini semakin banyak. Bukan karena untuk pemerataan pembangunan, apalagi untuk mensejahterakan rakyatnya.

Emakku, adikku, dan teman-temanku semuanya. Bukan maksud saya menyalahkan kalian. Bukan maksud saya untuk memojokkan posisi kalian. Tidak sama sekali. Kalian hanya korban. Yang saya salahkan dan sesalkan adalah sistem ini. Bagaimana, dan sejak kapan sistem ini dilahirkan. Sistem yang sangat bobrok yang ada di pemerintah daerah. Yang saya salahkan adalah rakusnya para pejabat daerah dan makelar CPNS ini. Pejabat daerah bukannya memikirkan rakyatnya. Memikirkan sumber-sumber pendapatan tambahan rakyatnya, alternatif pendapatan dan kestabilan sumber pendapatan tersebut. Mereka masih menjabat dengan gaya-gaya lama. Pemikiran sempit dan memanfaatkan posisi dengan ilmu terapan “aji mumpung”. Mumpung menjadi pejabat, mumpung memiliki kesempatan dan mumpung masih banyak yang latah untuk menjadi pegawai negeri.

Masih teringat lima yang tahun yang lalu. Melihat istri saya mencari pekerjaan disaat dia lulus dari kuliahnya. Waktu itu kami belum menikah. Pada malam hari, ketika orang-orang ditempat saya bekerja sudah pulang kami mencetak beberapa surat lamaran kerja dan curiculum vitae. Keesokan harinya kami kirim ke beberapa lembaga, perusahaan dan institusi. Disaat harus mengikuti berbagai macam ujian tertulis dan interview di Jakarta, saya harus menemaninya ke Jakarta. Biaya yang kami keluarkan saat itu hanya ongkos kereta, ojeg dan makan siang di warteg. Tidak ada biaya selain itu. Alhamdulillah sudah sejak mengikuti berbagai macam ujian pada saat itu dia diterima dan sudah berkerja disalah satu bank swasta secara permanen. Alhamdulillah juga, teman-teman kuliah saya masih bisa lulus murni di beberapa kementerian dan di Pemda di Kabupaten tempat mereka tinggal.

Dari pengalaman ini saya melihat, seseorang bekerja seharusnya bekerja memang karena spirit-nya untuk bekerja. Bukan hanya untuk membuang waktu luang lalu mendapatkan penghasilan perbulan. Inilah perbedaan yang saya rasakan dengan para orang-orang yang latah menjadi PNS. Bekerja hanya untuk membuang kebuntuan dalam pikirannya. Orang tua yang bosan sekaligus frustasi melihat anaknya menganggur. Walaupun harus membuang uang sedemikian besar nominalnya. Tidak menyadari lagi klo yang dilakukan pada dasarnya adalah salah. Mendukung meningkatnya kasus-kasus penyuapan setiap tahunnya. Membiarkan para pejabat daerah dan makelar PNS melakukan perbuatan yang melanggar konstitusi.

Walaupun selalu muncul pemberitaan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan menyelidiki dan menindak para pejabat daerah yang terlibat dengan percaloan CPNS di berbagai daerah, kasus ini masih saja terjadi. Beberapa minggu yang lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menargetkan akan mengkaji praktik suap yang terjadi dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di sejumlah kementerian dan institusi pemerintah Pusat dan Daerah. Tetapi klo melihat kondisi negara yang penuh dengan sandiwara ini saya menjadi pesimis kasus-kasus ini bisa berhenti.

Sewaktu saya masih mahasiswa, saya percaya bahwa untuk mendapatkan pekerjaan tergantung dari diri kita sendiri. Bagaimana kita pandai membangun komunkasi yang baik dengan orang lain. Mempunyai kemampuang berpikir dan kemampuan diri (keahlian). Tidak ada sama sekali niat yang saya tanam didalam hati, klo nanti setelah lulus kuliah saya harus menyiapkan uang agar saya bisa diterima disebuah lembaga, sebuah perusahaan ataupun institusi pemerintah. Walaupun sudah beberapa kali orang tua saya meminta saya pulang untuk menjadi PNS setelah saya lulus kuliah pada waktu itu.

Bagi saya, bekerja adalah urusan hati nurani. Bekerja adalah sebuah kebanggaan. Hidup harus dijalani seimbang dan percaya manusia dilahirkan memang sudah dibuatkan jalannya oleh sang penciptanya.

Thursday, December 30, 2010

Soe Hok Gie; dalam sebuah surat

Karena tulisan ini sangat menarik bagi saya. Bisa menjadi bahan renungan saya kita sebelum tidur dimalam hari. Mengingat kembali apa yang sudah saya lakukan untuk keluarga, kerabat, dan orang lain yang tersebar diseluruh nusantara ini.

Terima kasih kepada yang menulis. Mohon maaf saya copy dan saya taroh disini.
Gie.. memang sebuah nama yang besar..

Semoga saya masih bisa melangkah didunia ini dengan sebuah idialisme yang saya miliki. Melangkahkan kaki di negara yang memang sudah hancur. Kacau. Kejam. Ibarat sebuah kendaraan, negara ini sudah tidak tahu lagi mau pergi kemana. Mau diarahkan kemana. Semua dijalankan oleh sopirnya semau-maunya sendiri. Sesuka-suka sopirnya. Tidak peduli penumpangnya resah karena tidak sesuai dengan tujuan yang dia inginkan.

Selamat tahun baru 2011.
Semoga kita bisa berbuat dan bersikap sesuai dengan idealisme kita. Tidak dibuat-buat. Tidak mengada-ada. Jujur dan punya integritas.

Bogor, 30 Desember 2010
Een Irawan Putra
----------------

Soe Hok Gie ; dalam sebuah surat


Oleh: Pers Mahasiswa Indonesia


Dhan, apa kabar Indonesia kini? Ramai kukira, kudengar sedang ramai bicara
kerbau. Kenapa memangnya? Sudah lama saya tidak mendengar tanah kelahiran saya. Ah ya, kemarin saya bertemu dengan Gus Dur, orang baik, ia menyenangkan, aku dan Ahmad Wahib ketawa terpingkal dibuatnya. Ah jika aku bertemu dengannya sejak lama mungkin aku tobat jadi atheis. Hehehehe tapi aku tau kau takan percaya. Gus ini anak kyai rupanya, banyak ia bercerita tentang islam dan yang bukan islam. Rupa-rupanya ia tahu aku gak percaya tuhan barangkali. Aku sebenarnya iri melihat dia. Dia telah tenang dalam Tuhannya. Dia sudah bersatu dengan Tuhannya. Katanya ia pernah jadi presiden, 2 tahun lantas ia bosan lalu diberhentikan. Oleh DPR katanya, yang ia tuduh mirip Taman Kanak-Kanak. Aku dan Wahib sekali lagi keras tertawa.

Siapa presiden kita kali ini Dhan? Militer lagi ataukah sudah teknokrat? Aku
ingin suatu saat Indonesia dipimpin oleh Filsuf atau Budayawan. Biar ia bijak, atau setidaknya ia mungkin bisa berpikir secara lebih baik, bukan lagi tentang untung rugi, tapi baik buruk. Jangan lagi presiden dari golongan kyai atau pastur, mereka suruh perbaiki umat saja, jangan ikut berpolitik. Dulu ada Buya H.A.M.K.A, orang hebat dan baik ia Dhan. Berani ia kritik Soekarno, kudengar ia
sahabat Hatta.

Dhani masihkah kau suka membaca? Aku ada buku bagus, buku lama tapi semoga kau
suka. Dr. Zhivago judulnya, Pasternak yang menulis. Boris Pasternak, ah si manusia itu yang sampai akhir hayatnya menolak berkompromi dengan sesama manusia, sampai saat ini tak sempat aku menulis tentangnya Dhan. Kapan-kapan kau tulis tentangnya, nanti kubaca. Jangan pacaran terus, ya aku tahu, kau sedang dekat dengan seorang gadis padang. Kawanmu Rasul bercerita, ia tiba lebih dahulu sebelum Gus Dur. Aktifis ia Dhan? Katanya dari LPM Keadilan. UII Jogja, anak sebaik dan secemerlang itu. Sayang sekali, kenapa pemuda hebat selalu cepat kesini. Sedangkan para pemabuk dan penggila pesta selalu berhayat panjang. Tapi yah, beruntunglah mereka yang mati muda, dan yang tak pernah dilahirkan.

Masih kau jadi anggota Tegalboto? Nama yang aneh brick field? Hahaha jangan
marah Dhan, apapun namanya jika ia berguna tak apalah. What is a name kata Shakespeare. Sebagai wartawan kau musti tau tugas pers. Jangan kau ikuti kata presiden Soekarno dulu saat ia buka jurusan jurnalistik di pada masaku. Ia bilang tugas pers adalah menggambarkan cita-cita muluk kepada rakyat supaya nafsu yang baik dari rakyat berkobar kembali. Seolah hendak dikatakan presiden, tugas pers ialah meninabobokan rakyat. Bukan inilah tugas pers melainkan menggambarkan kebenaran pada pembaca. kalau pemberitaan itu merugikan kelompok tertentu maka berita itu harus disiarkan. Kita sering dininabobokan bahwa produksi padi naik, produksi kain maju, gerombolan dikalahkan dan seterusnya
beginilah kemerdekaan pers di indonesia potonglah kaki tangan seseorang lalu masukan ditempat 2x3 meter dan berilah kebebasan padanya. inilah kebebabasan pers di indonesia.

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.

Saya bukan Ubermensh Dhan, kadang saya lelah bergulat dengan pemikiran saya
sendiri. Memikirkan tentang rakyat, bangsa dan kemanusiaan. Tapi apapun yang terjadi saya menolak untuk berkompromi dengan penindasan. Lebih baik mati diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. Dan sekarang makin saya geli melihat kawan-kawanmu, generasi mahasiswa kala ini sedang galau. Sibuk mencari eksistensinya sendiri. Kulihat kau pun demikian, lebih sering update status Facebook daripada ibadahmu. Generasi Facebook, menyedihkan dan jika kau kemudian ikut arus di dalamnya. Dan kupikir kamu akan terjebak dalam identitasnya.

Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil keputusan
yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun. Kau tak percaya? Lihat saja demonstrasi mahasiswa saat ini, norak, kampungan! Dulu aku benci sekali dengan mahasiswa oportunis yang sok-sokan menjadi bagian dari sebuah sistem parlemen. Sistem itu busuk Dhan, tapi melihat mahasiswa demonstrasi dengan membawa batu, parang, kayu dan bensin. Mereka mau menjalankan demokrasi atau sekedar sok jagoan?

Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan,
tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi. Busuk bukan? Ya, yah aku ingat kau dulu pernah bercerita tentang kawan-kawan ekstramu yang kau bilang busuk itu. Tapi kita harus adil Dhan, Seorang intelektual harus adil sejak dalam pikiran dan perbuatan. Pram bilang begitu, oh ya dia titip salam. Lama ia tak baca lagi tulisanmu, mandul kau katanya? Ayo menulis Dhan, ajak teman-temanmu sekalian. Jangan mau jadi renik dalam sejarah yang hanya numpang kuliah tanpa bisa memberi jejak dalam sejarah.

Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak
ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan lahir?. Karena kau tau Dhan? Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis. Aku muak dengan FPI Dhan, memangnya agamamu memerintahkan umatnya membawa parang kemana-mana lalu menghancurkan tempat yang dituduh maksiat? Beruntunglah aku yang tak beragama ini jika demikian. Agama harusnya membawa kedamaian Dhan, jika pun Tuhan memang ada tak mungkin ia menyuruh umatnya membacok sesamanya hanya karena berebut lahan parkir atau karena tak dapat jatah uang keamanan.

Sudahkah kau lulus Dhan? Jangan lulus dulu, tuntaskan dulu tanggung jawabmu
sebagai intelektuil, bukan aku menyuruhmu malas. Tapi sesuaikan dengan tanggung jawabmu sebagai Agent of enlighment. Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yang kacau, seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanannya. Lalu hiduplah dengan keyakinan teguh. Karena kau tau, saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin. Karena saya tak mau diam melihat penindasan. Dan saya lebih tak suka melihat orang-orang munafik Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.

Kau tentu ingat puisiku Dhan, Puisi yang kubuat saat sedang galau. Yah pasti kau
lupa, tak suka aku dengan tabiatmu ini. Baiklah kutulis ulang untukmu Dhan.

Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Di mana ulama - buruh dan pemuda, Bangkit dan berkata - Stop semua kemunafikan, Stop semua pembunuhan atas nama apa pun. Dan para politisi di PBB, Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu dan beras, Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,Dan lupa akan diplomasi. Tak ada lagi rasa benci pada siapa pun, Agama apa pun, ras apa pun, dan bangsa apa pun, Dan melupakan perang dan kebencian, Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik. Tuhan – Saya mimpi tentang dunia tadi, Yang tak pernah akan datang.

Hadapilah cita-cita ini Dhan, karena buat apa menghindar? Cepat atau lambat,
suka atau tidak, perubahan hanya soal waktu. Semua boleh berubah, semua boleh baru, tapi satu yang harus dipegang; kepercayaan. Karena kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras ... diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil ... orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur. Bergeraklah Dhan, tubuhmu terlalu gemuk, terlalu banyak makan junkfood. Jangan kau bilang peduli rakyat, jika makanmu masih seperti priyayi. Bergeraklah Dhan, ayo didik masyarakatmu dengan kata-kata dan buku. Karena kau tahu, percuma hidup jika kau tak dapat berkarya.

Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut
mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya, hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. Berakar menghujam seperti beringin. Maka jika kau lihat mengapa Orde Baru kuat mengakar, ya mungkin karena lambang partainya adalah beringin. Akan lain cerita jika lambangnya adalah pohon toge.

Kalau kau tak sanggup menjadi beringin yang tegak dipuncak bukit, Jadilah saja
belukar. Tapi belukar terbaik yang tumbuh ditepi danau. Kalau kau tak sanggupmenjadi belukar, jadilah saja rumput. Tapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Tidak semua jadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya. Karena bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu. Tetapi jadilah saja dirimu, sebaik-baiknya dirimu sendiri.

Dhan, aku mau kau dan generasimu mengerti. Bahwa pendidikan adalah satu-satunya
alat menuju kondisi yang lebih baik. Ayo bangkit Dhan, jangan malas, jangan hanya bisa nonton sinetron. Tak malu kau pada kami? Aku dah Ahmad Wahib, Munir, kau tau Munir kan? Orang cemerlang itu, yang selalu datang dengan sepeda motor tuanya? Ia hebat karena mau belajar, sekolah dan membaca, pejuang ia Dhan. Tak mau kau seperti ia? Bukan sebagai superhero macam Superman, itu Cuma dagelan. Jadilah hebat karena kau peduli dan jujur. Atau seperti Marsinah, ya Marsinah wanita besi itu datang dengan berbagai persoalannya, tapi ia lega Dhan, selama hidup ia sudah jujur, jujur untuk melawan kesewenangan, ayo lah Dhan. Tak perlu dengan agitasi turun ke Jalan, bisa kau bikin macam Si Rendra, berpuisi. Jangan diam Dhan, diam hanya macam orang kejam. Karena diam dan kasihan adalah laknat kutukan pada hati manusia. Ingatlah Dhan, apatisme lahir karena dua hal, kau terlalu bodoh untuk berpikir atau terlalu egois untuk perduli.

Sahabatmu, Gie.

N.B : aku baca tulisanmu, jelek! Macam tukang kutip saja, perbaiki Dhan. Kutunggu kau untuk jadi Martir.

*Ditulis ulang untuk mengenang Soe Hok Gie, ditulis dengan campuran berbagai
kutipan catatannya.

Friday, December 3, 2010

Antara Lubuk Besar dan Cancun

Dalam beberapa tahun terakhir saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi beberapa kawasan hutan adat yang masih terjaga dengan baik dan dikelola secara lestari oleh masyarakat adat yang memiliki kawasan hutan tersebut. Beberapa diantaranya yang sudah saya kunjungi adalah Sei Utik, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Dusun Pendaun, di Ketapang, Kalimantan Barat; dan Ngata Toro, Melawi di Sulawesi Tengah. Pada tanggal 15-20 November 2010 saya memiliki kesempatan untuk melihat satu lagi kawasan hutan adat, yaitu di Dusun Lubuk Besar, Sei Sintang Kecamatan Kayan Hilir, Sintang, Kalimantan Barat.

Untuk menuju lokasi Lubuk Besar dibutuhkan jarak tempuh sekitar 14 jam dari Kota Pontianak menggunakan jalur darat. Dari Kota Sintang, ada dua jalur darat untuk menuju Dusun Lubuk Besar. Pertama, dari Kota Sintang langsung menuju Desa Merampit. Dari Desa Merampit kita harus menggunakan mobil four wheel drive menuju Desa Sungai Buaya. Kedua, Melewati jalan perusahaan loging milik PT. KRBB dan perkebunan kelapa sawit. Dari jalur Bukit Kelam jalan terus ke arah Simpang Silat-Simpang Nanga Ngeri. Setelah itu baru masuk ke Dusun Lubuk Besar. Kendaraan yang dibutuhkan juga kendaraan four wheel drive atau menggunakan sepeda motor. Tapi jalur ini lebih jauh dari jalur yang pertama.

Dusun Lubuk Besar merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Sei Sintang. Sebelumnya Desa Sei Sintang ini masih menyatu dengan Desa Sungai Buaya. Masyarakat di Desa Sei Sintang adalah Masyarakat Dayak Inggar Silat, berjumlah kurang lebih 150 KK dengan mata percaharian petani, yaitu petani karet dan petani ladang. Kawasan hutan adat yang mereka miliki adalah bernama Bukit Ibun. Kawasan Bukit Ibun memiliki permasalah yang sama dengan permasalahan yang ada di kawasan hutan adat lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Ancaman adanya rencana masuknya perkebunan kelapa sawit skala besar dan juga izin-izin konsesi HPH membuat masyarakat menjadi khawatir hutan mereka tidak bisa bertahan lama keberadaannya.

Masyarakat Dayak Inggar Silat setiap tahunnya mengadakan ritual adat di kawasan Bukit Imbun yaitu dalam bahasa lokalnya disebut Nampuk Bukit Imbun. Ritual adat ini dilakukan pada saat menjelang panen atau pada saat padi mulai menguning. Masyarakat Dayak Inggar Silat mendaki bukit untuk menyampaikan niat dan doa atas hasil pertanian yang sudah didapat. Ritual Nampuk Bukit Imbun bukan hanya dilaksanakan pada saat padi mulai menguning saja, tapi ritual juga dilakukan pada saat ingin menyampaikan doa atau sering juga disebut berniat. Ritual ini kabarnya sudah dilakukan semenjak pertama kali manusia di Lubuk Besar tinggal disana.

Perjalanan ke hutan Bukit Imbun dari Dusun Lubuk Besar dibutuhkan waktu sekitar 4 jam dengan berjalan kaki. Selama perjalanan kita akan melewati beberapa ladang masyarakat dan menyeberangi sungai inggar beserta anak-anak sungai. Perjalanan menjadi lambat karena hampir sepanjang perjalanan selalu menanjak dan banyak menyeberangi sungai. Karena banyak sekali menyeberangi sungai akhirnya saya sampai menghitung berapa kali menyeberangi sungai selama perjalanan. Sungai yang harus diseberangi sebanyak 11 kali. 5 kali menyebrangi sungai inggar dan 6 kali anak sungai yang bermuara ke sungai inggar.

Setelah melewati ladang masyarakat, kita akan melewati beberapa tembawang atau bekas kampung. Beberapa tembawang yang akan dilewati adalah Tembawang Radin dan tembawang Niur. Tembawang ini ditandai dengan adanya tanaman-tanaman keras seperti durian, kelapa, duku dan tanaman buah-buahan lainnya. Didalam hutan Bukit Imbun kita bisa melihat beberapa pohon kelas satu sampai dengan kelas dua. Beberapa diantaranya; Belian atau Ulin, Meranti, Benua, Keladan, Mungkuyung dan Gaharu. Diameter pohon yang kita jumpai juga beragam, mulai dari 50 cm sampai dengan 2 meter. Dengan tinggi bebas cabang bisa mencapai 20-30 meter. Sore itu saya meminta orang-orang kampung yang menemani saya untuk memeluk sebuah pohon yang ada disana. Dibutuhkan 6 orang untuk dapat memeluk satu pohon tersebut. Masyarakat Dayak Inggar tidak pernah menebang pohon yang ada di hutan mereka kecuali hanya untuk ramuan rumah dan untuk kepentingan umum seperti pembangunan gereja, jembatan dan sekolah.

Niat awalnya saya ingin masuk kedalam hutan adat mereka dan ingin mendokumentasikan bagaimana kondisi hutan adat mereka saat ini. Selain itu juga saya ingin melihat tutupan hutan Bukit Imbun dari ketinggian (dari puncak Bukit Imbun). Namun ketika sudah sampai dipertengahan bukit, kami harus menginap karena sore itu sudah mulai gelap. Pagi harinya niat untuk melihat tutupan hutan dari puncak Bukit Imbun tidak tercapai karena pada pagi harinya saya terserang gejala malaria. Dari pagi sampai dengan sore hari sakit di kepala saya sangat hebat. Badan saya meriang dan air liur di lidah mulai terasa pahit. Padahal untuk mencapai pucak hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 90 menit berjalan kaki dan menanjak.

Sudah pukul empat sore saat itu. Dari pagi sakit kepala saya belum juga hilang. Panas ditubuh saya juga masih belum turun. Sementara cuaca saat itu dari pagi hari sampai dengan sore hari hujan terus menerus. Mengingat waktu saya sangat terbatas dan lusanya saya harus sudah ada di Pontianak, maka sore itu saya memaksakan diri untuk turun ke kampung. Perjalanan terasa sangat berat. Dengan kaki yang sudah mulai gemetar karena tidak sanggup menopang tubuh saya menuruni bukit. Saya harus mampu tiba di kampung dan istirahat satu malam disana. Perjalanan turun ke kampung yang normalnya hanya 3 jam, saat itu saya tempuh sekitar 4 jam.

Karena tidak sampai ke puncak Bukit Imbun dan melihat langusng seperti apa kondisi diatas sana dimana tempat diadakannya ritual adat. Maka saya mencoba menggali informasi dengan mewawancara beberapa orang kampung untuk mendapatkan penjelasan seperti apa kondisi di Puncak Bukit Imbun. Berdasarkan informasi yang saya dapat, diatas sana kita bisa melihat empat buah tempat yang unik dan menarik untuk melihat tutupan hutan adat Lubuk Besar. Diantaranya adalah:

1. Batu Sandang Beliung; Tempat ini adalah sebuah batu tempat masyarakat adat Inggar Silat melakukan ritual. Tempat memberikan sesajian berupa uang logam setelah mengajukan permintaan.

2. Lubang Angin; Posisi lubang angin ini dekat dengan batu sandang beliung. Dinamakan lubang angin karena ada sebuah lubang di tanah yang berdiameter kurang lebih 70 cm yang selalu mengeluarkan angin. Angin yang dikeluarkan dari lubang ini cukup kuat. Terbukti dengan jika daun-daun dijatuhkan kearah lobang angin tersebut, daun-daun tersebut akan berterbangan. Angin yang keluar dari lubang tanah tersebut juga tidak pernah hilang atau berhenti.

3. Semantau; Arti semantau adalah melihat atau memantau. Posisinya kurang lebih 300 meter dari batu sandang beliung. Setelah melakukan ritual biasanya orang-orang akan duduk di semantau. Di semantau kita bisa melihat bentangan hutan adat bukit imbun dan juga perkampungan yang ada dibawahnya. Orang-orang yang duduk disini biasanya akan betah duduk berjam-jam lamanya karena menyajikan pemandangan yang sangat indah.

4. Lebung Bandung; adalah sebuah danau kecil yang pasang surut. Jika musim hujan danau ini bisa mencapai 20 menter dengan kedalaman 1,5 meter. Selain itu juga di kawasan bukit imbun terdapat puluhan air terjun.



Tidak jauh dari Bukit Imbun juga terdapat Bukit Nagam. Bukit Imbun dan Bukit Nagam memiliki puncak yang berbeda. Bukit Nagam menjadi terkenal karena pada zaman penjajahan Belanda bukit ini menjadi tempat persembunyian pahlawan dari Kabupaten Sintang yaitu Apang Semangai. Apang Semangai pada saat itu banyak membunuh orang-orang Belanda. Karena itulah para penjajah Belanda berusaha menangkap Apang Semangai. Masyarakat Lubuk Besar pada saat itu selalu mengantar makanan untuk Apang Semangai di Bukit Nagam. Persembunyian Apang Semangai di Bukit Nagam tidak berlangsung lama, yaitu sekitar 2 bulan. Pada saat itu Belanda mengancam akan membawa istri beserta anaknya ke Nanga Pino jika tidak segera keluar dari persembunyiannya.

Hutan adat Bukit Imbun bagi masyarkat Lubuk Besar masih menyimpan sebuah misteri. Dipercaya oleh masyarakat bahwa Bukit Imbun berkeramat. Pada tahun 2007 masyarakat Dayak Inggar Silat melakuka sebuah sumpah pocong di puncak Bukit Imbun. Sumpah ini dilakukan karena perusahaan PT. KRBB (PT. Karya Rekanan Bina Bersama) yang dimiliki oleh AM. Nasir (sekarang menjabat Bupati Kapuas Hulu) tetap ingin membabat hutan di kawasan Bukit Imbun. Sumpah masyarakat Dayak Inggar Silat saat itu adalah ”Siapa yang menghabiskan rimba bukit imbun, minta dia dihabiskan oleh penunggu bukit imbun”. Tidak lama setelah dilakukan sumpah itu 7 orang pekerja PT KRBB meninggal dunia termasuk orang kampung yang berkhianat kepada masyarakat Dayak Inggar Silat.

Ketika saya melihat dan mendengar cerita-cerita masyarakat kampung ini mengenai hutan adat Bukit Imbun saya merasa bersyukur. Diberi kesempatan untuk melihat secara langsung bagaimana sebuah masyarakat adat menjaga hutan adatnya. Bagaimana sebuah kawasan hutan itu dihormati keberadaannya. Sebuah cerita yang berbeda yang saya dapatkan ketika saya berada di Bogor ataupun berada dibeberapa kota lainnya. Dimana Pemerintah Indonesia, perusahaan, NGO dan lembaga lainnya selalu mengklaim bisa menjaga hutan. Saat ini juga sedang hangat lobby-lobby politik dan hiruk pikuk Konferensi Para Pihat (COP) ke-16 di Cancun, Meksiko. Membicarakan sebuah dampak perubahan iklim dan mencoba mencari kesepakatan bersama untuk sebuah solusinya. Semua berusaha bicara. Semua melakukan interupsi dan menentang setiap solusi yang tawarkan. Tapi tidak ada sebuah tindakan nyata seperti masyararakat di kampung yang keberadaannya sangat jauh dari kota Pontianak ataupun dari Jakarta. Kenapa orang-orang Indonesia ini musti pergi jauh ke Meksiko jika ingin mencari sebuah solusi dalam upaya penyelamatan hutan? Disini, mereka sudah terbukti puluhan tahun atau mungkin juga sudah ratusan tahun menjaga hutan secara baik. Mereka menjaga dan melindungi hutan tidak perlu dengan iming-imingan sebuah konpensasi.

Tuesday, October 5, 2010

Sebuah Pengakuan untuk Ngata Toro

Di Indonesia banyak sekali sebuah desa yang berada didalam sebuah kawasan Taman Nasional. Tidak sedikit keberadaan mereka dianggap sebagai sebuah permasalahan yang akan mengancam keberadaan sebuah kawasan konservasi. Pernyataan seperti itu tidak semuanya benar. Masih ada masyarakat-masyarakat adat yang masih memegang teguh aturan-aturan adatnya dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di kampung mereka.

Masyarakat adat Toro adalah salah satu masyarakat yang memiliki aturan adat seperti yang saya sebutkan diatas. Pada tanggal 19-24 September 2010 saya berkesempatan mengunjungi kampung ini. Perjalanan ke kampung ini memerlukan waktu sekitar 3 jam dari Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Toro adalah nama sebuah desa (Ngata) di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu. Secara administratif, desa ini berada di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Luas wilayah desa ini sekitar 22.950 ha. Desa ini dikelilingi oleh pegunungan yang sebagian besar adalah kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Selama saya tinggal disana saya bisa merasakan betapa damainya tinggal di kampung ini. Hamparan padi yang menguning terbentang luas dibelakang rumah-rumah mereka. Disaat pagi, kabut masih menyelimuti kampung sehingga gunung-gunung yang ada disekeliling kampung tidak terlihat.

Masyarakat Adat Toro percaya bahwa mereka dari generasi ke generasi sudah melindungi alam dan sumberdaya alam yang mereka miliki. Pembagian wilayah dan lahan garapan sudah mereka bikin melalui aturan adat. Mereka masih yakin dan percaya dengan aturan-aturan adat peninggalan nenek moyang mereka. Aturan-aturan adat ini sampai dengan sekarang masih menjadi acuan hidup seluruh masyarakat adat disana.

Seluruh aktivitas kemasyarakatan dan pranata sosial budaya, termasuk dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, berporos pada pandangan budaya mengenai dua nilai utama, yaitu hintuwu dan katuwua. Hintuwu adalah nilai ideal dalam relasi antar sesama manusia yang dilandaskan atas prinsip –prinsip penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan katuwua adalah nilai ideal dalam relasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya yang dilandasi oleh sikap kearifan dan keselarasan dengan alam.

Masyarakat adat Toro memiliki kelembagaan sendiri dalam menjalani kehidupan di kampungnya. Peran dan wewenang kelembagaan adat di Ngata Toro diantaranya adalah:

• Maradika, berperan mengatur hubungan ngata dengan ngata yang lain, menentukan peran dengan ngata lain, tempat keputusan apabila ada masyarakat yang membuat pelanggaran.

• Totua Ngata, berperan mengawasi aturan adat yang disepakati dalam musyawarah, menyelesaikan perselisihan, melaksanakan dan mengatur pelaksanaan perkawinan adat, menentukan besar kecilnya sanksi adat atas pelanggaran, mengubah dan membuat aturan adat yang baru, memimpin dan melaksanakan setiap upacara adat, memilih pemuda sebagai tondo ngata untuk dipersiapkan untuk prajurit perang dan pengawasan wilayah adat.

• Tina Ngata, berwenang merancang pekerjaan dalam pertanian terutama karena merekalah yang mengetahui dengan teliti ilmu perbintangan untuk dijadikan pedoman dalam bercocok tanam, mendinginkan konflik dalam ngata, serta mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang.

Dalam kepemilikan lahan, masyarakat adat Toro mengenal enam tata guna lahan secara tradisional. Pertama, Wana Ngkiki, yaitu zona hutan di puncak gunung yang didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Meskipun zona ini tidak dijamah aktivitas manusia, kawasan ini dianggap sebagai sumber udara segar, sehingga kedudukannya sangat penting. Hak kepemilikan individu tidak diakui di zona ini.

Kedua, Wana, yaitu hutan primer yang menjadi habitat hewan, tumbuhan langka, dan zona tangkapan air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan serta rotan. Seluruh sumberdaya alam di zona ini dikuasai secara kolektif sebagai bagian dari ruang hidup dan wilayah kelola tradisional masyarakat. Kepemilikan pribadi di dalam zona ini hanya berlaku pada pohon damar yang biasanya diberikan kepada orang yang pertama mengambil atau mengolah getah damar itu.

Ketiga, Pangale, yaitu zona hutan semi-primer bekas yang pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Zona ini biasanya dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dikembangkan menjadi lahan kebun dan persawahan. Zona pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bagunan dan keperluan tumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian.

Keempat, Pahawa Pongko, yaitu campuran hutan semi-primer dan sekunder, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun keatas sehingga kondisinya sudah menyerupai pangale. Pepohonan di zona ini biasanya besar-besar. Seperti halnya pangale, zona ini tidak mengenal hak kepemilikan pribadi kecuali pohon damar yang ada didalamnya.

Kelima, Oma, yaitu hutan belukar yang berbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergulir. Di zona inilah hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.

Keenam, Balingkea, yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus diistirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini biasanya masih bisa diolah untuk budidaya palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe dan sayuran. Lahan ini sudah termasuk hak kepemilikan pribadi. Di zona inilah biasanya masyarakat adat Toro bertani sawah.

Selain adanya pembagian-pembagian wilayah hutan dan lahan. Masyarakat adat Toro juga memiliki aturan-aturan adat yang sangat ketat. Aturan-aturan adat ini mencakupi aturan dalam kehidupan sehari-hari, aturan pembukaan lahan dan hutan, pengambilan kayu dan kasus-kasus pencurian. Jika ada yang melakukan penebangan kayu tanpa izin lembaga adat maka akan dikenakan denda adat yaitu Hampole hangu , yaitu berupa 1 ekor kerbau, 10 dulang dan 1 lembar mbesa. Saat ini juga sedang berlaku aturan adat untuk tidak mengambil rotan (untuk dijual) selama satu tahun, atau istilah adatnya di Ombo. Aturan ini dikeluarkan oleh lembaga adat karena melihat ketersediaan rotan di dalam hutan sudah semakin berkurang.


Butuh Pengakuan dan jangan diabaikan


Melihat dari sejarah dan perilaku masyarakat adat Toro dalam menjalani kehidupan di kampungnya, tidak ada alasan bagi Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Taman Nasional untuk tidak mengakui kearifan mereka dan juga peranan mereka dalam sebuah upaya konservasi. Pola pikir yang sederhana dari mereka janganlah dibuat rumit dengan aturan-aturan yang berlaku diskala nasional ataupun internasional. Membenturkan kearifan lokal mereka dengan kemodernan yang ada terkadang akan membuat adat istiadat yang mereka pegang selama ini akan pudar.

Kebijakan yang berubah-ubah seiring dengan bergantinya Kepala Balai Taman Nasioanl Lore Lindu menunjukkan tidak konsistennya para pejabat dan tidak ada koordinasi yang baik antara pejabat yang lama dengan pejabat yang baru. Kebijakan dibuat semau-maunya dan seperti ingin menunjukkan eksistensi si pejabat tersebut yang justru bisa berdampak negatif bagi masyarakat adat.

Masih segar dingatan saya, ketika 3 tahun yang lalu saya bertemu dengan Pak Banjar Julianto Laban di Bogor. Beliau bercerita banyak mengenai pengalamannya ketika menjabat sebagai Kepala Taman Nasional Lore Lindu. Dengan tegas beliau mengatakan TNLL tidak bisa dipisahkan keberadaannya dengan masyarakat Ngata Toro. Koordinasi antara pihak taman nasional dan masyarakat adat dalam menjaga keberadaan hutan terjalin dengan baik. Pak Banjar dan masyarakat adat Toro saat itu saling menghargai dan mengakui peranan di masing-masing pihak.

Harmonisasi antara pihak TNLL dan masyarakat adat Toro saat ini tidak lagi terjalin dengan baik. Banyak masyarakat adat Toro yang menceritakan kepada saya bagaimana hubungan yang dulu harmonis sekarang mulai pudar dan mungkin sudah pudar. Pihak TNLL tidak pernah lagi melakukan koordinasi dalam menjaga keberadaan kawasan hutan Lore Lindu. Sebuah undangan resmi untuk kepala balai yang diberikan oleh lembaga adat Toro juga tidak pernah dihadiri oleh kepala balai yang sekarang. “Mana berani dia (kepala balai) datang kemari lagi, sudah beberapa kali ingkar janji dengan kami. Datang ke kampung tetangga saja dia bawa Polhut dengan bersenjata lengkap” ucap salah satu masyarakat adat Toro ketika saya mendokumentasikan pertemuan di Ngata Toro.

Selain permasalahan dengan TNLL, perbedaan persepsi antara masyarakat adat Toro juga terjadi akibat adanya proyek pembangunan tempat pariwisata yang dibangun di Ngata Toro. Proyek ambisius dari Dinas Pariwisata Provinsi Sulteng ini menimbulkan sebuah konflik baru didalam masyarakat itu sendiri.

Melihat situasi ini, saya secara pribadi sangat menyesalkan adanya proyek ini. Sebuah proyek yang tidak dikaji terlebih dahulu apa manfaat dan dampak yang bisa terjadi dengan dijalankannya sebuah proyek. Pembangunan proyek seharusnya bisa mengikuti aturan adat Toro yang sudah ada. Salah satu permasalahan yang terjadi saat ini adalah, beberapa masyarakat meyakini bahwa bangunan adat (Lobo) dipercaya hanya ada satu di Ngata Toro. Dinas Pariwisata sepertinya tidak melihat kepercayaan ini. Dinas Pariwisata Sulteng membangunan 1 bangunan yang sama persis dengan Lobo yang sudah ada yang lokasinya tidak jauh dari bangunan adat yang selama ini ada. Selain itu juga 3 bangunan lainnya dibangun yang tujuannya untuk wisatawan yang datang.

Pembangunan sarana parawisata ini sudah menimbulkan perbedaan pandangan antara masyarkat Toro sendiri. Saya tidak tahu bagaimana dampak lainnya seandainya banyak wisatawan yang datang dan masyarakatnya belum siap menghadapi kunjungan wisatawan yang berbagai macam latar belakang dan berbagai macam prilaku. Jangan sampai pelaksanaan proyek ini hanya untuk menjalankan tender saja dan sebenarnya tidak tahu apa manfaat dari proyek tersebut. Bangunan selesai dibangun, keuntungan dari proses tender sudah diraih. Masa bodoh dengan kelanjutannya. Tidak peduli kalau masyarakatnya berantem sesamanya akibat sebuah proyek yang ada. Tidak peduli bahwa mereka sebenarnya menghancurkan kebudayaan yang sudah ada, bukan mempertahankannya.

Memang benar seperti apa yang disampaikan oleh budayawan Ajip Rosidi. Sejak merdeka pemerintah tidak pernah peduli terhadap kebudayaan. Kebudayaan dianggap bukan hal penting. Kebudayaan ditempatkan pada Departemen Pariwisata dimana pola yang dilakukan adalah menjual ‘kebudayaan’ kepada wisatawan dalam rangka mengumpulkan dolar. Mereka tidak mengerti bahwa kebudayaan itu merupakan inti hakiki dari pendidikan, karena pendidikan itu sendiri tidak lain dari usaha melestarikan kebudayaan dengan mewariskan kepada generasi yang lebih kemudian. Pendidikan kita sejak merdeka sampai sekarang tak pernah disadari sebagai usaha pewarisan budaya.

Thursday, July 15, 2010

Buaian Proyek KFCP

Mungkin tidak banyak orang yang tahu apa itu KFCP. KFCP adalah sebuah kependekan dari Kalimantan Forests and Climate Partnership. Sebuah mega proyek yang disepakati antara Pemerintah Australia dengan Pemerintah Indonesia. Kesepakatan kerjasama ini ditandatangani oleh Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd pada tanggal 13 Juni 2008. Pemerintah Australia memberikan bantuan dana sebesar AUD 30 juta. Sebuah kesepakatan yang dibentuk pasca COP 13 UNFCCC (United nations Framework Convention on Climate Change) di Bali pada tahun 2007 yaitu untuk melakukan REDD demonstration activities.

Proyek ini bertujuan untuk mendukung pencapaian pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia secara signifikan dan efektif melalui pengurangan deforestasi, mendorong reforestasi dan meningkatkan pengelolaan hutan secara lestari. Proyek ini akan berlangsung sampai dengan tahun 2012. Lokasi yang dipilih untuk proyek percobaan ini adalah ex PLG (Pengembangan Lahan Gambut), di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

Pertengan bulan juni 2010 saya mempunyai kesempatan untuk melihat secara langsung seperti apa proyek ini dan seperti apa pula kondisi kawasan Ex PLG. Selama ini saya hanya mendengar melalui berita saja mengenai kegagalan mega proyek pada era Presiden Soeharto tersebut. Dimana 1,4 juta ha lahan gambut terbengkalai dan dalam keadaan kritis setelah proyek tersebut gagal. Setiap tahun sudah bisa dipastikan kawasan gambut yang kritis ini terbakar dan menimbulkan asap tebal. Menghantui seluruh masyarakat Kalimantan Tengah, bahkan juga negara tetangga. Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu mengembalikan ekosistem lahan gambut tersebut seperti semula. Berhutan dan tidak pernah terjadi kebakaran.

Setelah ramainya negara berkembang dan negara maju berdebat tentang REDD (Reducing Emissions from Deforestration and Degradation) diberbagai pertemuan internasional untuk diterapkan pasca tahun 2012, Indonesia mencoba melakukan sebuah proyek percontohan REDD untuk bisa terapkan nantinya jika REDD disetujui diterapkan di negara berkembang. Lahan ex-PLG seluas 100.000 ha menjadi salah satu lahan percontohan REDD demonstration activities di Indonesia untuk lahan gambut. Lahan gambut dipercaya bisa menyimpan stok karbon yang sangat besar. Proyek ini juga mengacu kepada Intruksi Presiden No.2/2007 Tentang Rehabilitasi Lahan ex-PLG.

Untuk melihat lokasi ex-PLG dan lokasi proyek KFCP, dari Palangkaraya harus melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Kapuas (2 jam perjalanan darat). Dari Kapuas, melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Mentangai, kurang lebih 3 jam dari Kapuas. Setelah tiba di ibu kota kecamatan Mentangai, kita harus melanjutkan perjalanan ke lokasi dengan menggunakan speed boat. Dari Mentangai tergantung dengan kita sendiri, desa mana yang ingin kita kunjungi. Karena di lokasi ex-PLG cukup banyak desa yang berada disepanjang kawasan ex-PLG. Hampir semua desa ataupun dusun berada di sepanjang sungai Kapuas dan anak sungai Kapuas. Ketika saya berada disana, saya mengunjungi desa Tumbang Mangkutup, Desa Muroi, Dusun Tuanan, Dusun Tanjung Kelanis, dan Camp penelitian orang utan di Tuanan. Untuk melakukan perjalanan dibeberapa tempat ini saya harus menyewa speed boat selama 4 hari. Kita juga bisa menggunakan perahu klotok dengan biaya yang lebih murah, tapi konskuensinya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan sebuah perjalanan.

Disini saya melihat proses sosialisasi mengenai KFCP di dua tempat dan dihari yang berbeda. Walapun proses sosialisasi menggunakan bahasa lokal yaitu bahasa Dayak Ngaju, tidak mudah membuat masyarakat desa mengerti mengenai REDD, perubahan iklim, perdagangan karbon ataupun emisi karbon. Mungkin dibutuhkan waktu yang lama ataupun sosialisasi yang berulang-ulang untuk membuat mereka mengerti. Saya sendiri yang melihat proses sosialisasi ini merasa prihatin dengan batas pengetahuan mereka tentang proyek yang di-sah-kan oleh negara ini.

Secara sederhananya proyek KFCP ini mengajak masyarakat lokal untuk merehabilitasi kembali lahan gambut yang sudah rusak dan menjaga lahan gambut yang ada diwilayah mereka dari kerusakan seperti illegal loging, kebakaran, dan pembuatan-pembuatan kanal yang bisa mengeringkan lahan gambut tersebut. Dari kegiatan-kegiatan tersebut masyarakat akan menerima konpensasi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, masyarakat akan dibayar atas pasrtisipasinya dalam sebuah kegiatan (uang jasa). Secara tidak langsung, masyarakat disebuah wilayah atau desa akan mendapatkan uang atas pembayaran stok karbon yang mampu diserap oleh sebuah wilayah tersebut. Tentunya akan ada mekanisme penghitungan stok karbon yang tersimpan dan berapa uang yang harus diterima oleh suatu wilayah tersebut.

Merupakan sebuah tantangan yang besar untuk melibatkan 14 desa yang ada di lokasi KFCP. Kurang lebih 10 ribu orang yang menempati 14 desa tersebut. Ketika saya berada disana, kegiatan dilapangan baru sebatas sosialisasi. Belum ada kesepakatan seperti apa pelibatan masyarakat lokal didalam proyek tersebut. Seperti apa keuntungan yang akan diperoleh masyarakat lokal juga belum diketahui. Pihak KFCP mengklaim, dari 2008-2010 mereka baru sebatas negosiasi, mendesain, dan study persiapan proyek. Pertengahan tahun 2010 baru melakukan sosialisasi proyek. Belum bisa dipastikan kapan implementasi proyek akan dilakukan. Waktu yang tersisa hanya dua tahun. Banyak pihak yang meragukan proyek ini akan berhasil pada tahun 2012.

Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam proyek KFCP yang bisa saya lihat dari perjalanan saya kesana. Diantaranya adalah status kawasan lokasi proyek. Sampai dengan saat ini RTRW Propinsi (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) untuk kawasan ex PLG belum selesai. Kabarnya dari tahun 1998 sampai dengan sekarang RTRW untuk kawasan ex PLG tidak pernah selesai direalisasikan. Mungkin terlalu banyak kepentingan dan intervensi terhadap kawasan tersebut. Belum lagi mengenai tanah masyarakat yang terkena proyek tersebut. Seperti apa negosiasinya belum diketahui. Mekanisme pembayaran yang akan diterima masyarakat juga masih tanda tanya besar.

Dari proses sosialisai yang saya lihat, masyarakat yang ada di desa-desa memang cukup terbuai dengan janji dan harapan yang diberikan oleh KFCP. Harapan besar akan menerima sebuah konpensasi atau bayaran dalam melakukan sebuah kegiatan. Hal ini terbukti ketika saya melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat yang mengikuti proses sosialisasi KFCP. Hampir semua orang yang saya wawancarai menyambut baik dan senang dengan adanya proyek ini.

Seandainya ada beberapa masyarakat yang kritis dan bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam proses sosialisasi, mungkin kegiatan sosialisasi tidak berjalan satu arah. Sebenarnya ada banyak pertanyaan besar yang bisa disampaikan kepada pihak KFCP. Diantaranya adalah sbb:

  1. Setelah proses sosialisasi, seperti apa kesepakatan yang akan dibuat antara masyarakat dengan pihak KFCP. Dimana kesepakatan ini diakui dan disetujui oleh seluruh masyarakat desa, bukan segelintir orang ataupun aparat desa. Hal ini mengacu kepada FPIC (Free Prior and Informed Consent), Prinsip Persetujuan Tanpa Paksaan atas dasar Informasi Awal.
  2. Bagaimana dengan safe guard atau jaminan keamanan bagi masyarakat. Seandainya nanti setelah kesepakan dibuat, ada permasalahan-permasalahan yang timbul. Bagaimana penyelesaiannya, baik itu permasalahan status tanah maupun pembayaran. Siapa yang akan menyelesaikan permasalahan ini, kepada siapa masyarakat akan mengadu.
  3. Bagaimana dengan mekanisme proyek tersebut. Apakah dalam desain awal proyek ini ada pelibatan masyarakat lokal? Sehingga ada perwakilan masyarakat lokal untuk menyampaikan aspirasinya. Atau proyek ini hanya didesain oleh para aparat negara dan segelintir orang entah darimana yang terkadang mengkesampingkan kepentingan masyarakat lokal.
  4. Bagaimana dengan teknis proyek KFCP?
  5. Apakah nanti jika REDD diimplementasikan pasca tahun 2012, apakah ini nantinya layak menjadi contoh untuk diterapkan di Indonesia? Apakah contoh ini layak dipelajari oleh masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia?
  6. Bagaimana caranya bisa mensejahterakan masyarakat. Jika proyek ini mengklaim bisa mensejahterakan masyarakat. Seperti apa realnya? Waktu sudah terbuang selama 2 tahun. Tahun 2012 sudah tidak lama lagi.
  7. Bagaimana pemerintah Australia bisa menjamin proyek ini menjamin hak-hak masyarakat adat? Pemerintah Australia sendiri sudah ikut menandatangani UNRIP (United Nations Right of Indigenous People), pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.

Mungkin inilah beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh KFCP dan juga pemerintah Indonesia. Jangan sampai proyek ini hanya sebuah ‘proyek’. Sama seperti proyek pembangunan ataupun proyek konservasi yang sering dilakukan di Indonesia. Tidak pernah menghasilkan apa-apa. Tidak pernah menguntungkan masyarakat desa dan masyarakat yang ada di kampung-kampung. Proyek berdana besar tersebut hanya sekedar lewat. Hanya membuat tebal kantong para pelaksana proyek.

“Klo ini sampai terjadi. Ini merupakan sebuah kelalaian yang sangat besar yang harus dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Australia. Uang publik Australia menguap tanpa bekas dan sia-sia” tegas Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) disaat saya meminta tanggapan beliau terhadap proyek ini.