Awal bulan November saya kebetulan diminta
melakukan pembuatan sebuah video dokumenter di Mamuju, Sulawesi Barat. Selama
dua belas hari saya mengunjungi beberapa desa yang ada di Mamuju, Sulawesi
Barat. Banyak orang yang bertanya “Mamaju itu dimana?” disaat saya bilang saya
sedang berada di Mamuju. Saya sendiri pun musti mencari lokasinya di google map
ketika saya diminta berangkat ke Mamuju. Karena ini juga perjalanan pertama
saya ke Mamuju.
Pengalaman penerbangan pertama saya ke Mamuju
juga membuat hati berdebar-debar karena pesawat yang saya tumpangi yaitu rute
Makassar-Mamuju mengalami cuaca buruk. Pesawat ATR 72-500 dengan kapasitas
penumpang 80 orang sudah mencoba melakukan 2 kali upaya pendaratan di Bandar
Udara Tampa Padang, Mamuju tetapi upaya pendaratan selalu batal dan pesawat
dipaksa naik lagi menuju angkasa dengan pemandangan yang gelap karena awan
tebal. Lebih dari satu jam pesawat kami muter-muter diatas wilayah Mamuju
dengan turbulence yang cukup keras mencoba menunggu cuaca membaik. Semua
penumpang saat itu terdiam dan menunduk sambil berdoa. Tapi karena terbatasnya
bahan bakar pesawat akhirnya pesawat kami kembali ke Makassar dan mendarat
dengan selamat di Bandara Hasanuddin. Semua penumpang dinaikkan kedalam bus dan
dibawa ke hotel untuk istirahat. Esok paginya kami kembali diterbangkan dengan
pesawat yang sama.
Disaat mendarat di bandar udara yang ada di
Provinsi Sulawesi Barat ini saya masih belum percaya klo ini adalah salah satu
ibukota provinsi yang ada di Indonesia. Bangunan bandara tempat tunggu
penumpang yang besarnya seperti rumah type 45 dan bagasi yang musti diambil
sendiri di luar bandara. Di bandar udara ini juga belum ada radar dan belum ada
petugas BMKG. Penerbangan ke provinsi ini pun hanya 1 kali satu hari dari
Makassar dengan pesawat kecil.
Selama di Mamuju dan mengelilingi kota
provinsi, saya melihat sepertinya inilah kota provinsi yang terkecil di
Indonesia versi saya. Mamuju yang menjadi provinsi pada tahun 2004 masih dalam
kondisi berantakan. Banyak galian-galian yang belum dirapihkan. Jalan-jalan
kecil dan sempit, tata kota dan bangunan yang masih belum terlihat rapih.
Banyak sekali pekerjaan rumah yang musti dilakukan Pemerintah Daerah Sulbar
untuk membuat provinsi ini lebih enak dilihat dan bisa dinikmati oleh warganya
ataupun pendatang.
Disaat siang hari saya mencoba berjalan kaki
di sekitar hotel tempat saya menginap yaitu Hotel d’Maleo untuk mencari makan
siang. Hotel d’Maleo adalah satu-satunya hotel yang bagus dan nyaman di Mamuju.
Saya sudah mengecek beberapa hotel yang lain. Tarifnya tidak jauh berbeda tapi
kualitas bangunan, luas kamar dan pelayanan memang lebih baik Hotel d’Maleo. Terik
matahari yang panas dan membuat silau mata, tanpa pohon perindang, benar-benar
membuat kota ini tidak bersahabat untuk para pejalan kaki. Disaat siang hari
pun banyak tempat-tempat makan masih tutup. Mereka akan buka pada sore
menjelang magrib sampai dengan malam hari. Satu-satunya tempat jajanan makan
malam ada di pinggir pantai di sebelah pelabuhan dan TPI, tidak begitu jauh
dari Hotel d’Maleo. Para pedagang mendirikan tenda-tenda beratapkan terpal
secara acak di sebuah dataran yang datar di pinggi pantai dengan suara musik
yang keras. Setiap tenda memutar musik dengan keras yang membuat saya bingung,
kita mau dengar musik yang mana karena terlalu banyak musik dengan volume
disetting sekeras-kerasnya. Membuat saya tidak nyaman menikmati makan malam.
Lokasi ini juga jadinya terkesan kumuh. Padahal jika pemerintahnya mau menata
dengan baik para pedagang dan lokasi tempat pengujung duduk dan makan mungkin
tempat ini bisa menjadi tempat favorit para pendatang untuk menikmati ikan
bakar, sate, sop konro ataupun makanan lainnya.
Di Kota Mamuju saya juga belum menemui tempat
yang bisa menjadi tujuan wisata oleh para pendatang. Tidak ada pusat
pembelajaan yang terpusat, tidak ada tempat hiburan, museum, ataupun taman
kota. Jalanan yang sempit, bangunan yang tidak teratur antara pusat
perkantoran, rumah penduduk dan ruko membuat Kota Mamuju tidak sedap untuk
dipandang. Disaat tiba di Mamuju pun saya tidak tertarik untuk jalan-jalan
keliling kota. Keluar hotel hanya untuk kebutuhan makan siang ataupun makan
malam. Saya mencoba mencari tahu sebenarnya Provinsi ini, kota ini arah
pembangunannya seperti apa. Tapi informasi ini belum saya dapatkan. Padahal di
beberapa titik, Mamuju memiliki laut yang masih jerih, tenang dan masih jauh
dari pusat keramaian. Saya mengunjungi beberapa nelayan yang memiliki keramba
dan jaring tancap di Desa Tadui dan Ampalas. Tidak jauh dari kota juga terdapat
ekosistem mangrove yang punya potensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata
edukasi. Mungkin karena baru menjadi Kota Provinsi jadi masih sibuk bangun SDM
dan bangun kantor baru. Semoga saja pemerintahnya punya komitmen yang tinggi
untuk pembangunan daerah dan mensejahterakan rakyatnya. Punya perencanaan yang
matang dan berkelanjutan dalam membangun daerah. Bukan menjadi sarana untuk
perebutan kekuasaan dan jabatan.