Beberapa minggu yang lalu saya pulang ke kampung halaman saya. Sebuah kota kecil yang memang selalu saya rindukan. Rindu untuk menemui orang tua dan sanak family. Keluarga besar saya semuanya ada disana.
Kota kecil itu adalah Arga Makmur. Dibagian utara Provinsi Bengkulu, sekitar 1 jam perjalanan jika menggunakan kedaraan roda empat ataupun sepeda motor.
Kepulangan saya kali agak sedikit berbeda. Selain momentnya memang sangat spesial yaitu menghadiri pernikahan adik saya yang perempuan. Saya juga membawa sepeda lipat saya kesana. Kebetulan saya membawa kendaraan sendiri dari Bogor bersama kakak saya dan keluarganya.
Niat untuk mengulang dan mengenang masa kecil dulu yaitu bersepeda mengelilingi kota kecil ini memang sudah muncul dari beberapa tahun yang lalu. Tapi memang waktunya belum pas dan kesempatannya belum ada.
Waktu kecil, mungkin saat itu klo tidak salah masih sekolah TK dan sekolah dasar kelas 1 saya suka sekali bersepeda. Saya dibelikan sebuah sepeda oleh orang tua saya. Sepeda berwarna biru tua dengan roda yang terbuat dari karet padu (tidak memakai ban dalam/angin). Rodanya berwarna putih. Gir dan rantai (pedal) sepedanya tidak bisa dihentikan klo sepedanya sedang jalan, karena memang memakai gir mati. Jadi sangat merepotkan jika menuruni turunan. Kaki harus diangkat karena pedalnya terus berputar mengikuti roda. Jika laju sepeda semakin kencang, semakin cepat juga pedal itu berputar.
Diwaktu kecil saya tidak terlalu peduli dan mengamati ada apa saja di sepanjang jalan disaat saya menaiki sepeda itu. Yang ada saya hanya riang gembira menggoes sepedanya dan keliling kota. Pernah beberapa kali saya jatuh dari sepeda. Sampai sekarangpun masih ada bekas luka karena jatuh dari sepeda.
Ketika tubuh saya sudah mulai membesar, saya tidak bisa lagi menaiki sepeda kecil itu. Klo tidak salah ingat sepeda itu diberikan kepada sepupu saya yang lebih kecil. Saya dibelikan sepeda yang ukurannya lebih besar. Sebuah sepeda berwarna merah bermerk “Mustang”. Masa sekolah SMP, saya selalu menggunakan sepeda itu kesekolah. Membuat saya selalu berkeringat setiap harinya.
Keinginan saya untuk merasakan kembali bagaimana rasanya bersepeda di kota kecil kota kelahiran saya ini bisa rasakan beberapa minggu yang lalu. Setelah istirahat satu hari dirumah dan bertemu keluarga, keesokan harinya pada sore hari saya mengambil seli saya dan menggoesnya keliling kota. Jalur yang saya ambil adalah dari rumah yaitu Jalan Padat Karya – Perempatan Fatwati – Kantor Pos Arga Makmur – Telkom – Bundaran – Kemumu. Dari rumah menuju Kemumu kurang lebih menghabiskan waktu satu jam. Tapi pulangnya tidak sampai 7 menit, karena jalannya selalu menurun.
Betapa nikmat dan indahnya bersepeda sore itu. Sore yang cerah dan membuat seluruh tubuh berkeringat. Menikmati kesejukkan udaranya yang masih segar, tidak bising dan damai. Sepanjang jalan orang-orang melihat saya yang bersepeda, membuat saya bertanya-tanya. Apa yang salah? Kok semua pada ngeliatin. Kadang juga membuat saya ke Ge Er-an.
Saya tidak menyangka ternyata bersepeda di Arga Makmur sangat mengasyikkan. Apalagi disaat kita sudah memasuki daerah Tebing Kaning sampai ke Kemumu. Kita bisa menikmati indahnya areal persawahan penduduk dan sejuknya udara Kemumu. Sepanjang jalan diiringi gemerincik suara air irigasi yang ada disepanjang jalan Kemumu. Disaat menuju ke Kemumu di depan kita juga terdapat sebuah hamparan gunung yang sering disebut bukit barisan yang mengelilingi Kota Arga Makmur.
Beda sekali rasanya bersepeda disaat kecil dan bersepada sekarang ini. Dulu saya tidak peduli dan tidak tahu apa potensi tanah kelahiran saya ini. Saya menganggap biasa-biasa saja semuanya. Tapi sekarang setelah saya banyak berpergian ke berbagai daerah di nusantara ini dan pernah beberapa kali keluar Indonesia, saya bisa merasakan tanah kelahiran saya juga mempunyai potensi dan kota yang sangat cantik. Sayang saya hanya bisa menikmati selama 3 hari bersepeda disana, setiap pagi dan sore harinya.
Namun keindahan ini sepertinya secara perlahan akan sama nasibnya dibeberapa kota lainnya yang ada di Indonesia. Lumbung-lumbung padi atau sawah-sawah produktif secara perlahan akan hilang digantikan oleh bangunan-bangunan perumahan dan pemukiman. Sewaktu saya kecil kawasan kemumu seluruhnya adalah areal persawahan. Hamparan tanaman padi menutupi kawasan ini. Namun sekarang, sudah ada beberapa bangunan rumah dan pemukiman. Persawahan ditimbun oleh tanah-tanah merah. Jika pemerintah daerah tidak sigap menanggapi perubahan ini bukan tidak mungkin lahan-lahan sawah produktif disana akan hilang. Keindahan yang saya rasakan sewaktu kecil sampai dengan saat ini nantinya tidak akan bisa dirasakan lagi oleh saya disaat saya sudah berumur 40-an dan mungkin juga anak cucu saya.
Seharusnya pemerintah daerah mulai peka terhadap perubahan bentang alam yang akan terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perlu dibuatnya tata kota yang bagus dan terkonsep secara baik. Jangan biarkan kawasan hijau dan lahan-lahan persawahan produktif ini hilang akibat dari bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pendapatan masyarakat ataupun berubahnya gaya hidup (life style) orang-orang yang ada di Arga Makmur. Jalur Gunung Selan sampai dengan Kemumu sangat bagus sekali jika dibuat jalut hijau dan jalur wisata. Dibuatnya jalur-jalur untuk pejalan kaki ataupun bersepeda bukan tidak mungkin akan membuat daya tarik tersendiri bagi kota ini. Perlu penataan terhadap bangunan-bangunan yang akan menggusur areal persawahan yang ada di Kemumu dan mempercantik tampilan aliran-aliran irigasi yang sudah ada.
Semuanya ini tergantung kepada pemerintahan yang ada. Apakah pemerintah Kota Arga Makmur cukup cerdas berfikir dan bersikap. Mampu melihat peluang dan ancaman yang akan terjadi kedepan. Jika ingin mendapatkan inspirasi... bersepedalah setiap hari...
Tuesday, June 30, 2009
Monday, June 8, 2009
Berkunjung ke Kasepuhan Cipta Mulya
Tiga hari yang lalu saya dan dua orang teman melakukan perjalanan ke Kasepuhan Cipta Mulya, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Kami mengunjungi kampung ini untuk melihat peralatan musik tradisional yang mereka miliki dari dulu sampai dengan sekarang. Karena saya kurang memahami dan mendalami tentang dunia permusikan tadisional, akhirnya saya hanya mendokumentasikan saja. Plus jalan-jalannya.
Kampung Cipta Mulya terdapat sekitar 60 KK, dimana sekarang ini dipimpin oleh seorang abah yaitu Abah Uum. Nama Lengkap beliau Uum Sukma Wijaya. Beliau memimpin kampung ini sejak tahun 2002. Setelah abah sebelumnya (adik abah Uum) meninggal dunia.
Kampung Cipta Mulya tidak berbeda jauh dengan kampung kasepuhan lainnya yang ada di Sukabumi dan Banten. Bentuk rumah penduduk yang terbuat dari kayu berdindingkan bambu, beratap ijuk. Terdapat rumah besar tempat tinggal Abah (Imah Gede), dan juga Leuit atau tempat penyimpanan gabah.
Bercerita tentang leuit dan gabah, masyarakat adat kasepuhan mempunyai budaya yang sangat unik dan menurut saya sungguh bijaksana. Padi bagi masyarakat kasepuhan adalah sebuah tanaman yang sangat di agungkan. Hampir seluruh masyarakat adat kasepuhan menanam padi di lahannya, baik padi persawahan maupun padi darat. Hasil-hasil panen mereka simpan di sebuah lumbung yang disebut dengan leuit. Padi hasil panen tidak pernah mereka jual kecuali jika memang hasil panennya sangat banyak dan berlebih. Namun, jika padi ini sudah menjadi beras masyarakat adat kasepuhan dilarang menjual beras, menjual nasi ataupun makanan yang terbuat dari beras. Mereka percaya jika mereka menjual beras ataupun nasi, nantinya mereka akan terkena musibah. Saya sangat mengagumi budaya ini. Mereka kaya akan beras, mungkin juga nama lainnya adalah swasembada beras, tapi mereka tidak pernah mau menjualnya.
Untuk menumbuk padi menjadi beras, mereka juga melakukannya secara tradisional. Menumbuk dengan menggunakan lesung. Jika ada acara-acara tertentu para wanita secara beramai-ramai menumbuk padi dilesung yang panjang. Terdengar bunyi lesung yang berirama dan harmonis. Suasana pagi saat itu masih terasa sangat dingin. Saya langsung mencari sumber bunyi yang sangat mengagumkan. Setelah saya menemui dimana lokasinya, tenyata para ibu-ibu tersebut sedang beramai-ramai menumbuk padi untuk acara pernikahan salah satu warganya. Sungguh damai dan indah kampung ini. Hidup harmonis bersama alam dan kebersamaan yang tetap terjalin dengan baik.
Disaat saya memasuki imah gede, saya melihat para ibu-ibu lainnya sedang ramai di dapur. Dengan senda gurau meraka memasak beberapa jenis makanan untuk sebuah acara nanti malam. Acara disetiap bulan purnama. Malam hiburan dan pentas seni budaya. Dalam hati saya hanya berdecak kagum. Sungguh beruntung mereka tinggal dan hidup di kampung ini. Damai dan tentram. Jauh dari hiruk pikuk orang-orang yang selalu sibuk dengan dirinya masing-masing. Sikut-sikutan dalam dalam persaingan pekerjaan mereka. Jauh dari ramainya orang bicara tentang caleg dan kampanye pemilihan presiden. Seolah-olah mereka tidak peduli siapa presidennya. Yang penting kedamaian dan ketentraman yang ada di kampung mereka tidak terusik. Kekayaan alam dan berlimpahnya hasil panen padi mereka tidak terganggu. Setiap tahun mereka tetap bisa merayakan kebahagiaan hasil panen mereka. Merayakan serean taun. Pesta untuk ucapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmad yang diberikan kepada mereka...
Terkadang jika melihat ketentraman seperti ini, ingin rasanya saya tinggal disini atau disebuah kampung dimana saya bisa merasakan juga betapa damainya tinggal disebuah kampung yang kaya akan sumberdaya alam. Hidup dengan penuh rasa kebersamaan. Jauh dari gangguan orang-orang yang serakah dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Tapi apa hendak dikata. Setiap saya membuka mata dipagi hari, saya harus menjalankan garis kehidupan yang sudah ada yang sampai sekarang saya belum mampu membuat garis kehidupan yang baru. Bahkan membayangkan garis-garis baru saja saya belum mampu....
Kampung Cipta Mulya terdapat sekitar 60 KK, dimana sekarang ini dipimpin oleh seorang abah yaitu Abah Uum. Nama Lengkap beliau Uum Sukma Wijaya. Beliau memimpin kampung ini sejak tahun 2002. Setelah abah sebelumnya (adik abah Uum) meninggal dunia.
Kampung Cipta Mulya tidak berbeda jauh dengan kampung kasepuhan lainnya yang ada di Sukabumi dan Banten. Bentuk rumah penduduk yang terbuat dari kayu berdindingkan bambu, beratap ijuk. Terdapat rumah besar tempat tinggal Abah (Imah Gede), dan juga Leuit atau tempat penyimpanan gabah.
Bercerita tentang leuit dan gabah, masyarakat adat kasepuhan mempunyai budaya yang sangat unik dan menurut saya sungguh bijaksana. Padi bagi masyarakat kasepuhan adalah sebuah tanaman yang sangat di agungkan. Hampir seluruh masyarakat adat kasepuhan menanam padi di lahannya, baik padi persawahan maupun padi darat. Hasil-hasil panen mereka simpan di sebuah lumbung yang disebut dengan leuit. Padi hasil panen tidak pernah mereka jual kecuali jika memang hasil panennya sangat banyak dan berlebih. Namun, jika padi ini sudah menjadi beras masyarakat adat kasepuhan dilarang menjual beras, menjual nasi ataupun makanan yang terbuat dari beras. Mereka percaya jika mereka menjual beras ataupun nasi, nantinya mereka akan terkena musibah. Saya sangat mengagumi budaya ini. Mereka kaya akan beras, mungkin juga nama lainnya adalah swasembada beras, tapi mereka tidak pernah mau menjualnya.
Untuk menumbuk padi menjadi beras, mereka juga melakukannya secara tradisional. Menumbuk dengan menggunakan lesung. Jika ada acara-acara tertentu para wanita secara beramai-ramai menumbuk padi dilesung yang panjang. Terdengar bunyi lesung yang berirama dan harmonis. Suasana pagi saat itu masih terasa sangat dingin. Saya langsung mencari sumber bunyi yang sangat mengagumkan. Setelah saya menemui dimana lokasinya, tenyata para ibu-ibu tersebut sedang beramai-ramai menumbuk padi untuk acara pernikahan salah satu warganya. Sungguh damai dan indah kampung ini. Hidup harmonis bersama alam dan kebersamaan yang tetap terjalin dengan baik.
Disaat saya memasuki imah gede, saya melihat para ibu-ibu lainnya sedang ramai di dapur. Dengan senda gurau meraka memasak beberapa jenis makanan untuk sebuah acara nanti malam. Acara disetiap bulan purnama. Malam hiburan dan pentas seni budaya. Dalam hati saya hanya berdecak kagum. Sungguh beruntung mereka tinggal dan hidup di kampung ini. Damai dan tentram. Jauh dari hiruk pikuk orang-orang yang selalu sibuk dengan dirinya masing-masing. Sikut-sikutan dalam dalam persaingan pekerjaan mereka. Jauh dari ramainya orang bicara tentang caleg dan kampanye pemilihan presiden. Seolah-olah mereka tidak peduli siapa presidennya. Yang penting kedamaian dan ketentraman yang ada di kampung mereka tidak terusik. Kekayaan alam dan berlimpahnya hasil panen padi mereka tidak terganggu. Setiap tahun mereka tetap bisa merayakan kebahagiaan hasil panen mereka. Merayakan serean taun. Pesta untuk ucapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmad yang diberikan kepada mereka...
Terkadang jika melihat ketentraman seperti ini, ingin rasanya saya tinggal disini atau disebuah kampung dimana saya bisa merasakan juga betapa damainya tinggal disebuah kampung yang kaya akan sumberdaya alam. Hidup dengan penuh rasa kebersamaan. Jauh dari gangguan orang-orang yang serakah dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Tapi apa hendak dikata. Setiap saya membuka mata dipagi hari, saya harus menjalankan garis kehidupan yang sudah ada yang sampai sekarang saya belum mampu membuat garis kehidupan yang baru. Bahkan membayangkan garis-garis baru saja saya belum mampu....
Subscribe to:
Posts (Atom)