Kumpul Anggota Lawalata IPB berbagai angkatan pada tahun 2010 di Cijeruk, Kabupaten Bogor |
Sesama pecinta alam itu bersaudara. Dimana pun ia berada. Itulah
doktrin yang mungkin diterima oleh para mahasiswa pecinta alam (Mapala) ketika
ia kuliah di sebuah universitas dan masuk organisasi tersebut. Sama seperti
yang saya terima ketika saya masuk Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut
Pertanian Bogor (Lawalata IPB) pada tahun 2002. Tak heran jika kita masih
mahasiswa, tidak perlu bingung mau menginap dimana jika sedang melakukan sebuah
perjalanan atau ekspedisi di sebuah kota yang jauh dari kampus. Cukup mencari
sekretariat Mapala di universitas terdekat.
Kabar duka meninggalnya Rudy Badil beberapa waktu lalu
(11/7/2019) tentunya membuat orang-orang yang mengenalnya berduka. Apalagi
namanya melegenda di kalangan Mapala. Menjadi panutan para generasi muda yang
mengikuti jejaknya sebagai seorang pecinta alam ketika ia masuk ke sebuah
universitas.
Generasi saya tentulah sangat jauh jaraknya dengan Rudy
Badil. Tahun 2005 saya baru memasuki dunia kerja, ia baru pensiun sebagai
wartawan Harian Kompas. Tetapi ketika saya mahasiswa, saya masih mendapatkan
cerita tentang sosok Rudy Badil ini dari para senior Lawalata IPB. Tentunya
generasi yang sama yaitu tahun 70-an.
Ketika ramainya pemberitaan meninggalnya Rudy Badil, salah
satu pendiri Lawalata IPB Soeryo Adiwibowo kembali menyampaikan kenangannya
ketika Rudy Badil, Dono, Kasino, Nanu dan anak-anak Mapala UI diundang ke
Kampus IPB Baranangsiang. Angggota Lawalata IPB yang memiliki nomor L-001 yang
sering disapa Bowo dan sekarang menjadi penasehat senior Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini menyampaikan kisahnya bagaimana persahabatannya
sesama pecinta alam yang telah mereka bangun. “Tahun 1975 Badil dan teman-teman
Mapala UI kami undang ke Kampus IPB Baranangsiang. Karena saya yang tahu lokasi
asrama UI Pegangsaan, maka saya dan Soesetyo yang jemput mereka dengan bus IPB.
Sepanjang perjalanan di dalam bus, Kasino, Dono, Nanu dan Badil selalu ngebodor. Kasino membawa ukulele dan
buku tebal yang isinya lelucon-lelucon” katanya di sebuah grup percakapan
sesama anggota Lawalata IPB.
Waktu itu Warkop belum terbentuk. Bowo yang baru mau mendirikan
Lawalata IPB berkumpul dengan teman-teman Mapala UI di Pusat Kegiatan Mahasiswa
(PKM) kampus Baranangsiang yang sekarang sudah menjadi kantor pos.
Perbedaan umur dan pengalaman diantara anggota muda Lawalata
IPB dan Mapala UI cukup jauh. Soeryo
Adiwibowo, Soesetyo, Slamet Riyadi, Suwarno, Aunur Rofiq Hadi, Eddie Ruslan G,
Wiwi Sulikanti Agusni dan teman-teman lainnya rata-rata masih di usia 20 tahun.
Sementara mereka anggota Mapala UI yang datang sudah diatas 24 tahun. Perbedaan
usia dan pengalaman diantara mereka tentunya jauh berbeda. Lawalata IPB baru
mau didirikan, Mapala UI sudah sampai ke Puncak Jayawijaya.
“Waktu itu UI masih dengan sistem pendidikan 6 tahun. Jadi
kami banyak yang terkagum-kagum sama mereka. Walaupun usia kami jauh berbeda,
mereka ngga sombong. Rudy Badil
orangnya ramah, baik dan hangat. Mereka tidak menunjukkan mereka jagoan naik
gunung. Mereka malah sering guyon. Kita yang sudah tidak sabar ingin diskusi,
mereka malah santai saja. Sepanjang malam di PKM lebih banyak diisi dengan
nyanyi dan guyonan tanpa skenario oleh Dono, Kasino dan Badil. Apalagi ketika
dalam perjalanan ke Bogor, kaca depan bus IPB bagian kiri entah bagaimana
copot. Kejadian itu menjadi bahan bagi mereka untuk ngeledek kami”, kata Bowo.
Wiwi Sulikanti Agusni mengenang perjalanan bersama naik
Gunung Gede Pangrango yang sepanjang perjalanan ketawa melihat ulahnya Dono dan
Kasino. Bawa gitar sambil bernyanyi di lereng Gunung Gede sampai akhirnya
gitarnya gelembung karena lembab dan tidak bisa lagi digunakan. “Itu perjalanan
yang sangat menyenangkan, tapi jadi lupa belajar hahaha….”, menimpali apa yang
telah disampaikan Bowo. Baginya, Lawalata IPB itu jika naik gunung sambil
mengingat pelajaran dari dosen biologi dan botani tentang perubahan vegetasi
sesuai dengan perubahan ketinggian di atas permukaan laut. Maklum anak-anak IPB
mungkin terlalu serius jika kuliah dan sangat scientist.
Hasil dari pertemuan dengan para pendiri Mapala UI itulah
Lawalata IPB akhirnya mencari format seperti apa organisasi pecinta alam di IPB
ingin didirikan. Mapala UI dan Wanadri menjadi pedoman Bowo dan kawan-kawan
mereka saat itu. Mapala UI telah melakukan ekpedisi yang pertama kali ke
Pegunungan Jayawijaya tahun 70-an awal. Tentunya dengan kesulitan yang tinggi
karena Freeport baru hadir dan belum menambang. Generasi selanjutnya ada Norman
Edwin yang banyak melakukan ekspedisi dan wafat di Gunung Aconcagua, Argentina
pada April tahun 1992.
Wanadri juga terlihat lebih terampil, tangkas dan
professional sebagai penjelajah rimba dan pendaki gunung. Keanggotaannya lebih
inklusif, terbuka untuk pemuda yang berasal dari berbagai kampus. Beberapa
mahasiswa ITB, Unpad, Unpas, ITT dan sebagainya menjadi anggota Wanadri.
Wanadri juga banyak dilatih di Batu Jajar oleh RPKAD (saat ini menjadi
Kopassus).
Dengan melihat IPB adalah gudangnya ilmu pengetahuan alam,
maka Lawalata IPB didirikan berbeda dengan Mapala UI dan Wanadri. Pencarian
identitas dilakukan melalui berbagai diskusi karena bagi mereka saat itu
Lawalata IPB harus memiliki ciri khas dan keunikan. Aunur Rofiq Hadi bahkan
sampai menemui Ketua Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat itu
Prof.Dr.Ir.H. TB. Bachtiar Rifai untuk meminta masukan seperti apa organisasi
pecinta alam ke depan. “Saran beliau saat itu adalah Lawalata IPB menekankan
pada pelestarian lingkungan karena di masa depan kita akan menghadapi krisis
air, baik kualitas maupun kuantitasnya. Saat itu istilah lingkungan hidup belum
ada”, kata Rofiq yang menyandang nomor keanggotaan L-005 di Lawalata IPB.
Mendengar masukan dan saran dari Prof. Bachtiar Rifai, para
generasi muda yang akan mendirikan Lawalata IPB makin bingung. Karena
organisasi mahasiswa pecinta alam utamanya adalah naik gunung. Apakah mau
mahasiswa IPB masuk Lawalata IPB jika nanti arahnya adalah pelestarian alam?.
Namun, akhirnya para pendiri Lawalata IPB itu setuju untuk mendirikan dan
mengembangkan Lawalata IPB yang mengarah kepada mencipatakan kader-kader yang
peduli terhadap kelestarian alam tanpa meninggalkan gaya naik gunung.
Sejak saat itulah proses perekrutan anggota Lawalata IPB
terus ditekankan bahwa anggotanya harus peduli terhadap kelestarian lingkungan
dan alam. Melakukan studi dan kajian-kajian mulai dari yang sederhana hingga
yang serius dan mendalam terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan. Bahkan tak
jarang melakukan investigasi atas kejahatan-kejahatan merusak alam seperti
illegal loging, tambang illegal, perambahan kawasan hutan, destructive fishing dan perampasan wilayah masyarakat adat.
Awal tahun 90-an munculah para aktivis lingkungan dan
gerakan peduli lingkungan jebolan Lawalata IPB. Mereka mendirikan berbagai
organisasi-organisasi non pemerintah yang memiliki perhatian utama terhadap isu
lingkungan hidup. Karena IPB berada di Bogor, maka pusatnya organisasi yang
memiliki perhatian terhadap lingkungan juga berada di Bogor. Organisasi yang
didirikan oleh para anggota Lawalata IPB ketika keluar dari kampus IPB antara
lain Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Rimbawan Muda Indonesia (RMI),
Perkumpulan Telapak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia (FWI), Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rekam Nusantara Foundation dan banyak lagi. Saat
itu mereka juga berpartisipasi aktif membesarkan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi), dan Yayasan Indonesia Hijau (YIH).
Gebrakan para alumni anggota Lawalata IPB bisa dibuktikan
dengan berbagai pengharagaan yang mereka terima. Sebut saja Emmy Hafild mendapat
penghargaan sebagai Heroes of The Planet Majalah Time (1999), Ambrosius
Ruwindrijarto mendapat penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Emergent
Leadership (2012), Een Irawan Putra mendapat penghargaan Silent Heroes 100
Persen Indonesia dari Greenpeace Indonesia (2014) dan Abdon Nababan penghargaan
Ramon Magsaysay untuk kategori Community Leadership (2017). Organisasi non
pemerintah yang didirikan juga banyak membantu dan mendorong pemerintah
khususnya di KLHK dalam membuat kebijakan-kebijakan yang memperhatikan
kelestarian alam Indonesia.
Alumni Lawalata IPB tidak hanya berkecimpung di dunia
aktivis. Banyak juga dari mereka saat ini sudah menjadi guru besar di berbagai
kampus ternama dan professor riset di LIPI. Mereka diantaranya adalah Prof.Dr.Ir.
Vincentius P Siregar, DEA, Prof.Dr.Ir.Iman Rahayu Hidayati Soesanto, Prof.Dr.Ir.Wasrin Syafii, M.Agr, Prof.Dr.Ir.Sutrisno
Suro Mardjan, M.Agr, Prof.Ir. Tian Belawati,M.Ed, Ph.D, Prof.Dr.Ir.Dwi Listyo
Rahayu, Prof.Dr.Ir.Sam Wouthuzen dan lain sebagainya. Beberapa anggota Lawalata IPB
lainnya sekarang juga menduduki berbagai jabatan strategis di beberapa kementerian
dan lembaga negara.
Sepak terjang dan talenta yang dimiliki Rudy Badil, Kasino,
Dono, Nanu dan alumni mahasiswa pecinta alam di Lawalata IPB serta pertemanan
yang mereka bangun disaat mahasiswa perlu menjadi catatan generasi penerusnya. Di
Mapala UI karena persahabatannya dan ingin terus berkarya bersama setelah
keluar dari kampus, Dono dan Kasino konsisten dengan lelucon dan jiwa
menghiburnya. Hal yang sama juga ada di Lawalata IPB. Hapsoro dan Arbi
Valentinus adalah duo sahabat yang tidak
ingin berpisah setelah keluar kampus dan konsisten dengan perlawanannya terhadap para
pejabat dan pengusaha yang kegemarannya merusak alam Indonesia. Walaupun mereka
semua telah tiada, tapi kita akan selalu mengenal siapa mereka.
Unit kegiatan mahasiswa yang
berkegiatan di alam bebas adalah tempat yang paling ideal untuk mereka
yang ingin mencari jati diri dengan berbagai idealismenya. Menumbuhkan jiwa
sosial dan kepedulian terhadap sesama mahluk hidup. Peka dan kritis terhadap
sebuah perubahan sosial dan perubahan lingkungan yang sedang dan yang akan
terjadi. Dengan melakukan berbagai kegiatan di alam bebaslah kita bisa
membangun persahabatan sejati. Jangan menganggap remeh anak muda yang memang
hobby-nya naik gunung dan berkegiatan di alam bebas. Tidak semua dari mereka
berjalan seperti tanpa tujuan hidup.
Semoga dengan membaca tulisan ini generasi berikutnya di
Mapala UI dan Lawalata IPB serta mahasiswa pecinta alam dari universitas
lainnya tetap bisa saling bersilahturahim, saling berbagi, duduk setara,
tertawa dan bercanda bersama. Momen seperti ini tidak mudah untuk kita temui
lagi jika sudah keluar dari kampus dan memasuki dunia kerja.
___
Een Irawan Putra
Anggota Lawalata IPB dan Direktur Eksekutif Rekam Nusantara
Foundation