Setelah mengunjungi masyarakat adat Bathin IX yang berada di Desa Singoan, keesokan paginya saya diajak Pak Abunyani mengunjungi Dusun Tanah Menang, Desa Bungku, di Kecamatan Bajubang.
Sebuah dusun kecil yang terletak didalam kawasan pekebunan kelapa sawit milik PT Asiatic Persada (Wilmar Group). Di rumah kecil yang terbuat dari papan saya diterima oleh beberapa warga. Rumah yang berada dipinggir jalan perkebunan kelapa sawit yang berhadapan langsung dengan tanaman-tanaman kelapa sawit milik perusahaan. Jika dimusim hujan jalan-jalan ini berlumpur dan tidak bisa dilalui mobil-mobil kecil yang bukan four-wheel drive.
Kutar. Seorang laki-laki berperawakan tegap dan bersuara lantang, adalah pria yang saya temui di dusun ini. Kami berkunjung ketika dia sedang memperbaiki rumah kecilnya. Laki-laki yang sekarang ditunjuk menjadi ketua RT di lingkungannya ini banyak menjelaskan bagaimana konflik antara masyarakatnya dengan perusahaan perkebebunan kelapa sawit yang saat ini berada di wilayah mereka.
Berdasarkan beberapa sumber informasi dan penjelasan dari Kutar, tidak terlalu jauh dari wilayahnya terdapat 2 dusun lagi yang kawasannya diklaim oleh perusahaan sebagai wilayah perkebunan. Dua dusun tersebut adalah Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Luas lahan yang diklaim oleh perusahaan yang termasuk didalam HGU perusahaan di 3 dusun ini adalah 3.614 ha.
Di wilayah Dusun Padang Salak terdapat beberapa anak sungai yaitu Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, dan Sungai Ulu Suban Ayomati.
Di wilayah Dusun Pinang Tinggi terdapat beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, dan Sungai Tunggul Enaw.
Sementara Dusun Tanah Menang terdapat beberapa sungai yaitu Sungai Limus, Sungai Dahan Petaling, Sungai Langgar Tuan, Sungai Pagar, Sungai Klutum, Sungai Lesung Tigo, Sungai Lamban Bemban, Sungai Tertap, Sungai Nyalim, Sungai Temidai, Sungai Sialang Meranti, Sungai Dahan Setungau, Sungai Ulu Kelabau, Sungai Marung Tengah, SungaiBindu, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Semio, Sungai Klabau, dan Sungai Arang paro.
Keberadaan anak-anak sungai inilah yang menjadi batas-batas wilayah dan sumbermata pencaharian masyarakat. Beberapa anak sungai ini sekarang kondisinya sudah berubah karena ditanami kelapa sawit dan ada yang ditimbun oleh perusahaan untuk areal perkebunan. Sungai yang tersisa juga rusak oleh limbah-limbah pabrik penggilingan kelapa sawit. Masyarakat suku Bathin IX masih bisa mengingatnya dengan baik keberadaan sungai-sungai yang ada di wilayahnya.
Tahun 1987 adalah awal dari semua permasalahan. Sebuah HGU seluas 20.000 ha diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari untuk PT Bangun Desa Utama (PT BDU) untuk dibangun perkebunan kelapa sawit dan cokelat. Dua tahun setelah penerbitan HGU terjadi penggusuran masyarakat di 3 dusun, yaitu Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak. Penggusuran yang dilakukan perusahaan bersama aparat kepolisian dan tentara membuat masyarakat di 3 dusun berpencar. Beberapa masyarakat memilih meninggalkan rumahnya karena takut dengan intimidasi yang dilakukan pada saat proses penggusuran.
Pada tahun 2001-2002 setelah pergantian manajemen perusahaan, kembali terjadi penggusurun lahan warga. Tanaman cokelat yang sudah ditanam oleh perusahaan diganti menjadi kelapa sawit. Perusahaan mengklaim bahwa lahan yang ditempati masyarakat berada di kawasan HGU perusahaan. Tanaman-tanaman keras masyarakat seperti durian, digusur dan dibersihkan. Makam-makam masyarakat pun ikut tergusur.
Dampak dari penggusuran paksa yang menggunakan aparat militer dan kepolisian yang menggunakan kekerasan dan intimidasi pada saat itu bukan saja berdampak pada hilangnya tanah dan tanaman masyarakat, tetapi juga dampak psikologis terhadap beberapa orang dewasa dan anak-anak. Jay (24 tahun) yang dulu sewaktu penggusuran masih anak-anak, sampai dengan sekarang masih trauma melihat orang-orang yang berpakaian militer.
Kutar juga menceritakan pada saat itu dia juga pernah diusir dari rumahnya. Diseret ke mobil polisi dan dibawa ke kantor polisi karena dianggap melawan. Merasa tidak bersalah dan harus mempertahankan hak atas tanahnya, Kutar tidak gentar menghadapi para anggota kepolisian. “Pada tahun 86-87 tentara langsung masuk rumah. Menodong senjata dan mengusir kami. Andalan perusahaan itu adalah Kapolres Batang Hari dan Kapolsek Bajubang. Yang saya tanyakan sekarang, mereka ini polisi perusahaan atau masyarakat?” ucap Kutar.
Hanya Kutar dan beberapa rekannya yang masih bertahan di tanah mereka. Walaupun sering menerima intimidasi dan ancaman mereka tidak akan menyerahkan tanah yang sudah dimiliki dari nenek moyang mereka. Karena takut dengan ancaman-ancaman yang diberikan perusahaan, beberapa masyarakat di Dusun Padang Salak dan Dusun Pinang Tinggi sudah meninggalkan tanah mereka. Untuk menghilangkan bukti-bukti bahwa lahan tersebut adalah milik masyarakat Suku Bathin IX, perusahaan membunuh semua tanaman-tanaman keras milik masyarakat dengan cara diracun. Cara-cara inilah yang membuat Kutar dan masyarakat yang masih bertahan di Dusun Tanah Menang berang. “Negara ini kalau tidak salah berlaku undang-undang dan pancasila. Kalau tidak berlaku lagi undang-undang dan hukum ini, mungkin seperti inilah pak. Apakah bapak mau, klo istri bapak adalah istri kami? Harta bapak, harta kami?. Kami mengambil buah sawit satu biji ditangkap, karena dianggap pencuri. Perusahaan mengambil tanah kami tidak ditangkap” jawab Kutar ketika diintrogasi oleh polisi dan dituduh mengambil tanah perusahaan yang masuk kedalam wilayah HGU perusahaan.
Kutar menjelaskan, klo memang perusahaan itu merasa membeli tanah-tanah mereka, ia ingin mengetahui kepada siapa perusahaan itu membeli. Karena mereka merasa tidak pernah merasa menjual atau menyerahkan tanah yang sudah ditempati oleh mereka selama beberapa generasi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang dulu hidup harmonis dengan alam, berladang, berkebun karet dan berburu ini sekarang seperti orang tersesat. Berjalan tak tentu arah. “Sebelum tahun 1986 buah-buahan melimpah disini, sampai tidak habis kami memakannya. Kami berikan buah-buahan itu kepada masyarakat luar (orang-orang trasnmigrasi) karena saking banyaknya. Tanaman jerenang banyak di hutan. Sekarang susah. Perusahaan pernah bilang ke kami, katanya makin ramai makin aman. Tentram. Tapi kenyataannya makin susah hidup kami. Inilah resiko kami bermain dengan orang pintar” keluh Kutar.
Tak mampu beli durian
“Tadi ada keluarga yang memberi uang sebesar Rp 50.000. Ketika saya pegang uang itu, cucu saya ingin sekali makan buah durian. Terpaksalah saya membeli durian yang harganya sekarang masih Rp 30.000/buah. Sekarang pak, kami tidak bisa lagi menikmati buah durian.” Ucap Harun C kepada saya ketika kami mengunjungi beberapa orang Bathin IX di Desa Nyogan. Harun C dulunya berasal dari Dusun Padang Salak, Desa Bungku. Dia dan sekeluarga terpaksa meninggalkan rumah dan tanahnya karena takut akan intimidasi para perusahaan dan militer. Tanah Harun C yang ditinggalkan di Dusun Padang Salak kurang lebih 200 X 900 depo. 1 depo sama dengan 1,5 meter.
Usup Bengking sekarang tinggal di Dusun Segandik, Desa Nyogan. Sama dengan Harun C, Usup juga meninggalkan rumah dan tanahnya yang berada di Dusun Pinang Tinggi. Dia dan beberapa rekan-rekannya sekarang tinggal di rumah yang sangat sederhana atas batuan Dinas Sosial sewaktu gencarnya konflik dan penggusuran tanah dan ladang mereka. Di Desa Nyogan sekitar 75% adalah masyarakat Suku Bathin IX. Sebanyak 60 orang mempunyai hak atas tanah di perkebunan PT Asiatic Persada. Mata pencaharian mereka saat ini sudah tidak menentu. Ada yang mencari ikan, berkebun dan buruh perkebunan.
“Harapan kami, kami ingin tanah kami kembali. Tidak ada negosiasi lain. Saya ini sudah tua, umur kami sudah tidak lama lagi. Sudah puluhan tahun kami hidup mengungsi seperti ini. Anak cucu saya tidak punya tanah, tidak punya kebun. Mau bertani tidak bisa. Bagaimana mereka mau menjalani kehidupan ini?” ungkap Harun C.
Tidak mau sekolah gara-gara sandal jepit
Derita dan kesedihan bukan hanya dirasakan oleh satu generasi. Tapi mungkin akan berlanjut ke generasi berikutnya. Para orang tua mungkin merasakan sakit dan pedih karena tergusurnya tanah mereka. Sulitnya sumber mata pencaharian untuk penghidupan. Kemiskinan ini juga berdampak pada anak-anak mereka. Karena berasal dari keluarga yang tidak mampu, anak-anak Suku Bathin IX terpaksa sekolah dengan menggunakan baju sekolah seadanya dan menggunakan sandal jepit.
Supri salah satu anak Suku Bathin IX yang tinggal di Dusun Tanah Menang yang bersekolah di salah satu sekolah dasar yang ada di Pasar Kecamatan Bajubang. Pada tahun 2003 Supri duduk di bangku kelas 2. Masih ingat betul diingatan Supri pada saat itu dia dimarahin oleh seorang guru ketika ia dan seorang temannya yang juga berasal dari Suku Bathin IX berangkat sekolah menggunakan sadal jepit. Saat itu sang guru menanyakan kepada mereka kenapa mereka sekolah menggunakan sandal. Supri hanya bisa menjawab bahwa orang tuanya tidak mampu membeli sepatu. Supri juga sudah menejelaskan klo tanah mereka sudah habis diambil oleh perusahaan kelapa sawit. Orang tuanya tidak ada uang untuk membelikan sepatu untuk ke sekolah. Setelah menjawab pertanyaan sang guru, guru tersebut meminta Supri dan temannya untuk menggantungkan sandal mereka di leher dan berjemur di halaman sekolah. Setelah kejadian tersebut mereka tidak mau lagi ke sekolah karena malu dengan murid-murid lain yang mayoritas adalah orang-orang transmigrasi.
Kutar menyampaikan bahwa tanah yang dibangun untuk sekolah dahulunya adalah tanah wakaf dari orang tuanya. Sekolah yang dibangun oleh PT Asiatic Persada awalnya adalah untuk anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) bersekolah. Memperoleh pendidikan. Mengerti baca tulis.
“Sampai dengan sekarang saya masih ingat nama dan wajah seorang guru yang menghukum saya disaat sekolah ketikasaya memakai sandal jepit” ungkap Supri. Tak urung Supri yang sekarang mulai tumbuh dewasa menyimpan dendam kepada sang guru.
Saat ini jumlah anak-anak usia sekolah di Dusun Tanah Menang sekitar 200 anak. Yang bisa mengenyam sekolah seekitar 20 orang.
Saya yang beberapa hari tinggal bersama orang-orang Suku Bathin IX menjadi tahu kenapa Pak Abunyani dan bersama dengan rekan-rekannya dari Suku Bathin IX berusaha membangun kekuatan untuk berjuang mencari sebuah kemerdekaan. Merdeka seutuhnya. Merdeka diatas tanah mereka sendiri. Selama 24 tahun mereka harus hidup berjuang mempertahankan tanah warisan dari para leluhur mereka. Seperti pepatah lama orang-orang Suku Bathin IX “Biarlah orang mendapat asal kito tidak kehilangan”.
TAMAT
Sunday, April 17, 2011
Wednesday, April 13, 2011
Bathin IX Mencari Kemerdekaan (1)
Murid sekolah dasar. Atupun mungkin murid sekolah dari taman kanak-kanak sudah tahu negara ini merdeka dari tahun 45. Semua rakyat Indonesia pun tahu itu. Tapi seperti apakah hakekat sebuah kemerdekaan? Benarkah bagi orang-orang yang ada di negeri ini merasakan merdeka? Mungkin belum semua lapisan masyarakat yang ada di negeri ini merasakan merdeka seutuhnya.
Apa saya tulis berikut ini adalah, penglihatan saya dan pendengaran saya mengenai masyarakat yang belum merdeka seutuhnya. Memang kita sudah merdeka dari jajahan negara asing yang frontal. Tapi merdeka dari penindasan, pembodohan dan pemiskinan? Saya berani mengatakan mereka belum merdeka!
Berbekal tulisan dari Irma Tambunan mengenai Suku Bathin IX di Jambi pada harian KOMPAS di kolom SOSOK sebulan yang lalu, saya nekad mencari informasi sebanyak-banyak mengenai suku ini dan juga mengenai sosok yang ditulis oleh Irma. Semua kontak yang ada di Jambi saya hubungi untuk melacak siapa orang yang ada dimaksud didalam harian KOMPAS. Benarkan Suku Bathin IX ini ada di Jambi dan kondisinya ‘tenggelam’.
Informasi awal yang ingin saya dapatkan akhirnya terkumpul. Melalui media komunikasi telpon saya berhasil mengumpulkan beberapa informasi awal tersebut.
14 Maret 2011 saya langsung terbang ke Jambi. Setelah empat hari mengunjungi beberapa teman di Jambi saya langsung memutuskan untuk tinggal dirumah Pak Abunyani di Desa Kilangan, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari. Sosok yang ada dituliskan di harian KOMPAS tersebut. Di rumahnya yang sederhana saya mendapatkan banyak informasi mengenai Suku Bathin IX. Saya juga menjadi mengerti kenapa beliau bersikukuh untuk mengangkat kasus-kasus yang terjadi di komunitasnya. Karena saya tidak puas hanya mendengar cerita dari beliau. Saya minta beliau mengantarkan saya ke lokasi-lokasi konflik tersebut. Lokasi dimana masih ada masyarakat adat suku Bathin IX yang tetap mempertahankan tanah ulayatnya walaupun harus menghadapi berbagai macam kecaman dan intimidasi.
Berdasarkan cerita sejarah, Suku Bathin IX adalah komunitas pertama penghuni Jambi dan memiliki sebagian hutan adat di Jambi. Komunitas adat ini awalnya menempati sepanjang sembilan anak sungai yaitu Sungai Semak (saat ini leih dikenal dengan Sungai Bulian), Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Semua sungai ini bermuara ke Sungai Batang Hari. Sejak lama pemerintah menggabungkan Komunitas Suku Bathin IX ini dengan Orang Rimba menjadi satu istilah yaitu Suku Anak Dalam (SAD). Pemerintan menganggap mereka sama, padahal mereka berbeda komunitas dan beda adat istiadat.
Esok paginya sekitar jam delapan pagi Pak Abunyani mengajak saya ke Sialang Pugug, Desa Singoan. Disana saya bertemu dengan beberapa masyarakat Bathin IX yang konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Induk Kebun Unggul (PT IKU). Pada tahun 1995 tanah masyarakat dijadikan perkebunan kelapa sawit dimana sebelumnya dijanjikan akan bagi hasil jika nanti perkebunan tersebut menghasilkan. Pola kemitraan ini dulunya dipimpin oleh seorang cukong yaitu Tanoto Ayong-sebagai bapak angkat. Mereka bekerjasama dengan KUD Sinar tani. Kemitraan Masyarakat dan KUD ini dilakukan melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan cara pembagian 70% untuk petani dan 30% untuk perusahaan yaitu PT IKU. Direktur Utama PT IKU adalah Tanoto Ayong.
Sejak ditandatangani kesepakatan pola kemitraan dengan PT IKU, sekitar 2300 ha hutan adat milik masyarakat Suku Bathin IX dibabat habis oleh perusahaan. Kawasan hutan yang tergabung didalam 4 desa yaitu Desa Olak, Aro, Ma Singoan dan Desa Sungai Baung. Kayu-kayu yang sudah ditebang tersebut dikuasai oleh perusahaan PT IKU. Berdasarkan surat kesepakatan dan perjanjian dengan PT IKU, perusahaan akan membiayai kebutuhan hidup masyarakat yang tanahnya sudah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit selama 48 bulan (sampai perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan buah). Tentu saja dengan harapan besar pola kemitraan ini, mereka rela melepaskan tanah-tanah mereka untuk ditanami kelapa sawit, agar bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka.
Tapi janji, harapan besar dan mimpi indah itu tiba-tiba menjadi hilang dan menjadi sebuah mimpi buruk bagi mereka. Menjadi sumber malapetaka dan bencana. Pemiskinan secara terang-terang yang direstui oleh pemerintah. Setelah hutan habis ditebang dan kayu-kayunya sudah diangkut oleh perusahaan, lahan yang ditanami kelapa sawit hanya 663 ha. Biaya hidup yang dijanjikan selama 48 bulan hanya terlaksana beberapa bulan saja. Bibit kelapa sawit yang ditanami oleh perusahaan PT IKU dilahan tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya. Belakangan diketahui bahwa Tanoto Ayong sengaja mentelantarkan perkebunan sawit yang sudah disepakati karena sudah mendapat keuntungan dari hasil penjualan kayu-kayu disaat melakukan land clearing.
Tanoto Ayong selaku Direktur Utama PT IKU dikabarkan menghilang dari Jambi. Diketahui juga Tanoto Ayong terlibat banyak kasus di Jambi. Sampai dengan sekarang tidak peduli dengan nasib masyarakat yang ada di Desa Singoan.
Saat ini posisi masyarakat menjadi terjepit dan tidak ada pilihan yang menguntungkan. Dilanggarkan semua perjanjian dan kesepakatan yang dibuat berarti sama saja membunuh sumber matapencaharian dan harapan. Karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pada bulan Desember tahun 2007 masyarakat Suku Bathin IX didamping pengacaranya yaitu Mangara Siagian, SH dan kawan-kawan mencoba menghubungi beberapa aparat pemerintah diantaranya Kaporles Batanghari dan Kasat Brimobda Jambi untuk meminta izin untuk melakukan pemanenan kelapa sawit yang sudah ditanam. Hasil pertemuan itu disepakati boleh dilakukan pemanen secara bersama dan didampingi oleh aparat keamanan dari Brimob dan pihak tim pengacara.
Pada tanggal 20 Januari 2008 proses pemanenan bersama dilakukan. Proses pemanenan ini dilakukan oleh masyarakat didamping Brimob dan tim pengacara. Tapi apa yang terjadi? Ketika proses pemanenan dilakukan, sekelompok aparat dari Polres Batang Hari datang ke lokasi kebun. Proses panen dihentikan dan mereka yang lagi panen buah sawit langsung dibawa ke Polres Batang Hari dan ditahan. Mereka didakwa melakukan pencurian buah sawit milik perusahaan. Polres Batang Hari juga menangkap pengacara Mangara Siagian, SH dengan tuduhan sebagai otak pelaku pencurian buah sawit. Dari 60 orang yang melakukan panen bersama, sebanyak 16 orang masyarakat yang melakukan panen tersebut ditahan selama 7 bulan kurungan.
Mungkin inilah nasib rakyat yang belum merdeka seutuhnya. Nasib orang kecil, lemah dan tidak mempunyai sebuah kekuatan untuk meruntuhkan sebuah tembok yang ada didepannya ketika tembok tersebut menghalangi jalan mereka.
Tanah ulayat yang sudah terlanjur mereka sepakati untuk menjadi perkebunan kelapa sawit membawa derita. Ketika memanen tanaman yang ada ditanah sendiripun menjadi masalah. “Sebelum ada perusahaan masuk, kami ini aman. Buahan-buahan, tumbuh-tumbuhan banyak. Durian, cempedak, semua ada. Sekarang ini klo tidak beli buah-buahan diluar, kami tidak akan pernah bisa mencicipi rasa buah-buahan tersebut. Sejak perusahaan masuk, kami kesusahan sekali. Tanah kami digarap oleh perusahaan sawit, ternyata hasilnya tidak diberikan kepada kami. Jika kami olah tanah yang belum tertanam kelapa sawit, polisi datang dan dipenjara. Sedangkan kami merasa tanah ini adalah warisan dari nenek-nenek kami”. Keluh Pak Zainudin yang saat ini menjadi Ketua RT di Dusun Sialang Pugug.
Zainudin juga menjelaskan bahwa pada bulan September tahun 2010, ketika mereka mengolah tanah mereka. Semua orang yang mengolah tanah mereka dikirimin surat dari Polres Batang Hari. Mereka dianggap melakukan perkara tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KHUP). Surat resmi yang dipojok kiri atas tertulis dengan huruf kapital “DEMI KEADILAN” terebut ditandatangani oleh Kasat Reskrim selaku penyidik, yaitu Prasetiyo Adhi Wibowo, SIK. “Katanya klo 3 kali dipanggil kami tidak hadir, kami dianggap menentang hukum. Hukum apa yang saya tentang?” lanjut Zainudin.
(Bersambung)
Apa saya tulis berikut ini adalah, penglihatan saya dan pendengaran saya mengenai masyarakat yang belum merdeka seutuhnya. Memang kita sudah merdeka dari jajahan negara asing yang frontal. Tapi merdeka dari penindasan, pembodohan dan pemiskinan? Saya berani mengatakan mereka belum merdeka!
Berbekal tulisan dari Irma Tambunan mengenai Suku Bathin IX di Jambi pada harian KOMPAS di kolom SOSOK sebulan yang lalu, saya nekad mencari informasi sebanyak-banyak mengenai suku ini dan juga mengenai sosok yang ditulis oleh Irma. Semua kontak yang ada di Jambi saya hubungi untuk melacak siapa orang yang ada dimaksud didalam harian KOMPAS. Benarkan Suku Bathin IX ini ada di Jambi dan kondisinya ‘tenggelam’.
Informasi awal yang ingin saya dapatkan akhirnya terkumpul. Melalui media komunikasi telpon saya berhasil mengumpulkan beberapa informasi awal tersebut.
14 Maret 2011 saya langsung terbang ke Jambi. Setelah empat hari mengunjungi beberapa teman di Jambi saya langsung memutuskan untuk tinggal dirumah Pak Abunyani di Desa Kilangan, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari. Sosok yang ada dituliskan di harian KOMPAS tersebut. Di rumahnya yang sederhana saya mendapatkan banyak informasi mengenai Suku Bathin IX. Saya juga menjadi mengerti kenapa beliau bersikukuh untuk mengangkat kasus-kasus yang terjadi di komunitasnya. Karena saya tidak puas hanya mendengar cerita dari beliau. Saya minta beliau mengantarkan saya ke lokasi-lokasi konflik tersebut. Lokasi dimana masih ada masyarakat adat suku Bathin IX yang tetap mempertahankan tanah ulayatnya walaupun harus menghadapi berbagai macam kecaman dan intimidasi.
Berdasarkan cerita sejarah, Suku Bathin IX adalah komunitas pertama penghuni Jambi dan memiliki sebagian hutan adat di Jambi. Komunitas adat ini awalnya menempati sepanjang sembilan anak sungai yaitu Sungai Semak (saat ini leih dikenal dengan Sungai Bulian), Sungai Bahar, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Telisak, Sungai Sekamis, Sungai Semusir, dan Sungai Burung Hantu. Semua sungai ini bermuara ke Sungai Batang Hari. Sejak lama pemerintah menggabungkan Komunitas Suku Bathin IX ini dengan Orang Rimba menjadi satu istilah yaitu Suku Anak Dalam (SAD). Pemerintan menganggap mereka sama, padahal mereka berbeda komunitas dan beda adat istiadat.
Esok paginya sekitar jam delapan pagi Pak Abunyani mengajak saya ke Sialang Pugug, Desa Singoan. Disana saya bertemu dengan beberapa masyarakat Bathin IX yang konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Induk Kebun Unggul (PT IKU). Pada tahun 1995 tanah masyarakat dijadikan perkebunan kelapa sawit dimana sebelumnya dijanjikan akan bagi hasil jika nanti perkebunan tersebut menghasilkan. Pola kemitraan ini dulunya dipimpin oleh seorang cukong yaitu Tanoto Ayong-sebagai bapak angkat. Mereka bekerjasama dengan KUD Sinar tani. Kemitraan Masyarakat dan KUD ini dilakukan melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) dengan cara pembagian 70% untuk petani dan 30% untuk perusahaan yaitu PT IKU. Direktur Utama PT IKU adalah Tanoto Ayong.
Sejak ditandatangani kesepakatan pola kemitraan dengan PT IKU, sekitar 2300 ha hutan adat milik masyarakat Suku Bathin IX dibabat habis oleh perusahaan. Kawasan hutan yang tergabung didalam 4 desa yaitu Desa Olak, Aro, Ma Singoan dan Desa Sungai Baung. Kayu-kayu yang sudah ditebang tersebut dikuasai oleh perusahaan PT IKU. Berdasarkan surat kesepakatan dan perjanjian dengan PT IKU, perusahaan akan membiayai kebutuhan hidup masyarakat yang tanahnya sudah dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit selama 48 bulan (sampai perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan buah). Tentu saja dengan harapan besar pola kemitraan ini, mereka rela melepaskan tanah-tanah mereka untuk ditanami kelapa sawit, agar bisa meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka.
Tapi janji, harapan besar dan mimpi indah itu tiba-tiba menjadi hilang dan menjadi sebuah mimpi buruk bagi mereka. Menjadi sumber malapetaka dan bencana. Pemiskinan secara terang-terang yang direstui oleh pemerintah. Setelah hutan habis ditebang dan kayu-kayunya sudah diangkut oleh perusahaan, lahan yang ditanami kelapa sawit hanya 663 ha. Biaya hidup yang dijanjikan selama 48 bulan hanya terlaksana beberapa bulan saja. Bibit kelapa sawit yang ditanami oleh perusahaan PT IKU dilahan tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya. Belakangan diketahui bahwa Tanoto Ayong sengaja mentelantarkan perkebunan sawit yang sudah disepakati karena sudah mendapat keuntungan dari hasil penjualan kayu-kayu disaat melakukan land clearing.
Tanoto Ayong selaku Direktur Utama PT IKU dikabarkan menghilang dari Jambi. Diketahui juga Tanoto Ayong terlibat banyak kasus di Jambi. Sampai dengan sekarang tidak peduli dengan nasib masyarakat yang ada di Desa Singoan.
Saat ini posisi masyarakat menjadi terjepit dan tidak ada pilihan yang menguntungkan. Dilanggarkan semua perjanjian dan kesepakatan yang dibuat berarti sama saja membunuh sumber matapencaharian dan harapan. Karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pada bulan Desember tahun 2007 masyarakat Suku Bathin IX didamping pengacaranya yaitu Mangara Siagian, SH dan kawan-kawan mencoba menghubungi beberapa aparat pemerintah diantaranya Kaporles Batanghari dan Kasat Brimobda Jambi untuk meminta izin untuk melakukan pemanenan kelapa sawit yang sudah ditanam. Hasil pertemuan itu disepakati boleh dilakukan pemanen secara bersama dan didampingi oleh aparat keamanan dari Brimob dan pihak tim pengacara.
Pada tanggal 20 Januari 2008 proses pemanenan bersama dilakukan. Proses pemanenan ini dilakukan oleh masyarakat didamping Brimob dan tim pengacara. Tapi apa yang terjadi? Ketika proses pemanenan dilakukan, sekelompok aparat dari Polres Batang Hari datang ke lokasi kebun. Proses panen dihentikan dan mereka yang lagi panen buah sawit langsung dibawa ke Polres Batang Hari dan ditahan. Mereka didakwa melakukan pencurian buah sawit milik perusahaan. Polres Batang Hari juga menangkap pengacara Mangara Siagian, SH dengan tuduhan sebagai otak pelaku pencurian buah sawit. Dari 60 orang yang melakukan panen bersama, sebanyak 16 orang masyarakat yang melakukan panen tersebut ditahan selama 7 bulan kurungan.
Mungkin inilah nasib rakyat yang belum merdeka seutuhnya. Nasib orang kecil, lemah dan tidak mempunyai sebuah kekuatan untuk meruntuhkan sebuah tembok yang ada didepannya ketika tembok tersebut menghalangi jalan mereka.
Tanah ulayat yang sudah terlanjur mereka sepakati untuk menjadi perkebunan kelapa sawit membawa derita. Ketika memanen tanaman yang ada ditanah sendiripun menjadi masalah. “Sebelum ada perusahaan masuk, kami ini aman. Buahan-buahan, tumbuh-tumbuhan banyak. Durian, cempedak, semua ada. Sekarang ini klo tidak beli buah-buahan diluar, kami tidak akan pernah bisa mencicipi rasa buah-buahan tersebut. Sejak perusahaan masuk, kami kesusahan sekali. Tanah kami digarap oleh perusahaan sawit, ternyata hasilnya tidak diberikan kepada kami. Jika kami olah tanah yang belum tertanam kelapa sawit, polisi datang dan dipenjara. Sedangkan kami merasa tanah ini adalah warisan dari nenek-nenek kami”. Keluh Pak Zainudin yang saat ini menjadi Ketua RT di Dusun Sialang Pugug.
Zainudin juga menjelaskan bahwa pada bulan September tahun 2010, ketika mereka mengolah tanah mereka. Semua orang yang mengolah tanah mereka dikirimin surat dari Polres Batang Hari. Mereka dianggap melakukan perkara tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak (Pasal 385 KHUP). Surat resmi yang dipojok kiri atas tertulis dengan huruf kapital “DEMI KEADILAN” terebut ditandatangani oleh Kasat Reskrim selaku penyidik, yaitu Prasetiyo Adhi Wibowo, SIK. “Katanya klo 3 kali dipanggil kami tidak hadir, kami dianggap menentang hukum. Hukum apa yang saya tentang?” lanjut Zainudin.
(Bersambung)
Thursday, April 7, 2011
Hutan Desa Lubuk Beringin: Berpijak dari kearifan lokal
Seminggu yang lalu saya memiliki kesempatan untuk berkunjung ke lokasi hutan desa di Kabupaten Muaro Bungo, Jambi. Awalnya tujuan perjalanan saya ke Jambi adalah untuk mendokumentasikan sebuah lembaga swadaya masyarakat yang ada di Jambi dan mendokumentasikan beberapa kelompok Suku Bathin IX dan Suku Anak Dalam (SAD) yang sering disebut orang rimba yang tergusur dari kawasan hutan mereka.
Karena jadwal untuk masuk ke kelompok orang rimba masih bentrok dengan kegiatan lembaga pendampingnya, akhirnya saya diajak oleh seorang teman di Jambi untuk melihat lokasi hutan desa. Berhubung saya belum tahu banyak seperti apa pengelolaan hutan desa dan bagaimana mekanisme hak kelolanya, saya memutuskan menerima tawaran tersebut.
Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Izin kelola kepada masyarakat merupakan amanat dari ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Permenhut P.49/2008 Tentang Hutan Desa.
Untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan desa, harus melalui beberapa tahapan sampai dengan terbitnya SK Penetapan Areal Hutan Desa. Tahapan pertama dimulai dari permohonan usulan dari masyarakat kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati setempat. Kemudian Bupati mewakili pemerintah daerah mengeluarkan surat rekomendasi dan dilanjutkan dengan usulan penetapan areal kerja hutan desa ke Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan atas dasar surat Bupati akan menurunkan tim verifikasi. Setelah dilakukan verifikasi, maka Menhut akan menerbitkan SK Penetapan kawasan hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa berdasarkan luas yang diusulkan dengan jangka waktu hak kelola biasanya selama 35 tahun dan dapat di perpanjang.
Hutan desa yang saya kunjungi di Muaro Bungo adalah Hutan Desa Lubuk Beringin. Hutan desa ini kabarnya merupakan hutan desa pertama yang ada di Indonesia. Sebuah dusun kecil yang berada di kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Hulu Sungai Buat. Jumlah penduduk di dusun ini sekitar 331 jiwa atau sekitar 86 KK.
Dusun ini perlahan mulai terkenal sejak seorang menteri kehutanan pada tahun 2009 datang langsung ke dusun ini dan memberikan hak kelola kepada masyarakat melalui SK Menteri Kehutanan RI tentang Pencadangan areal Kerja Hutan Desa Dusun Lubuk Beringin dengan luas 2.356 ha.
Disaat berada di dusun ini saya benar-benar merasakan sebuah kedamaian dan keharmonisan masyarakat yang tinggal disebuah kampung dengan kekayaan sumberdaya alamnya. Sumber ekonomi yang cukup. Tidak pernah merasakan kekurangan bahan pangan karena produksi padi yang selalu ada setiap tahunnya. Sumber air yang melimpah dan jernih. Sebuah sungai besar yang jernih dan bersih mengalir disepanjang dusun ini membuat keharmonisan itu semakin nyata.
Setiap pagi masyarakat dusun lubuk beringin berangkat menyadap karet sebagai mata pencaharian mereka. Sebagian keluarga, setelah menyadap karet mereka langsung menuju sawahnya yang sudah mereka tanami padi. Membersihkan tanaman-tanaman padi dari rumput-rumput atau sekedar mengecek aliran air klo-klo ada yang tersumbat untuk menuju sawahnya. Anak-anak muda terkadang secara berkelompok berlari menuju sungai dengan membawa senjata terbuat dari kayu-kayu bekas dan karet ban dalam sepeda motor untuk menembak ikan didalam sungai. Mata tembak terbuat dari jari-jari sepeda atau besi-besi kecil dari payung bekas. Kacamata selamnya pun buatan sendiri.
Hutan desa bagi mereka adalah sumber mata pencaharian dan juga sekaligus penyelamat alam dan lingkungan. Dengan adanya hutan desa mereka bisa sedikit tenang karena kawasan tersebut sudah diberi hak kelolanya oleh pemerintah kepada masyarakat desa. Tidak lagi khawatir pemerintah dalam waktu dekat bisa saja memberikan izin-izin konsesi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit ataupun hutan tanaman industri (HTI).
Beberapa manfaat yang mereka dapatkan dari hutan ini adalah sumber mata air yang melimpah. Di sawah-sawah mereka selalu mengalir air-air jernih. Begitu juga tanaman-tanaman lainnya yang ada diladang-ladang mereka. Air yang mengalir di sungai juga mereka manfaatkan untuk sumber energi listik dengan menggunakan kincir air. Kepala Desa Lubuk Beringin yang sering disebut ‘Rio’ yaitu Hadirin menyampaikan bahwa energi listrik yang ada di desanya dibangun secara swadaya masyarakat dan gotong-royong.
“Sebelum adanya hutan desa ini, memang kami sudah lama menjaga hutan yang ada di desa kami. Masyarakat sangat menyadari pentingnya hutan bagi mereka. Dari dulu kami juga sudah ada aturan adat dan juga sekarang juga dituangkan menjadi Peraturan Desa (Perdes). Klo menebang 1 pohon harus menanam 10 pohon. Kami juga akan memberikan sanksi sosial bagi yang melanggar. Misalnya klo dia mengadakan acara pernikahan ataupun syukuran (seperti khitanan) kami tidak akan menghadirinya” ungkap Hadirin. Masyarakat Dusun lubuk Beringin sudah mengetahui aturan-aturan adat dan aturan desa. Mereka tidak mau diasingkan oleh kelompok masyarakat yang lainnya.
Rio juga berharap kedepannya akan semakin banyak masyarakat yang datang berkunjung ke dusun mereka. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Karena sudah banyak yang berkunjung ke dusun Lubuk Beringin. Melihat keramahan masyarakat dan potensi-potensi sumberdaya alam yang mereka miliki. Saat ini mereka sudah melakukan survey dibeberapa tempat untuk lokasi ekowisata. Camping ground, areal tracking, dan pemandian di sungai yang jernih dan bersih sudah disiapkan.
Ketika selesai melakukan interiview dengan Rio, saya diajak mandi di sungai. Kebetulan sudah lama sekali saya tidak mandi di sungai besar yang bersih dan jernih yang berada di hulu daerah aliran sungai. Saya mandi di sungai seperti ini mungkin tahun lalu ketika saya pulang kampung. Sangkin hebohnya dan benar-benar menikmati mandi di air yang jernih, 3 jam berlalu tanpa terasa didalam sungai dengan berenang-renang kecil dan duduk-duduk disekitar sungai. Benar-benar menikmati indahnya sungai yang ada di depan mata. Beberapa hari setelahnya punggung saya kulitnya mengelupas semua karena terbakar oleh sinar matahari. Sampai sekarang masih berbekas.
Sebuah kenikmatan yang jarang saya rasakan dalam banyak perjalanan saya. Menikmati keindahan alam dan kekayaan alam Indonesia. Keharmonisan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang tinggal disekitar kawasan hutan. Beberapa tahun ini perjalanan saya banyak mengunjungi daerah-daerah konflik antar masyarakat lokal/adat dengan perusahaan perkebunan dan perusahaan kehutanan, konflik dengan pemerintah lokal, dan kawasan hutan yang sudah hancur berantakan. Melihat puing-puing keharmonisan. Meratap, merekam dan menyaksikan jeritan-jeritan mereka.
Untuk melihat video singkat Hutan Desa Lubuk Beringin silahkan lihat disini
Karena jadwal untuk masuk ke kelompok orang rimba masih bentrok dengan kegiatan lembaga pendampingnya, akhirnya saya diajak oleh seorang teman di Jambi untuk melihat lokasi hutan desa. Berhubung saya belum tahu banyak seperti apa pengelolaan hutan desa dan bagaimana mekanisme hak kelolanya, saya memutuskan menerima tawaran tersebut.
Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Izin kelola kepada masyarakat merupakan amanat dari ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan Permenhut P.49/2008 Tentang Hutan Desa.
Untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan desa, harus melalui beberapa tahapan sampai dengan terbitnya SK Penetapan Areal Hutan Desa. Tahapan pertama dimulai dari permohonan usulan dari masyarakat kepada Menteri Kehutanan melalui Bupati setempat. Kemudian Bupati mewakili pemerintah daerah mengeluarkan surat rekomendasi dan dilanjutkan dengan usulan penetapan areal kerja hutan desa ke Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan atas dasar surat Bupati akan menurunkan tim verifikasi. Setelah dilakukan verifikasi, maka Menhut akan menerbitkan SK Penetapan kawasan hutan sebagai Areal Kerja Hutan Desa berdasarkan luas yang diusulkan dengan jangka waktu hak kelola biasanya selama 35 tahun dan dapat di perpanjang.
Hutan desa yang saya kunjungi di Muaro Bungo adalah Hutan Desa Lubuk Beringin. Hutan desa ini kabarnya merupakan hutan desa pertama yang ada di Indonesia. Sebuah dusun kecil yang berada di kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Hulu Sungai Buat. Jumlah penduduk di dusun ini sekitar 331 jiwa atau sekitar 86 KK.
Dusun ini perlahan mulai terkenal sejak seorang menteri kehutanan pada tahun 2009 datang langsung ke dusun ini dan memberikan hak kelola kepada masyarakat melalui SK Menteri Kehutanan RI tentang Pencadangan areal Kerja Hutan Desa Dusun Lubuk Beringin dengan luas 2.356 ha.
Disaat berada di dusun ini saya benar-benar merasakan sebuah kedamaian dan keharmonisan masyarakat yang tinggal disebuah kampung dengan kekayaan sumberdaya alamnya. Sumber ekonomi yang cukup. Tidak pernah merasakan kekurangan bahan pangan karena produksi padi yang selalu ada setiap tahunnya. Sumber air yang melimpah dan jernih. Sebuah sungai besar yang jernih dan bersih mengalir disepanjang dusun ini membuat keharmonisan itu semakin nyata.
Setiap pagi masyarakat dusun lubuk beringin berangkat menyadap karet sebagai mata pencaharian mereka. Sebagian keluarga, setelah menyadap karet mereka langsung menuju sawahnya yang sudah mereka tanami padi. Membersihkan tanaman-tanaman padi dari rumput-rumput atau sekedar mengecek aliran air klo-klo ada yang tersumbat untuk menuju sawahnya. Anak-anak muda terkadang secara berkelompok berlari menuju sungai dengan membawa senjata terbuat dari kayu-kayu bekas dan karet ban dalam sepeda motor untuk menembak ikan didalam sungai. Mata tembak terbuat dari jari-jari sepeda atau besi-besi kecil dari payung bekas. Kacamata selamnya pun buatan sendiri.
Hutan desa bagi mereka adalah sumber mata pencaharian dan juga sekaligus penyelamat alam dan lingkungan. Dengan adanya hutan desa mereka bisa sedikit tenang karena kawasan tersebut sudah diberi hak kelolanya oleh pemerintah kepada masyarakat desa. Tidak lagi khawatir pemerintah dalam waktu dekat bisa saja memberikan izin-izin konsesi kepada perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit ataupun hutan tanaman industri (HTI).
Beberapa manfaat yang mereka dapatkan dari hutan ini adalah sumber mata air yang melimpah. Di sawah-sawah mereka selalu mengalir air-air jernih. Begitu juga tanaman-tanaman lainnya yang ada diladang-ladang mereka. Air yang mengalir di sungai juga mereka manfaatkan untuk sumber energi listik dengan menggunakan kincir air. Kepala Desa Lubuk Beringin yang sering disebut ‘Rio’ yaitu Hadirin menyampaikan bahwa energi listrik yang ada di desanya dibangun secara swadaya masyarakat dan gotong-royong.
“Sebelum adanya hutan desa ini, memang kami sudah lama menjaga hutan yang ada di desa kami. Masyarakat sangat menyadari pentingnya hutan bagi mereka. Dari dulu kami juga sudah ada aturan adat dan juga sekarang juga dituangkan menjadi Peraturan Desa (Perdes). Klo menebang 1 pohon harus menanam 10 pohon. Kami juga akan memberikan sanksi sosial bagi yang melanggar. Misalnya klo dia mengadakan acara pernikahan ataupun syukuran (seperti khitanan) kami tidak akan menghadirinya” ungkap Hadirin. Masyarakat Dusun lubuk Beringin sudah mengetahui aturan-aturan adat dan aturan desa. Mereka tidak mau diasingkan oleh kelompok masyarakat yang lainnya.
Rio juga berharap kedepannya akan semakin banyak masyarakat yang datang berkunjung ke dusun mereka. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Karena sudah banyak yang berkunjung ke dusun Lubuk Beringin. Melihat keramahan masyarakat dan potensi-potensi sumberdaya alam yang mereka miliki. Saat ini mereka sudah melakukan survey dibeberapa tempat untuk lokasi ekowisata. Camping ground, areal tracking, dan pemandian di sungai yang jernih dan bersih sudah disiapkan.
Ketika selesai melakukan interiview dengan Rio, saya diajak mandi di sungai. Kebetulan sudah lama sekali saya tidak mandi di sungai besar yang bersih dan jernih yang berada di hulu daerah aliran sungai. Saya mandi di sungai seperti ini mungkin tahun lalu ketika saya pulang kampung. Sangkin hebohnya dan benar-benar menikmati mandi di air yang jernih, 3 jam berlalu tanpa terasa didalam sungai dengan berenang-renang kecil dan duduk-duduk disekitar sungai. Benar-benar menikmati indahnya sungai yang ada di depan mata. Beberapa hari setelahnya punggung saya kulitnya mengelupas semua karena terbakar oleh sinar matahari. Sampai sekarang masih berbekas.
Sebuah kenikmatan yang jarang saya rasakan dalam banyak perjalanan saya. Menikmati keindahan alam dan kekayaan alam Indonesia. Keharmonisan masyarakat lokal dan masyarakat adat yang tinggal disekitar kawasan hutan. Beberapa tahun ini perjalanan saya banyak mengunjungi daerah-daerah konflik antar masyarakat lokal/adat dengan perusahaan perkebunan dan perusahaan kehutanan, konflik dengan pemerintah lokal, dan kawasan hutan yang sudah hancur berantakan. Melihat puing-puing keharmonisan. Meratap, merekam dan menyaksikan jeritan-jeritan mereka.
Untuk melihat video singkat Hutan Desa Lubuk Beringin silahkan lihat disini
Subscribe to:
Posts (Atom)