Setelah turun dari bus yang membawa saya dari sebuah kota di Jawa Barat, saya mencari angkutan umum menuju sebuah terminal dan mencari angkutan umum lainnya yang bisa mengantarkan saya ke kota kelahiran saya. Tempat dimana orang tua saya tinggal. Ramai. Ramai karena para calo sibuk menanyai kemana tujuan sang penumpang. Ramai karena semua kaca depan dan belakang mobil-mobil angkutan umum itu ditempel dengan dua nama orang yang berukuran besar dan mencolok. Penasaran dan heran, nama siapa ini. Orang mana dia. Akhirnya saya menanyakan kepada seseorang yang duduk disebelah saya “nama siapa yang ada di kaca-kaca mobil itu?”. “Itu nama calon bupati dan wakil bupati yang sekarang. Sekarang kan sedang ada pemilihan bupati dan wakil bupati” jawabnya enteng. Saya baru menyadari klo saya sudah tiga tahun meninggalkan kota ini. Tahun ini memang sudah waktunya pemilihan pemimpin daerah.
Saya sudah duduk disebelah kiri mobil. Dipinggir pintu. Membuka kaca mobil agar bisa menghirup udara diluar. Mobil yang di kaca depan dan belakangnya tertuliskan nama calon bupati dan wakil bupati itu sudah siap berangkat. Dibelakang sopirnya ada tiga baris bangku. Seharusnya satu baris diisi tiga orang penumpang. Karena mengejar setoran maka tak sungkan sang calo dan pemilik mobil memaksakan untuk diisi empat orang penumpang. Untuk bernafas saja cukup sulit, apalagi kita berharap bisa menggerakan kaki atau duduk bersandar. Lama perjalanan jika kondisi jalan bagus sekitar satu jam. Tapi akan berbeda jika kondisi jalan berlubang dan bergelombang karena banyak kendaraan besar truk-truk batu bara yang lewat.
Setibanya dirumah saya langsung linglung dan bingung. Rumah tua yang dulu kecil dan berwarna kusam sudah tidak ada. Sekarang sudah berubah menjadi sebuah rumah yang lebih bagus dan berwarna cerah. “Kenapa kau bingung?” tanya emak kepada saya. “Iya, setelah kamu dan kakakmu lulus kuliah, bapak meminjam bank untuk terakhir kalinya sebelum pensiun untuk membangun rumah”. Mata saya terpejam mendengar ucapan polos itu. Seakan berdosa karena selama ini saya seolah menghambat mereka membangun sebuah rumah yang layak untuk mereka tempati dengan nyaman untuk tempat tinggal. Tetangga kiri dan kanan yang baru datang membangun rumah lebih bagus dan warnanyapun lebih cerah. Ya, disaat saya dan kakak saya kuliah semua pendapatan orangtua saya harus disisihkan untuk biaya kami kuliah di Bogor. Bukan hanya pendapatan, tapi juga harus meminjam bank dengan menggadaikan surat-surat berharga untuk membiaya kami berdua masuk kuliah dan membayar uang semester.
Pada malam harinya disaat sedang berkumpul bersama dengan adik-adik saya. Saya bertanya kepada sang bapak “sedang ada pemilihan bupati ya pak?”. “Iya, sedang ramai dibicarakan sekarang”. “Orang mana saja calonnya dan darimana mereka” saya lanjut bertanya. “Sekarang putra daerah yang kita jagokan”. “Dia orang kita, dari suku kita. Rejang” si emak menimpali. “Semoga nanti disaat dia terpilih lebih memperhatikan orang-orang kita. Baru sekali ini orang kita, putra daerah bisa jadi bupati. Bapak ingin lihat seperti apa kepemimpinannya” bapak melanjutkan.
Malam itu selain bercerita tentang harapan orang tua terhadap calon bupati yang dijagokan juga bercerita tentang Calon Gubernur yang akan maju juga putra daerah. Masih muda dan katanya pengusaha. Mereka berharap ada perubahan-perubahan yang dilakukan oleh putra daerah di era otonomi daerah ini. Saya yang mendengarkan hanya menganggukan kepala yang berarti mengiyakan dan berharap hal yang sama. Mungkin harapan yang sama seperti yang ada dihati masyarakat diseluruh daerah dimana sedang ada pilkada.
Beberapa minggu yang lalu.
Setelah mengikuti beberapa prosesi acara pernikahan saya di dua tempat, yaitu di kota kelahiran istri saya di Sumsel dan di kota kelahiran saya sendiri. Malam terakhir sebelum keesokan harinya kami harus pulang ke Bogor, saya dan istri saya berkumpul dengan orang tua saya di rumah. Malam itu, emak menyampaikan keinginan sang adik perempuan saya klo dia ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Beberapa tahun ini dia hanya sebagai pegawai honorer. Meminta emak untuk menjual tanah yang dimiliki untuk membayar orang-orang yang bisa membantu proses penerimaan pegawai negeri. Jumlah yang dibutuhkan jika orang tersebut lulusan sarjana adalah kurang lebih Rp 150 juta. Emak meminta pendapat saya pada malam itu.
Saya selama ini hanya mendengar kasus-kasus penyuapan dalam proses penerimaan PNS yang dilakukan oleh beberapa orang dibeberapa daerah. Selama ini saya hanya tersenyum jika mendengar cerita teman-teman mengenai diterimanya seseorang menjadi PNS karena membayar para makelar dan pejabat-pejabat daerah.
Sekarang, saya dihadapkan langsung dengan kasus seperti ini. Ahhh.. apa yang saya khawatirkan selama ini terjadi juga. Saat itu saya bingung menjawabnya. Takut menyinggung perasaan sang orang tua dan adik saya. Saya takut dianggap orang yang sombong. Malam itu saya hanya menyampaikan, klo saya secara pribadi dan dari hati yang paling dalam saya tidak setuju dengan mekanisme seperti itu. Saya tidak rela tabungan yang disimpan sejak lama dan susah payah harus diberikan kepada para makelar dan pejabat-pejabat itu. Lebih baik uang yang senilai ratusan juta itu dinikmati sendiri. Membangun rumah yang besar atau membuka kebun yang luas. Toh sang suami juga sudah berstatus kerja sebagai pegawai negeri.
Saya hanya memberi beberapa perumpamaan kepada orang tua saya. Berapa pendapatan PNS perbulan. Butuh berapa tahun harus mengembalikan uang sebesar itu jika sudah menjadi PNS? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun?. Klo membangung rumah, sudah nyaman sekali untuk menjadi tempat tinggal selama puluhan tahun. Klo membuat kebun, sepuluh tahun mungkin sudah menikmati hasil-hasil kebun. Apalagi jika dengan kondisi harga komoditi karet saat ini sangat tinggi. Klo sekedar untuk makan sekeluarga saya pikir pendapatan suaminya sudah lebih dari cukup.
Latah menjadi PNS
Disetiap daerah. Disetiap tahunnya masyarakat seakan selalu latah untuk menjadi pegawai negeri sipil. Hal ini menurut saya sudah menjadi seperti sebuah kompetisi tahunan. Saya menjadi curiga sebuah kabupaten baru bermunculan beberapa tahun ini hanya untuk membuat peserta kompetisi ini semakin banyak. Bukan karena untuk pemerataan pembangunan, apalagi untuk mensejahterakan rakyatnya.
Emakku, adikku, dan teman-temanku semuanya. Bukan maksud saya menyalahkan kalian. Bukan maksud saya untuk memojokkan posisi kalian. Tidak sama sekali. Kalian hanya korban. Yang saya salahkan dan sesalkan adalah sistem ini. Bagaimana, dan sejak kapan sistem ini dilahirkan. Sistem yang sangat bobrok yang ada di pemerintah daerah. Yang saya salahkan adalah rakusnya para pejabat daerah dan makelar CPNS ini. Pejabat daerah bukannya memikirkan rakyatnya. Memikirkan sumber-sumber pendapatan tambahan rakyatnya, alternatif pendapatan dan kestabilan sumber pendapatan tersebut. Mereka masih menjabat dengan gaya-gaya lama. Pemikiran sempit dan memanfaatkan posisi dengan ilmu terapan “aji mumpung”. Mumpung menjadi pejabat, mumpung memiliki kesempatan dan mumpung masih banyak yang latah untuk menjadi pegawai negeri.
Masih teringat lima yang tahun yang lalu. Melihat istri saya mencari pekerjaan disaat dia lulus dari kuliahnya. Waktu itu kami belum menikah. Pada malam hari, ketika orang-orang ditempat saya bekerja sudah pulang kami mencetak beberapa surat lamaran kerja dan curiculum vitae. Keesokan harinya kami kirim ke beberapa lembaga, perusahaan dan institusi. Disaat harus mengikuti berbagai macam ujian tertulis dan interview di Jakarta, saya harus menemaninya ke Jakarta. Biaya yang kami keluarkan saat itu hanya ongkos kereta, ojeg dan makan siang di warteg. Tidak ada biaya selain itu. Alhamdulillah sudah sejak mengikuti berbagai macam ujian pada saat itu dia diterima dan sudah berkerja disalah satu bank swasta secara permanen. Alhamdulillah juga, teman-teman kuliah saya masih bisa lulus murni di beberapa kementerian dan di Pemda di Kabupaten tempat mereka tinggal.
Dari pengalaman ini saya melihat, seseorang bekerja seharusnya bekerja memang karena spirit-nya untuk bekerja. Bukan hanya untuk membuang waktu luang lalu mendapatkan penghasilan perbulan. Inilah perbedaan yang saya rasakan dengan para orang-orang yang latah menjadi PNS. Bekerja hanya untuk membuang kebuntuan dalam pikirannya. Orang tua yang bosan sekaligus frustasi melihat anaknya menganggur. Walaupun harus membuang uang sedemikian besar nominalnya. Tidak menyadari lagi klo yang dilakukan pada dasarnya adalah salah. Mendukung meningkatnya kasus-kasus penyuapan setiap tahunnya. Membiarkan para pejabat daerah dan makelar PNS melakukan perbuatan yang melanggar konstitusi.
Walaupun selalu muncul pemberitaan bahwa Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan menyelidiki dan menindak para pejabat daerah yang terlibat dengan percaloan CPNS di berbagai daerah, kasus ini masih saja terjadi. Beberapa minggu yang lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menargetkan akan mengkaji praktik suap yang terjadi dalam penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di sejumlah kementerian dan institusi pemerintah Pusat dan Daerah. Tetapi klo melihat kondisi negara yang penuh dengan sandiwara ini saya menjadi pesimis kasus-kasus ini bisa berhenti.
Sewaktu saya masih mahasiswa, saya percaya bahwa untuk mendapatkan pekerjaan tergantung dari diri kita sendiri. Bagaimana kita pandai membangun komunkasi yang baik dengan orang lain. Mempunyai kemampuang berpikir dan kemampuan diri (keahlian). Tidak ada sama sekali niat yang saya tanam didalam hati, klo nanti setelah lulus kuliah saya harus menyiapkan uang agar saya bisa diterima disebuah lembaga, sebuah perusahaan ataupun institusi pemerintah. Walaupun sudah beberapa kali orang tua saya meminta saya pulang untuk menjadi PNS setelah saya lulus kuliah pada waktu itu.
Bagi saya, bekerja adalah urusan hati nurani. Bekerja adalah sebuah kebanggaan. Hidup harus dijalani seimbang dan percaya manusia dilahirkan memang sudah dibuatkan jalannya oleh sang penciptanya.
Friday, February 18, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)