Proyek ini bertujuan untuk mendukung pencapaian pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia secara signifikan dan efektif melalui pengurangan deforestasi, mendorong reforestasi dan meningkatkan pengelolaan hutan secara lestari. Proyek ini akan berlangsung sampai dengan tahun 2012. Lokasi yang dipilih untuk proyek percobaan ini adalah ex PLG (Pengembangan Lahan Gambut), di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Pertengan bulan juni 2010 saya mempunyai kesempatan untuk melihat secara langsung seperti apa proyek ini dan seperti apa pula kondisi kawasan Ex PLG. Selama ini saya hanya mendengar melalui berita saja mengenai kegagalan mega proyek pada era Presiden Soeharto tersebut. Dimana 1,4 juta ha lahan gambut terbengkalai dan dalam keadaan kritis setelah proyek tersebut gagal. Setiap tahun sudah bisa dipastikan kawasan gambut yang kritis ini terbakar dan menimbulkan asap tebal. Menghantui seluruh masyarakat Kalimantan Tengah, bahkan juga negara tetangga. Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu mengembalikan ekosistem lahan gambut tersebut seperti semula. Berhutan dan tidak pernah terjadi kebakaran.
Setelah ramainya negara berkembang dan negara maju berdebat tentang REDD (Reducing Emissions from Deforestration and Degradation) diberbagai pertemuan internasional untuk diterapkan pasca tahun 2012, Indonesia mencoba melakukan sebuah proyek percontohan REDD untuk bisa terapkan nantinya jika REDD disetujui diterapkan di negara berkembang. Lahan ex-PLG seluas 100.000 ha menjadi salah satu lahan percontohan REDD demonstration activities di Indonesia untuk lahan gambut. Lahan gambut dipercaya bisa menyimpan stok karbon yang sangat besar. Proyek ini juga mengacu kepada Intruksi Presiden No.2/2007 Tentang Rehabilitasi Lahan ex-PLG.
Untuk melihat lokasi ex-PLG dan lokasi proyek KFCP, dari Palangkaraya harus melanjutkan perjalanan ke Kabupaten Kapuas (2 jam perjalanan darat). Dari Kapuas, melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Mentangai, kurang lebih 3 jam dari Kapuas. Setelah tiba di ibu kota kecamatan Mentangai, kita harus melanjutkan perjalanan ke lokasi dengan menggunakan speed boat. Dari Mentangai tergantung dengan kita sendiri, desa mana yang ingin kita kunjungi. Karena di lokasi ex-PLG cukup banyak desa yang berada disepanjang kawasan ex-PLG. Hampir semua desa ataupun dusun berada di sepanjang sungai Kapuas dan anak sungai Kapuas. Ketika saya berada disana, saya mengunjungi desa Tumbang Mangkutup, Desa Muroi, Dusun Tuanan, Dusun Tanjung Kelanis, dan Camp penelitian orang utan di Tuanan. Untuk melakukan perjalanan dibeberapa tempat ini saya harus menyewa speed boat selama 4 hari. Kita juga bisa menggunakan perahu klotok dengan biaya yang lebih murah, tapi konskuensinya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan sebuah perjalanan.
Disini saya melihat proses sosialisasi mengenai KFCP di dua tempat dan dihari yang berbeda. Walapun proses sosialisasi menggunakan bahasa lokal yaitu bahasa Dayak Ngaju, tidak mudah membuat masyarakat desa mengerti mengenai REDD, perubahan iklim, perdagangan karbon ataupun emisi karbon. Mungkin dibutuhkan waktu yang lama ataupun sosialisasi yang berulang-ulang untuk membuat mereka mengerti. Saya sendiri yang melihat proses sosialisasi ini merasa prihatin dengan batas pengetahuan mereka tentang proyek yang di-sah-kan oleh negara ini.
Secara sederhananya proyek KFCP ini mengajak masyarakat lokal untuk merehabilitasi kembali lahan gambut yang sudah rusak dan menjaga lahan gambut yang ada diwilayah mereka dari kerusakan seperti illegal loging, kebakaran, dan pembuatan-pembuatan kanal yang bisa mengeringkan lahan gambut tersebut. Dari kegiatan-kegiatan tersebut masyarakat akan menerima konpensasi, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, masyarakat akan dibayar atas pasrtisipasinya dalam sebuah kegiatan (uang jasa). Secara tidak langsung, masyarakat disebuah wilayah atau desa akan mendapatkan uang atas pembayaran stok karbon yang mampu diserap oleh sebuah wilayah tersebut. Tentunya akan ada mekanisme penghitungan stok karbon yang tersimpan dan berapa uang yang harus diterima oleh suatu wilayah tersebut.
Merupakan sebuah tantangan yang besar untuk melibatkan 14 desa yang ada di lokasi KFCP. Kurang lebih 10 ribu orang yang menempati 14 desa tersebut. Ketika saya berada disana, kegiatan dilapangan baru sebatas sosialisasi. Belum ada kesepakatan seperti apa pelibatan masyarakat lokal didalam proyek tersebut. Seperti apa keuntungan yang akan diperoleh masyarakat lokal juga belum diketahui. Pihak KFCP mengklaim, dari 2008-2010 mereka baru sebatas negosiasi, mendesain, dan study persiapan proyek. Pertengahan tahun 2010 baru melakukan sosialisasi proyek. Belum bisa dipastikan kapan implementasi proyek akan dilakukan. Waktu yang tersisa hanya dua tahun. Banyak pihak yang meragukan proyek ini akan berhasil pada tahun 2012.
Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam proyek KFCP yang bisa saya lihat dari perjalanan saya kesana. Diantaranya adalah status kawasan lokasi proyek. Sampai dengan saat ini RTRW Propinsi (Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi) untuk kawasan ex PLG belum selesai. Kabarnya dari tahun 1998 sampai dengan sekarang RTRW untuk kawasan ex PLG tidak pernah selesai direalisasikan. Mungkin terlalu banyak kepentingan dan intervensi terhadap kawasan tersebut. Belum lagi mengenai tanah masyarakat yang terkena proyek tersebut. Seperti apa negosiasinya belum diketahui. Mekanisme pembayaran yang akan diterima masyarakat juga masih tanda tanya besar.
Dari proses sosialisai yang saya lihat, masyarakat yang ada di desa-desa memang cukup terbuai dengan janji dan harapan yang diberikan oleh KFCP. Harapan besar akan menerima sebuah konpensasi atau bayaran dalam melakukan sebuah kegiatan. Hal ini terbukti ketika saya melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat yang mengikuti proses sosialisasi KFCP. Hampir semua orang yang saya wawancarai menyambut baik dan senang dengan adanya proyek ini.
Seandainya ada beberapa masyarakat yang kritis dan bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam proses sosialisasi, mungkin kegiatan sosialisasi tidak berjalan satu arah. Sebenarnya ada banyak pertanyaan besar yang bisa disampaikan kepada pihak KFCP. Diantaranya adalah sbb:
- Setelah proses sosialisasi, seperti apa kesepakatan yang akan dibuat antara masyarakat dengan pihak KFCP. Dimana kesepakatan ini diakui dan disetujui oleh seluruh masyarakat desa, bukan segelintir orang ataupun aparat desa. Hal ini mengacu kepada FPIC (Free Prior and Informed Consent), Prinsip Persetujuan Tanpa Paksaan atas dasar Informasi Awal.
- Bagaimana dengan safe guard atau jaminan keamanan bagi masyarakat. Seandainya nanti setelah kesepakan dibuat, ada permasalahan-permasalahan yang timbul. Bagaimana penyelesaiannya, baik itu permasalahan status tanah maupun pembayaran. Siapa yang akan menyelesaikan permasalahan ini, kepada siapa masyarakat akan mengadu.
- Bagaimana dengan mekanisme proyek tersebut. Apakah dalam desain awal proyek ini ada pelibatan masyarakat lokal? Sehingga ada perwakilan masyarakat lokal untuk menyampaikan aspirasinya. Atau proyek ini hanya didesain oleh para aparat negara dan segelintir orang entah darimana yang terkadang mengkesampingkan kepentingan masyarakat lokal.
- Bagaimana dengan teknis proyek KFCP?
- Apakah nanti jika REDD diimplementasikan pasca tahun 2012, apakah ini nantinya layak menjadi contoh untuk diterapkan di Indonesia? Apakah contoh ini layak dipelajari oleh masyarakat adat lainnya yang ada di Indonesia?
- Bagaimana caranya bisa mensejahterakan masyarakat. Jika proyek ini mengklaim bisa mensejahterakan masyarakat. Seperti apa realnya? Waktu sudah terbuang selama 2 tahun. Tahun 2012 sudah tidak lama lagi.
- Bagaimana pemerintah Australia bisa menjamin proyek ini menjamin hak-hak masyarakat adat? Pemerintah Australia sendiri sudah ikut menandatangani UNRIP (United Nations Right of Indigenous People), pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Mungkin inilah beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh KFCP dan juga pemerintah Indonesia. Jangan sampai proyek ini hanya sebuah ‘proyek’. Sama seperti proyek pembangunan ataupun proyek konservasi yang sering dilakukan di Indonesia. Tidak pernah menghasilkan apa-apa. Tidak pernah menguntungkan masyarakat desa dan masyarakat yang ada di kampung-kampung. Proyek berdana besar tersebut hanya sekedar lewat. Hanya membuat tebal kantong para pelaksana proyek.
“Klo ini sampai terjadi. Ini merupakan sebuah kelalaian yang sangat besar yang harus dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Australia. Uang publik Australia menguap tanpa bekas dan sia-sia” tegas Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) disaat saya meminta tanggapan beliau terhadap proyek ini.