Tuesday, July 30, 2019

Persahabatan Lawalata IPB dan Mapala UI Dibangun Sejak Para Pendirinya




Kumpul Anggota Lawalata IPB berbagai angkatan pada tahun 2010 di Cijeruk, Kabupaten Bogor

Sesama pecinta alam itu bersaudara. Dimana pun ia berada. Itulah doktrin yang mungkin diterima oleh para mahasiswa pecinta alam (Mapala) ketika ia kuliah di sebuah universitas dan masuk organisasi tersebut. Sama seperti yang saya terima ketika saya masuk Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Institut Pertanian Bogor (Lawalata IPB) pada tahun 2002. Tak heran jika kita masih mahasiswa, tidak perlu bingung mau menginap dimana jika sedang melakukan sebuah perjalanan atau ekspedisi di sebuah kota yang jauh dari kampus. Cukup mencari sekretariat Mapala di universitas terdekat.

Kabar duka meninggalnya Rudy Badil beberapa waktu lalu (11/7/2019) tentunya membuat orang-orang yang mengenalnya berduka. Apalagi namanya melegenda di kalangan Mapala. Menjadi panutan para generasi muda yang mengikuti jejaknya sebagai seorang pecinta alam ketika ia masuk ke sebuah universitas.

Generasi saya tentulah sangat jauh jaraknya dengan Rudy Badil. Tahun 2005 saya baru memasuki dunia kerja, ia baru pensiun sebagai wartawan Harian Kompas. Tetapi ketika saya mahasiswa, saya masih mendapatkan cerita tentang sosok Rudy Badil ini dari para senior Lawalata IPB. Tentunya generasi yang sama yaitu tahun 70-an.

Ketika ramainya pemberitaan meninggalnya Rudy Badil, salah satu pendiri Lawalata IPB Soeryo Adiwibowo kembali menyampaikan kenangannya ketika Rudy Badil, Dono, Kasino, Nanu dan anak-anak Mapala UI diundang ke Kampus IPB Baranangsiang. Angggota Lawalata IPB yang memiliki nomor L-001 yang sering disapa Bowo dan sekarang menjadi penasehat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ini menyampaikan kisahnya bagaimana persahabatannya sesama pecinta alam yang telah mereka bangun. “Tahun 1975 Badil dan teman-teman Mapala UI kami undang ke Kampus IPB Baranangsiang. Karena saya yang tahu lokasi asrama UI Pegangsaan, maka saya dan Soesetyo yang jemput mereka dengan bus IPB. Sepanjang perjalanan di dalam bus, Kasino, Dono, Nanu dan Badil selalu ngebodor. Kasino membawa ukulele dan buku tebal yang isinya lelucon-lelucon” katanya di sebuah grup percakapan sesama anggota Lawalata IPB.

Waktu itu Warkop belum terbentuk. Bowo yang baru mau mendirikan Lawalata IPB berkumpul dengan teman-teman Mapala UI di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) kampus Baranangsiang yang sekarang sudah menjadi kantor pos.

Perbedaan umur dan pengalaman diantara anggota muda Lawalata IPB dan Mapala UI cukup jauh.   Soeryo Adiwibowo, Soesetyo, Slamet Riyadi, Suwarno, Aunur Rofiq Hadi, Eddie Ruslan G, Wiwi Sulikanti Agusni dan teman-teman lainnya rata-rata masih di usia 20 tahun. Sementara mereka anggota Mapala UI yang datang sudah diatas 24 tahun. Perbedaan usia dan pengalaman diantara mereka tentunya jauh berbeda. Lawalata IPB baru mau didirikan, Mapala UI sudah sampai ke Puncak Jayawijaya.

“Waktu itu UI masih dengan sistem pendidikan 6 tahun. Jadi kami banyak yang terkagum-kagum sama mereka. Walaupun usia kami jauh berbeda, mereka ngga sombong. Rudy Badil orangnya ramah, baik dan hangat. Mereka tidak menunjukkan mereka jagoan naik gunung. Mereka malah sering guyon. Kita yang sudah tidak sabar ingin diskusi, mereka malah santai saja. Sepanjang malam di PKM lebih banyak diisi dengan nyanyi dan guyonan tanpa skenario oleh Dono, Kasino dan Badil. Apalagi ketika dalam perjalanan ke Bogor, kaca depan bus IPB bagian kiri entah bagaimana copot. Kejadian itu menjadi bahan bagi mereka untuk ngeledek kami”, kata Bowo.

Wiwi Sulikanti Agusni mengenang perjalanan bersama naik Gunung Gede Pangrango yang sepanjang perjalanan ketawa melihat ulahnya Dono dan Kasino. Bawa gitar sambil bernyanyi di lereng Gunung Gede sampai akhirnya gitarnya gelembung karena lembab dan tidak bisa lagi digunakan. “Itu perjalanan yang sangat menyenangkan, tapi jadi lupa belajar hahaha….”, menimpali apa yang telah disampaikan Bowo. Baginya, Lawalata IPB itu jika naik gunung sambil mengingat pelajaran dari dosen biologi dan botani tentang perubahan vegetasi sesuai dengan perubahan ketinggian di atas permukaan laut. Maklum anak-anak IPB mungkin terlalu serius jika kuliah dan sangat scientist.

Hasil dari pertemuan dengan para pendiri Mapala UI itulah Lawalata IPB akhirnya mencari format seperti apa organisasi pecinta alam di IPB ingin didirikan. Mapala UI dan Wanadri menjadi pedoman Bowo dan kawan-kawan mereka saat itu. Mapala UI telah melakukan ekpedisi yang pertama kali ke Pegunungan Jayawijaya tahun 70-an awal. Tentunya dengan kesulitan yang tinggi karena Freeport baru hadir dan belum menambang. Generasi selanjutnya ada Norman Edwin yang banyak melakukan ekspedisi dan wafat di Gunung Aconcagua, Argentina pada April tahun 1992.

Wanadri juga terlihat lebih terampil, tangkas dan professional sebagai penjelajah rimba dan pendaki gunung. Keanggotaannya lebih inklusif, terbuka untuk pemuda yang berasal dari berbagai kampus. Beberapa mahasiswa ITB, Unpad, Unpas, ITT dan sebagainya menjadi anggota Wanadri. Wanadri juga banyak dilatih di Batu Jajar oleh RPKAD (saat ini menjadi Kopassus).

Dengan melihat IPB adalah gudangnya ilmu pengetahuan alam, maka Lawalata IPB didirikan berbeda dengan Mapala UI dan Wanadri. Pencarian identitas dilakukan melalui berbagai diskusi karena bagi mereka saat itu Lawalata IPB harus memiliki ciri khas dan keunikan. Aunur Rofiq Hadi bahkan sampai menemui Ketua Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat itu Prof.Dr.Ir.H. TB. Bachtiar Rifai untuk meminta masukan seperti apa organisasi pecinta alam ke depan. “Saran beliau saat itu adalah Lawalata IPB menekankan pada pelestarian lingkungan karena di masa depan kita akan menghadapi krisis air, baik kualitas maupun kuantitasnya. Saat itu istilah lingkungan hidup belum ada”, kata Rofiq yang menyandang nomor keanggotaan L-005 di Lawalata IPB.

Mendengar masukan dan saran dari Prof. Bachtiar Rifai, para generasi muda yang akan mendirikan Lawalata IPB makin bingung. Karena organisasi mahasiswa pecinta alam utamanya adalah naik gunung. Apakah mau mahasiswa IPB masuk Lawalata IPB jika nanti arahnya adalah pelestarian alam?. Namun, akhirnya para pendiri Lawalata IPB itu setuju untuk mendirikan dan mengembangkan Lawalata IPB yang mengarah kepada mencipatakan kader-kader yang peduli terhadap kelestarian alam tanpa meninggalkan gaya naik gunung.

Sejak saat itulah proses perekrutan anggota Lawalata IPB terus ditekankan bahwa anggotanya harus peduli terhadap kelestarian lingkungan dan alam. Melakukan studi dan kajian-kajian mulai dari yang sederhana hingga yang serius dan mendalam terhadap kerusakan-kerusakan lingkungan. Bahkan tak jarang melakukan investigasi atas kejahatan-kejahatan merusak alam seperti illegal loging, tambang illegal, perambahan kawasan hutan, destructive fishing dan perampasan wilayah masyarakat adat.

Awal tahun 90-an munculah para aktivis lingkungan dan gerakan peduli lingkungan jebolan Lawalata IPB. Mereka mendirikan berbagai organisasi-organisasi non pemerintah yang memiliki perhatian utama terhadap isu lingkungan hidup. Karena IPB berada di Bogor, maka pusatnya organisasi yang memiliki perhatian terhadap lingkungan juga berada di Bogor. Organisasi yang didirikan oleh para anggota Lawalata IPB ketika keluar dari kampus IPB antara lain Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Perkumpulan Telapak, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia (FWI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rekam Nusantara Foundation dan banyak lagi. Saat itu mereka juga berpartisipasi aktif membesarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan Indonesia Hijau (YIH).

Gebrakan para alumni anggota Lawalata IPB bisa dibuktikan dengan berbagai pengharagaan yang mereka terima. Sebut saja Emmy Hafild mendapat penghargaan sebagai Heroes of The Planet Majalah Time (1999), Ambrosius Ruwindrijarto mendapat penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Emergent Leadership (2012), Een Irawan Putra mendapat penghargaan Silent Heroes 100 Persen Indonesia dari Greenpeace Indonesia (2014) dan Abdon Nababan penghargaan Ramon Magsaysay untuk kategori Community Leadership (2017). Organisasi non pemerintah yang didirikan juga banyak membantu dan mendorong pemerintah khususnya di KLHK dalam membuat kebijakan-kebijakan yang memperhatikan kelestarian alam Indonesia.

Alumni Lawalata IPB tidak hanya berkecimpung di dunia aktivis. Banyak juga dari mereka saat ini sudah menjadi guru besar di berbagai kampus ternama dan professor riset di LIPI. Mereka diantaranya adalah Prof.Dr.Ir. Vincentius P Siregar, DEA, Prof.Dr.Ir.Iman Rahayu Hidayati Soesanto,  Prof.Dr.Ir.Wasrin Syafii, M.Agr, Prof.Dr.Ir.Sutrisno Suro Mardjan, M.Agr, Prof.Ir. Tian Belawati,M.Ed, Ph.D, Prof.Dr.Ir.Dwi Listyo Rahayu, Prof.Dr.Ir.Sam Wouthuzen dan lain sebagainya. Beberapa anggota Lawalata IPB lainnya sekarang juga menduduki berbagai jabatan strategis di beberapa kementerian dan lembaga negara.   

Sepak terjang dan talenta yang dimiliki Rudy Badil, Kasino, Dono, Nanu dan alumni mahasiswa pecinta alam di Lawalata IPB serta pertemanan yang mereka bangun disaat mahasiswa perlu menjadi catatan generasi penerusnya. Di Mapala UI karena persahabatannya dan ingin terus berkarya bersama setelah keluar dari kampus, Dono dan Kasino konsisten dengan lelucon dan jiwa menghiburnya. Hal yang sama juga ada di Lawalata IPB. Hapsoro dan Arbi Valentinus  adalah duo sahabat yang tidak ingin berpisah setelah keluar kampus dan  konsisten dengan perlawanannya terhadap para pejabat dan pengusaha yang kegemarannya merusak alam Indonesia. Walaupun mereka semua telah tiada, tapi kita akan selalu mengenal siapa mereka.

Unit kegiatan mahasiswa yang  berkegiatan di alam bebas adalah tempat yang paling ideal untuk mereka yang ingin mencari jati diri dengan berbagai idealismenya. Menumbuhkan jiwa sosial dan kepedulian terhadap sesama mahluk hidup. Peka dan kritis terhadap sebuah perubahan sosial dan perubahan lingkungan yang sedang dan yang akan terjadi. Dengan melakukan berbagai kegiatan di alam bebaslah kita bisa membangun persahabatan sejati. Jangan menganggap remeh anak muda yang memang hobby-nya naik gunung dan berkegiatan di alam bebas. Tidak semua dari mereka berjalan seperti tanpa tujuan hidup.

Semoga dengan membaca tulisan ini generasi berikutnya di Mapala UI dan Lawalata IPB serta mahasiswa pecinta alam dari universitas lainnya tetap bisa saling bersilahturahim, saling berbagi, duduk setara, tertawa dan bercanda bersama. Momen seperti ini tidak mudah untuk kita temui lagi jika sudah keluar dari kampus dan memasuki dunia kerja.

Untuk melihat video tentang sejarah Lawalata IPB bisa lihat disini

___
Een Irawan Putra
Anggota Lawalata IPB dan Direktur Eksekutif Rekam Nusantara Foundation

No comments:

Post a Comment